oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Biasanya, kalau mendapatkan
informasi, berita, ataupun kisah, sikap kita biasa-biasa saja jika informasi
itu tidak bermasalah. Kita hanya menyimak dan mendapatkan informasi baru yang
tersimpan dalam memori di otak kita. Lain halnya jika informasi yang kita
dapatkan itu sensitif, lalu bermasalah. Misalnya, soal para nabi, para pemimpin,
atau peristiwa yang menguras emosi banyak orang. Banyak timbul pertanyaan
terkait kebenaran informasi yang beredar.
Wah, masa iya? Betulkah itu? Mengapa terjadi seperti itu?
Kata siapa? Masa sih?
Orang yang kritis pasti memiliki banyak pertanyaan.
Berbeda dengan orang yang iya-iya saja, biasanya langsung percaya dan
mengamini. Setiap orang berbeda-beda. Itu kenyataannya.
Terkait isu etnis Uighur, Xinjiang, Cina, jelas banyak pertanyaan.
Saya sendiri bertanya, sumber berita itu dari siapa. Ternyata, berita yang
beredar, baik di media-media nasional maupun internasional, termasuk di media
sosial, seluruhnya berawal dari media “Wall
Street Journal” (WSJ).
Jika kita potret rekam jejak dari WSJ, memang banyak
mempengaruhi opini dunia dan mengarahkan pada perubahan politik suatu negara
atau beberapa negara. Misalnya, dulu WSJ getol sekali memberitakan bahwa Irak
di bawah kepemimpinan Sadam Husein memiliki, bahkan memproduksi senjata
pemusnah massal, senjata biologi, kimia. Akibatnya, opini dunia tergiring yang
membuat negara-negara Barat menyerang Irak. Jatuhlah Sadam Husein, Irak pun
hancur. Hingga kini Irak masih sangat babak belur dan termasuk negara yang
tidak aman untuk ditinggali. Padahal, sampai sekarang, tidak ditemukan bukti
bahwa Irak memiliki senjata biologi, kimia yang bisa memusnahkan manusia itu.
Isu yang digoreng WSJ tidak ada buktinya, tetapi Irak sudah hancur.
Demikian pula di Afghanistan, WSJ pun ikut banyak
memberitakan tentang ketimpangan-ketimpangan dan konflik-konflik antarkelompok
perlawanan dengan isu-isu muslim serta krisis kemanusiaan. Hingga saat ini
Afghanistan dalam keadaan tertinggal, miskin, bodoh, dan tidak aman.
Di Suriah pun WSJ berperan dalam memanas-manasi situasi
dengan memberitakan kekejaman pemerintah Bashar al Assad, gerakan politik Isis,
serta timbulnya kelompok-kelompok pemberontak dengan segala gerakannya.
Akibatnya, Suriah hancur. Allepo yang dulunya seperti Jakarta, berantakan,
tidak jelas bentuknya.
Buka dikit saja rekam jejak sumber berita itu, lalu …
bray …, kita dapat menemukan pertimbangan lain terhadap mereka.
Saya tidak mengatakan bahwa berita dari WSJ selalu bohong,
ada informasi bermanfaat dari mereka. Meskipun demikan, kebohongan yang dibuat
WSJ banyak merusakkan negara lain dengan sangat hebat.
Sekarang WSJ “berkisah” soal Uighur dengan menyeret-nyeret
NU, Muhammadiyah, dan MUI. Pengaruhnya di dalam negeri digoreng hingga
mendiskreditkan Jokowi. Mungkin harapannya Negara Indonesia menjadi goncang.
Maukah kita menjadi seperti Irak, Afghanistan, dan
Suriah?
Sebagian besar masyakarat Indonesia tidak
menginginkannya. Hanya sebagian kecil, keciiil pisan, yang mungkin berharap
Indonesia babak belur. Bagi yang sangat ingin seperti Irak, Afghanistan, dan
Suriah, bahkan tidak bisa tidur karena ingin seperti itu, ganti kewarnanegaraan
saja, kemudian nikmatilah, hidup bahagia di sana.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment