oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Jika memperhatikan
penjelasan Gus Muwafiq mengenai sebagian kecil isi ceramahnya yang
dipermasalahkan, berawal dari pertanyaan kaum milenial yang pada masa lalu
tidak ada. Menurut pengakuannya, dia mendapat pertanyaan tentang kelahiran Nabi
saw yang diiringi sinar.
“Apakah sinarnya seperti sinar lampu?” begitu kira-kira
pertanyaan dari kaum milenial.
Gus Muwafiq menjelaskan bahwa kalau dijawab, pertanyaan
akan terus terjadi. Jawabannya akan tidak jelas juntrungannya. Oleh sebab itu,
dia mengatakan bahwa ada orang yang berlebihan menerangkan tentang Nabi
Muhammad saw dan dalam pandangannya, kelahiran Nabi saw biasa-biasa saja
seperti anak lainnya agar lebih jelas mudah dipahami.
Kalau diteruskan, memang bakal jadi banyak pertanyaan
tambahan, misalnya, “Sampai berapa lama sinar itu menyala? Kok bisa padam?
Kenapa?”
Makin dijawab, makin pusing. Hal itu disebabkan memang
ada yang berlebihan menerangkannya. Hal ini pun pernah dikritik Presiden ke-1
RI Ir. Soekarno bahwa banyak orang yang berlebihan berceritera, misalnya,
Perang Badar mengakibatkan lautan darah setinggi lutut. Soekarno pun mengkritik
bahwa banyak orang yang senang menggaib-gaibkan sesuatu, padahal dapat
dijelaskan oleh akal dengan lebih mudah. Dia mencontohkan dengan peristiwa Isra
Miraj yang sebetulnya bisa dijelaskan oleh akal. Itu ditulisnya di dalam buku Dibawah Bendera Revolusi.
Saya pun sering
mendapatkan pertanyaan serupa itu, padahal saya berbicara tidak seperti Gus
Muwafiq yang punya jutaan pendengar. Saya itu hanya berkeliling dan didengar dari
kelas ke kelas, dari diskusi ke diskusi. Bagi saya, pertanyaan serupa yang
disampaikan ke Gus Muwafiq itu biasa saja. Hal itu disebabkan sering sekali
mendengarnya.
Sebetulnya, pertanyaan-pertanyaan itu bukan hanya datang
dari kalangan milenial, melainkan pula dari kalangan kritis yang selalu ingin
tahu lebih jauh. Usianya bisa dari kalangan anak kecil, milenial, dewasa, tua,
bahkan lanjut.
Berikut contoh pertanyaan-pertanyaan kritis yang bisa
memusingkan orang itu.
“Kang, apakah sama
surga Nabi Adam as dengan surga yang akan kita tempati nanti? Kalau iya, kenapa
di surga iblis dan syetan masih bisa masuk menggoda Adam dan Hawa?”
Pertanyaan seperti
itu ada.
“Kalau surga yang
dulu berbeda dengan surga yang nanti, di mana surga yang dulu itu? Hancur?”
Itu kan pertanyaan
yang baru saya dengar.
“Kang, Nabi Adam as
itu orang mana? Menggunakan bahasa apa? Apakah benar Nabi Adam as itu manusia
pertama?”
Makin melesak
pertanyaan-pertanyaan serupa itu.
“Kalau Adam manusia
pertama dan berbahasa Arab, kenapa kita menggunakan bahasa Indonesia? Kita kan
jadi susah lagi harus belajar bahasa Arab. Sejak kapan kita meninggalkan bahasa
Arab yang dari Nabi Adam itu?”
Banyak pertanyaan-pertanyaan
seperti itu.
“Pak, katanya
jembatan shiratal mustaqim itu bagaikan rambut dibelah tujuh. Rambut saja sudah
tipis. Kalau dibelah tujuh makin tipis. Bagaimana cara kita melihatnya? Apakah
ketika kita melewati jembatan shiratal mustaqim itu seperti tukang sirkus yang
berjalan di tali?”
Pertanyaan itu
mungkin terdorong dari adanya komik yang menceriterakan manusia meniti shiratal
mustaqim menuju surga seperti berjalan di atas tali. Jika tidak berhasil, dia
akan jatuh ke neraka.
“Saya pernah dengar, Pak, selama bulan
Ramadhan neraka akan berhenti menyiksa orang-orang berdosa. Memang siapa yang
sudah berada di neraka sekarang? Kan kiamatnya belum, dihisab juga belum, diadili
belum, tapi sudah ada yang dihukum di neraka?”
Bagi saya,
pertanyaan-pertanyaan itu cukup menguras energi untuk menjawabnya. Bagi orang
lain yang sangat pintar, mungkin mudah. Akan tetapi, begitulah
pertanyaan-pertanyaan kritis yang muncul di masyarakat. Sangat banyak
sebetulnya pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Kalau saya tulis semua, bisa
sampai sore membacanya.
Kita tidak bisa dan tidak boleh balik memaki atau
memarahi mereka yang bertanya. Kita tidak perlu mencela mereka yang bertanya
sebagai pertanyaan tidak berguna, tidak bermanfaat, pertanyaan Yahudi, pertanyaan
komunis, atau pertanyaan dari syetan. Kalaupun memang syetan yang bertanya dan
berada di hadapan kita, jawab saja.
Umat butuh jawaban, bukan makian. Kalau belum bisa
menjawab, jujur saja katakan bahwa kita belum memahaminya dan perlu belajar
lagi. Beri saran untuk bertanya kepada orang yang lebih tahu dibandingkan kita.
Pertanyaan-pertanyaan serupa itu sudah seharusnya
mendorong para guru, dosen, ustadz, mubaligh, dai, dan ulama untuk terus
belajar hingga akhir hayat. Ilmu itu sangat luas. Jika kayu-kayu di hutan
menjadi pena dan air laut menjadi tinta, sungguh tidak akan cukup untuk
menuliskan ilmu Allah swt.
Orang semakin kritis, para pengajar harus siap dengan
perkembangan zaman. Kalau tidak siap, orang-orang akan meninggalkannya.
Presiden ke-1 RI Ir. Soekarno pernah berkata, “Jangan
salahkan anak muda jika mereka tidak ingin datang ke masjid. Hal itu bisa
terjadi karena mungkin ada masalah dalam diri para orang tua.”
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment