Friday, 20 December 2019

Buka Dikit, … Bray


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Biasanya, kalau mendapatkan informasi, berita, ataupun kisah, sikap kita biasa-biasa saja jika informasi itu tidak bermasalah. Kita hanya menyimak dan mendapatkan informasi baru yang tersimpan dalam memori di otak kita. Lain halnya jika informasi yang kita dapatkan itu sensitif, lalu bermasalah. Misalnya, soal para nabi, para pemimpin, atau peristiwa yang menguras emosi banyak orang. Banyak timbul pertanyaan terkait kebenaran informasi yang beredar.

            Wah, masa iya? Betulkah itu? Mengapa terjadi seperti itu? Kata siapa? Masa sih?

            Orang yang kritis pasti memiliki banyak pertanyaan. Berbeda dengan orang yang iya-iya saja, biasanya langsung percaya dan mengamini. Setiap orang berbeda-beda. Itu kenyataannya.

            Terkait isu etnis Uighur, Xinjiang, Cina, jelas banyak pertanyaan. Saya sendiri bertanya, sumber berita itu dari siapa. Ternyata, berita yang beredar, baik di media-media nasional maupun internasional, termasuk di media sosial, seluruhnya berawal dari media “Wall Street Journal” (WSJ).

            Jika kita potret rekam jejak dari WSJ, memang banyak mempengaruhi opini dunia dan mengarahkan pada perubahan politik suatu negara atau beberapa negara. Misalnya, dulu WSJ getol sekali memberitakan bahwa Irak di bawah kepemimpinan Sadam Husein memiliki, bahkan memproduksi senjata pemusnah massal, senjata biologi, kimia. Akibatnya, opini dunia tergiring yang membuat negara-negara Barat menyerang Irak. Jatuhlah Sadam Husein, Irak pun hancur. Hingga kini Irak masih sangat babak belur dan termasuk negara yang tidak aman untuk ditinggali. Padahal, sampai sekarang, tidak ditemukan bukti bahwa Irak memiliki senjata biologi, kimia yang bisa memusnahkan manusia itu. Isu yang digoreng WSJ tidak ada buktinya, tetapi Irak sudah hancur.

            Demikian pula di Afghanistan, WSJ pun ikut banyak memberitakan tentang ketimpangan-ketimpangan dan konflik-konflik antarkelompok perlawanan dengan isu-isu muslim serta krisis kemanusiaan. Hingga saat ini Afghanistan dalam keadaan tertinggal, miskin, bodoh, dan tidak aman.

            Di Suriah pun WSJ berperan dalam memanas-manasi situasi dengan memberitakan kekejaman pemerintah Bashar al Assad, gerakan politik Isis, serta timbulnya kelompok-kelompok pemberontak dengan segala gerakannya. Akibatnya, Suriah hancur. Allepo yang dulunya seperti Jakarta, berantakan, tidak jelas bentuknya.

            Buka dikit saja rekam jejak sumber berita itu, lalu … bray …, kita dapat menemukan pertimbangan lain terhadap mereka.

            Saya tidak mengatakan bahwa berita dari WSJ selalu bohong, ada informasi bermanfaat dari mereka. Meskipun demikan, kebohongan yang dibuat WSJ banyak merusakkan negara lain dengan sangat hebat.

            Sekarang WSJ “berkisah” soal Uighur dengan menyeret-nyeret NU, Muhammadiyah, dan MUI. Pengaruhnya di dalam negeri digoreng hingga mendiskreditkan Jokowi. Mungkin harapannya Negara Indonesia menjadi goncang.

            Maukah kita menjadi seperti Irak, Afghanistan, dan Suriah?

            Sebagian besar masyakarat Indonesia tidak menginginkannya. Hanya sebagian kecil, keciiil pisan, yang mungkin berharap Indonesia babak belur. Bagi yang sangat ingin seperti Irak, Afghanistan, dan Suriah, bahkan tidak bisa tidur karena ingin seperti itu, ganti kewarnanegaraan saja, kemudian nikmatilah, hidup bahagia di sana.

            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment