oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Pada tulisan yang lalu saya
mencoba memahami cikal bakal Islam Nusantara yang dapat dilihat dari konflik
yang terjadi dalam dongeng Kian Santang Vs
Prabu Siliwangi serta Prabu Brawijaya
Vs Sabdo Palon Noyo Genggong. Kian Santang dan Prabu Brawijaya merupakan
tokoh yang mendapatkan pengaruh Arab yang keras. Adapun Prabu Siliwangi dan
Sabdo Palon Noyo Genggong adalah tokoh yang menginginkan Islam dijalankan dalam
watak Nusantara. Islam Nusantara ini harus rela tenggelam sementara untuk
memberikan Islam Arab menyelesaikan tugasnya. Akan tetapi, pada zaman sekarang ini
Islam Arab harus mundur karena Islam Nusantara memiliki tugas yang lebih nyata,
yaitu menghentikan kekerasan serta menyebarkan cinta kasih dan perdamaian.
Pada tulisan kali ini pun saya mengajak pembaca untuk
mengetahui bagaimana Islam disebarkan dengan jalan kekerasan yang terjadi di
Indonesia. Kisah ini merupakan dongeng dan bukan sejarah. Hal itu disebabkan
kisah ini pun mengambil tokoh Prabu Siliwangi yang sesungguhnya adalah Nabi
Allah swt yang diutus pada masa Indonesia masih berupa Benua Sundaland, bukan
kepulauan seperti sekarang ini. Tokoh Prabu Siliwangi memang sangat unik karena
selalu ditarik ke dalam berbagai latar ceritera yang berbeda-beda dan dalam
waktu yang berbeda pula. Sosok Prabu Siliwangi kerap dijadikan tokoh sentral
dalam berbagai latar ceritera masa lalu yang sangat jauh, masa lalu yang lebih
ke sini, masa sekarang, bahkan masa depan. Pada kisah-kisah masa lalu tokoh
Prabu Siliwangi dijadikan tokoh sentral pada masa sebelum Nabi Muhammad saw
lahir, tetapi hadir pula ketika Nabi Muhammad saw masih kecil. Pada masa
Muhammad saw sudah menjadi nabi pun, Prabu Siliwangi masih menjadi tokoh utama
ceritera. Setelah zaman kenabian selesai pun, Prabu Siliwangi selalu ada. Pada
zaman penjajahan kompeni, Prabu Siliwangi memainkan perannya. Bahkan, Prabu
Siliwangi pun selalu dijadikan pemeran utama kisah-kisah yang bervisi ke masa
depan. Ia memang pribadi yang unik dibawa-bawa kesana-kemari dan dari waktu ke
waktu.
Dalam tulisan kali ini, saya mencoba menganalisa kisah Prabu Siliwangi Vs Sunan Gunung Jati yang
ada dalam makalah berjudul Tokoh
Siliwangi Menurut Tradisi Keraton Cirebon (Diangkat dari Kitab Pustaka Nagara
Kertabhumi, Purwaka Caruban Nagari dan Babad Cirebon) yang ditulis P.S. Sulendraningrat, Ramaguru Pengguron
Caruban, Krapyak, Kaparabonan (1991). Kalau dalam tulisan dongeng yang
lalu, Prabu Siliwangi kabur karena dikejar anaknya, Kian Santang, sekarang
dalam dongeng ini Prabu Siliwangi menghilang karena tidak mau didatangi cucunya
sendiri, yaitu Sunan Gunung Jati.
Beda ya?
Tidak apa-apalah, ini kan hanya dongeng. Akan tetapi,
dongeng ini dapat menjadi petunjuk mengenai fenomena yang terjadi dalam tubuh
pemerintahan masa lalu serta suasana kebatinan masyarakat pada saat itu.
Diceriterakan bahwa di Keraton Pajajaran Prabu Siliwangi,
semua isterinya, dan para selir hendak berangkat menengok Sang Putera, yaitu Pangeran
Cakrabuwana dan Sang Cucu, yaitu Sunan Gunung Jati di Cirebon. Cirebon pada
masa itu merupakan pusat pendidikan Islam di seluruh Nusantara. Semua orang
Pajajaran sudah bersiap-siap hendak berangkat. Akan tetapi, tiba-tiba dari arah
angkasa turun ahli agama yang bernama Ki
Buyut Talibarat. Dengan tiba-tiba, Ki Buyut Talibarat sudah berada di
hadapan Prabu Siliwangi.
Sang Prabu berkata, “Eyang Talibarat, selamat datang.
Datangnya tergesa-gesa seperti ada perkara yang penting.”
Berkata Ki Buyut
Talibarat, “Hai Sang Prabu, apa yang dikehendaki dengan takluk kepada Sang
Cucu, hendak memeluk agama Islam, agama orang yang bosok bolong (busuk berlubang), amoh
ajur (remuk rapuh). Sejak dahulu hingga sekarang mongmonganku para leluhur yang menganut agama Dewa Mulia. Ialah Sastrajendra Ayuningrat yang dipustiamalkan.
Apakah Sang Prabu silau kepada Putera Cucu?
Nanti keraton ini kutanami pusaka lidi lelaki supaya keraton tidak tertampak dan Sang Prabu
haraplah ngahyang hari ini juga
karena Sang Putera dan Sang Cucu sebentar lagi datang.”
Ki Buyut Talibarat mengingatkan Prabu Siliwangi bahwa
pada waktu yang bersamaan dengan keberangkatan Pajajaran ke Cirebon, anak
kandungnya, yaitu Pangeran Cakrabuwana dan cucunya, yaitu Sunan Gunung Jati
sebenarnya sudah mendekat ke Pajajaran dan hendak mengislamkan Prabu Siliwangi.
Memang keberangkatan Prabu Siliwangi ke Cirebon di
samping rindu kepada anak dan cucunya juga ingin bertemu langsung tanpa harus
mendapatkan berita dari orang lain. Hal itu disebabkan Prabu Siliwangi sebenarnya
sudah sejak lama mengutus Tumenggung Jayabaya bersama enam puluh pasukan untuk
melihat keadaan anak cucunya di Cirebon. Akan tetapi, Tumenggung Jayabaya dan
pasukannya tidak kembali lagi, bahkan sudah masuk Islam.
Hal itu mengakibatkan tanda tanya besar dalam diri Prabu
Siliwangi tentang bagaimana gerangan Tumenggung Jayabaya dan seluruh pasukannya
bisa tunduk dan masuk Islam di bawah kekuasaan anaknya, Cakrabuwana, dan cucunya,
Sunan Gunung Jati.
Hal yang membuat saya tertarik adalah kata-kata dari Ki
Buyut Talibarat, “Hai Sang Prabu, apa yang dikehendaki dengan takluk kepada
Sang Cucu, hendak memeluk agama Islam, agama orang yang bosok bolong (busuk berlubang), amoh
ajur (remuk rapuh)….”
Perhatikan, dia mengatakan bahwa agama Islam adalah agama
orang yang bosok bolong (busuk
berlubang), amoh ajur (remuk rapuh).
Ki Buyut Talibarat tidak mengatakan bahwa Islam adalah agama yang bosok bolong (busuk berlubang), amoh ajur (remuk rapuh), melainkan agama
orang yang bosok bolong (busuk
berlubang), amoh ajur (remuk rapuh).
Artinya, dia tidak menyerang dan tidak mengejek agama Islam, tetapi menyerang
dan mengejek orang Islam. Salah satu
hinaannya ini disebabkan orang Islam suka angkuh merasa benar sendiri dan kerap
memaksa orang lain untuk meninggalkan agamanya agar segera masuk Islam saat itu
juga. Hal ini ada dalam kisah selanjutnya.
Karena Prabu Siliwangi pun merasa dan melihat sendiri
keangkuhan orang Islam, segera mengikuti saran Ki Buyut Talibarat. Prabu
Siliwangi segera menanami keraton dengan pusaka lidi lelaki/lidi bujenggi. Segera saja para isteri
dan para selir dibawa ngahyang, lalu
lenyap tanpa bekas. Keraton terlihat menjadi hutan besar. Akan tetapi, seluruh famili
dan para Putera Sentana tidak dibawa. Mereka tertinggal di keraton Pajajaran
pada 1482 Masehi.
Tidak lama kemudian, datanglah Sunan Gunung Jati dan Ki
Kuwu Cirebon. Mereka mengetahui bahwa Sang Prabu sudah tidak ada dalam keraton.
Akan tetapi, Sunan Gunung Jati dan Ki Kuwu Cirebon masih dapat melihat keraton
tetap ada di tempat dan tidak tertipu oleh ajian menghilang. Mereka pun masuk
ke dalam keraton, lalu menangkapi penghuninya yang sebagian sudah bubar. Raja
Sengara tertangkap. Para sentana dan para eyang segera diislamkan. Ada yang
tertangkap di angkasa, ada pula yang tertangkap di dalam Bumi.
Adapun Arya Kebo Kamale meskipun sudah tertangkap, tetap
tidak mau masuk Islam. Ia berjanji akan masuk Islam nanti pada akhir zaman.
Oleh sebab itu, ia disuruh kemit/jaga
di Cirebon.
Ki Patih Argatala dan seluruh bawahannya bersembunyi di
pegunungan. Akan tetapi, Sunan Gunung Jati dapat melihat mereka.
Sunan Gunung Jati pun berteriak, “Ki Patih Argatala dan
seluruh bawahannya seperti siluman, tidak bercampur dengan manusia!”
Ki Patih pun sujud, lalu tobat. Akan tetapi, ia memohon
untuk masuk Islam nanti saja setelah akhir zaman. Sunan Gunung Jati
mengampuninya. Akan tetapi, Ki Patih disuruh berkumpul juga untuk jaga di
Cirebon.
Sunan Gunung Jati lalu mendekati Dipati Siput (Panglima
Besar Tentara Pajajaran Prabu Siliwangi) dan para bawahannya yang bersembunyi
di hutan.
Sunan Gunung Jati berkata, “Dipati Siput dan para
bawahannya yang bersembunyi berlaku seperti hewan bersembunyi di hutan.”
Tiba-tiba Dipati Siput menjadi macan putih. Para
bawahannya menjadi macan loreng. Dipati Siput lalu bersujud tobat. Akan tetapi,
ia pun sama memohon untuk nanti saja memeluk Islam pada akhir zaman.
Sunan Gunung Jati segera berkata, “Barang siapa yang
takut agama, tidak diperbolehkan campur dengan manusia, sebagai hewan atau
siluman.”
Meskipun demikian, Dipati Siput dan para bawahannya
diterima pengabdiannya dan diperintahkan untuk jaga di Cirebon.
Tak lama kemudian, Sunan Gunung Jati memasuki lagi
Keraton Pajajaran, mendekati para pembesar dan para kerabat yang sudah
mengikuti secara patuh terhadap Islam.
Sunan Gunung Jati memanggil Rama Paman/Raja Sengara dan
berkata, “Rama seyogyanya mengosongkan Keraton Pajajaran."
Raja Sengara menjawab, “Namun, Rama Dalem Cakrabuwana
sudah bermukim di Cirebon.”
Sunan Gunung Jati menimpali, “Iya betul Rama Uwa sudah
bermukim di Cirebon, tetapi Rama Raja Sengara jangan diam di keraton karena
Eyang Prabu tidak mau Islam. Semoga Sang Rama mau bermukim di lain tempat
karena Keraton Pajajaran sudah pasti menjadi hutan. Hanya ini balai tempat
duduk Sang Rama Prabu dan lampu Kerajaan Pajajaran saya mohon supaya dibawa ke
Cirebon dan alat-alat, pedang, keris, tumbak, dan lain-lain.”
Raja Sengara mematuhi permintaan Sang Putera.
Saudara Pembaca yang budiman dan baik hati. Kita cut dulu sampai di sana kisahnya, nanti
kita sambung lagi.
Hal yang dapat kita perhatikan dari kisah tersebut adalah
sebuah konflik antara Islam Arab dengan mereka yang berkeinginan Islam dilaksanakan
dengan watak Nusantara. Islam Arab adalah Islam yang dipengaruhi watak keras
dan penuh perjuangan. Adapun Islam Nusantara adalah Islam yang dipengaruhi
watak tenang, soft, dan lembut.
Di dalam kisah tersebut tampak bagaimana Prabu Siliwangi
sebagai seorang ayah bagi Pangeran Cakrabuwana dan sebagai seorang kakek bagi
Sunan Gunung Jati merindukan anak dan cucunya yang sudah terpisah selama dua
puluh tahun karena anak dan cucunya itu belajar Islam di Cirebon. Akan tetapi,
Sang Cucu, yaitu Sunan Gunung Jati malah datang dengan melakukan penaklukan
kepada kakeknya sendiri, Prabu Siliwangi, dengan alasan untuk menyebarkan Islam
dan mengislamkan Pajajaran. Ada dua watak yang bertolak belakang dalam kisah
ini, yaitu watak keras dan watak lembut.
Sang Kakek, Prabu Siliwangi, yang masih memegang agama Sunda
Wiwitan yang tak lain adalah ajaran Islam pra-Muhammad saw harus mengalah pada
Islam berwatak keras yang tampak dari tindakan yang dilakukan cucunya sendiri,
yaitu Sunan Gunung Jati. Prabu Siliwangi mengalah dan tidak mau bertempur
dengan cucunya sendiri. Ia membiarkan Islam berwatak keras untuk menyebar
karena memang diperlukan bagi perjalanan Indonesia dalam memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia. Akan tetapi, Prabu Siliwangi akan datang lagi
mengunjungi keturunannya di mana saja pada saat yang tepat. Hal ini sebagaimana
yang terdapat dalam Uga Wangsit Siliwangi.
“Seluruh keturunan
kalian akan aku kunjungi, tetapi hanya pada waktu yang diperlukan. Aku akan
datang lagi menolong yang membutuhkan pertolongan, membantu yang kesusahan,
tetapi hanya kepada mereka yang baik tingkah lakunya. Jika aku datang, tidak
akan terlihat. Kalau aku berbicara, tidak akan terdengar. Memang aku akan
datang. Akan tetapi, hanya kepada mereka yang baik hatinya, mereka yang
memahami terhadap satu tujuan, mereka yang mengerti pada keharuman sejati,
mereka yang memiliki empati tinggi dan tertata rapi pikirannya, serta yang baik
tingkah lakunya. Kalau aku datang, tidak akan berupa dan tidak akan bersuara,
tetapi memberi ciri dengan wewangian.
Sejak hari ini, Pajajaran hilang dari alam nyata. Hilang kotanya, hilang
negaranya. Pajajaran tidak akan meninggalkan jejak, kecuali nama untuk mereka
yang menelusurinya.”
Kapan Prabu Siliwangi
mengunjungi lagi keturunannya?
Dia akan datang ketika orang sudah menyadari bahwa zaman
kekerasan sudah seharusnya diakhiri. Dia memberikan dorongan agar orang kembali
pada kelembutan dan menjalankan ajaran Islam dengan lembut, penuh kasih sayang,
dan memberikan jalan keluar bagi terciptanya perdamaian di seluruh dunia.
Watak keras Sunan Gunung Jati dapat ditelusuri dari garis
darahnya sendiri. Sunan Gunung Jati adalah anak dari Puteri Prabu Siliwangi
yang bernama Ratu Mas Rarasantang. Ayahnya adalah Sultan Mesir Maulana Syarif Abdullah. Jadi, Sunan Gunung Jati
adalah putera dari pasangan Puteri Pajajaran-Sultan Mesir, yaitu pasangan Ratu
Mas Rarasantang-Sultan Mesir Maulana Syarif Abdullah. Jika kita berbicara
tentang Mesir, secara geografi dan demografi dekat sekali ke Timur Tengah dan
Arab. Wilayah-wilayah itu banyak diisi oleh orang-orang yang berwatak keras
hingga hari ini.
Segala yang terjadi dalam dongeng itu biarlah menjadi dongeng
sejarah karena itu terjadi disebabkan adanya konflik-konflik politik yang
berkecamuk saat itu. Kini metode kekerasan itu sangat tidak diperlukan karena
tidak ada lagi situasi yang memaksa untuk melakukan hal itu. Penyebaran Islam
melalui jalan kekerasan hanya akan menghasilkan Islam dalam arti ”patuh dan
takluk”, bukan “iman dan yakin”. Saat ini yang sangat diperlukan adalah
penyebaran Islam dengan cara yang lembut sebagaimana yang diinginkan Nabi Prabu
Siliwangi as, yaitu melalui pemahaman, pengetahuan, akhlak yang baik yang akan
menumbuhkan keimanan dan keyakinan yang berujung pada pernyataan keimanan dan
keislaman dalam dua kalimat syahadat.
Indonesia memiliki sangat banyak pengalaman dan pelajaran
untuk itu semua. Kita tinggal menggalinya, lalu menyebarkannya pada dunia
hingga menjadi jawaban atas karut marutnya dunia “sebelah sana” yang masih
tenggelam dalam “kemarahan, kebencian, fitnah, huru-hara, perebutan, dan pertikaian”.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment