oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Perjanjian Hudaibiyyah dapat
dikategorikan sebagai perjanjian internasional, perjanjian antara dua kekuasaan
yang berbeda, yaitu antara Madinah yang dikuasai kaum muslimin dengan Mekah
yang dikuasai kaum kafir. Perjanjian itu
mirip gencatan senjata untuk tidak saling membunuh, berperang. Kisah Perjanjian
Hudaibiyyah sangat panjang, bisa dipelajari dari berbagai buku.
Saya hanya menyoroti salah satu isi perjanjian tersebut
yang menyebutkan bahwa “jika penduduk
Mekah ke Madinah tanpa seizin walinya, harus dikembalikan ke Mekah, tetapi jika
penduduk Madinah ke Mekah, tidak boleh dikembalikan ke Madinah.”
Sedari awal,
perjanjian ini tampak merugikan kaum muslim, bahkan para sahabat Nabi saw pun
banyak yang protes dan kecewa kepada Muhammad saw. Dilihat dari penambahan
jumlah orang, jelas kaum muslim mendapatkan kerugian karena jika datang ke
Mekah, tidak boleh pulang ke Madinah. Sebaliknya, orang Mekah jika ke Madinah,
harus dikembalikan ke Mekah. Kekecewaan kaum muslim terus berlanjut pada tahun-tahun
awal pelaksanaan perjanjian itu.
Beberapa sahabat Nabi saw dengan lugas protes kepada Nabi
saw, “Apakah engkau akan membiarkan aku
hidup bersama orang-orang kafir itu dengan perilaku mereka yang seperti itu?”
Ucapan-ucapan semacam
itu kerap sampai langsung kepada Nabi saw. Akan tetapi, Muhammad saw tetap
mengharuskan mereka untuk kembali ke Mekah. Nabi Muhammad saw adalah orang yang
selalu menepati janji dan tidak akan melanggar ucapannya sendiri. Oleh sebab
itu, banyak kaum muslim yang pulang ke Mekah dengan tulus ikhlas, tetapi banyak
pula yang pulang disertai rasa kesal dan kecewa. Bahkan, tidak sedikit yang
pulang, tetapi tidak sampai ke Mekah. Mereka memilih hidup berada di tengah-tengah
antara Mekah dan Madinah. Mereka tidak mau hidup bersama orang kafir di Mekah,
tetapi mereka pun tidak bisa hidup di Madinah karena Nabi saw pasti
mengusirnya.
Kejadian-kejadian selanjutnya Islam semakin berkembang
dan bertahap mencapai kemenangannya. Itulah buah dari konsistennya Nabi saw dalam
mematuhi perjanjian internasional. Nabi saw kuat memegang janji hingga orang
kafir sendiri yang melanggarnya yang membuat perjanjian itu sendiri batal dan kaum
muslim akhirnya bisa menguasai Mekah, Kabah.
Berkaca dari hal itu, umat Islam Indonesia pun harus
mematuhi berbagai perjanjian yang dibuat, baik yang tertulis maupun yang
terucap dalam pergaulan internasional. Salah satunya, memegang kuat janji untuk
tidak ikut campur atau intervensi urusan negara lain. Itu prinsip yang
diajarkan Muhammad saw. Dengan demikian, kita bisa tetap terhormat dan aman
dari gangguan negara lain karena kita terlebih dahulu menghormat negara lain, insyaallah.
Terkait etnis Uighur,
Indonesia harus kukuh untuk tidak merecoki Cina. Hal itu disebabkan pertama, etnis Uighur hidup di Xinjiang
yang merupakan wilayah Cina. Kedua, tidak
ada pembantaian dan penyiksaan, tetapi pengaturan dan pendisiplinan warga Negara
Cina, khususnya sebagian kecil dari etnis Uighur. Ketiga, kalaupun terjadi masalah, Indonesia dapat menggunakan
diplomasi lunak (nasihat/masukan) sebagai negara sahabat agar situasi lebih
kondusif karena masalah yang terjadi di negara-negara sahabat sedikit banyak
akan merugikan dirinya sendiri dan mungkin mengganggu kerja sama yang sedang
berlangsung untuk kepentingan bangsa Indonesia.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment