Thursday 12 December 2019

Tiga Paham Khilafah dan Satu Monas


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Masalah khilafah ini tidak pernah berhenti sejak keruntuhannya dulu di Turki dan masih ada orang yang berharap untuk ada lagi meskipun banyak juga yang menganggapnya hanya sebagai masa lalu. Kita tidak bisa melarang orang untuk berharap sekaligus tidak bisa memaksa orang yang sama sekali tidak merasa tertarik. Yang berharap, tetapi tidak kesampaian, paling-paling patah hati. Yang tidak tertarik, bisa tiba-tiba jatuh cinta. Semua kemungkinan itu selalu ada.

            Lumayan menarik “talk show” yang pernah digelar oleh “Kompas TV”. Ternyata, ada dua pemahaman berbeda tentang khilafah, dari NU dan FPI. Bagi Nahdlatul Ulama (NU), Indonesia dalam bingkai NKRI ini sudah merupakan kekhalifahan, khalifahnya adalah presiden. Selesai. Sangat sederhana.

            Berbeda dengan Front Pembela Islam (FPI) yang dengan tegas menyatakan, “Kita berbeda dengan HTI!”

            Dalam pemahaman FPI, khilafah yang didorong FPI ini melingkupi negara-negara Islam di seluruh dunia untuk bersatu menyelesaikan permasalahan-permasalahan umat. Misalnya, mendorong Organisasi Konferensi Islam (OKI) untuk bersama-sama membentuk kerja sama yang lebih rinci menyelesaikan masalah umat Islam di seluruh dunia. Di samping itu, FPI tetap setia pada Pancasila dan NKRI meskipun menggunakan embel-embel syariah.

            Persoalan FPI kan hanya pada sangat diperlukannya tercantum kata Pancasila di dalam AD/ART-nya. Kalau itu tercantum, permasalahan bisa lebih mudah diatasi.

            Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) memang tidak diajak dalam bincang-bincang tersebut, padahal getol menyuarakan khilafah. Oleh sebab itu, kita sulit memahami khilafah yang dimaksud oleh HTI.

             Apakah khilafah periode Khulafaur Rasyidin, Umayyah, Abbasiyah, atau Utsmaniyah?

            Apakah konsep khilafah hasil pemikiran HTI sendiri?

            HTI memang tidak jelas mengusung konsep yang mana dan bagaimana.

            Jika mengikuti pendapat NU dan FPI, bedanya tinggal sedikit lagi. Kalau perbedaannya diselesaikan, selesai sudah. Semua bisa sama-sama bergandeng tangan untuk menghindari fitnah, provokasi, dan membangun umat ke arah yang lebih positif. Biarkan saja terjadi diskursus dan gesekan-gesekan, itu biasa, kalem aja. Meski panas, hasilnya, insyaallah positif.

            Kita mesti bangga dan bersyukur karena memiliki Monumen Nasional (Monas). Monas itu berbentuk alu dan lumpang. Orang Sunda bilang halu dan jubleg untuk melembutkan/menghaluskan beras menjadi tepung. Halu itu berupa tiang yang menjulang tinggi yang di atasnya ada emas 18 karat. Adapun jubleg itu bagian bawahnya yang lebar. Presiden ke-1 RI Ir. Soekarno cerdas membuat Monas. Monumen itu melambangkan bahwa halu itu adalah pemerintah yang harus membina masyarakat agar menjadi lembut, halus, dan sepaham. Pembinaannya harus teratur, kapan tenang dan kapan keras sesuai dengan kondisi masyarakat. Beras yang tidak bisa diatur biasanya terlempar ke luar jubleg dan menjadi sampah karena sudah kotor. Adapun beras yang masih mau berada dalam jubleg dan ditumbuk, ditutu, ‘dibina” oleh pemerintah, lambat laun akan menjadi halus, sepaham, dan lebih bermanfaat untuk melangkah ke fungsi selanjutnya. Sepintas beras menjadi halus adalah disebabkan oleh terus-menerusnya ditumbuk, itu benar, tetapi sebenarnya kehalusan itu sebagian besar diakibatkan oleh gesekan yang terjadi di antara beras itu sendiri.

            Artinya, gesekan yang sekarang terjadi di masyarakat pada dasarnya positif jika memiliki cita-cita yang positif minimal untuk bangsa dan negara, maksimalnya untuk kehidupan manusia di seluruh dunia. Jika tidak memiliki cita-cita yang positif, gesekan itu tidak bermanfaat sama sekali, bahkan akan terlempar keluar dari jubleg dan berakhir menjadi sampah.

            So, jangan khawatir dengan gesekan di masyarakat. Sepanjang positif dan saling berkorban untuk kebaikan bersama, hasilnya akan positif. Insyaallah.

            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment