Thursday 26 December 2019

Perang Dagang AS dan Cina


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Pembuat gara-gara perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan Cina adalah Donald Trump, Presiden AS sendiri. Pada 22 Maret 2018, dia berkehendak memberlakukan bea masuk yang tinggi untuk barang-barang dari Cina. Di samping itu, Trump pun mengampanyekan bahwa Cina melakukan “praktik dagang yang tidak adil” dan “melakukan pencurian kekayaan intelektual”. Oleh sebab itu, Cina melakukan pembalasan dengan menerapkan bea masuk yang tinggi pula untuk 128 produk dari AS.

            Perang dagang ini bukan hanya mengganggu perdagangan kedua negara tersebut, melainkan pula membuat lambat perkembangan ekonomi dunia dan pengaruhnya pun dirasakan oleh Indonesia. Untuk penjelasan hal ini, perlu ahli ekonomi dengan perhitungan-perhitungan yang cukup rumit. Saya hanya mencoba menjelaskan sangat sedikit dari sisi sosial yang berpengaruh pada Indonesia.

            Sampai hari ini alasan yang dikemukakan Donald Trump tentang Cina melakukan “praktik dagang yang tidak adil” dan “melakukan pencurian kekayaan intelektual” sangat tidak jelas.

            Praktik dagang yang bagaimana yang dilakukan Cina?

            Kekayaan intelektual mana yang dicuri oleh Cina?

            Kalaulah Cina memproduksi barang-barang yang mirip “barang awal”, sudah bukan rahasia lagi. Di Indonesia pun Cina membuat barang-barang yang mirip “barang awal” dengan kualitas yang lebih rendah dan harga lebih murah, seperti, sepatu, kompor, pemantik api, alat rumah tangga, alat tulis kantor, ataupun kendaraan bermotor. Bahkan, Cina mampu mengumpulkan bekas kondom untuk dibuat menjadi mainan bayi atau anak-anak dengan harga yang teramat murah dan anak-anak kita pun suka membelinya, ada yang harganya seribuan, malah lima ratusan.

            Itu kah yang disebut pencurian kekayaan intelektual?

            Hal yang jelas adalah Amerika Serikat mulai khawatir terhadap perkembangan pesatnya ekonomi Cina yang bisa menyainginya. Hampir semua peneliti berpendapat seperti ini. Oleh sebab itu, kampanye anti-Cina pun dilancarkan.

            Paling tidak, Michael Ivanovitch, seorang analis independen yang berfokus pada ekonomi dunia, geopolitik, dan strategi investasi mengatakan bahwa kampanye anti-Cina memang berkembang, "AS akan disarankan untuk membuat kesepakatan perdagangan yang cepat dengan Cina dan untuk mengurangi retorika anti-Cina yang serampangan dan kontraproduktif."

            Pernyataannya itu menunjukkan bahwa memang ada retorika anti-Cina untuk memenangkan AS dalam perang dagang. Akan tetapi, masih menurutnya, retorika anti-Cina itu kontraproduktif, sama sekali tidak menguntungkan.

            Akan tetapi, para buzzer anti-Cina ini tampaknya asyik dengan retorikanya hingga menggunakan etnis Uighur sebagai “barang dagangan” untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. Saking asyiknya, berita ini masuk ke berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Harapan besarnya, perkembangan ekonomi Cina bisa melambat atau bahkan hancur. Di samping itu, kecil-kecilannya, kampanye anti-Cina pun dapat menguntungkan pribadi-pribadi atau kelompok secara ekonomi dengan mengumpulkan uang recehan.

            So, kampanye anti-Cina ini tampak sekali bukan urusan kemanusiaan ataupun urusan keagamaan, melainkan urusan perang dagang, urusan ekonomi, urusan UUD: “Ujung-Ujungnya Duit”.

            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment