Friday 27 December 2019

Berkaca dari Hudaibiyyah

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Perjanjian Hudaibiyyah dapat dikategorikan sebagai perjanjian internasional, perjanjian antara dua kekuasaan yang berbeda, yaitu antara Madinah yang dikuasai kaum muslimin dengan Mekah yang dikuasai kaum kafir.  Perjanjian itu mirip gencatan senjata untuk tidak saling membunuh, berperang. Kisah Perjanjian Hudaibiyyah sangat panjang, bisa dipelajari dari berbagai buku.

            Saya hanya menyoroti salah satu isi perjanjian tersebut yang menyebutkan bahwa “jika penduduk Mekah ke Madinah tanpa seizin walinya, harus dikembalikan ke Mekah, tetapi jika penduduk Madinah ke Mekah, tidak boleh dikembalikan ke Madinah.”

            Sedari awal, perjanjian ini tampak merugikan kaum muslim, bahkan para sahabat Nabi saw pun banyak yang protes dan kecewa kepada Muhammad saw. Dilihat dari penambahan jumlah orang, jelas kaum muslim mendapatkan kerugian karena jika datang ke Mekah, tidak boleh pulang ke Madinah. Sebaliknya, orang Mekah jika ke Madinah, harus dikembalikan ke Mekah. Kekecewaan kaum muslim terus berlanjut pada tahun-tahun awal pelaksanaan perjanjian itu.

            Beberapa sahabat Nabi saw dengan lugas protes kepada Nabi saw, “Apakah engkau akan membiarkan aku hidup bersama orang-orang kafir itu dengan perilaku mereka yang seperti itu?”

            Ucapan-ucapan semacam itu kerap sampai langsung kepada Nabi saw. Akan tetapi, Muhammad saw tetap mengharuskan mereka untuk kembali ke Mekah. Nabi Muhammad saw adalah orang yang selalu menepati janji dan tidak akan melanggar ucapannya sendiri. Oleh sebab itu, banyak kaum muslim yang pulang ke Mekah dengan tulus ikhlas, tetapi banyak pula yang pulang disertai rasa kesal dan kecewa. Bahkan, tidak sedikit yang pulang, tetapi tidak sampai ke Mekah. Mereka memilih hidup berada di tengah-tengah antara Mekah dan Madinah. Mereka tidak mau hidup bersama orang kafir di Mekah, tetapi mereka pun tidak bisa hidup di Madinah karena Nabi saw pasti mengusirnya.

            Kejadian-kejadian selanjutnya Islam semakin berkembang dan bertahap mencapai kemenangannya. Itulah buah dari konsistennya Nabi saw dalam mematuhi perjanjian internasional. Nabi saw kuat memegang janji hingga orang kafir sendiri yang melanggarnya yang membuat perjanjian itu sendiri batal dan kaum muslim akhirnya bisa menguasai Mekah, Kabah.

            Berkaca dari hal itu, umat Islam Indonesia pun harus mematuhi berbagai perjanjian yang dibuat, baik yang tertulis maupun yang terucap dalam pergaulan internasional. Salah satunya, memegang kuat janji untuk tidak ikut campur atau intervensi urusan negara lain. Itu prinsip yang diajarkan Muhammad saw. Dengan demikian, kita bisa tetap terhormat dan aman dari gangguan negara lain karena kita terlebih dahulu menghormat negara lain, insyaallah.

            Terkait etnis Uighur, Indonesia harus kukuh untuk tidak merecoki Cina. Hal itu disebabkan pertama, etnis Uighur hidup di Xinjiang yang merupakan wilayah Cina. Kedua, tidak ada pembantaian dan penyiksaan, tetapi pengaturan dan pendisiplinan warga Negara Cina, khususnya sebagian kecil dari etnis Uighur. Ketiga, kalaupun terjadi masalah, Indonesia dapat menggunakan diplomasi lunak (nasihat/masukan) sebagai negara sahabat agar situasi lebih kondusif karena masalah yang terjadi di negara-negara sahabat sedikit banyak akan merugikan dirinya sendiri dan mungkin mengganggu kerja sama yang sedang berlangsung untuk kepentingan bangsa Indonesia.

            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment