oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Adalah berbahaya sekali jika
masalah ilmu dibawa-bawa menjadi kasus hukum. Ini bisa menjadi kebiasaan buruk
di tengah masyarakat. Kalau masalah perbedaan pengetahuan, ilmu, atau perbedaan
pemahaman, diselesaikannya harus dengan penelitian atau perdebatan dan diskusi.
Jika masalah ilmu pengetahuan dibawa menjadi kasus hukum, bahayanya adalah ilmu
pengetahuan menjadi mandek atau mati tidak berkembang dan akan terjadi
pemaksaan pemahaman keyakinan oleh satu kelompok sementara yang lain dianggap
salah sebelum adanya penelitian atau diskursus (saling tukar pengetahuan).
Kasus yang sekarang sedang ramai diperbincangkan adalah
soal isi ceramah Gus Muwafiq yang dianggap menghina Nabi Muhammad saw karena
mengisahkan bahwa Nabi Muhammad saw lahir biasa-biasa saja seperti anak
lainnya, diurus oleh kakeknya, dan sempat “rembes” atau “umbelan” (ingusan).
Potongan isi ceramahnya ini dilaporkan pada pihak kepolisian sebagai
penghinaan. Padahal, pendukungnya dari kalangan NU menyatakan bahwa apa yang
disampaikan Gus Muwafiq ada dasarnya, memiliki sumbernya, dan ada bukunya.
Sementara itu, mereka yang melaporkannya sebagai penghinaan mengakui bahwa
tidak menemukan sumber yang menjadi dasar isi ceramah Gus Muwafiq, sebagaimana
yang disampaikan perwakilan FPI dalam acara talk
show di tvOne. Bahkan, mereka yang
tidak menyukai Gus Muwafiq memiliki sumber kisah kelahiran Nabi Muhammad yang
penuh sinar yang cahayanya sampai ke kekuasaan Romawi di Syam. Jadi, masa kecil
Nabi Muhammad saw dianggap tidak mungkin seperti yang diceramahkan Gus Muwafiq.
Oleh sebab itu, mereka menganggapnya sebagai penghinaan.
Jika diperhatikan, masalahnya kan hanya ada di perbedaan
informasi atau pengetahuan tentang kelahiran dan masa kecil Nabi Muhammad saw.
Dalam pandangan Gus Muwafiq kelahiran dan masa kecil Nabi saw biasa-biasa saja
seperti anak lainnya berdasarkan sumber yang dimilikinya. Sementara itu, pihak
lain tidak memiliki sumber itu atau memiliki sumber kisah lain yang penuh
keajaiban. Penyelesaian masalah seperti itu kan tidak pas jika dibawa ke
pengadilan sebagai kasus penistaan agama. Penyelesaiannya harus dibuktikan
dengan matan, sanad, perawi, tarikh, dan atau Al Quran tentang kebenaran
peristiwa tersebut.
Kalau ada perbedaan yang bertolak belakang, adu saja, uji
saja kebenarannya dengan menggunakan berbagai metode sejarah yang ada secara
ilmiah. Cari sumber sekunder hingga sumber primernya.
Sumber mana yang paling benar?
Mana yang benar-benar nyata sejarah dan mana yang hanya dongeng akan lebih jelas
setelah ada penelitian.
Berani?
Harus berani atuh demi ilmu pengetahuan. Demi kebenaran
tentang Nabi Muhammad saw.
Kalaupun dipaksakan untuk masuk ke pengadilan, bisa
dipastikan bahwa Gus Muwafiq dan pendukungnya akan membawa sumber-sumber bacaan
kisah tersebut. Demikian pula pihak penggugat akan diminta alasan dan atau
sumber bacaan lain yang menjadi dasar bahwa Gus Muwafiq telah melakukan
penghinaan dalam arti masa kecil Nabi saw tidak seperti yang dikisahkan Gus
Muwafiq. Tetap saja ilmu pengetahuan yang diperdebatkan nantinya. Sayangnya,
hakim yang memutuskannya, bukan ahli agama.
Akan menjadi sesuatu yang aneh jika permasalahan
perbedaan pengetahuan diserahkan keputusannya kepada majelis hakim yang sama
sekali bukan dikategorikan sebagai ahli agama. Jika hakim memutuskan Gus
Muwafiq bersalah, isi ceramah dan sumber-sumber bacaannya pun secara tidak langsung
dianggap salah. Jika hakim memutuskan Gus Muwafiq tidak bersalah, pihak
penggugat beserta sumber ilmu pengetahuannya salah dan harus mengakui kebenaran
Gus Muwafiq.
Mau seperti itu?
Berbeda jika benar dan salah itu melalui proses
penelitian dan pengkajian ilmiah yang dipandu oleh para ahli ilmu. Benar dan
salah pun berdasarkan ilmu terkait agama, bukan berdasarkan ilmu hukum positif.
Hasilnya lebih bisa dipahami secara keilmuan bukan berdasarkan hukum.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment