Sunday 12 November 2017

Sosial Mengalahkan Ritual

 oleh Tom Finaldin


Dalam mengabdikan diri kepada Allah swt, Islam mengajarkan dua cara, yaitu melalui aktivitas ritual dan aktivitas sosial. Kedua aktivitas itu harus seimbang dan tidak boleh berat sebelah. Kedua-duanya sama pentingnya. Apabila kita mementingkan salah satu,  rusaklah amal baik kita. Tak ada artinya.

            Mereka yang terlalu mementingkan aktivitas ritual, akan terjebak dalam merasa benar sendiri, terjauhkan dari masyarakat, terjauhkan dari ilmu pengetahuan, mudah tertipu, tertinggal dalam perkembangan hidup manusia, bahkan memiliki kecenderungan untuk terlalu mudah menyalahkan orang lain sehingga menimbulkan kekacauan dan kebingungan di tengah-tengah masyarakat. Demikian pula mereka yang terlalu mementingkan aktivitas sosial dengan dalih “yang penting berbuat baik”, akan terlepas dari bimbingan Allah swt dan menganggap bahwa pikirannya selalu benar dan baik, padahal benar dan baik menurut seseorang, belumlah tentu baik bagi orang lain. Orang-orang seperti ini memiliki kecenderungan tersesat dalam hidup dan kerap saling bantah serta mudah bertengkar dengan orang lain karena setiap orang memiliki pandangan hidup yang berbeda. Hal yang juga teramat berbahaya adalah dia akan menganggap dirinya sebagai sumber kebaikan yang menjatuhkannya menjadi orang yang memiliki sifat riya, sombong, angkuh, dan gemar pamer. Hal itu akan membuat segala kebaikannya sia-sia karena sesungguhnya segala kebaikan yang kita lakukan hanyalah untuk mengabdikan diri kepada Allah swt, bukan untuk mendapatkan hal-hal lain. Orang-orang ini mudah stress, kecewa, dan penuh amarah yang terpendam. Buruk akibatnya bagi dirinya. Allah swt pun terasa jauh dari dirinya.

            Ada dialog menarik antara Nabi Muhammad dengan para sahabatnya yang dapat dijadikan contoh bagaimana hancurnya ibadat ritual karena buruknya sikap sosial. Peristiwa ini diriwayatkan oleh Bukhari, Ahmad, Al-Hakim, dan Ibnu Hibban. Hadits ini berasal dari Abu Hurairah.

            Ada seseorang bertanya kepada Nabi Muhammad, “Wahai Rasulullah, Si Fulanah sering melaksanakan shalat malam dan berpuasa sunnah. Dia juga berbuat baik dan bersedekah, tetapi lidahnya sering mengganggu tetangganya.”

            Rasulullah menjawab, “Tidak ada kebaikan di dalam dirinya. Dia adalah penduduk neraka.”

            Dari dialog itu, kita bisa melihat bagaimana sia-sianya ibadat ritual seseorang karena lidahnya kotor terhadap tetangganya. Bagaimanapun hebatnya ritual seseorang, tetapi lidah dan mulutnya menyakitkan orang lain, nilainya pun menjadi hancur. Ibadat ritualnya tidak mengantarkannya menuju surga karena buruknya lidahnya terhadap orang lain. Ini artinya, nilai-nilai sosial sangatlah penting karena memang itu yang diharapkan Allah swt, yaitu menebarkan kebaikan dan kasih sayang di antara sesama manusia sehingga kehidupan ini menjadi damai, harmonis, dan seimbang.

            Manfaat dari dialog itu tidak hanya berlaku bagi kehidupan bertetangga, melainkan pula bagi kehidupan bernegara dan dalam percaturan politik dunia. Para penyelenggara negara dan aparat yang lidahnya kotor, tidak konsisten, gemar berbohong, sering menjebak rakyat, kerap melakukan penipuan, melepaskan diri dari janji sebelumnya, mengeluarkan kebijakan yang membingungkan, arogan, dan lain sebagainya adalah para penduduk neraka apabila tidak segera melakukan perbaikan pada dirinya sendiri. Sehebat apa pun mereka melakukan ritual, jika lidahnya dan kebijakannya sering menyakiti rakyat, celakalah mereka. Ada kesakitan dan penderitaan yang sedang menghampiri mereka. Demikian pula para penguasa dunia yang gemar berdusta dan membuat ketidakseimbangan dalam hubungan internasional, sesungguhnya sedang berada dalam kecelakaan yang besar, kegelisahan yang menyiksa, dan kengerian-kengerian itu akan berlanjut bertambah-tambah jumlahnya jika tidak segera memperbaiki dirinya. Neraka akan menjadi tempat mereka jika tidak mengubah dirinya menjadi baik.

            Mari kita perhatikan lagi kelanjutan dialog Nabi Muhammad dengan para sahabatnya.

            Para sahabat berkata, “Ada wanita lain. Dia (hanya) melakukan shalat fardhu dan bersedekah dengan gandum, namun ia (baik) tidak mengganggu tetangganya.”

            Nabi Muhammad bersabda, “Dia adalah penduduk surga.”

            Kita bisa melihat bahwa seseorang yang tidak terlalu banyak melakukan ibadat ritual, tetapi mampu menjaga dirinya untuk tidak menyakiti orang lain, mendapatkan hadiah surga. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga perdamaian dan keharmonisan hidup. Berbeda dengan dialog awal tadi, sebanyak apa pun ritual yang dilakukan, tetap berakhir di neraka jika mengganggu orang lain. Di sinilah kita melihat bahwa aktivitas sosial telah mengalahkan aktivitas ritual meskipun aktivitas sosial itu hanya sebatas tidak mengganggu perasaan orang lain. Surga yang didapatkan akan lebih meningkat lagi jika bukan hanya sebatas “tidak mengganggu orang lain”, melainkan ditambah dengan aktivitas sosial “memberikan manfaat bagi orang lain”. Hal itu disebabkan kata Nabi Muhammad bahwa orang yang paling mulia itu adalah orang yang paling banyak memberikan manfaat bagi orang lain.


Aktivitas Ritual Dasar Aktivitas Sosial
Adalah sangat baik jika kita menggunakan aktivitas ritual sebagai dasar aktivitas sosial. Artinya, ibadat ritual itu jangan hanya sebatas simbol, tetapi harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun tampaknya sebatas simbol, ibadat ritual itu tetap harus dilakukan dengan cara-cara yang benar, sesuai aturan, dan mengikuti kaidah-kaidah yang telah ditetapkan karena merupakan tiang-tiang kokoh yang membuat hidup kita tetap kokoh.

            Misalnya, shalat. Di dalam shalat ada ucapan dan gerakan-gerakan pengagunggan kepada Allah swt, pengakuan kelemahan diri, keyakinan ketergantungan diri kepada Allah swt, doa dan harapan agar Allah swt melindungi kita dan mencukupkan segala kebutuhan kita, keinginan untuk selalu berada dalam bimbingan Allah swt, serta doa kebaikan untuk seluruh kaum muslimin dan untuk kebaikan seluruh umat manusia. Hal itu harus terwujud dalam hidup keseharian kita sehingga kita benar-benar terhubung dengan Allah swt dan mampu mewujudkan kedamaian, keharmonisan, dan keseimbangan hidup di dunia. Itulah Islam yang rahmatan lil alamin.

            Adalah kurang berguna jika dalam shalat kita melakukan banyak ucapan dan gerakan pengagunggan kepada Allah swt dan doa-doa untuk diri, kaum muslimin, dan seluruh umat manusia, tetapi dalam keseharian kita banyak melakukan penyesatan kepada orang lain, gangguan kepada masyarakat, kebohongan terhadap publik, kekejian terhadap manusia, dan upaya penipuan untuk kepentingan diri sendiri dan kelompoknya.

            Semoga Allah swt mengampuni kita dan selalu memberikan petunjuk kepada kita semua. Amin.


            Sampurasun.

Friday 3 November 2017

Razia Polisi Bisa Menghambat Proses Pendidikan

oleh Tom Finaldin


Kita harus memberikan apresiasi kepada aparat apa pun yang bekerja dengan baik dengan niat baik untuk membuat negara dan masyarakat menjadi baik. Akan tetapi, kita pun harus ingat dengan pepatah tak ada gading yang tak retak, ‘segala hal tidak ada yang sempurna’, kecuali Allah swt tentunya. Keretakan itulah yang harus memunculkan kritik yang mengarah pada perbaikan.

            Saat ini pun saya ingin memberikan kritik kepada aktivitas polisi yang sedang rajin-rajinnya menggelar operasi zebra. Tulisan ini dibuat karena dipicu oleh keheranan saya karena polisi melakukan tilang kepada anak saya. Jujur saja, ketika saya melakukan peliputan sebuah acara pelatihan kepemimpinan selama tiga hari berturut-turut, saya dikagetkan pesan WA dari istri saya yang mengabarkan sepeda motor anak saya ditahan oleh polisi karena tidak bawa STNK.

            Kok bisa anak saya dihentikan oleh polisi ketika berangkat sekolah?

            Aneh bin ajaib.

            Saya merasa aneh karena kepolisian setempat pernah memberikan kelonggaran luar biasa kepada para siswa di sekolah anak saya dengan memperbolehkan menggunakan kendaraan bermotor tanpa memiliki SIM. Akan tetapi, tiba-tiba motor anak saya dan anak yang lainnya dihentikan saat pagi sekali, antara sekitar pukul 06.00-6.30.

            Mereka kan sedang berangkat sekolah, mengapa harus dihentikan?

            Apanya yang salah?

            Tidak mungkin dihentikan karena tidak bawa STNK.

            Bagaimana mungkin polisi tahu bahwa anak saya lupa bawa STNK sebelum dia menghentikan motor anak saya?

            Polisi baru tahu anak saya tidak bawa STNK karena dia menghentikan terlebih dahulu motor anak saya. Setelah itu baru diketahui anak saya lupa bawa STNK.

            Begitu kan logikanya?

            Aksi polisi menghentikan motor anak saya dengan anak saya lupa bawa STNK adalah dua hal yang berbeda. Hal yang saya tidak mengerti adalah penyebab polisi menghentikan motor anak saya.

            Apakah polisi berhak menghentikan kendaraan yang sedang melaju tanpa alasan apa pun alias sekehendaknya sendiri?

            Kelengkapan fisik sepeda motor anak saya komplit, tak ada kekurangan apa pun, dia menggunakan helm, sendirian, mengapa harus dihentikan?

            Apakah polisi curiga anak saya tidak membawa SIM karena dia masih menggunakan seragam SMA?

            Kalau alasannya itu, sungguh lucu karena pasti anak saya tidak bawa SIM. Dia memang belum punya SIM karena belum waktunya. Seharusnya, polisi sudah sangat tahu itu. Tak perlu curiga karena sudah pasti adanya. Bukan anak saya saja yang belum punya, ratusan pelajar SMA dan SMP pun belum memiliki SIM dan hal itu biasa wajar terjadi. Jangan curiga lagi.

            Perlu diketahui bahwa saya tinggal di Kabupaten Bandung yang banyak sekali tidak memiliki jalan akses untuk kendaraan umum dalam jarak tempuh yang sangat panjang, berkilo-kilo meter. Ada beberapa sekolah yang jauh dari jalan raya dan tidak memiliki akses kendaraan umum. Hal itulah yang membuat kepolisian setempat memberikan kelonggaran bagi para siswa untuk menggunakan sepeda motor tanpa harus memiliki SIM karena memang belum waktunya. Bahkan, polisi sempat memberikan sosialisasi tentang hal itu secara langsung ke sekolah anak saya, SMAN 1 Katapang, Kabupaten Bandung. Siswa boleh menggunakan kendaraan dengan catatan tetap menggunakan helm dan alat kelengkapan sepeda motornya komplit, seperti, lampu, spion, dan lain sebagainya.

            Kebijakan polisi yang sungguh sangat baik itu disambut baik oleh masyarakat, termasuk saya. Polisi tahu bahwa apabila memaksakan aturan yang sempurna akan mengakibatkan terganggunya perkembangan masyarakat. Hal itu disebabkan kondisi geografis dan demografis yang berbeda dengan wilayah-wilayah lainnya. Masyarakatnya masih berada dalam keadaan ekonomi yang kurang menguntungkan. Tidak semua akses ke lembaga pendidikan terjangkau kendaraan umum. Kalau dipaksakan harus sempurna benar, bisa mengganggu masyarakat, terutama tentang waktu dan kemampuan ekonomi. Artinya, orangtua siswa harus bolak-balik antar-jemput dan atau menggunakan jasa ojek. Hal itu menimbulkan pengeluaran biaya yang sangat besar, sangat mahal untuk ukuran masyarakat di sana di samping membutuhkan waktu yang bisa mengganggu orangtua siswa dalam mencari nafkah. Polisi tahu itu.

            Berbeda dengan wilayah lainnya yang terjangkau oleh banyak kendaraan umum. Di wilayah ini tidak perlu ada kebijakan dari polisi untuk siapa saja. Peraturan bisa dipaksakan secara sempurna. Anak pertama saya pun ketika masih sekolah di SMAN 1 Banjaran, Kabupaten Bandung, tidak saya perbolehkan untuk menggunakan motor karena usianya belum cukup dan banyak kendaraan umum yang bisa digunakan untuk sampai ke sekolah. Sekarang meskipun sudah menjadi mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung, anak saya tidak mau menggunakan sepeda motor karena terbiasa dengan angkutan umum. Dia lebih suka menggunakan bus karena merasa lebih nyaman. Itu bagus sekali. Lain halnya dengan anak saya yang kedua yang dihentikan polisi. Dia sekolah di wilayah yang tidak ada akses kendaraan umum dalam jarak yang sangat jauh. Oleh sebab itu, dia dan juga siswa lainnya harus menggunakan sepeda motor dan hal itu dimaklumi oleh polisi. Tak heran di daerah itu teramat banyak siswa SMA dan SMP yang lalu lalang saat pagi untuk berangkat sekolah dan saat pulang sekolah. Di samping itu, memang jalan raya hanya dianggap sebagai lintasan sementara dalam jarak pendek dan waktu tempuh yang sangat sebentar. Kebanyakan mereka menggunakan jalan-jalan pemukiman, perkampungan karena memang wilayahnya seperti itu. Hal ini sudah berlangsung sangat lama dan seharusnya terus berlangsung lebih lama lagi sepanjang belum ada akses untuk kendaraan umum dan ekonomi masyarakat belum membaik.

            Anehnya, secara tiba-tiba polisi menghentikan kendaraan anak saya dan juga siswa lainnya pagi-pagi sekali, saat berangkat sekolah. Kemudian, melakukan proses penindakan pidana. Padahal, menurut anak saya, polisi-polisi itu sering melihat para siswa dan anak saya pun hapal wajah mereka saking seringnya melihat setiap pagi.

            Lalu, ke mana kebijakan polisi yang sangat agung itu dalam memahami keadaan geografis dan keadaan masyarakat?

            Mengapa tiba-tiba dihentikan?

            Saya bisa mengerti jika polisi melakukan penindakan setelah pukul 07.00 Wib karena memang seharusnya para siswa itu sudah berada di dalam sekolah, tak perlu lagi menggunakan sepeda motor, tak boleh lagi berada di jalan raya. Saya mendukung penuh dan masyarakat pun akan memahami dengan sangat baik. Akan tetapi, jika dihentikan ketika pagi-pagi sekali dalam waktu yang wajar untuk berangkat sekolah, sungguh sangat aneh dan mengesankan seolah-olah polisi tidak konsisten.

            Perlu dipahami pula bahwa di dalam surat tilang berwarna biru, penyidik tidak menuliskan jam kejadian dan keterangan jalan. Entah kenapa. Mungkin dia malu karena terlalu pagi, mungkin lupa, atau mungkin tidak menganggap penting hal itu. Saya tidak tahu.

            Kalau tidak penting, kenapa ada hal itu yang seharusnya diisi? Buang saja!

            Soal waktu kejadian, dia hanya menuliskan Kamis tanggal 2 bulan 11 2017.

            Bagi saya, hal itu teramat penting karena bisa menjadi pengetahuan saya di mana anak saya saat itu dan pukul berapa saat itu terjadi. Itu bisa menjadi dasar bagi saya untuk melakukan pembinaan kepada anak saya sendiri karena hari itu seharusnya dia sekolah. Yang jelas istri saya mengantarkannya ke sekolah pagi-pagi dan meminta maaf kepada gurunya karena ditilang pagi-pagi. Gurunya memahami dan menjelaskan ternyata bukan anak saya saja yang kena tilang pagi itu.

            Kalau mau melakukan penindakan secara sempurna di wilayah itu, sebaiknya polisi melakukan kembali sosialisasi ke sekolah. Nyatakan dengan tegas bahwa polisi tidak akan lagi memberi kelonggaran dan permakluman kepada para siswa meskipun jalan akses ke sekolah masih belum tersentuh angkutan umum dan kondisi ekonomi masyarakat masih lemah. Dengan demikian, siswa dan masyarakat akan lebih mengerti dan mempersiapkan diri. Setelah itu, mari kita saksikan saja bahwa akan bisa terjadi kegoncangan di masyarakat karena kemungkinan akan ada banyak siswa SMA atau SMP yang tidak bersekolah karena biaya transportasi yang mahal dan atau orangtuanya tidak bisa antar-jemput karena harus mencari nafkah yang waktunya berbarengan dengan pulang-pergi siswa dari dan ke sekolah. Inilah yang saya sebut bahwa razia yang dilakukan polisi bisa menghambat proses pendidikan.

            Seperti saya bilang bahwa aksi polisi menghentikan laju motor anak saya dengan anak saya lupa membawa STNK adalah dua hal yang berbeda. Anak saya jelas salah karena lupa membawa STNK. Sebenarnya, bukan lupa, melainkan tertinggal di celana yang satunya lagi. Apa pun alasannya anak saya jelas salah. Saya pun memarahinya habis-habisan karena saya selalu ingin hidup sesuai aturan. Saya juga ikuti aturan dan sadar membayar denda.

            Akan tetapi, yang saya tidak mengerti mengapa polisi memberhentikan para siswa pagi-pagi sekali antara pukul 06.00 sd. 06.30 Wib, padahal punya kebijakan yang agung bagi masyarakat karena kondisi yang tertentu itu?

            Lupa?

            Atau memang sengaja saja ingin menindak orang dan tidak peduli dengan kata-katanya sendiri yang bijak itu?

            Atau memang tidak ada koordinasi yang baik di antara polisi sendiri?

            Saya sangat menghargai jika saat itu polisi menyuruh anak saya pulang lagi untuk membawa STNK karena kejadian penindakan itu terjadi hanya beberapa meter dari jalan keluar pemukiman penduduk. Saya pun sangat menghargai ketika melihat polisi menyuruh pulang sepasang suami istri di tempat yang sama karena tidak menggunakan helm dan boleh kembali ke jalan raya jika sudah memakai helm. Polisi tidak menilangnya. Memang masyarakatnya saat itu masih seperti itu. Sekarang masyarakat sudah sadar penggunaan helm meskipun baru sebatas pengendaranya, sedangkan yang duduk di belakangnya masih dibiarkan tanpa helm karena jalan raya hanya dilalui dalam jarak yang pendek dan waktu sebentar. Kebanyakan perjalanan mereka berada di jalan pemukiman penduduk.

            Perlu diketahui bahwa anak saya harus menempuh 3 km dari rumah menuju jalan raya. Jalan raya hanya digunakan sekitar 300 m s.d 400 m. Setelah itu, masuk lagi ke jalan perkampungan dengan jarak tempuh berkilo-kilo meter untuk menuju sekolahnya. Anak-anak lain juga ada yang seperti itu.

            Itu pelanggaran?

            Benar sekali, itu adalah pelanggaran karena tidak memiliki kelengkapan surat ketika berada di jalan raya.

            Akan tetapi, bukankah ada kebijakan agung itu dari kepolisian?

            Mengapa kebijakan itu dihentikan tanpa proses sosialisasi dulu kepada para siswa di sekolah?

            Bukankah dulu pernah melonggarkan penerapan peraturan agar proses pendidikan bisa lancar?

            Hentikan saja kelonggaran itu, terapkan aturan secara sempurna, lalu kita saksikan kemungkinan terjadinya kegoncangan karena hambatan dalam proses pendidikan di wilayah itu.

            Sekarang saja setelah kejadian itu, istri saya selalu khawatir dan ingin antar-jemput anak saya ke sekolah. Itu artinya ada pendidikan yang terganggu dan biaya yang dikeluarkan menjadi lebih besar. Hal itu disebabkan istri saya guru dan mungkin akan datang lebih lambat dari biasanya untuk mengajar anak-anak didiknya. Ada hak anak didiknya yang terampas karena keterlambatan itu. Selain itu, ada biaya tambahan untuk transportasi karena harus bolak-balik empat kali yang jelas perlu bahan bakar lebih.

            Itu saya dan istri saya yang punya tiga sepeda motor.

            Bagaimana dengan warga lainnya yang hanya punya satu motor dengan penghasilan yang pas-pasan?

            Siapa yang mau bertanggung jawab atas kehidupan mereka?


            Sampurasun.

Saturday 16 September 2017

Myanmar Mungkin Berdusta

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya
Beberapa waktu lalu saya menulis bahwa kita semua harus bersabar untuk tidak saling tuduh tentang berbagai kejahatan yang terjadi di Rakhine-Rohingya, Myanmar. Semua harus menunggu hasil dari kerja Tim Pencari Fakta untuk memahami sesungguhnya segala kekusutan yang terjadi. Kita sangat berharap TPF dapat berlaku jujur, adil, dan membuka segalanya dengan terang benderang tanpa berpihak, baik pada Myanmar maupun pada Rohingya. Hal itu disebabkan hanya dengan gambaran yang utuh dan jujurlah semua dapat melakukan analisis secara tepat bagi penyelesaian kekacauan dan kejahatan manusia atas manusia lainnya itu.

            Sayangnya, TPF tidak juga dapat bekerja dengan baik. Saya menduga dengan sangat keras bahwa TPF tidak dapat melakukan investigasi yang baik karena ada ‘keengganan” dari pihak Myanmar sendiri. Myanmar tampak berupaya menghalangi investigasi serta dalam kesempatan yang sama membangun opini dunia dengan penjelasan-penjelasannya sendiri. Sungguh teramat salah Myanmar membela diri dengan opininya sendiri tanpa melibatkan hasil investigasi dari TPF. Apa pun yang dijelaskan Myanmar akan dituding sebagai “kebohongan” karena berisi tentang pembelaan diri tanpa melibatkan pihak independen untuk melakukan cross check atas penjelasan-penjelasannya itu. Myanmar menyalahkan dunia karena berpendapat berdasarkan hoax, tetapi mereka tidak memberikan akses dan kesegeraan kepada TPF untuk melakukan investigasi yang menyeluruh. Sikap seperti itu hanya merugikan Myanmar sendiri karena terkesan tidak ingin diketahui oleh dunia tentang apa sesungguhnya yang terjadi di Rakhine-Rohingya, Myanmar. Myanmar berusaha melawan opini dunia dengan penjelasan-penjelasannya sendiri yang sangat sulit dipercaya. Dalam bahasa Indonesia, perilaku Myanmar itu sama dengan maling teriak maling, maksudnya penjahat menuduh orang lain melakukan kejahatan, padahal dia sendiri yang melakukan kejahatan. Sementara itu, dalam bahasa Indonesia ada lagi pemeo mana ada maling yang mengaku, maksudnya penjahat tidak mungkin mengakui dengan sukarela tentang kejahatan yang dilakukannya. Itulah yang saya llihat dari Myanmar. Mereka telah banyak melakukan kejahatan, terutama militernya, tetapi tidak mau mengakui kejahatan yang mereka lakukan dan menuduh pihak lain yang melakukan kejahatan itu.

            Sikap Myanmar itu sangat berbahaya karena sama sekali tidak menyelesaikan masalah dan hanya memperpanjang masalah. Bahkan, akan sangat merugikan Myanmar sendiri. Lebih jauh lagi, Sikap Myanmar seperti itu bisa mengguncangkan keamanan di kawasan Asean. Hal itu disebabkan perilaku militer Myanmar bisa mengundang kelompok-kelompok perlawanan dari luar Myanmar masuk ke Myanmar. Sebagaimana kita tahu bahwa Menlu RI Retno Marsudi pernah mengatakan bahwa tantangan keamanan ke depan adalah terorisme. Jika gerakan perlawanan dari belahan dunia lain masuk ke Myanmar, termasuk para teroris, Rakhine akan menjadi wilayah yang semakin semrawut dan mempengaruhi keamanan di kawasan Asean. Hal yang harus diperhatikan adalah jika para teroris masuk, mereka akan menjadi pahlawan untuk menghentikan kekerasan militer Myanmar terhadap Rohingya. Situasi akan menjadi lain.

            Myanmar memang harus ditekan dan dipaksa untuk menghentikan berbagai kedustaan yang dibangunnya sendiri. Myanmar harus dibuli karena berupaya membangun opini dunia dengan penjelasan-penjelasan yang sangat lemah.

            Salah satu pernyataan resmi yang dikeluarkan pejabat tinggi Myanmar akhir-akhir ini menunjukkan, paling tidak, saya menduganya adalah suatu “kebohongan”. Sang pejabat tinggi Myanmar itu mengatakan bahwa para penduduk Rohingya mengungsi ke Bangladesh dan negara lain adalah bukan disebabkan oleh kekerasan militer Myanmar, melainkan didorong oleh para pemberontak Arakan yang menyuruh rakyat mengungsi dengan janji akan ada kehidupan lebih baik di negara lain.

            Bagi saya, penjelasan itu teramat aneh karena sangat kecil kemungkinan terjadinya. Jika kita mengingat-ingat perilaku setiap gerakan separatis atau kelompok perlawanan, belum pernah ada kelompok perlawanan di dunia ini yang menyuruh rakyat mengungsi dan mengosongkan wilayahnya. Hal yang sangat masuk akal adalah justru kelompok-kelompok itu mengajak rakyat di wilayahnya untuk bergabung menjadi anggota perlawanan untuk menguatkan pasukan dan menggunakan rakyat sebagai aset bagi upaya perlawanan yang sedang dilakukannya. Isis saja ketika rakyat Suriah mengungsi, menyerukan bahwa rakyat Suriah tidak perlu mengungsi. Mereka tahu benar bahwa dengan rakyat bersamanya, kekuatannya akan semakin lengkap. Dengan demikian, penjelasan petinggi Myanmar itu sangatlah aneh, bahkan tampak bodoh.

            Di samping itu, kenyataan yang terjadi justru adalah kaum Rohingya merupakan kaum yang tidak diinginkan di Myanmar, militer Myanmar melakukan kekerasan terhadap rakyat Rohingya, dan menanam ranjau agar rakyat tidak kembali ke wilayahnya semula. Jadi, sesungguhnya yang terjadi adalah Myanmar sendiri yang mendorong pengungsian besar-besaran dan berharap agar kaum Rohingya berada di wilayah negara lain. Setidak-tidaknya, itulah penjelasan yang dapat diterima akal saya berdasarkan berbagai berita yang beredar akhir-akhir ini. Jadi, bukan pasukan Arakan yang mendorong kaum Rohingya mengungsi, melainkan kekerasan yang diterima akibat perlakuan mililter Myanmar-lah yang menjadi penyebab rakyat pergi.

            Indonesia sudah sangat tepat melakukan pertolongan pertama bagi penanganan kejahatan manusia atas manusia lainnya di Rakhine-Rohingya, tetapi Indonesia dan dunia tidak boleh lupa bahwa Myanmar sedang melakukan agenda sendiri untuk menyelesaikan masalah itu. Indonesia dan dunia tidak boleh lupa bahwa Myanmar sama sekali tidak memiliki kemampuan yang baik dalam menyelesaikan masalah di Rakhine-Rohingya. Hal itu bisa dilihat dari berlarut-larutnya masalah itu dengan penuh kekerasan dan kebencian yang tak juga kunjung berkurang terhadap kaum Rohingya selama puluhan tahun. Kalau dibiarkan, urusan itu akan terus berlanjut ratusan tahun ke depan. Oleh sebab itu, Indonesia dan dunia tidak boleh menunggu saja agenda-agenda yang dijalankan pihak Myanmar, melainkan harus memberikan tekanan yang keras agar Myanmar lebih terbuka serta menerima berbagai masukan, kritikan, dan mengubah pandangannya terhadap kehidupan di Rakhine-Rohingya. Hal yang paling penting dilakukan Myanmar adalah jangan berdusta dan biarkan orang lain melakukan investigasi agar mendapatkan solusi yang menguntungkan bagi Myanmar, Rohingya, Asean, dan dunia.


            Sampurasun

Sunday 10 September 2017

TPF Rakhine-Rohingya Harus Jujur

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Berita-berita tentang kejahatan kemanusiaan di Rakhine, Myanmar terhadap Rohingya beredar kalang kabut bercampur hoax. Kita harus ingat setiap kejadian yang di dalamnya kaum muslimin terllibat adalah berita paling seksi bagi media massa asing dan dapat menarik keuntungan materi yang sangat besar. Oleh sebab itu, sering sekali berita tentang kaum muslimin ditambah-tambahi, dikurangi, atau direkayasa demi kepentingan ekonomi dan politik. Oleh sebab itu, kerja dari Tim Pencari Fakta (TPF) yang dibentuk PBB dan diketuai oleh Marzuki Darusman harus jujur, utuh, lengkap, dan menyeluruh. TPF harus mengumpulkan fakta dan tidak boleh berpihak pada salah satu pihak, baik berpihak pada penguasa Myanmar maupun pada kaum muslim Rohingya. TPF harus netral dan tidak boleh terpengaruh oleh emosinya sendiri.

            Agar TPF dapat bekerja optimal dan maksimal, Indonesia dan dunia harus mendorong tim ini bekerja dengan sangat baik dan mendorong pemerintah Myanmar agar memberikan akses yang penuh untuk diselidiki. Dengan gambaran fakta yang jujur dan utuh, akan dapat dilakukan analisis yang tepat untuk menyelesaikan konflik yang terjadi sehingga semua pihak dapat diuntungkan, baik dunia, kaum Rohingya, maupun pemerintah dan seluruh warga Myanmar.

            Sekarang ini terjadi saling tuduh antara pemerintah Myanmar dan dunia internasional yang semuanya belum tentu benar. Myanmar belum tentu benar dengan pengakuannya, dunia termasuk Indonesia juga belum tentu benar dengan tuduhannya. Di sinilah celah timbulnya hoax-hoax yang akan memperkeruh suasana, apalagi dengan adanya kelompok-kelompok Islam yang berniat pergi ke Myanmar untuk membela dan berperang bagi Rohingya. Situasi bisa menjadi tambah rumit.

            Semua harus membuka diri bagi kerja-kerja TPF agar seluruh dunia melihat fakta yang terjadi dengan lebih utuh. Dengan demikian, penyelesaian terhadap krisis kemanusiaan tersebut bisa diatasi dengan cara yang saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, bukan lebih cepat, lebih baik, bukan pula lanjutkan. Begitu yang ditulis dalam teks Proklamasi RI.

            Berita atau ceritera yang beredar saat ini belum tentu benar karena tampak sekali setiap orang sudah berpihak, baik kepada Myanmar maupun kepada kaum Rohingya sehingga yang membela Myanmar menyalahkan Rohingya dan yang membela Rohingya menyalahkan Myanmar.

            Hal pertama yang harus dilakukan adalah jelas menghentikan kekerasan terhadap siapa pun dan oleh siapa pun. Akan tetapi, penghentian kekerasan saja sama sekali tidak cukup. Diperlukan upaya lanjutan agar situasi lebih kondusif secara permanen, yaitu Myanmar dapat mengelola negaranya dengan lebih baik dan damai serta kaum muslim Rohingya dapat berperan serta secara positif dalam pembangunan di Myanmar sebagai warga negara yang sah. Di samping itu, setiap kejahatan oleh siapa pun terhadap siapa pun harus dimusuhi bersama, baik oleh kaum muslim Rohingya maupun oleh pemerintah Myanmar. Untuk itulah, diperlukan Tim Pencari Fakta yang jujur dan memiliki akses yang luas agar mendapatkan fakta-fakta yang dapat dijadikan dasar untuk menganalisis situasi sehingga krisis kemanusiaan dan “kesusahan” di Myanmar bisa diatasi.


            Sampurasun

Salut untuk Kaum Budha Indonesia

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Kaum Budha Indonesia memberikan contoh yang sangat baik bagi para penganut Budha di seluruh dunia sekaligus contoh hebat bagi penganut agama-agama lain. Kaum Budha Indonesia memberikan kecaman yang sangat keras terhadap militer dan pemerintah Myanmar yang melakukan kekerasan keji terhadap kaum muslim Rohingya. Mereka sadar bahwa kejahatan terhadap manusia adalah bukan ajaran Budha. Mereka insyaf bahwa kaum Budha radikal dapat merusakkan nama baik kesucian ajaran Budha. Mereka paham benar bahwa kaum Budha di Indonesia adalah minoritas sehingga merasa perlu untuk terus hidup rukun dengan mayoritas kaum muslimin jika ingin bertahan hidup dalam damai di Indonesia. Mereka memaki perbuatan keji. Mereka pun mengumpulkan donasi untuk kaum muslimin di Myanmar.

            Perilaku kaum Budha Indonesia itu patut mendapatkan acungan jempol, penghargaan yang sangat tinggi. Mereka tak segan dan tak malu untuk memaki siapa pun yang menggunakan ajaran Budha untuk kekerasan.

            Memang begitulah seharusnya, setiap agama mengendalikan penganut agamanya sendiri untuk tidak melakukan kekerasan atas nama agamanya. Kaum muslimin sudah sejak lama melakukan hal itu. Setiap ada kelompok muslim yang lemah pengetahuan agama Islam, lalu menggunakan Islam sebagai alasan untuk melakukan kejahatan, kaum muslimin yang waras otak dan berpengetahuan agama luas akan melakukan kritik, makian, penentangan, bahkan bersiap untuk memerangi kaum muslimin yang dengan ceroboh menggunakan agama sebagai alat kekerasan. Dari zaman ke zaman perilaku itu sudah ada di lingkungan kaum muslimin. Hal itu memang sudah diajarkan oleh Nabi Muhammad saw sendiri bahwa suatu saat akan ada masa datangnya orang-orang berpikiran pendek untuk melakukan kekerasan dan orang yang paling mulia adalah orang yang memerangi orang-orang berpikiran pendek itu.

            Agama-agama lain pun seharusnya melakukan hal yang sama. Tidak perlu membela  orang-orang yang melakukan kerusakan, kejahatan, kekejian, dan kekerasan meskipun orang itu satu agama dengan kita. Katolik waras harus memerangi Katolik jahat, Protestan baik harus memerangi Protestan buruk, Hindu baik harus memerangi Hindu buruk, Yahudi waras harus memerangi Yahudi brengsek, Konghucu cerdas harus memerangi Konghucu bloon. Begitu seterusnya dengan agama-agama lain. Dengan demikian, tidak perlu terjadi saling hujat di antara penganut agama yang berbeda karena setiap penganut agama akan mengendalikan penganut agama sendiri. Orang Kristen tidak perlu menghujat orang Islam yang melakukan teror. Demikian pula orang Islam tidak perlu memaki dan menelanjangi orang Kristen yang melakukan kejahatan kemanusiaan atas dasar agama. Orang Islam wajib mengendalikan kaum muslimin sendiri. Kaum Kristen wajib mengontrol kaum Kristen sendiri. Dengan demikian, perdamaian di antara manusia bisa terus menguat dan semakin tercipta dengan nyata karena salah satu faktor pemicu kekusutan sudah bisa diatasi, yaitu perbedaan agama.

            Saat ini terjadi saling bela yang buruk berdasarkan agama. Hal itu disebabkan kejahatan pemeluk agama tertentu dibela oleh penganutnya walaupun jelas-jelas salah. Akibatnya, kejahatan itu ditimpakan dan dituduhkan pada kejahatan ajaran agamanya. Hal itu mengakibatkan persengketaan yang keras dan menyita banyak energi.

            Kaum muslimin sudah sangat lama mengontrol dan berupaya keras mengendalikan umatnya yang salah jalan, bahkan memeranginya, hingga membunuhnya. Kini kaum Budha dengan sangat nyata mengecam keras umatnya sendiri yang melakukan kekerasan terhadap kaum muslim Rohingya di Myanmar. Itulah kaum Budha yang cerdas dan patut dihormati oleh semuanya. Saya yakin kaum muslimin yang sehat jiwanya akan mendukung para penganut Budha yang seperti itu sehingga keharmonisan hidup di antara pemeluk umat beragama di Indonesia dapat dijaga. Itulah Pancasila sila ketiga, Persatuan Indonesia.


            Sampurasun

Saturday 9 September 2017

Keadilan di Dunia Maya

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Saling serang di dunia maya atau di dunia virtual saat ini sangat sering terjadi. Apalagi waktu menunjukkan bahwa semakin dekatnya saat pemilihan presiden. Mereka yang propemerintah dan antipemerintah terlibat saling serang.

            Sesungguhnya, saling serang di dunia maya ini menunjukkan kesehatan politik yang luar biasa sepanjang dilakukan dengan cara-cara beradab, terpelajar, terukur, dan bisa dipertanggungjawabkan. Akan tetapi, jika sudah meluncur ke arah saling menghina, saling menghujat, saling berbohong, dan menggunakan jurus-jurus hoax, situasinya menjadi sangat tidak sehat dan cenderung kampungan. Siapa pun akan menjadi kampungan, ndeso, baik mereka yang pro-Presiden Jokowi maupun yang anti-Presiden Jokowi.

            Sudah menjadi risiko negara harus bersikap adil kepada mereka yang pro-Jokowi maupun anti-Jokowi. Mereka semua adalah warga bangsa Indonesia dan sama-sama memiliki kontribusi positif bagi bangsa dan negara sepanjang mereka melakukannya dengan benar.


Soal Jonru
Jonru Ginting akhir-akhir ini menjadi sorotan karena tulisan-tulisannya yang sangat keras terhadap pemerintah dan terhadap mereka yang pro-Jokowi. Oleh sebab itu, dia dilaporkan kepada polisi akibat diduga melakukan tindakan pelanggaran hukum melalui media sosial. Boleh-boleh saja dia dilaporkan kepada polisi karena dugaan melakukan kesalahan. Jika terbukti bersalah pun, wajar dia dihukum. Akan tetapi, mereka yang pro-Jokowi dan melakukan tindakan salah di dunia maya pun harus mendapatkan hukuman yang sama. Jangan karena seseorang atau sekelompok orang adalah pendukung pemerintah, lalu diistimewakan sehingga perilaku buruk mereka di dunia virtual dibiarkan bebas bergerak. Keluhan Jonru pun harus didengar yang menyiratkan seolah-olah penyebar kebencian dan berita bohong justru “dipelihara oleh negara”. Kalau saya tidak salah menyimak, di dalam salah satu acara tvOne, ILC, dia mengatakan bahwa mereka yang melakukan penghinaan di Medsos ternyata diundang secara terhormat ke istana negara. Artinya, negara harus bersikap adil, baik kepada mereka yang pro-presiden maupun anti-presiden. Keluhan ini harus diperhatikan oleh negara karena negara harus bersikap adil sebagaimana yang tertulis dalam Pancasila, yaitu sila kelima: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia serta siapa pun harus diperlakukan manusiawi, sebagaimana sila kedua, yaitu: kemanusiaan yang adil dan beradab. Jangan sampai pemerintah saat ini berperilaku sama dengan pemerintah Orde Baru, yaitu bersuara lantang tentang Pancasila, tetapi melakukan banyak pelanggaran terhadap Pancasila hanya karena tidak bersikap tegas terhadap mereka yang propemerintah dan melakukan pelanggaran yang sama dengan mereka yang antipemerintah.

            Jonru memang salah meskipun kesalahannya belum tentu berupa pelanggaran terhadap hukum. Misalnya, dia berpendapat bahwa bantuan uang lebih dari satu triliun untuk NU seolah-olah “sogokan” agar NU menyetujui Perpu Ormas.

            Dari mana ia dapat berpendapat seperti itu?

            Bagaimana dia bisa membangun opini semacam itu?

            Apa data yang dimilikinya?

            Pernahkah dia mewawancarai Kiayi-Kiayi NU atau bertanya kepada pemerintah tentang hal itu?

            Saya menduga keras dia hanya “menyangka”. Dia menjadi salah jika “sangkaannya” itu dianggap sebagai kebenaran. Sangkaan yang diklaim sebagai kebenaran adalah hoax. Sebagai penulis dan pelatih penulis, Jonru bukanlah pelatih penulis yang baik karena menggunakan sangkaan untuk menyebarkan pendapat yang belum tentu benar, apalagi menyangkut pemerintah dan Ormas sebesar NU.

            Sangkaan Jonru belum tentu berupa pelanggaran terhadap hukum. Sangkaan itu bisa diatasi cukup dengan penjelasan oleh pemerintah dan NU sendiri yang membantah pendapat Jonru. Urusan bisa selesai sampai di sana dan tidak perlu ke pengadilan. Hal ini mirip dengan tulisan “asal-usul Jokowi” yang diedarkannya berdasarkan buku yang lemah data, lemah analisis, dan lembah sumber data, bahkan penulisnya dihukum karena kebodohannya. Artinya, siapa pun yang menulis ketidakjelasan asal-usul Jokowi menjadi salah karena menggunakan sumber dari buku yang salah dan ditulis oleh penulis yang sangat tidak teliti, bahkan sedang dihukum karena kesalahan tulisannya itu. Sederhana sekali.

            Ketika Jonru menulis bahwa dulu Indonesia dijajah Belanda, lalu dijajah Jepang, kemudian 2017 dijajah Cina, juga belum tentu pelanggaran hukum. Kalimat-kalimat seperti itu sering saya dengar sejak saya masih SMP atau SMA.

            Misalnya, dulu sekali saya pernah mendengar bahwa kata orang Papua yang saat itu masih bernama Irian Jaya mengatakan, “Lebih enak dijajah Belanda dibandingkan dijajah orang Jawa.”

            Hal itu tidak dianggap upaya membenturkan antara orang Papua dengan orang Jawa atau dianggap kalimat yang bisa mengakibatkan perpecahan di antara bangsa Indonesia, melainkan dianggap sebagai kritikan yang sarkastik atau kritikan yang “sangat kasar” terhadap pemerintah Orde Baru. Oleh sebab itu, sangat baik jika kita menanggapinya dengan santai dan menganggap kalimat Jonru itu sebagai kritikan yang teramat keras.

            Upaya penegakan hukum terhadap Jonru atau mereka yang antipemerintah perlu dilakukan jika memang benar terbukti ada pelanggaran hukum di dalamnya. Akan tetapi, penegakkan hukum terhadap mereka yang propemerintah pun harus dilakukan jika ternyata terbukti melakukan kesalahan yang sama, yaitu melakukan penyebaran kebencian, fitnah, dan provokasi di media sosial terhadap mereka yang antipemerintah. Itulah yang diajarkan Pancasila, yaitu adil, manusiawi, dan beradab.


            Sampurasun.

Friday 8 September 2017

Sekolah Curang

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Saya sungguh prihatin terhadap lembaga sekolah-sekolah, terutama setingkat SLTA yang tampaknya curang dalam membina generasi muda. Penyelenggara sekolah itu curang karena tidak mau bekerja keras dalam membina generasi muda. Mereka hanya mentransfer ilmu pengetahuan yang sifatnya akademik dan hanya mendorong kecerdasan kognitif, tetapi tidak meningkatkan kecerdasan afektif dan kecerdasan psikomotor.

            Sungguh memprihatinkan jika ada sekolah yang memecat atau mengeluarkan siswa secara langsung yang melakukan kenakalan ataupun kesalahan. Misalnya, siswa dikeluarkan atau dipecat setelah diketahui melakukan perkelahian, pencurian, pembulian/perundungan, penggunaan dan peredaran Narkoba, ataupun kesalahan lainnya. Padahal, mereka hanyalah anak-anak sekolah yang memerlukan pembinaan atau bimbingan yang lebih baik. Siswa yang mana pun bisa melakukan kesalahan. Oleh sebab itulah, diperlukan lembaga pendidikan ataupun pembinaan yang namanya sekolah. Setiap kesalahan yang dilakukan siswa memang pantas untuk diberikan sanksi. Akan tetapi, jangan serta merta melakukan pemecatan terhadap siswa karena itu sangat buruk bagi pembinaan generasi muda. Seharusnya, sekolah melakukan pembinaan terlebih dahulu dan tetap memberikan kesempatan kepada siswa untuk memperbaiki dirinya. Sanksi bisa dilakukan dengan cara bertahap, misalnya, teguran, gertakan dengan keras. Kalau masih juga melakukan kesalahan yang sama, bisa ditingkatkan dengan tugas-tugas yang berat. Kalau masih juga tidak jera, bisa dilakukan skorsing setelah terlebih dahulu berkoordinasi dengan orangtuanya selama satu minggu hingga satu bulan. Kalau masih juga melakukan keburukan yang sama, pemecatan memang tidak bisa dihindari. Wajar sekolah memecat siswa jika telah melakukan berbagai upaya pembinaan dan tidak berhasil. Akan tetapi, sangatlah salah jika baru satu kali melakukan kesalahan, langsung dipecat, kecuali melakukan kejahatan yang sangat berat, misalnya, perkosaan ataupun pembunuhan.

            Sungguh buruk jika melakukan pemecatan secara langsung karena tidak akan memecahkan masalah, bahkan menambah masalah baru. Misalnya, saya sedih sekali ketika mendengar ada sebuah sekolah yang memecat siswa karena siswa itu kedapatan menggunakan Narkoba. Sekolah memecatnya tanpa melakukan penelitian lebih dahulu apakah dia hanya pengguna, baru satu kali memakai, pengedar, pecandu, atau justru korban pemaksaan dari pengedar yang lebih besar. Seharusnya, diteliti lebih dahulu, lalu diberikan pembinaan sehingga siswa mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki dirinya karena bisa jadi ia akan menjadi siswa yang lebih baik dan lebih berprestasi.

            Menurut saya, sekolah semacam ini adalah sekolah curang yang hanya menginginkan siswa yang sudah baik sejak dari keluarganya. Apalagi memecat dengan menggunakan peribahasa karena nila setitik, rusak susu sebelanga, ‘karena ulah satu siswa, nama baik sekolah menjadi rusak’. Itu sangatlah salah. Sekolah itu lembaga pendidikan yang berkewajiban membina generasi muda yang tidak baik menjadi baik, yang sudah baik menjadi lebih baik lagi. Itulah namanya sekolah sehingga di Sunda ada istilah nyakola. Istilah ini berarti sekolah berhasil mewujudkan generasi muda yang terdidik akhlaknya, terbina tingkah lakunya, terbangun integritas dirinya. Sekolah yang dengan mudah memecat siswa hanya untuk melindungi nama baik sekolahnya adalah sekolah yang tidak memiliki kemampuan membina kecerdasan afektif dan kecerdasan psikomotor.

            Sungguh, dengan perilaku mudah memecat siswa menunjukkan bahwa sekolah tersebut tidak berkualitas karena tidak memiliki kemampuan membina generasi muda. Itu adalah sekolah yang dihuni oleh guru-guru yang malas dan tidak memiliki pengetahuan serta pengalaman dalam meningkatkan budi pekerti. Bahkan, saya menduga keras bahwa para guru di sekolah-sekolah semacam ini tidak terampil dalam membina karakter manusia karena mereka juga tidak memahami pemahaman karakter itu sendiri.

            Saya membayangkan jika seorang siswa dipecat karena penggunaan Narkoba yang sebetulnya masih bisa diperbaiki, akan bertambahlah satu orang yang stress dan kemungkinan menjadi benar-benar pecandu dan pengedar Narkoba karena dilepaskan dari pembinaan di lingkungan sekolah. Sekolah semacam ini telah menimbulkan masalah baru di masyarakat dan bukan memecahkan masalah.

            Dengan demikian, para gurulah yang terlebih dahulu untuk dididik agar mau bekerja keras untuk membina siswa dan mencintai siswa sebagai bagian dari keluarganya. Para pendidik tidak boleh menjadi penguasa sekolah yang bertingkah sebagai “orang yang harus ditakuti” para siswa. Para guru harus bersedia berlelah-lelah untuk mendidik siswa karena itulah tugas guru. Kalau tidak mau letih membina generasi muda, jangan menjadi guru. Berhenti saja menjadi guru.

            Saya sangat terharu ketika diundang oleh SMAN 2 Bandung dalam acara perpisahan seorang guru senior yang sudah harus pensiun. Seluruh siswa sekolah itu mengadakan acara perpisahan dengan gurunya yang purnabakti itu. Tampaknya, guru ini adalah guru yang sangat dicintai di sekolah itu.

            Dalam acara itu, Sang Guru menulis puisinya sendiri. Puisi itu sangat panjang, tetapi saya masih ingat kata-kata yang membuat saya ingin menangis mendengarnya.

            Ibu sering merasa kesal kepada kalian
            Ibu sering merasa sakit hati oleh ulah kalian
            Tetapi Ibu menyadari bahwa kalianlah yang mengantarkan Ibu ke Surga
            Kalian bagaikan butiran tasbih yang selalu Ibu genggam
            Butiran tasbih itulah yang Ibu persembahkan kepada Allah swt
            Sebagai amal baik Ibu di dunia
            Selamat jalan anak-anakku

            Begitu kira-kira yang ditulisnya. Memang tidak tepat seperti itu, tetapi seperti itulah kiranya.

            Memang, guru kerap kesal dan sakit hati oleh ulah para siswanya, tetapi tidak boleh lelah karena sungguh seorang siswa adalah sebutir tasbih kepada Allah swt. Jika seorang siswa dipecat, hilanglah satu butir tasbih yang sesungguhnya dapat dibawa sebagai amal baik di hadapan Allah swt kelak. Bahkan, satu butir tasbih yang hilang itu boleh jadi adalah tasbih yang sangat mulia jika kita mau tetap menggenggamnya dengan sekuat tenaga dengan sakit hati, kesal, dan cinta.

            Sekolah tidak boleh curang dan hanya ingin memiliki siswa yang sudah baik sejak awal. Sekolah harus berupaya keras membina agar tumbuh generasi muda yang lebih baik. Sekolah yang baik adalah yang mampu membina manusia tidak baik menjadi baik dan membina manusia yang baik menjadi lebih baik lagi.


            Sampurasun

Sesama Muslim Dilarang Saling Bunuh

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Pada dasarnya setiap manusia tidak boleh saling membunuh satu sama lain, baik itu berbeda agama maupun berbeda keyakinan, apalagi jika memiliki agama yang sama. Pembunuhan di antara manusia adalah kejahatan yang sangat besar. Islam sudah melarang pembunuhan di antara sesama manusia jika dilakukan tanpa alasan yang jelas. Kalaupun harus terjadi pembunuhan, alasannya harus jelas dan bisa dipertanggungjawabkan serta tidak perlu dinikmati dan tidak perlu dijadikan kesenangan. Misalnya, pembunuhan terpaksa harus dilakukan untuk membela diri, harga diri, kehormatan, ataupun harta benda dalam situasi tertentu. Bisa pula jika harus melakukan pembunuhan terhadap para penjahat yang sudah dijatuhi vonis mati oleh keputusan hakim.

            Membunuh itu sama sekali tidak menyenangkan. Saya ini sering membunuh binatang. Saya suka menyembelih ayam, bebek, itik, belut, ikan, dan kambing. Dalam melakukan penyembelihan itu, saya sama sekali tidak menikmatinya. Saya selalu dalam keadaan sedih melakukannya karena harus menghilangkan nyawa makhluk hidup. Saya suka berpanjang-panjang memohon maaf kepada binatang-binatang itu dan berdoa berharap Allah swt menyegerakan kematian mereka. Saya melakukan pembunuhan itu karena diperbolehkan oleh Allah swt untuk memakan daging binatang-binatang itu secara wajar dan saya harus mendidik anak-anak saya tentang hal itu. Sungguh, membunuh binatang saja sangat menyesakkan dada, apalagi kalau harus sampai membunuh manusia.

            Allah swt jelas sekali melarang setiap muslim membunuh muslim yang lainnya.

            Kata Allah swt, “Bagi seorang yang beriman, tidak patut membunuh seorang beriman (yang lain), kecuali karena tidak sengaja. Siapa yang membunuh seorang beriman tanpa sengaja (hendaklah) dia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta (membayar) tebusan yang diserahkan kepada keluarganya (Si Terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga Si Terbunuh) membebaskan pembayaran ….” (QS An Nisa 4 : 90)

            Seorang muslim yang tidak sengaja membunuh saudaranya sesama muslim tanpa sengaja diharuskan membayar tebusan kepada keluarga Si Terbunuh dan membebaskan seorang budak dari pebudakan. Jika keluarga Si Terbunuh memaafkannya dan tidak menuntut ganti rugi, tetap saja Si Pelaku harus membebaskan seorang budak dari perbudakan. Begitu kerasnya Islam soal keharusan menjaga nyawa manusia, terutama sesama muslim. Membunuh tanpa sengaja saja urusannya bisa panjang yang artinya berhati-hatilah terhadap nyawa manusia.

            Jika seorang muslim membunuh sesama muslim secara sengaja karena kebencian, provokasi, berita bohong, hoax, keinginan berkuasa, keinginan menjadi kaya, keinginan menguasai harta benda, keinginan untuk mengambil sumber daya alam, atau yang lainnya, kemarahan Allah swt sangat besar kepada dirinya. Secara khusus, Allah swt mengumbar kemarahan-Nya.

            Allah swt berseru, “Siapa yang membunuh seorang beriman dengan sengaja, maka balasannya ialah Neraka Jahanam. Dia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya dan melaknatnya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS An Nisa 4 : 93)

            Pembunuhan yang dilakukan terhadap seorang muslim adalah kejahatan yang sangat besar. Sudah sewajarnya jika kaum muslimin pun bersikap sama seperti Allah swt, yaitu melakukan penghukuman kepada para pembunuh kaum muslimin itu. Hukuman yang pantas kepada para pembunuh adalah hukuman yang paling keras yang harus dijatuhkan oleh para hakim. Hak hidup seseorang telah dirampas pembunuh itu. Oleh sebab itu, sangat pantas jika hak hidup Sang Pembunuh itu pun diambil, kecuali keluarga korban memaafkannya.

            Setiap muslim terlarang untuk membunuh sesama muslim. Terlarang pula mengatakan seorang muslim sebagai orang kafir. Haram hukumnya seorang muslim menuding sesama muslim sebagai orang kafir, apalagi jika dasarnya hanya ingin dianggap paling benar dan menginginkan kekuasaan atas diri kaum muslimin yang lainnya.

            Allah swt mengingatkan, “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah (carilah keterangan) dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan “salam” kepadamu, ‘Kamu bukan orang yang beriman’, (lalu kamu membunuhnya) dengan maksud mencari harta benda duniawi. Padahal, di sisi Allah ada harta yang lebih banyak….” (QS An Nisa 4 : 94)

            Jangan berjihad jika harus membunuh kaum muslimin sendiri. Kalaupun ragu apakah seseorang itu muslim atau tidak, teman atau musuh, telitilah dengan benar sehingga tindakan kita tidak salah. Sama sekali terlarang untuk membunuh seorang muslim yang gemar mengucapkan salam, apalagi jika pembunuhan itu hanya untuk menguasai harta benda atau sumber daya alam milik kaum muslimin lainnya. Sungguh, harta yang dicari para pembunuh kaum muslimin itu sangat sedikit, sedikit sekali. Allah swt memiliki harta yang sangat banyak. Mintalah kepada-Nya dengan baik dan tulus penuh hormat dan jangan mencari harta dengan jalan membunuh manusia, apalagi membunuh kaum muslimin.

            Allah swt tidak pernah tidur dan selalu mengawasi kita. Tak ada semut hitam di batu hitam pada malam gelap yang tidak diketahui oleh Allah swt. Segalanya diperhatikan-Nya. Dia menghitung segalanya dan akan menimpakan apa pun sesuai dengan keinginan-Nya. Allah swt Maha Berbahaya, jangan tantang Dia karena kalian akan dilumatkan-Nya. Demi Allah swt.

            Sampurasun.