oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Masalah khilafah ini tidak
pernah berhenti sejak keruntuhannya dulu di Turki dan masih ada orang yang berharap
untuk ada lagi meskipun banyak juga yang menganggapnya hanya sebagai masa lalu.
Kita tidak bisa melarang orang untuk berharap sekaligus tidak bisa memaksa
orang yang sama sekali tidak merasa tertarik. Yang berharap, tetapi tidak
kesampaian, paling-paling patah hati. Yang tidak tertarik, bisa tiba-tiba jatuh
cinta. Semua kemungkinan itu selalu ada.
Lumayan menarik “talk
show” yang pernah digelar oleh “Kompas
TV”. Ternyata, ada dua pemahaman berbeda tentang khilafah, dari NU dan FPI.
Bagi Nahdlatul Ulama (NU), Indonesia dalam bingkai NKRI ini sudah merupakan
kekhalifahan, khalifahnya adalah presiden. Selesai. Sangat sederhana.
Berbeda dengan Front Pembela Islam (FPI) yang dengan
tegas menyatakan, “Kita berbeda dengan HTI!”
Dalam pemahaman FPI, khilafah yang didorong FPI ini
melingkupi negara-negara Islam di seluruh dunia untuk bersatu menyelesaikan
permasalahan-permasalahan umat. Misalnya, mendorong Organisasi Konferensi Islam
(OKI) untuk bersama-sama membentuk kerja sama yang lebih rinci menyelesaikan
masalah umat Islam di seluruh dunia. Di samping itu, FPI tetap setia pada
Pancasila dan NKRI meskipun menggunakan embel-embel syariah.
Persoalan FPI kan hanya pada sangat diperlukannya
tercantum kata Pancasila di dalam AD/ART-nya. Kalau itu tercantum, permasalahan
bisa lebih mudah diatasi.
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) memang tidak diajak dalam
bincang-bincang tersebut, padahal getol menyuarakan khilafah. Oleh sebab itu,
kita sulit memahami khilafah yang dimaksud oleh HTI.
Apakah khilafah
periode Khulafaur Rasyidin, Umayyah, Abbasiyah, atau Utsmaniyah?
Apakah konsep khilafah hasil pemikiran HTI sendiri?
HTI memang tidak jelas mengusung konsep yang mana dan
bagaimana.
Jika mengikuti pendapat NU dan FPI, bedanya tinggal
sedikit lagi. Kalau perbedaannya diselesaikan, selesai sudah. Semua bisa
sama-sama bergandeng tangan untuk menghindari fitnah, provokasi, dan membangun
umat ke arah yang lebih positif. Biarkan saja terjadi diskursus dan
gesekan-gesekan, itu biasa, kalem aja. Meski panas, hasilnya, insyaallah positif.
Kita mesti bangga dan bersyukur karena memiliki Monumen
Nasional (Monas). Monas itu berbentuk alu
dan lumpang. Orang Sunda bilang halu dan jubleg untuk melembutkan/menghaluskan beras menjadi tepung. Halu itu berupa tiang yang menjulang
tinggi yang di atasnya ada emas 18 karat. Adapun jubleg itu bagian bawahnya
yang lebar. Presiden ke-1 RI Ir. Soekarno cerdas membuat Monas. Monumen itu
melambangkan bahwa halu itu adalah pemerintah yang harus membina masyarakat
agar menjadi lembut, halus, dan sepaham. Pembinaannya harus teratur, kapan
tenang dan kapan keras sesuai dengan kondisi masyarakat. Beras yang tidak bisa
diatur biasanya terlempar ke luar jubleg dan menjadi sampah karena sudah kotor.
Adapun beras yang masih mau berada dalam jubleg dan ditumbuk, ditutu, ‘dibina” oleh pemerintah, lambat laun akan menjadi halus, sepaham, dan
lebih bermanfaat untuk melangkah ke fungsi selanjutnya. Sepintas beras menjadi
halus adalah disebabkan oleh terus-menerusnya ditumbuk, itu benar, tetapi
sebenarnya kehalusan itu sebagian besar diakibatkan oleh gesekan yang terjadi
di antara beras itu sendiri.
Artinya, gesekan yang sekarang terjadi di masyarakat pada
dasarnya positif jika memiliki cita-cita yang positif minimal untuk bangsa dan
negara, maksimalnya untuk kehidupan manusia di seluruh dunia. Jika tidak
memiliki cita-cita yang positif, gesekan itu tidak bermanfaat sama sekali,
bahkan akan terlempar keluar dari jubleg dan berakhir menjadi sampah.
So, jangan khawatir dengan gesekan di masyarakat.
Sepanjang positif dan saling berkorban untuk kebaikan bersama, hasilnya akan
positif. Insyaallah.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment