Saturday, 9 September 2017

Keadilan di Dunia Maya

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Saling serang di dunia maya atau di dunia virtual saat ini sangat sering terjadi. Apalagi waktu menunjukkan bahwa semakin dekatnya saat pemilihan presiden. Mereka yang propemerintah dan antipemerintah terlibat saling serang.

            Sesungguhnya, saling serang di dunia maya ini menunjukkan kesehatan politik yang luar biasa sepanjang dilakukan dengan cara-cara beradab, terpelajar, terukur, dan bisa dipertanggungjawabkan. Akan tetapi, jika sudah meluncur ke arah saling menghina, saling menghujat, saling berbohong, dan menggunakan jurus-jurus hoax, situasinya menjadi sangat tidak sehat dan cenderung kampungan. Siapa pun akan menjadi kampungan, ndeso, baik mereka yang pro-Presiden Jokowi maupun yang anti-Presiden Jokowi.

            Sudah menjadi risiko negara harus bersikap adil kepada mereka yang pro-Jokowi maupun anti-Jokowi. Mereka semua adalah warga bangsa Indonesia dan sama-sama memiliki kontribusi positif bagi bangsa dan negara sepanjang mereka melakukannya dengan benar.


Soal Jonru
Jonru Ginting akhir-akhir ini menjadi sorotan karena tulisan-tulisannya yang sangat keras terhadap pemerintah dan terhadap mereka yang pro-Jokowi. Oleh sebab itu, dia dilaporkan kepada polisi akibat diduga melakukan tindakan pelanggaran hukum melalui media sosial. Boleh-boleh saja dia dilaporkan kepada polisi karena dugaan melakukan kesalahan. Jika terbukti bersalah pun, wajar dia dihukum. Akan tetapi, mereka yang pro-Jokowi dan melakukan tindakan salah di dunia maya pun harus mendapatkan hukuman yang sama. Jangan karena seseorang atau sekelompok orang adalah pendukung pemerintah, lalu diistimewakan sehingga perilaku buruk mereka di dunia virtual dibiarkan bebas bergerak. Keluhan Jonru pun harus didengar yang menyiratkan seolah-olah penyebar kebencian dan berita bohong justru “dipelihara oleh negara”. Kalau saya tidak salah menyimak, di dalam salah satu acara tvOne, ILC, dia mengatakan bahwa mereka yang melakukan penghinaan di Medsos ternyata diundang secara terhormat ke istana negara. Artinya, negara harus bersikap adil, baik kepada mereka yang pro-presiden maupun anti-presiden. Keluhan ini harus diperhatikan oleh negara karena negara harus bersikap adil sebagaimana yang tertulis dalam Pancasila, yaitu sila kelima: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia serta siapa pun harus diperlakukan manusiawi, sebagaimana sila kedua, yaitu: kemanusiaan yang adil dan beradab. Jangan sampai pemerintah saat ini berperilaku sama dengan pemerintah Orde Baru, yaitu bersuara lantang tentang Pancasila, tetapi melakukan banyak pelanggaran terhadap Pancasila hanya karena tidak bersikap tegas terhadap mereka yang propemerintah dan melakukan pelanggaran yang sama dengan mereka yang antipemerintah.

            Jonru memang salah meskipun kesalahannya belum tentu berupa pelanggaran terhadap hukum. Misalnya, dia berpendapat bahwa bantuan uang lebih dari satu triliun untuk NU seolah-olah “sogokan” agar NU menyetujui Perpu Ormas.

            Dari mana ia dapat berpendapat seperti itu?

            Bagaimana dia bisa membangun opini semacam itu?

            Apa data yang dimilikinya?

            Pernahkah dia mewawancarai Kiayi-Kiayi NU atau bertanya kepada pemerintah tentang hal itu?

            Saya menduga keras dia hanya “menyangka”. Dia menjadi salah jika “sangkaannya” itu dianggap sebagai kebenaran. Sangkaan yang diklaim sebagai kebenaran adalah hoax. Sebagai penulis dan pelatih penulis, Jonru bukanlah pelatih penulis yang baik karena menggunakan sangkaan untuk menyebarkan pendapat yang belum tentu benar, apalagi menyangkut pemerintah dan Ormas sebesar NU.

            Sangkaan Jonru belum tentu berupa pelanggaran terhadap hukum. Sangkaan itu bisa diatasi cukup dengan penjelasan oleh pemerintah dan NU sendiri yang membantah pendapat Jonru. Urusan bisa selesai sampai di sana dan tidak perlu ke pengadilan. Hal ini mirip dengan tulisan “asal-usul Jokowi” yang diedarkannya berdasarkan buku yang lemah data, lemah analisis, dan lembah sumber data, bahkan penulisnya dihukum karena kebodohannya. Artinya, siapa pun yang menulis ketidakjelasan asal-usul Jokowi menjadi salah karena menggunakan sumber dari buku yang salah dan ditulis oleh penulis yang sangat tidak teliti, bahkan sedang dihukum karena kesalahan tulisannya itu. Sederhana sekali.

            Ketika Jonru menulis bahwa dulu Indonesia dijajah Belanda, lalu dijajah Jepang, kemudian 2017 dijajah Cina, juga belum tentu pelanggaran hukum. Kalimat-kalimat seperti itu sering saya dengar sejak saya masih SMP atau SMA.

            Misalnya, dulu sekali saya pernah mendengar bahwa kata orang Papua yang saat itu masih bernama Irian Jaya mengatakan, “Lebih enak dijajah Belanda dibandingkan dijajah orang Jawa.”

            Hal itu tidak dianggap upaya membenturkan antara orang Papua dengan orang Jawa atau dianggap kalimat yang bisa mengakibatkan perpecahan di antara bangsa Indonesia, melainkan dianggap sebagai kritikan yang sarkastik atau kritikan yang “sangat kasar” terhadap pemerintah Orde Baru. Oleh sebab itu, sangat baik jika kita menanggapinya dengan santai dan menganggap kalimat Jonru itu sebagai kritikan yang teramat keras.

            Upaya penegakan hukum terhadap Jonru atau mereka yang antipemerintah perlu dilakukan jika memang benar terbukti ada pelanggaran hukum di dalamnya. Akan tetapi, penegakkan hukum terhadap mereka yang propemerintah pun harus dilakukan jika ternyata terbukti melakukan kesalahan yang sama, yaitu melakukan penyebaran kebencian, fitnah, dan provokasi di media sosial terhadap mereka yang antipemerintah. Itulah yang diajarkan Pancasila, yaitu adil, manusiawi, dan beradab.


            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment