Wednesday, 25 December 2019

Enemy of My Enemy is My Friend



oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya
Musuh dari musuhku adalah temanku. Begitu arti dari judul tulisan ini. Hal ini sudah menjadi fenomena kehidupan dari zaman ke zaman, baik dalam kehidupan individu, sosial, bertetangga, kenegaraan, maupun hubungan internasional. Jika seseorang mempunyai musuh, lalu musuhnya itu mempunyai musuh, pihak yang memusuhi musuhnya itu biasanya menjadi temannya. Kalau saling kenal dengan pihak yang memusuhi musuhnya, biasanya terjadi koalisi. Kalaupun tidak saling kenal, tetap saling mendukung dalam menjatuhkan musuh yang sama. Meskipun pertemanan itu tidak masuk akal, mereka tetap saling mendukung.

            Jika melihat hubungan internasional saat ini, khususnya mengenai Uighur, Xinjiang, Cina, pemeo “enemy of my enemy is my friend” ini sangat terlihat. Ketika saat ini terjadi perang dagang antara Amerika Serikat dengan Cina, kemudian “Wall Street Journal” menurunkan berita tentang pelanggaran Ham di Xinjiang, Cina, ramai-ramai negara barat kapitalis mendukung berita itu dan berdiri bersama Amerika Serikat. Hal itu disebabkan Cina adalah musuh mereka bersama dalam hal ekonomi. Lejitan ekonomi Cina di Asia dan dunia yang luar biasa mengkhawatirkan posisi negara-negara itu yang biasanya berada di atas angin. Bagi mereka, Cina harus jatuh.

            Demikan pula Hongkong yang ikut demonstrasi mengecam pemerintah pusat Cina terkait Uighur. Hongkong ikut menentang Cina karena memang bermusuhan dengan Beijing terkait isu RUU Ekstradisi. Ketika Hongkong berdemonstrasi tentang RUU itu, Amerika Serikat mengeluarkan pernyataan tentang kekhawatirannya atas apa yang terjadi antara polisi dengan demonstran Hongkong. Oleh sebab itu, Hongkong pun ikut-ikutan “berteman” dengan barat kapitalis menentang Cina.

            Hal yang sama pun terjadi di Indonesia. Mereka yang masih belum mampu “move on” dari Pilpres RI April 2019, masih memusuhi Jokowi atau seluruh pendukung 01. Berita dari Wall Street Journal segera dipercaya dan dijadikan amunisi untuk menyerang Jokowi dan jajarannya karena memang pemerintahan Jokowi sedang “mesra” membangun kerja sama dengan Cina.

            Meskipun biasanya menentang barat-kapitalis karena dianggap bertentangan dengan Islam,  mereka tidak melihat itu, tutup mata, karena berita Uighur itu menguatkan mereka untuk menjatuhkan martabat Cina sekaligus menghancurkan kredibilitas Jokowi dalam memimpin masyarakat muslim terbesar di dunia. Jokowi dianggap tidak mempedulikan keinginan umat Islam Indonesia dalam membela kepentingan umat Islam Uighur. Pendek kata, Jokowi diupayakan tergambar sebagai tidak pro Islam. Bahkan, anti-Islam, islamophobia. Siapa pun yang memusuhi Cina adalah teman mereka karena Cina adalah teman Jokowi.

            Begitulah. Musuh dari musuhku adalah temanku.

            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment