oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Saling serang di dunia maya
atau di dunia virtual saat ini sangat sering terjadi. Apalagi waktu menunjukkan
bahwa semakin dekatnya saat pemilihan presiden. Mereka yang propemerintah dan
antipemerintah terlibat saling serang.
Sesungguhnya, saling serang di dunia maya ini menunjukkan
kesehatan politik yang luar biasa sepanjang dilakukan dengan cara-cara beradab,
terpelajar, terukur, dan bisa dipertanggungjawabkan. Akan tetapi, jika sudah
meluncur ke arah saling menghina, saling menghujat, saling berbohong, dan
menggunakan jurus-jurus hoax, situasinya
menjadi sangat tidak sehat dan cenderung kampungan. Siapa pun akan menjadi kampungan,
ndeso, baik mereka yang pro-Presiden
Jokowi maupun yang anti-Presiden Jokowi.
Sudah menjadi risiko negara harus bersikap adil kepada
mereka yang pro-Jokowi maupun anti-Jokowi. Mereka semua adalah warga bangsa
Indonesia dan sama-sama memiliki kontribusi positif bagi bangsa dan negara
sepanjang mereka melakukannya dengan benar.
Soal
Jonru
Jonru Ginting akhir-akhir
ini menjadi sorotan karena tulisan-tulisannya yang sangat keras terhadap
pemerintah dan terhadap mereka yang pro-Jokowi. Oleh sebab itu, dia dilaporkan kepada
polisi akibat diduga melakukan tindakan pelanggaran hukum melalui media sosial.
Boleh-boleh saja dia dilaporkan kepada polisi karena dugaan melakukan
kesalahan. Jika terbukti bersalah pun, wajar dia dihukum. Akan tetapi, mereka
yang pro-Jokowi dan melakukan tindakan salah di dunia maya pun harus
mendapatkan hukuman yang sama. Jangan karena seseorang atau sekelompok orang
adalah pendukung pemerintah, lalu diistimewakan sehingga perilaku buruk mereka
di dunia virtual dibiarkan bebas bergerak. Keluhan Jonru pun harus didengar
yang menyiratkan seolah-olah penyebar kebencian dan berita bohong justru “dipelihara
oleh negara”. Kalau saya tidak salah menyimak, di dalam salah satu acara tvOne, ILC, dia mengatakan bahwa mereka
yang melakukan penghinaan di Medsos ternyata diundang secara terhormat ke
istana negara. Artinya, negara harus bersikap adil, baik kepada mereka yang
pro-presiden maupun anti-presiden. Keluhan ini harus diperhatikan oleh negara
karena negara harus bersikap adil sebagaimana yang tertulis dalam Pancasila,
yaitu sila kelima: keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia serta siapa pun harus diperlakukan manusiawi,
sebagaimana sila kedua, yaitu: kemanusiaan
yang adil dan beradab. Jangan sampai pemerintah saat ini berperilaku sama
dengan pemerintah Orde Baru, yaitu bersuara lantang tentang Pancasila, tetapi melakukan
banyak pelanggaran terhadap Pancasila hanya karena tidak bersikap tegas
terhadap mereka yang propemerintah dan melakukan pelanggaran yang sama dengan
mereka yang antipemerintah.
Jonru memang salah meskipun kesalahannya belum tentu
berupa pelanggaran terhadap hukum. Misalnya, dia berpendapat bahwa bantuan uang
lebih dari satu triliun untuk NU seolah-olah “sogokan” agar NU menyetujui Perpu
Ormas.
Dari mana ia dapat berpendapat seperti itu?
Bagaimana dia bisa membangun opini semacam itu?
Apa data yang dimilikinya?
Pernahkah dia mewawancarai Kiayi-Kiayi NU atau bertanya
kepada pemerintah tentang hal itu?
Saya menduga keras dia hanya “menyangka”. Dia menjadi
salah jika “sangkaannya” itu dianggap sebagai kebenaran. Sangkaan yang diklaim
sebagai kebenaran adalah hoax. Sebagai
penulis dan pelatih penulis, Jonru bukanlah pelatih penulis yang baik karena
menggunakan sangkaan untuk menyebarkan pendapat yang belum tentu benar, apalagi
menyangkut pemerintah dan Ormas sebesar NU.
Sangkaan Jonru belum tentu berupa pelanggaran terhadap
hukum. Sangkaan itu bisa diatasi cukup dengan penjelasan oleh pemerintah dan NU
sendiri yang membantah pendapat Jonru. Urusan bisa selesai sampai di sana dan
tidak perlu ke pengadilan. Hal ini mirip dengan tulisan “asal-usul Jokowi” yang
diedarkannya berdasarkan buku yang lemah data, lemah analisis, dan lembah
sumber data, bahkan penulisnya dihukum karena kebodohannya. Artinya, siapa pun
yang menulis ketidakjelasan asal-usul Jokowi menjadi salah karena menggunakan
sumber dari buku yang salah dan ditulis oleh penulis yang sangat tidak teliti,
bahkan sedang dihukum karena kesalahan tulisannya itu. Sederhana sekali.
Ketika Jonru menulis bahwa dulu Indonesia dijajah
Belanda, lalu dijajah Jepang, kemudian 2017 dijajah Cina, juga belum tentu
pelanggaran hukum. Kalimat-kalimat seperti itu sering saya dengar sejak saya
masih SMP atau SMA.
Misalnya, dulu sekali saya pernah mendengar bahwa kata
orang Papua yang saat itu masih bernama Irian
Jaya mengatakan, “Lebih enak dijajah
Belanda dibandingkan dijajah orang Jawa.”
Hal itu tidak
dianggap upaya membenturkan antara orang Papua dengan orang Jawa atau dianggap
kalimat yang bisa mengakibatkan perpecahan di antara bangsa Indonesia,
melainkan dianggap sebagai kritikan yang sarkastik atau kritikan yang “sangat
kasar” terhadap pemerintah Orde Baru. Oleh sebab itu, sangat baik jika kita
menanggapinya dengan santai dan menganggap kalimat Jonru itu sebagai kritikan
yang teramat keras.
Upaya penegakan hukum terhadap Jonru atau mereka yang
antipemerintah perlu dilakukan jika memang benar terbukti ada pelanggaran hukum
di dalamnya. Akan tetapi, penegakkan hukum terhadap mereka yang propemerintah
pun harus dilakukan jika ternyata terbukti melakukan kesalahan yang sama, yaitu
melakukan penyebaran kebencian, fitnah, dan provokasi di media sosial terhadap
mereka yang antipemerintah. Itulah yang diajarkan Pancasila, yaitu adil, manusiawi, dan beradab.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment