Monday, 9 December 2019

Pertanyaan Milenial, Pertanyaan Kritis


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Jika memperhatikan penjelasan Gus Muwafiq mengenai sebagian kecil isi ceramahnya yang dipermasalahkan, berawal dari pertanyaan kaum milenial yang pada masa lalu tidak ada. Menurut pengakuannya, dia mendapat pertanyaan tentang kelahiran Nabi saw yang diiringi sinar.

            “Apakah sinarnya seperti sinar lampu?” begitu kira-kira pertanyaan dari kaum milenial.

            Gus Muwafiq menjelaskan bahwa kalau dijawab, pertanyaan akan terus terjadi. Jawabannya akan tidak jelas juntrungannya. Oleh sebab itu, dia mengatakan bahwa ada orang yang berlebihan menerangkan tentang Nabi Muhammad saw dan dalam pandangannya, kelahiran Nabi saw biasa-biasa saja seperti anak lainnya agar lebih jelas mudah dipahami.

            Kalau diteruskan, memang bakal jadi banyak pertanyaan tambahan, misalnya, “Sampai berapa lama sinar itu menyala? Kok bisa padam? Kenapa?”

            Makin dijawab, makin pusing. Hal itu disebabkan memang ada yang berlebihan menerangkannya. Hal ini pun pernah dikritik Presiden ke-1 RI Ir. Soekarno bahwa banyak orang yang berlebihan berceritera, misalnya, Perang Badar mengakibatkan lautan darah setinggi lutut. Soekarno pun mengkritik bahwa banyak orang yang senang menggaib-gaibkan sesuatu, padahal dapat dijelaskan oleh akal dengan lebih mudah. Dia mencontohkan dengan peristiwa Isra Miraj yang sebetulnya bisa dijelaskan oleh akal. Itu ditulisnya di dalam buku Dibawah Bendera Revolusi.

            Saya pun sering mendapatkan pertanyaan serupa itu, padahal saya berbicara tidak seperti Gus Muwafiq yang punya jutaan pendengar. Saya itu hanya berkeliling dan didengar dari kelas ke kelas, dari diskusi ke diskusi. Bagi saya, pertanyaan serupa yang disampaikan ke Gus Muwafiq itu biasa saja. Hal itu disebabkan sering sekali mendengarnya.

            Sebetulnya, pertanyaan-pertanyaan itu bukan hanya datang dari kalangan milenial, melainkan pula dari kalangan kritis yang selalu ingin tahu lebih jauh. Usianya bisa dari kalangan anak kecil, milenial, dewasa, tua, bahkan lanjut.

            Berikut contoh pertanyaan-pertanyaan kritis yang bisa memusingkan orang itu.

            “Kang, apakah sama surga Nabi Adam as dengan surga yang akan kita tempati nanti? Kalau iya, kenapa di surga iblis dan syetan masih bisa masuk menggoda Adam dan Hawa?”

            Pertanyaan seperti itu ada.

            “Kalau surga yang dulu berbeda dengan surga yang nanti, di mana surga yang dulu itu? Hancur?”

            Itu kan pertanyaan yang baru saya dengar.

            “Kang, Nabi Adam as itu orang mana? Menggunakan bahasa apa? Apakah benar Nabi Adam as itu manusia pertama?”

            Makin melesak pertanyaan-pertanyaan serupa itu.

            “Kalau Adam manusia pertama dan berbahasa Arab, kenapa kita menggunakan bahasa Indonesia? Kita kan jadi susah lagi harus belajar bahasa Arab. Sejak kapan kita meninggalkan bahasa Arab yang dari Nabi Adam itu?”

            Banyak pertanyaan-pertanyaan seperti itu.

            “Pak, katanya jembatan shiratal mustaqim itu bagaikan rambut dibelah tujuh. Rambut saja sudah tipis. Kalau dibelah tujuh makin tipis. Bagaimana cara kita melihatnya? Apakah ketika kita melewati jembatan shiratal mustaqim itu seperti tukang sirkus yang berjalan di tali?”

            Pertanyaan itu mungkin terdorong dari adanya komik yang menceriterakan manusia meniti shiratal mustaqim menuju surga seperti berjalan di atas tali. Jika tidak berhasil, dia akan jatuh ke neraka.

             “Saya pernah dengar, Pak, selama bulan Ramadhan neraka akan berhenti menyiksa orang-orang berdosa. Memang siapa yang sudah berada di neraka sekarang? Kan kiamatnya belum, dihisab juga belum, diadili belum, tapi sudah ada yang dihukum di neraka?”

            Bagi saya, pertanyaan-pertanyaan itu cukup menguras energi untuk menjawabnya. Bagi orang lain yang sangat pintar, mungkin mudah. Akan tetapi, begitulah pertanyaan-pertanyaan kritis yang muncul di masyarakat. Sangat banyak sebetulnya pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Kalau saya tulis semua, bisa sampai sore membacanya.

            Kita tidak bisa dan tidak boleh balik memaki atau memarahi mereka yang bertanya. Kita tidak perlu mencela mereka yang bertanya sebagai pertanyaan tidak berguna, tidak bermanfaat, pertanyaan Yahudi, pertanyaan komunis, atau pertanyaan dari syetan. Kalaupun memang syetan yang bertanya dan berada di hadapan kita, jawab saja.

            Umat butuh jawaban, bukan makian. Kalau belum bisa menjawab, jujur saja katakan bahwa kita belum memahaminya dan perlu belajar lagi. Beri saran untuk bertanya kepada orang yang lebih tahu dibandingkan kita.    

            Pertanyaan-pertanyaan serupa itu sudah seharusnya mendorong para guru, dosen, ustadz, mubaligh, dai, dan ulama untuk terus belajar hingga akhir hayat. Ilmu itu sangat luas. Jika kayu-kayu di hutan menjadi pena dan air laut menjadi tinta, sungguh tidak akan cukup untuk menuliskan ilmu Allah swt.

            Orang semakin kritis, para pengajar harus siap dengan perkembangan zaman. Kalau tidak siap, orang-orang akan meninggalkannya.

            Presiden ke-1 RI Ir. Soekarno pernah berkata, “Jangan salahkan anak muda jika mereka tidak ingin datang ke masjid. Hal itu bisa terjadi karena mungkin ada masalah dalam diri para orang tua.”

            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment