Thursday 9 March 2017

Islamisasi dengan Kekerasan

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya
Pada tulisan yang lalu saya mencoba memahami cikal bakal Islam Nusantara yang dapat dilihat dari konflik yang terjadi dalam dongeng Kian Santang Vs Prabu Siliwangi serta Prabu Brawijaya Vs Sabdo Palon Noyo Genggong. Kian Santang dan Prabu Brawijaya merupakan tokoh yang mendapatkan pengaruh Arab yang keras. Adapun Prabu Siliwangi dan Sabdo Palon Noyo Genggong adalah tokoh yang menginginkan Islam dijalankan dalam watak Nusantara. Islam Nusantara ini harus rela tenggelam sementara untuk memberikan Islam Arab menyelesaikan tugasnya. Akan tetapi, pada zaman sekarang ini Islam Arab harus mundur karena Islam Nusantara memiliki tugas yang lebih nyata, yaitu menghentikan kekerasan serta menyebarkan cinta kasih dan perdamaian.

            Pada tulisan kali ini pun saya mengajak pembaca untuk mengetahui bagaimana Islam disebarkan dengan jalan kekerasan yang terjadi di Indonesia. Kisah ini merupakan dongeng dan bukan sejarah. Hal itu disebabkan kisah ini pun mengambil tokoh Prabu Siliwangi yang sesungguhnya adalah Nabi Allah swt yang diutus pada masa Indonesia masih berupa Benua Sundaland, bukan kepulauan seperti sekarang ini. Tokoh Prabu Siliwangi memang sangat unik karena selalu ditarik ke dalam berbagai latar ceritera yang berbeda-beda dan dalam waktu yang berbeda pula. Sosok Prabu Siliwangi kerap dijadikan tokoh sentral dalam berbagai latar ceritera masa lalu yang sangat jauh, masa lalu yang lebih ke sini, masa sekarang, bahkan masa depan. Pada kisah-kisah masa lalu tokoh Prabu Siliwangi dijadikan tokoh sentral pada masa sebelum Nabi Muhammad saw lahir, tetapi hadir pula ketika Nabi Muhammad saw masih kecil. Pada masa Muhammad saw sudah menjadi nabi pun, Prabu Siliwangi masih menjadi tokoh utama ceritera. Setelah zaman kenabian selesai pun, Prabu Siliwangi selalu ada. Pada zaman penjajahan kompeni, Prabu Siliwangi memainkan perannya. Bahkan, Prabu Siliwangi pun selalu dijadikan pemeran utama kisah-kisah yang bervisi ke masa depan. Ia memang pribadi yang unik dibawa-bawa kesana-kemari dan dari waktu ke waktu.

            Dalam tulisan kali ini, saya mencoba menganalisa kisah Prabu Siliwangi Vs Sunan Gunung Jati yang ada dalam makalah berjudul Tokoh Siliwangi Menurut Tradisi Keraton Cirebon (Diangkat dari Kitab Pustaka Nagara Kertabhumi, Purwaka Caruban Nagari dan Babad Cirebon) yang ditulis P.S. Sulendraningrat, Ramaguru Pengguron Caruban, Krapyak, Kaparabonan (1991). Kalau dalam tulisan dongeng yang lalu, Prabu Siliwangi kabur karena dikejar anaknya, Kian Santang, sekarang dalam dongeng ini Prabu Siliwangi menghilang karena tidak mau didatangi cucunya sendiri, yaitu Sunan Gunung Jati.

            Beda ya?

            Tidak apa-apalah, ini kan hanya dongeng. Akan tetapi, dongeng ini dapat menjadi petunjuk mengenai fenomena yang terjadi dalam tubuh pemerintahan masa lalu serta suasana kebatinan masyarakat pada saat itu.

            Diceriterakan bahwa di Keraton Pajajaran Prabu Siliwangi, semua isterinya, dan para selir hendak berangkat menengok Sang Putera, yaitu Pangeran Cakrabuwana dan Sang Cucu, yaitu Sunan Gunung Jati di Cirebon. Cirebon pada masa itu merupakan pusat pendidikan Islam di seluruh Nusantara. Semua orang Pajajaran sudah bersiap-siap hendak berangkat. Akan tetapi, tiba-tiba dari arah angkasa turun ahli agama yang bernama Ki Buyut Talibarat. Dengan tiba-tiba, Ki Buyut Talibarat sudah berada di hadapan Prabu Siliwangi.

            Sang Prabu berkata, “Eyang Talibarat, selamat datang. Datangnya tergesa-gesa seperti ada perkara yang penting.”

            Berkata Ki  Buyut Talibarat, “Hai Sang Prabu, apa yang dikehendaki dengan takluk kepada Sang Cucu, hendak memeluk agama Islam, agama orang yang bosok bolong (busuk berlubang), amoh ajur (remuk rapuh). Sejak dahulu hingga sekarang mongmonganku para leluhur yang menganut agama Dewa Mulia. Ialah Sastrajendra Ayuningrat yang dipustiamalkan.

            Apakah Sang Prabu silau kepada Putera Cucu?

            Nanti keraton ini kutanami pusaka lidi lelaki supaya keraton tidak tertampak dan Sang Prabu haraplah ngahyang hari ini juga karena Sang Putera dan Sang Cucu sebentar lagi datang.”

            Ki Buyut Talibarat mengingatkan Prabu Siliwangi bahwa pada waktu yang bersamaan dengan keberangkatan Pajajaran ke Cirebon, anak kandungnya, yaitu Pangeran Cakrabuwana dan cucunya, yaitu Sunan Gunung Jati sebenarnya sudah mendekat ke Pajajaran dan hendak mengislamkan Prabu Siliwangi.

            Memang keberangkatan Prabu Siliwangi ke Cirebon di samping rindu kepada anak dan cucunya juga ingin bertemu langsung tanpa harus mendapatkan berita dari orang lain. Hal itu disebabkan Prabu Siliwangi sebenarnya sudah sejak lama mengutus Tumenggung Jayabaya bersama enam puluh pasukan untuk melihat keadaan anak cucunya di Cirebon. Akan tetapi, Tumenggung Jayabaya dan pasukannya tidak kembali lagi, bahkan sudah masuk Islam.

            Hal itu mengakibatkan tanda tanya besar dalam diri Prabu Siliwangi tentang bagaimana gerangan Tumenggung Jayabaya dan seluruh pasukannya bisa tunduk dan masuk Islam di bawah kekuasaan anaknya, Cakrabuwana, dan cucunya, Sunan Gunung Jati.

            Hal yang membuat saya tertarik adalah kata-kata dari Ki Buyut Talibarat, “Hai Sang Prabu, apa yang dikehendaki dengan takluk kepada Sang Cucu, hendak memeluk agama Islam, agama orang yang bosok bolong (busuk berlubang), amoh ajur (remuk rapuh)….”

            Perhatikan, dia mengatakan bahwa agama Islam adalah agama orang yang bosok bolong (busuk berlubang), amoh ajur (remuk rapuh). Ki Buyut Talibarat tidak mengatakan bahwa Islam adalah agama yang bosok bolong (busuk berlubang), amoh ajur (remuk rapuh), melainkan agama orang yang bosok bolong (busuk berlubang), amoh ajur (remuk rapuh). Artinya, dia tidak menyerang dan tidak mengejek agama Islam, tetapi menyerang dan mengejek orang Islam. Salah satu hinaannya ini disebabkan orang Islam suka angkuh merasa benar sendiri dan kerap memaksa orang lain untuk meninggalkan agamanya agar segera masuk Islam saat itu juga. Hal ini ada dalam kisah selanjutnya.

            Karena Prabu Siliwangi pun merasa dan melihat sendiri keangkuhan orang Islam, segera mengikuti saran Ki Buyut Talibarat. Prabu Siliwangi segera menanami keraton dengan pusaka lidi lelaki/lidi bujenggi. Segera saja para isteri dan para selir dibawa ngahyang, lalu lenyap tanpa bekas. Keraton terlihat menjadi hutan besar. Akan tetapi, seluruh famili dan para Putera Sentana tidak dibawa. Mereka tertinggal di keraton Pajajaran pada 1482 Masehi.

            Tidak lama kemudian, datanglah Sunan Gunung Jati dan Ki Kuwu Cirebon. Mereka mengetahui bahwa Sang Prabu sudah tidak ada dalam keraton. Akan tetapi, Sunan Gunung Jati dan Ki Kuwu Cirebon masih dapat melihat keraton tetap ada di tempat dan tidak tertipu oleh ajian menghilang. Mereka pun masuk ke dalam keraton, lalu menangkapi penghuninya yang sebagian sudah bubar. Raja Sengara tertangkap. Para sentana dan para eyang segera diislamkan. Ada yang tertangkap di angkasa, ada pula yang tertangkap di dalam Bumi.

            Adapun Arya Kebo Kamale meskipun sudah tertangkap, tetap tidak mau masuk Islam. Ia berjanji akan masuk Islam nanti pada akhir zaman. Oleh sebab itu, ia disuruh kemit/jaga di Cirebon.

            Ki Patih Argatala dan seluruh bawahannya bersembunyi di pegunungan. Akan tetapi, Sunan Gunung Jati dapat melihat mereka.

            Sunan Gunung Jati pun berteriak, “Ki Patih Argatala dan seluruh bawahannya seperti siluman, tidak bercampur dengan manusia!”

            Ki Patih pun sujud, lalu tobat. Akan tetapi, ia memohon untuk masuk Islam nanti saja setelah akhir zaman. Sunan Gunung Jati mengampuninya. Akan tetapi, Ki Patih disuruh berkumpul juga untuk jaga di Cirebon.

            Sunan Gunung Jati lalu mendekati Dipati Siput (Panglima Besar Tentara Pajajaran Prabu Siliwangi) dan para bawahannya yang bersembunyi di hutan.

            Sunan Gunung Jati berkata, “Dipati Siput dan para bawahannya yang bersembunyi berlaku seperti hewan bersembunyi di hutan.”

            Tiba-tiba Dipati Siput menjadi macan putih. Para bawahannya menjadi macan loreng. Dipati Siput lalu bersujud tobat. Akan tetapi, ia pun sama memohon untuk nanti saja memeluk Islam pada akhir zaman.

            Sunan Gunung Jati segera berkata, “Barang siapa yang takut agama, tidak diperbolehkan campur dengan manusia, sebagai hewan atau siluman.”

            Meskipun demikian, Dipati Siput dan para bawahannya diterima pengabdiannya dan diperintahkan untuk jaga di Cirebon.

            Tak lama kemudian, Sunan Gunung Jati memasuki lagi Keraton Pajajaran, mendekati para pembesar dan para kerabat yang sudah mengikuti secara patuh terhadap Islam.

            Sunan Gunung Jati memanggil Rama Paman/Raja Sengara dan berkata, “Rama seyogyanya mengosongkan Keraton Pajajaran."

            Raja Sengara menjawab, “Namun, Rama Dalem Cakrabuwana sudah bermukim di Cirebon.”

            Sunan Gunung Jati menimpali, “Iya betul Rama Uwa sudah bermukim di Cirebon, tetapi Rama Raja Sengara jangan diam di keraton karena Eyang Prabu tidak mau Islam. Semoga Sang Rama mau bermukim di lain tempat karena Keraton Pajajaran sudah pasti menjadi hutan. Hanya ini balai tempat duduk Sang Rama Prabu dan lampu Kerajaan Pajajaran saya mohon supaya dibawa ke Cirebon dan alat-alat, pedang, keris, tumbak, dan lain-lain.”

            Raja Sengara mematuhi permintaan Sang Putera.

            Saudara Pembaca yang budiman dan baik hati. Kita cut dulu sampai di sana kisahnya, nanti kita sambung lagi.

            Hal yang dapat kita perhatikan dari kisah tersebut adalah sebuah konflik antara Islam Arab dengan mereka yang berkeinginan Islam dilaksanakan dengan watak Nusantara. Islam Arab adalah Islam yang dipengaruhi watak keras dan penuh perjuangan. Adapun Islam Nusantara adalah Islam yang dipengaruhi watak tenang, soft, dan lembut.

            Di dalam kisah tersebut tampak bagaimana Prabu Siliwangi sebagai seorang ayah bagi Pangeran Cakrabuwana dan sebagai seorang kakek bagi Sunan Gunung Jati merindukan anak dan cucunya yang sudah terpisah selama dua puluh tahun karena anak dan cucunya itu belajar Islam di Cirebon. Akan tetapi, Sang Cucu, yaitu Sunan Gunung Jati malah datang dengan melakukan penaklukan kepada kakeknya sendiri, Prabu Siliwangi, dengan alasan untuk menyebarkan Islam dan mengislamkan Pajajaran. Ada dua watak yang bertolak belakang dalam kisah ini, yaitu watak keras dan watak lembut.

            Sang Kakek, Prabu Siliwangi, yang masih memegang agama Sunda Wiwitan yang tak lain adalah ajaran Islam pra-Muhammad saw harus mengalah pada Islam berwatak keras yang tampak dari tindakan yang dilakukan cucunya sendiri, yaitu Sunan Gunung Jati. Prabu Siliwangi mengalah dan tidak mau bertempur dengan cucunya sendiri. Ia membiarkan Islam berwatak keras untuk menyebar karena memang diperlukan bagi perjalanan Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Akan tetapi, Prabu Siliwangi akan datang lagi mengunjungi keturunannya di mana saja pada saat yang tepat. Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam Uga Wangsit Siliwangi.

            “Seluruh keturunan kalian akan aku kunjungi, tetapi hanya pada waktu yang diperlukan. Aku akan datang lagi menolong yang membutuhkan pertolongan, membantu yang kesusahan, tetapi hanya kepada mereka yang baik tingkah lakunya. Jika aku datang, tidak akan terlihat. Kalau aku berbicara, tidak akan terdengar. Memang aku akan datang. Akan tetapi, hanya kepada mereka yang baik hatinya, mereka yang memahami terhadap satu tujuan, mereka yang mengerti pada keharuman sejati, mereka yang memiliki empati tinggi dan tertata rapi pikirannya, serta yang baik tingkah lakunya. Kalau aku datang, tidak akan berupa dan tidak akan bersuara, tetapi memberi ciri dengan wewangian.  Sejak hari ini, Pajajaran hilang dari alam nyata. Hilang kotanya, hilang negaranya. Pajajaran tidak akan meninggalkan jejak, kecuali nama untuk mereka yang menelusurinya.”

            Kapan Prabu Siliwangi mengunjungi lagi keturunannya?

            Dia akan datang ketika orang sudah menyadari bahwa zaman kekerasan sudah seharusnya diakhiri. Dia memberikan dorongan agar orang kembali pada kelembutan dan menjalankan ajaran Islam dengan lembut, penuh kasih sayang, dan memberikan jalan keluar bagi terciptanya perdamaian di seluruh dunia.

            Watak keras Sunan Gunung Jati dapat ditelusuri dari garis darahnya sendiri. Sunan Gunung Jati adalah anak dari Puteri Prabu Siliwangi yang bernama Ratu Mas Rarasantang. Ayahnya adalah Sultan Mesir Maulana Syarif Abdullah. Jadi, Sunan Gunung Jati adalah putera dari pasangan Puteri Pajajaran-Sultan Mesir, yaitu pasangan Ratu Mas Rarasantang-Sultan Mesir Maulana Syarif Abdullah. Jika kita berbicara tentang Mesir, secara geografi dan demografi dekat sekali ke Timur Tengah dan Arab. Wilayah-wilayah itu banyak diisi oleh orang-orang yang berwatak keras hingga hari ini.

            Segala yang terjadi dalam dongeng itu biarlah menjadi dongeng sejarah karena itu terjadi disebabkan adanya konflik-konflik politik yang berkecamuk saat itu. Kini metode kekerasan itu sangat tidak diperlukan karena tidak ada lagi situasi yang memaksa untuk melakukan hal itu. Penyebaran Islam melalui jalan kekerasan hanya akan menghasilkan Islam dalam arti ”patuh dan takluk”, bukan “iman dan yakin”. Saat ini yang sangat diperlukan adalah penyebaran Islam dengan cara yang lembut sebagaimana yang diinginkan Nabi Prabu Siliwangi as, yaitu melalui pemahaman, pengetahuan, akhlak yang baik yang akan menumbuhkan keimanan dan keyakinan yang berujung pada pernyataan keimanan dan keislaman dalam dua kalimat syahadat.

            Indonesia memiliki sangat banyak pengalaman dan pelajaran untuk itu semua. Kita tinggal menggalinya, lalu menyebarkannya pada dunia hingga menjadi jawaban atas karut marutnya dunia “sebelah sana” yang masih tenggelam dalam “kemarahan, kebencian, fitnah, huru-hara, perebutan, dan pertikaian”.

            Sampurasun.


No comments:

Post a Comment