oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Banyak dan panjang
sebenarnya pemahaman skeptis ini. Bisa dipahami dari sudut filsafat, bisa juga
dari sudut pandang agama. Akan tetapi, intinya, skeptis adalah sikap “meragukan
atau ketidakpercayaan”.
Para pemikir atau ilmuwan sejati selalu skeptis terhadap
informasi atau ilmu yang baru didapatnya. Mereka selalu ragu dan tidak percaya.
Akan tetapi, mereka tidak berhenti dalam keraguan. Mereka melakukan berbagai
penelusuran hingga keraguan itu hilang berganti menjadi sebuah “keyakinan”.
Mereka tidak takut untuk ragu agar mendapatkan keyakinan.
Dari merekalah kita mendapatkan banyak sekali pengetahuan yang bermanfaat. Dalam
hal agama Islam pun para “ahli ilmu kalam” banyak yang membebaskan diri dulu
dari Islam. Mereka keluar dulu dari Islam, kemudian meragukan dan tidak percaya
terhadap inti-inti ajaran Islam. Bahkan, mereka ragu terhadap kebenaran “rukun
iman”. Mereka pelajari semua agama, semua inti keyakinan. Mereka mencari mana
agama yang paling benar dan mencari bukti-bukti yang objektif dan ilmiah. Pada
akhirnya, mereka menjadi ulama-ulama besar yang hasil penelitiannya menguatkan
keyakinan umat Islam.
Dalam merespon berita-ceritera-kisah tentang Uighur,
Xinjiang, Cina, dunia terbagi dua kubu, yaitu kubu yang percaya saat ini ada
kamp konsentrasi penyiksaan dan ada yang tidak percaya, bahkan di Xinjiang
diyakini bahwa semua etnis bahagia. Mereka yang percaya ada pembantaian paling
tidak, ada 22 negara. Mereka yang tidak percaya, ada 37 negara lebih. Bagi yang
tidak pernah ke Xinjiang menyaksikan langsung, bisa terombang-ambing isu-isu
yang beredar. Akan tetapi, mereka yang percaya pada negaranya, cukup mengambil
sikap percaya pada negaranya. Hasilnya, tetap, dunia terbagi dua kubu, yaitu
mereka yang percaya dan tidak.
Sungguh, di dunia ini banyak pembohong dan pendusta. Bagi mereka yang menginginkan kebenaran dengan
disertai bukti kuat, sebaiknya mengambil sikap skeptis. Ragukan saja kedua kubu
di dunia itu. Ambil sikap tidak percaya saja keduanya. Tidak apa-apa. Itu
bagus. Kemudian, teliti sendiri, cari bukti sendiri, bisa sendirian, bisa
berkelompok. Bebaskan diri dari segala keberpihakan. Peneliti harus netral,
tidak pro ke salah satu kubu. Dia harus berada di tengah. Caranya, bisa
mempelajari banyak buku tentang Cina, Uighur, Turki, Perang Dunia, Perang
Dingin, dan peristiwa lain yang terhubung. Bisa pula dengan datang langsung ke
Xinjiang, Cina, lalu melakukan observasi, pengamatan, wawancara, dokumentasi.
Bisa juga melalui teman atau kenalan yang sedang berada di Cina sebagai turis,
mahasiswa, atau pekerja. Syaratnya, mereka harus orang-orang yang jujur dan
cerdas.
Hasilnya, dari penelusuran kita, akan didapat data atau
informasi yang lebih akurat dan bisa dipertanggungjawabkan. Jika jujur, kita
akan mengemukakan semua bukti yang didapatkan untuk menguatkan keyakinan kita
dan keyakinan orang banyak. Kita akan memberikan pencerahan dan manfaat bagi
orang lain. Pahalanya besar sekali dari Allah swt.
Jika kita berbohong atau ikut menyebarkan kebohongan, dosanya
luar biasa dan harus ditanggung dengan penderitaan yang sangat mengerikan. Berbohong
ke tukang warung beda dosanya dengan berbohong ke seluruh dunia karena
kerusakan yang ditimbulkannya juga berbeda. Jangan berbohong.
Ambil sikap skeptis, lalu lakukan penelitian sendiri,
jujurlah dengan hasilnya. Jika niat kita baik, Allah swt bersama kita. Jika
niat kalian buruk, syetan bersama
kalian.
Sampurasun
No comments:
Post a Comment