oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Ingat ketika Menteri Luar
Negeri RI menghardik, “Jangan ikut campur!”
Menlu RI Retno Marsudi menghardik beberapa negara di
Kawasan Asia Pasifik yang mengampanyekan bahwa Indonesia melakukan pelanggaran
hak azasi manusia di Wamena, Papua. Wamena adalah bagian dari Indonesia dan
dikuasai penuh oleh Indonesia. Masalah Wamena adalah masalah Indonesia. Hak dan
kewajiban Indonesia untuk mendisiplinkan warganya sendiri, memadamkan
huru-hara, dan meningkatkan taraf hidup warganya. Negara lain tak boleh ikut
campur. Meskipun di luar negeri beredar isu-isu pelanggaran Ham oleh Indonesia
terhadap Wamena, pasukan TNI dan Polri pasti menghantam negara mana pun yang
datang ke Wamena jika datang tanpa rasa hormat dengan tujuan merecoki di Wamena.
Ketegasan Indonesia tentang wilayahnya itu membuat tak
ada satu pun negara lain yang berani datang menantang secara militer. Hal itu
disebabkan di samping harus menghormati kedaulatan Negara Indonesia, juga cost
untuk bertikai dengan Indonesia sangatlah mahal.
Akan tetapi, Indonesia pun membuka diri untuk siapa pun agar
datang ke Wamena dan melihat secara langsung kondisi yang terjadi. Tak ada
pelanggaran Ham yang dilakukan negara, tetapi hanya tindakan-tindakan kriminal yang
dilakukan para teroris untuk membuat
ketakutan dan huru-hara di tengah masyarakat.
Hal yang mirip pun terjadi di Xinjiang, Cina. Dalam etika
internasional saat ini, tidak boleh ada satu negara pun yang ikut campur urusan
dalam negeri suatu negara berdaulat. Setiap negara berhak dan wajib mengatur
dan mengurus warganya sendiri. Kalau ikut campur, ketegangan meningkat,
berbagai kerja sama bisa putus dan merugikan, bahkan bisa terjadi perang. Cina
berkali-kali bersuara keras pada negara-negara Barat yang dianggap mendistorsi
kenyataan yang terjadi dan sudah pasti siap mengamankan wilayahnya dari ikut
campurnya negara lain. Hasilnya, hingga hari ini tak ada satu negara pun yang
berani datang untuk bikin keributan, kecuali bikin isu-isu di luar Negara Cina.
Meskipun demikian, Cina pun berkali-kali mempersilakan
untuk siapa pun datang ke Xinjiang dan melihat sendiri kenyataan yang ada. Bagi
Cina, tak ada penyiksaan dan pembantaian, tetapi pusat pendidikan vokasi untuk
meredam aksi-aksi Uighur yang dianggap menganggu keamanan Negara Cina.
Indonesia, baik pemerintah, masyarakat, maupun
Ormas-Ormas yang melihat situasi lebih komprehensif, sudah bagus bersikap. Diplomasi
lunak dijalankan dengan menegaskan bahwa soal mengatur warga Uighur adalah hak
dan kewajiban Cina, Indonesia tidak akan ikut campur. Akan tetapi, untuk urusan
ibadat, Cina didorong agar memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada warga
Uighur.
Hanya itu yang bisa dan mungkin dilakukan Indonesia dalam
menyikapi permasalahan Uighur saat ini. Tidak bisa melakukan intervensi apalagi
mengerahkan kekuatan militer berhadapan dengan Cina. Negara-negara Barat saja
tidak ada yang berani, masa Indonesia mau sok jago.
Apa untungnya bagi rakyat Indonesia jika mengerahkan
militer atau mengintervensi Cina soal Uighur?
Tidak perlu ikut campur urusan negara lain saat ini.
Kalaupun mau, gunakan “moral force” untuk
mengingatkan jika memang terjadi pembatasan-pembatasan atas hak individu,
terutama dalam melaksanakan ibadat.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment