oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Musuh dari musuhku adalah
temanku. Begitu arti dari judul tulisan ini. Hal ini sudah menjadi fenomena
kehidupan dari zaman ke zaman, baik dalam kehidupan individu, sosial,
bertetangga, kenegaraan, maupun hubungan internasional. Jika seseorang
mempunyai musuh, lalu musuhnya itu mempunyai musuh, pihak yang memusuhi musuhnya
itu biasanya menjadi temannya. Kalau saling kenal dengan pihak yang memusuhi
musuhnya, biasanya terjadi koalisi. Kalaupun tidak saling kenal, tetap saling
mendukung dalam menjatuhkan musuh yang sama. Meskipun pertemanan itu tidak
masuk akal, mereka tetap saling mendukung.
Jika melihat hubungan internasional saat ini, khususnya
mengenai Uighur, Xinjiang, Cina, pemeo “enemy
of my enemy is my friend” ini sangat terlihat. Ketika saat ini terjadi
perang dagang antara Amerika Serikat dengan Cina, kemudian “Wall Street Journal” menurunkan berita tentang pelanggaran Ham di
Xinjiang, Cina, ramai-ramai negara barat kapitalis mendukung berita itu dan
berdiri bersama Amerika Serikat. Hal itu disebabkan Cina adalah musuh mereka
bersama dalam hal ekonomi. Lejitan ekonomi Cina di Asia dan dunia yang luar biasa
mengkhawatirkan posisi negara-negara itu yang biasanya berada di atas angin.
Bagi mereka, Cina harus jatuh.
Demikan pula Hongkong yang ikut demonstrasi mengecam
pemerintah pusat Cina terkait Uighur. Hongkong ikut menentang Cina karena
memang bermusuhan dengan Beijing terkait isu RUU Ekstradisi. Ketika Hongkong
berdemonstrasi tentang RUU itu, Amerika Serikat mengeluarkan pernyataan tentang
kekhawatirannya atas apa yang terjadi antara polisi dengan demonstran Hongkong.
Oleh sebab itu, Hongkong pun ikut-ikutan “berteman” dengan barat kapitalis
menentang Cina.
Hal yang sama pun terjadi di Indonesia. Mereka yang masih
belum mampu “move on” dari Pilpres RI
April 2019, masih memusuhi Jokowi atau seluruh pendukung 01. Berita dari Wall
Street Journal segera dipercaya dan dijadikan amunisi untuk menyerang Jokowi
dan jajarannya karena memang pemerintahan Jokowi sedang “mesra” membangun kerja
sama dengan Cina.
Meskipun biasanya menentang barat-kapitalis karena
dianggap bertentangan dengan Islam, mereka
tidak melihat itu, tutup mata, karena berita Uighur itu menguatkan mereka untuk
menjatuhkan martabat Cina sekaligus menghancurkan kredibilitas Jokowi dalam
memimpin masyarakat muslim terbesar di dunia. Jokowi dianggap tidak
mempedulikan keinginan umat Islam Indonesia dalam membela kepentingan umat
Islam Uighur. Pendek kata, Jokowi diupayakan tergambar sebagai tidak pro Islam.
Bahkan, anti-Islam, islamophobia. Siapa pun yang memusuhi Cina adalah teman
mereka karena Cina adalah teman Jokowi.
Begitulah. Musuh dari musuhku adalah temanku.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment