Wednesday, 25 December 2019

Jangan Ikut Campur!


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Ingat ketika Menteri Luar Negeri RI menghardik, “Jangan ikut campur!”

            Menlu RI Retno Marsudi menghardik beberapa negara di Kawasan Asia Pasifik yang mengampanyekan bahwa Indonesia melakukan pelanggaran hak azasi manusia di Wamena, Papua. Wamena adalah bagian dari Indonesia dan dikuasai penuh oleh Indonesia. Masalah Wamena adalah masalah Indonesia. Hak dan kewajiban Indonesia untuk mendisiplinkan warganya sendiri, memadamkan huru-hara, dan meningkatkan taraf hidup warganya. Negara lain tak boleh ikut campur. Meskipun di luar negeri beredar isu-isu pelanggaran Ham oleh Indonesia terhadap Wamena, pasukan TNI dan Polri pasti menghantam negara mana pun yang datang ke Wamena jika datang tanpa rasa hormat dengan tujuan merecoki di Wamena.

            Ketegasan Indonesia tentang wilayahnya itu membuat tak ada satu pun negara lain yang berani datang menantang secara militer. Hal itu disebabkan di samping harus menghormati kedaulatan Negara Indonesia, juga cost untuk bertikai dengan Indonesia sangatlah mahal.

            Akan tetapi, Indonesia pun membuka diri untuk siapa pun agar datang ke Wamena dan melihat secara langsung kondisi yang terjadi. Tak ada pelanggaran Ham yang dilakukan negara, tetapi hanya tindakan-tindakan kriminal yang dilakukan  para teroris untuk membuat ketakutan dan huru-hara di tengah masyarakat.

            Hal yang mirip pun terjadi di Xinjiang, Cina. Dalam etika internasional saat ini, tidak boleh ada satu negara pun yang ikut campur urusan dalam negeri suatu negara berdaulat. Setiap negara berhak dan wajib mengatur dan mengurus warganya sendiri. Kalau ikut campur, ketegangan meningkat, berbagai kerja sama bisa putus dan merugikan, bahkan bisa terjadi perang. Cina berkali-kali bersuara keras pada negara-negara Barat yang dianggap mendistorsi kenyataan yang terjadi dan sudah pasti siap mengamankan wilayahnya dari ikut campurnya negara lain. Hasilnya, hingga hari ini tak ada satu negara pun yang berani datang untuk bikin keributan, kecuali bikin isu-isu di luar Negara Cina.

            Meskipun demikian, Cina pun berkali-kali mempersilakan untuk siapa pun datang ke Xinjiang dan melihat sendiri kenyataan yang ada. Bagi Cina, tak ada penyiksaan dan pembantaian, tetapi pusat pendidikan vokasi untuk meredam aksi-aksi Uighur yang dianggap menganggu keamanan Negara Cina.

            Indonesia, baik pemerintah, masyarakat, maupun Ormas-Ormas yang melihat situasi lebih komprehensif, sudah bagus bersikap. Diplomasi lunak dijalankan dengan menegaskan bahwa soal mengatur warga Uighur adalah hak dan kewajiban Cina, Indonesia tidak akan ikut campur. Akan tetapi, untuk urusan ibadat, Cina didorong agar memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada warga Uighur.

            Hanya itu yang bisa dan mungkin dilakukan Indonesia dalam menyikapi permasalahan Uighur saat ini. Tidak bisa melakukan intervensi apalagi mengerahkan kekuatan militer berhadapan dengan Cina. Negara-negara Barat saja tidak ada yang berani, masa Indonesia mau sok jago.

            Apa untungnya bagi rakyat Indonesia jika mengerahkan militer atau mengintervensi Cina soal Uighur?

            Tidak perlu ikut campur urusan negara lain saat ini. Kalaupun mau, gunakan “moral force” untuk mengingatkan jika memang terjadi pembatasan-pembatasan atas hak individu, terutama  dalam melaksanakan ibadat.

            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment