oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Pembuat gara-gara perang
dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan Cina adalah Donald Trump, Presiden AS
sendiri. Pada 22 Maret 2018, dia berkehendak memberlakukan bea masuk yang tinggi
untuk barang-barang dari Cina. Di samping itu, Trump pun mengampanyekan bahwa
Cina melakukan “praktik dagang yang tidak adil” dan “melakukan pencurian
kekayaan intelektual”. Oleh sebab itu, Cina melakukan pembalasan dengan
menerapkan bea masuk yang tinggi pula untuk 128 produk dari AS.
Perang dagang ini bukan hanya mengganggu perdagangan
kedua negara tersebut, melainkan pula membuat lambat perkembangan ekonomi dunia
dan pengaruhnya pun dirasakan oleh Indonesia. Untuk penjelasan hal ini, perlu
ahli ekonomi dengan perhitungan-perhitungan yang cukup rumit. Saya hanya
mencoba menjelaskan sangat sedikit dari sisi sosial yang berpengaruh pada
Indonesia.
Sampai hari ini alasan yang dikemukakan Donald Trump
tentang Cina melakukan “praktik dagang yang tidak adil” dan “melakukan
pencurian kekayaan intelektual” sangat tidak jelas.
Praktik dagang yang bagaimana yang dilakukan Cina?
Kekayaan intelektual mana yang dicuri oleh Cina?
Kalaulah Cina memproduksi barang-barang yang mirip
“barang awal”, sudah bukan rahasia lagi. Di Indonesia pun Cina membuat
barang-barang yang mirip “barang awal” dengan kualitas yang lebih rendah dan
harga lebih murah, seperti, sepatu, kompor, pemantik api, alat rumah tangga,
alat tulis kantor, ataupun kendaraan bermotor. Bahkan, Cina mampu mengumpulkan
bekas kondom untuk dibuat menjadi mainan bayi atau anak-anak dengan harga yang
teramat murah dan anak-anak kita pun suka membelinya, ada yang harganya
seribuan, malah lima ratusan.
Itu kah yang disebut pencurian kekayaan intelektual?
Hal yang jelas adalah Amerika Serikat mulai khawatir
terhadap perkembangan pesatnya ekonomi Cina yang bisa menyainginya. Hampir
semua peneliti berpendapat seperti ini. Oleh sebab itu, kampanye anti-Cina pun
dilancarkan.
Paling tidak, Michael Ivanovitch, seorang analis
independen yang berfokus pada ekonomi dunia, geopolitik, dan strategi investasi
mengatakan bahwa kampanye anti-Cina memang berkembang, "AS akan disarankan
untuk membuat kesepakatan perdagangan yang cepat dengan Cina dan untuk
mengurangi retorika anti-Cina yang serampangan dan kontraproduktif."
Pernyataannya itu menunjukkan bahwa memang ada retorika
anti-Cina untuk memenangkan AS dalam perang dagang. Akan tetapi, masih
menurutnya, retorika anti-Cina itu kontraproduktif, sama sekali tidak
menguntungkan.
Akan tetapi, para buzzer anti-Cina ini tampaknya asyik
dengan retorikanya hingga menggunakan etnis Uighur sebagai “barang dagangan”
untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. Saking asyiknya, berita ini masuk ke
berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Harapan besarnya, perkembangan
ekonomi Cina bisa melambat atau bahkan hancur. Di samping itu, kecil-kecilannya,
kampanye anti-Cina pun dapat menguntungkan pribadi-pribadi atau kelompok secara
ekonomi dengan mengumpulkan uang recehan.
So, kampanye anti-Cina ini tampak sekali bukan urusan kemanusiaan
ataupun urusan keagamaan, melainkan urusan perang dagang, urusan ekonomi,
urusan UUD: “Ujung-Ujungnya Duit”.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment