Thursday, 9 March 2017

Penyesalan Gajah Mada

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Mahapatih Gajah Mada adalah orang perkasa yang memiliki ambisi besar untuk mempersatukan Nusantara. Ambisinya ini hampir menjadi kenyataan, tetapi terganjal oleh satu kerajaan, yaitu Kerajaan Sunda Pajajaran. Ketika kerajaan-kerajaan di Nusantara ini sudah tunduk dan takluk pada kekuasaan Majapahit, Kerajaan Sunda Pajajaran tetap berdiri tegak.

            Karena sulitnya untuk menaklukan Pajajaran, Gajah Mada selalu menunggu waktu yang tepat untuk menguasai Pajajaran. Waktu yang tepat itu memang tiba. Ketika Raja Majapahit Hayam Wuruk jatuh cinta kepada Puteri Kerajaan Sunda Dyah Pitaloka Citra Resmi, Raja Sunda Pajajaran Lingga Buana Wisesa menyetujuinya. Kemudian, Raja Sunda itu bersama rombongan mengantarkan puterinya, Dyah Pitaloka, ke Majapahit untuk dinikahi Hayam Wuruk. Gajah Mada melihatnya sebagai sebuah kesempatan untuk menaklukan Kerajaan Sunda. Ketika tiba rombongan Pajajaran berada di Bubat, wilayah yang masih merupakan kekuasaan Majapahit, Gajah Mada mencegatnya. Gajah Mada menginginkan Dyah Pitaloka Citra Resmi diserahkan ke Majapahit sebagai upeti dari Pajajaran kepada Hayam Wuruk. Tentu saja itu dianggap penghinaan oleh keluarga Sunda Pajajaran. Terjadilah pertempuran hebat antara rombongan Sunda yang hanya sekitar delapan puluh orang termasuk juru rias pengantin dan juru masak melawan lima ribu pasukan Majapahit Gajah Mada yang lengkap dengan tentara tempur berkendaraan gajah dan kuda.

            Pertarungan tidak seimbang itu berlangsung sejak pagi hingga sore hari. Rombongan kecil Pajajaran tentu saja mengalami kekalahan total. Raja Lingga Buana Wisesa pun gugur hingga diberi gelar “Sang Mokteng Bubat”. Dyah Pitaloka yang melihat seluruh keluarganya yang berada di dalam rombongan itu gugur segera mengambil tusuk kondenya dan bunuh diri dengan itu, tidak sudi dijadikan upeti oleh Gajah Mada. Rombongan Pajajaran pun seluruhnya gugur tak bersisa.

            Raja Hayam Wuruk yang belakangan baru mengetahui peristiwa itu menyesal, marah, dan sedih bukan main. Ia sudah membayangkan nikmatnya hidup bersama Dyah Pitaloka Citra Resmi yang cantik jelita. Ia sudah memilih Puteri Pajajaran itu untuk dijadikan isterinya setelah mengamati seluruh puteri tercantik se-Nusantara yang pernah ditawarkan kepadanya.

            Bagaimana dengan Gajah Mada selanjutnya?

            T.D. Sudjana dalam artikelnya yang berjudul Tokoh Siliwangi dalam Pandangan Tradisi Keraton Cirebon (1991) menjelaskan secara singkat nasib Gajah Mada pascaperang Bubat yang gagal total dalam mewujudkan segala ambisinya itu. Menurutnya, setelah perang yang memalukan itu, Gajah Mada setiap malam selalu bersedih hati. Penyesalan demi penyesalan membayangi dia tanpa henti dan tak terhingga rasanya. Hidupnya selalu dihantui perasaan bersalah dan penuh dosa. Ia tidak pernah bisa benar-benar memejamkan matanya ketika malam tiba. Satu-satunya jalan pelampiasannya adalah dengan meminum tuak hingga jatuh terkapar saking mabuknya. Kebesaran namanya menjadi suram. Akhirnya, ia meloloskan diri dari keramaian kerajaan dan pemerintahan Majapahit. Kemudian, Gajah Mada menyembunyikan dirinya bersunyi-sunyi memohon pengampunan Dewata.

            Saya menulis ini dengan maksud agar kita yang hidup di zaman ini dapat berkata jujur, berlaku adil, dan tidak perlu menutup-nutupi kesalahan yang telah terjadi pada masa lalu. Bahkan, tak perlu sungkan melakukan kritik jika di dalam sejarahnya terdapat kekeliruan yang dilakukan pembesar-pembesar Jawa. Hal itu sebagaimana yang saya lakukan, sebagai orang Sunda, saat mengkritik Pangeran Sunda Benteng Pajajaran Kian Santang yang bersikap dan berperilaku radikal karena menyetujui bahkan menyokong penggunaan kekerasan senjata dalam menyebarkan Islam sehingga menaklukan kerajaan lain agar masyarakatnya menjadi muslim.

            Kita harus menyadari bahwa leluhur Pajajaran dan leluhur Majapahit memiliki banyak kesamaan. Kita pun wajib menyadari bahwa mereka juga manusia seperti kita yang memiliki banyak kesalahan dan memiliki banyak kebaikan. Semua kesalahan yang terjadi pada masa lalu harus kita akui dengan besar hati, lapang dada, dan berlaku adil dalam menyikapinya. Tidak perlu menutupi keburukan karena akan terbuka juga. Segala kebaikan yang sudah terjalin sejak dulu hendaknya selalu ditingkatkan.

            Persoalan Perang Bubat telah selesai. Keturunan Majapahit sudah meminta maaf kepada keturunan Pajajaran. Dua keturunan ini sudah banyak yang melebur dalam pernikahan. Tak ada gunanya lagi meneruskan perasaan permusuhan. Tak ada suku yang lebih tinggi dibandingkan suku lainnya. Semua manusia diciptakan Allah swt dalam keadaan sama-sama dicintai Allah swt. Orang yang paling baik dan paling mulia adalah orang yang paling bertakwa kepada Allah swt. Derajat ketakwaanlah yang menjadi ukuran manusia buruk atau mulia di hadapan Allah swt, bukan berdasarkan sukunya karena kita semua tidak pernah mengajukan request kepada Allah swt untuk dilahirkan menjadi suku tertentu. Kita diciptakan dalam suku masing-masing sesuai dengan kehendak dan rencana Allah swt.


            Sampurasun

No comments:

Post a Comment