Tuesday, 3 December 2019

Masalah Ilmu Jangan Jadi Kasus Hukum


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Adalah berbahaya sekali jika masalah ilmu dibawa-bawa menjadi kasus hukum. Ini bisa menjadi kebiasaan buruk di tengah masyarakat. Kalau masalah perbedaan pengetahuan, ilmu, atau perbedaan pemahaman, diselesaikannya harus dengan penelitian atau perdebatan dan diskusi. Jika masalah ilmu pengetahuan dibawa menjadi kasus hukum, bahayanya adalah ilmu pengetahuan menjadi mandek atau mati tidak berkembang dan akan terjadi pemaksaan pemahaman keyakinan oleh satu kelompok sementara yang lain dianggap salah sebelum adanya penelitian atau diskursus (saling tukar pengetahuan).

            Kasus yang sekarang sedang ramai diperbincangkan adalah soal isi ceramah Gus Muwafiq yang dianggap menghina Nabi Muhammad saw karena mengisahkan bahwa Nabi Muhammad saw lahir biasa-biasa saja seperti anak lainnya, diurus oleh kakeknya, dan sempat “rembes” atau “umbelan” (ingusan). Potongan isi ceramahnya ini dilaporkan pada pihak kepolisian sebagai penghinaan. Padahal, pendukungnya dari kalangan NU menyatakan bahwa apa yang disampaikan Gus Muwafiq ada dasarnya, memiliki sumbernya, dan ada bukunya. Sementara itu, mereka yang melaporkannya sebagai penghinaan mengakui bahwa tidak menemukan sumber yang menjadi dasar isi ceramah Gus Muwafiq, sebagaimana yang disampaikan perwakilan FPI dalam acara talk show di tvOne. Bahkan, mereka yang tidak menyukai Gus Muwafiq memiliki sumber kisah kelahiran Nabi Muhammad yang penuh sinar yang cahayanya sampai ke kekuasaan Romawi di Syam. Jadi, masa kecil Nabi Muhammad saw dianggap tidak mungkin seperti yang diceramahkan Gus Muwafiq. Oleh sebab itu, mereka menganggapnya sebagai penghinaan.

            Jika diperhatikan, masalahnya kan hanya ada di perbedaan informasi atau pengetahuan tentang kelahiran dan masa kecil Nabi Muhammad saw. Dalam pandangan Gus Muwafiq kelahiran dan masa kecil Nabi saw biasa-biasa saja seperti anak lainnya berdasarkan sumber yang dimilikinya. Sementara itu, pihak lain tidak memiliki sumber itu atau memiliki sumber kisah lain yang penuh keajaiban. Penyelesaian masalah seperti itu kan tidak pas jika dibawa ke pengadilan sebagai kasus penistaan agama. Penyelesaiannya harus dibuktikan dengan matan, sanad, perawi, tarikh, dan atau Al Quran tentang kebenaran peristiwa tersebut.

            Kalau ada perbedaan yang bertolak belakang, adu saja, uji saja kebenarannya dengan menggunakan berbagai metode sejarah yang ada secara ilmiah. Cari sumber sekunder hingga sumber primernya.

            Sumber mana yang paling benar?

            Mana yang benar-benar nyata sejarah dan  mana yang hanya dongeng akan lebih jelas setelah ada penelitian.

            Berani?

            Harus berani atuh demi ilmu pengetahuan. Demi kebenaran tentang Nabi Muhammad saw.

            Kalaupun dipaksakan untuk masuk ke pengadilan, bisa dipastikan bahwa Gus Muwafiq dan pendukungnya akan membawa sumber-sumber bacaan kisah tersebut. Demikian pula pihak penggugat akan diminta alasan dan atau sumber bacaan lain yang menjadi dasar bahwa Gus Muwafiq telah melakukan penghinaan dalam arti masa kecil Nabi saw tidak seperti yang dikisahkan Gus Muwafiq. Tetap saja ilmu pengetahuan yang diperdebatkan nantinya. Sayangnya, hakim yang memutuskannya, bukan ahli agama.

            Akan menjadi sesuatu yang aneh jika permasalahan perbedaan pengetahuan diserahkan keputusannya kepada majelis hakim yang sama sekali bukan dikategorikan sebagai ahli agama. Jika hakim memutuskan Gus Muwafiq bersalah, isi ceramah dan sumber-sumber bacaannya pun secara tidak langsung dianggap salah. Jika hakim memutuskan Gus Muwafiq tidak bersalah, pihak penggugat beserta sumber ilmu pengetahuannya salah dan harus mengakui kebenaran Gus Muwafiq.

            Mau seperti itu?

            Berbeda jika benar dan salah itu melalui proses penelitian dan pengkajian ilmiah yang dipandu oleh para ahli ilmu. Benar dan salah pun berdasarkan ilmu terkait agama, bukan berdasarkan ilmu hukum positif. Hasilnya lebih bisa dipahami secara keilmuan bukan berdasarkan hukum.

            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment