oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Mahapatih Gajah Mada adalah
orang perkasa yang memiliki ambisi besar untuk mempersatukan Nusantara.
Ambisinya ini hampir menjadi kenyataan, tetapi terganjal oleh satu kerajaan,
yaitu Kerajaan Sunda Pajajaran. Ketika kerajaan-kerajaan di Nusantara ini sudah
tunduk dan takluk pada kekuasaan Majapahit, Kerajaan Sunda Pajajaran tetap
berdiri tegak.
Karena sulitnya untuk menaklukan Pajajaran, Gajah Mada
selalu menunggu waktu yang tepat untuk menguasai Pajajaran. Waktu yang tepat
itu memang tiba. Ketika Raja Majapahit Hayam
Wuruk jatuh cinta kepada Puteri Kerajaan Sunda Dyah Pitaloka Citra Resmi, Raja Sunda Pajajaran Lingga Buana Wisesa menyetujuinya.
Kemudian, Raja Sunda itu bersama rombongan mengantarkan puterinya, Dyah
Pitaloka, ke Majapahit untuk dinikahi Hayam Wuruk. Gajah Mada melihatnya
sebagai sebuah kesempatan untuk menaklukan Kerajaan Sunda. Ketika tiba
rombongan Pajajaran berada di Bubat, wilayah
yang masih merupakan kekuasaan Majapahit, Gajah Mada mencegatnya. Gajah Mada
menginginkan Dyah Pitaloka Citra Resmi diserahkan ke Majapahit sebagai upeti
dari Pajajaran kepada Hayam Wuruk. Tentu saja itu dianggap penghinaan oleh
keluarga Sunda Pajajaran. Terjadilah pertempuran hebat antara rombongan Sunda
yang hanya sekitar delapan puluh orang termasuk juru rias pengantin dan juru
masak melawan lima ribu pasukan Majapahit Gajah Mada yang lengkap dengan
tentara tempur berkendaraan gajah dan kuda.
Pertarungan tidak seimbang itu berlangsung sejak pagi
hingga sore hari. Rombongan kecil Pajajaran tentu saja mengalami kekalahan
total. Raja Lingga Buana Wisesa pun gugur hingga diberi gelar “Sang Mokteng
Bubat”. Dyah Pitaloka yang melihat seluruh keluarganya yang berada di dalam
rombongan itu gugur segera mengambil tusuk kondenya dan bunuh diri dengan itu,
tidak sudi dijadikan upeti oleh Gajah Mada. Rombongan Pajajaran pun seluruhnya
gugur tak bersisa.
Raja Hayam Wuruk yang belakangan baru mengetahui
peristiwa itu menyesal, marah, dan sedih bukan main. Ia sudah membayangkan
nikmatnya hidup bersama Dyah Pitaloka Citra Resmi yang cantik jelita. Ia sudah memilih
Puteri Pajajaran itu untuk dijadikan isterinya setelah mengamati seluruh puteri
tercantik se-Nusantara yang pernah ditawarkan kepadanya.
Bagaimana dengan Gajah Mada selanjutnya?
T.D. Sudjana dalam artikelnya yang berjudul Tokoh Siliwangi dalam Pandangan Tradisi
Keraton Cirebon (1991) menjelaskan secara singkat nasib Gajah Mada
pascaperang Bubat yang gagal total dalam mewujudkan segala ambisinya itu. Menurutnya,
setelah perang yang memalukan itu, Gajah Mada setiap malam selalu bersedih
hati. Penyesalan demi penyesalan membayangi dia tanpa henti dan tak terhingga
rasanya. Hidupnya selalu dihantui perasaan bersalah dan penuh dosa. Ia tidak
pernah bisa benar-benar memejamkan matanya ketika malam tiba. Satu-satunya
jalan pelampiasannya adalah dengan meminum tuak hingga jatuh terkapar saking
mabuknya. Kebesaran namanya menjadi suram. Akhirnya, ia meloloskan diri dari
keramaian kerajaan dan pemerintahan Majapahit. Kemudian, Gajah Mada
menyembunyikan dirinya bersunyi-sunyi memohon pengampunan Dewata.
Saya menulis ini dengan maksud agar kita yang hidup di
zaman ini dapat berkata jujur, berlaku adil, dan tidak perlu menutup-nutupi
kesalahan yang telah terjadi pada masa lalu. Bahkan, tak perlu sungkan
melakukan kritik jika di dalam sejarahnya terdapat kekeliruan yang dilakukan
pembesar-pembesar Jawa. Hal itu sebagaimana yang saya lakukan, sebagai orang
Sunda, saat mengkritik Pangeran Sunda Benteng Pajajaran Kian Santang yang
bersikap dan berperilaku radikal karena menyetujui bahkan menyokong penggunaan
kekerasan senjata dalam menyebarkan Islam sehingga menaklukan kerajaan lain
agar masyarakatnya menjadi muslim.
Kita harus menyadari bahwa leluhur Pajajaran dan leluhur
Majapahit memiliki banyak kesamaan. Kita pun wajib menyadari bahwa mereka juga
manusia seperti kita yang memiliki banyak kesalahan dan memiliki banyak
kebaikan. Semua kesalahan yang terjadi pada masa lalu harus kita akui dengan
besar hati, lapang dada, dan berlaku adil dalam menyikapinya. Tidak perlu
menutupi keburukan karena akan terbuka juga. Segala kebaikan yang sudah terjalin
sejak dulu hendaknya selalu ditingkatkan.
Persoalan Perang
Bubat telah selesai. Keturunan Majapahit sudah meminta maaf kepada
keturunan Pajajaran. Dua keturunan ini sudah banyak yang melebur dalam
pernikahan. Tak ada gunanya lagi meneruskan perasaan permusuhan. Tak ada suku
yang lebih tinggi dibandingkan suku lainnya. Semua manusia diciptakan Allah swt
dalam keadaan sama-sama dicintai Allah swt. Orang yang paling baik dan paling
mulia adalah orang yang paling bertakwa kepada Allah swt. Derajat ketakwaanlah
yang menjadi ukuran manusia buruk atau mulia di hadapan Allah swt, bukan
berdasarkan sukunya karena kita semua tidak pernah mengajukan request kepada Allah swt untuk
dilahirkan menjadi suku tertentu. Kita diciptakan dalam suku masing-masing
sesuai dengan kehendak dan rencana Allah swt.
Sampurasun
No comments:
Post a Comment