oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Kita tahu bahwa hoax itu
adalah berita bohong atau informasi palsu. Sesungguhnya, hoax selalu terjadi
dari zaman ke zaman. Pada akhir-akhir ini hoax bisa kita lihat ikut
mempengaruhi situasi sosial-politik dunia. Pertarungan Donald Trump Vs Hillary
Clinton di AS melibatkan hoax yang masih tersisa urusannya hingga kini. Pemilihan
walikota London, Inggris pun menggunakan hoax yang luar biasa karena calon
walikotanya ada yang berasal dari kalangan muslim. Bahkan, orang Islam ini yang
kemudian terpilih, namanya Sadiq Khan. Di samping itu, fenomena Britain Exit
(Brexit) pun meningkatkan hoax hingga ke angka 500%. Hal ini disebabkan
persoalan ekonomi yang membuat warga Inggris sendiri “terkalahkan” oleh warga
pendatang, banyak lapangan pekerjaan dan bisnis dikuasai bukan oleh warga asli
Inggris. Demikian pula di Indonesia, hoax digunakan dalam perhelatan-perhelatan
politik, situasi pemililhan, baik Pilkada, Pileg, maupun Pilpres. Dalam Pilpres
2019, masyarakat Indonesia tersedot energinya secara luar biasa dengan banyaknya
hoax yang beredar.
Kini Pilpres RI sudah selesai, tetapi hoax tetap menghiasi
ruang media sosial, bahkan terjadi pula di dunia nyata. Jokowi (01) sudah menang
dan Prabowo (02) sudah bergabung menambah kekuatan politik Jokowi hingga 76%.
Tak perlu ada lagi persaingan. Bahkan, Jokowi bukan lagi saingan untuk Pilpres 2024,
tetapi hoax tetap berseliweran.
Mengapa hoax terus dipelihara?
Paling tidak, ada sedikit pencerahan dari Presidium
Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Anita Wahid yang menjelaskan bahwa “hoax yang beredar sekarang bukan lagi
terkait Pilpres, melainkan memelihara kebencian yang sudah tertanam di
masyarakat”. Penjelasan itu memerlukan penjelasan tambahan, sayangnya Anita
Wahid belum menjelaskannya sehingga membuat kita harus mencoba menjelaskan
sendiri.
Para pembuat dan penyebar hoax memang sengaja memelihara
kebencian tersebut agar dirinya tetap eksis dan tidak kehilangan perhatian dari
masyarakat yang telah ditipunya. Banyak masyarakat Indonesia yang mudah percaya
tanpa periksa, tanpa tabayun, check and
recheck, atau fact checking sehingga
mudah ditipu. Masyarakat yang seperti inilah “langganan utama” dari para “pemelihara
kebencian”.
Jika tidak menyebarkan
hoax, mereka akan dilupakan dan hilang dari peredaran. Oleh sebab itu, mereka
membuat hoax-hoax baru atau ujaran kebencian agar tetap eksis. Dengan demikian,
masyarakat yang mudah ditipunya dapat digiring untuk memperoleh posisi politik
dan mengumpulkan sejumlah uang untuk kepentingan pribadi-pribadinya.
Tugas orang-orang sadar, tulus, dan cinta harmonilah yang
harus memerangi hoax, ujaran kebencian, dan perpecahan. Allah swt sangat
mencintai kebenaran, kedamaian, cinta, dan kasih sayang.
Beberapa tulisan saya yang lalu, ada yang berisi tentang
bagaimana cara menentukan kebenaran suatu informasi. Orang lain pun banyak yang
menulis hal yang sama. Insyaallah, tulisan-tulisan
berikutnya menyinggung-nyinggung juga cara supaya kita tidak menjadi korban
hoax.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment