oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Rasanya ada yang aneh dengan
Negara Indonesia yang kita cintai ini. Sudah lumayan lama Indonesia diberitakan
telah mampu mengalami peningkatan pertumbuhan ekonomi dan surplus neraca
perdagangan. Dunia mengakui hal itu dan masyarakat pun melihat tampaknya pemerintah
bekerja serius. Akan tetapi, pertumbuhan ekonomi itu sepertinya tidak dirasakan
masyarakat. Artinya, masyarakat tidak ikut mengalami pertumbuhan itu. Bahkan,
dalam keseharian saya menemukan orang-orang pekerja keras yang tiba-tiba
mengeluh karena lesu bisnisnya, beberapa teman menelepon saya siapa tahu saya
punya pekerjaan untuk mereka, banyak rencana bisnis yang gagal, banyak pedagang
yang mengaku sulit mendapatkan uang, mahasiswa sulit membeli buku sekalipun
buku murah, malah ada kepala dinas kesehatan yang tidak mampu membiayai kuliah
anaknya di bidang kesehatan, dan lain sebagainya yang semuanya itu biasanya
jarang saya dengar. Sementara itu, ada beberapa beban hidup yang mengalami
kenaikan, misalnya, listrik, BBM, dan beberapa bahan pokok. Saya merasa ada
kesenjangan antara pertumbuhan ekonomi yang dicapai negara dengan keadaan
ekonomi masyarakat yang sebenarnya.
Pemerintah Indonesia biasanya beralasan bahwa kesulitan
itu diakibatkan oleh ekonomi dunia yang sedang mengalami goncangan. Beberapa
kalangan masyarakat bisa menerima alasan itu. Akan tetapi, mereka yang tidak
menyukai pemerintahan Jokowi, malah memberikan ejekan kepada pemerintah bahwa
berita pertumbuhan ekonomi Indonesia itu hanya hoax.
Saya memang tidak mengerti tentang ekonomi. Jadi, saya
tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Kok bisa ya pemerintahnya
menyatakan pertumbuhan ekonominya surplus, tetapi masyarakatnya kesulitan.
Rasanya ada yang aneh. Seharusnya, ketika ekonomi negara tumbuh, rakyatnya pun
merasakan pertumbuhan itu. Akan tetapi, kenyataannya seperti tidak nyambung
antara pemerintah dengan rakyat.
Saya sendiri merasakannya ketika akan memanfaatkan tanah
kosong untuk saya jadikan kos-kosan. Saya berniat pinjam uang dari bank karena
katanya menurut kabar angin yang berembus sepoi-sepoi uang di bank yang
seharusnya bisa diserap masyarakat itu tidak pernah terserap habis, hanya
sedikit yang terserap, sedangkan sisanya selalu banyak setiap tahunnya.
Artinya, ada kesenjangan antara bank dengan masyarakat. Memang begitu
kejadiannya. Ketika saya berniat meminjam, saya segera menyadari bahwa saya
tidak memiliki kemampuan untuk membayar angsurannya karena terlalu besar dalam
jangka waktu yang pendek. Perlu diketahui bahwa saya ini tidak pernah pinjam
uang di bank sebelumnya karena memang anti-berhutang dan anti-punya cicilan apa
pun, kecuali benar-benar untuk kebutuhan yang sangat mendesak. Daripada harus
membeli barang atau kendaraan baru dengan mencicil, lebih baik membeli yang second sesuai kemampuan saya. Kalau nggak punya uang,
ya nggak perlu banyak keinginan.
Karena terlalu besar angsuran dan terlalu pendek jangka
waktu pengembalian, saya tidak jadi meminjam uang. Lebih baik, tunggu saja
rezeki dari tempat lain yang tidak tahu entah dari mana, tetapi jelas dari
Allah swt.
Terlalu besarnya angsuran dan terlalu pendeknya jangka
waktu pengembalian uang ke lembaga keuangan, baik bank maupun nonbank
mengakibatkan lambatnya pertumbuhan ekonomi masyarakat. Kelihatannya bank dan
masyarakat ingin sama-sama untung, tetapi saling berhadapan, seolah-olah saling
berseteru. Seharusnya kan kalau pakai falsafahnya Pancasila, lembaga keuangan dan
masyarakat itu harus saling dorong, saling bantu agar mendapatkan keuntungan
bersama-sama. Sekarang ini rasanya masih kapitalis karena bank ingin untung
besar dengan berbagai syaratnya dan masyarakat juga ingin untung, tetapi
megap-megap untuk mengembalikan cicilan. Bank sepertinya berniat
menggelontorkan pinjaman, tetapi hanya untuk keuntungan dirinya.
Ada baiknya bank memperpanjang jangka waktu pengembalian sampai
sepuluh atau lima belas tahun sehingga masyarakat di samping dapat
mengembalikan dengan mudah dan murah, juga menikmati dengan cepat hasil
bisnisnya. Jangan seperti sekarang ini, masyarakat yang meminjam uang masih
banyak yang belum menikmati hasil usahanya, tetapi sudah dipusingkan terlebih
dahulu untuk membayar cicilan setiap bulannya.
Saya menduga jika jumlah angsurannya rendah, kasus-kasus
kredit macet, penyitaan aset, dan kasus hutang-piutang yang kerap berakhir
dengan keributan bisa diminimalisasi. Kalau sekarang kita masih melihat banyak kasus
negatif akibat ekonomi uang, kan biasanya masyarakat tidak mampu lagi membayar
cicilan, tetapi masih memiliki harapan usahanya bisa berkembang dan membutuhkan
tambahan waktu untuk melakukan pembayaran.
Sebaiknya, segera dipikirkan agar setiap lembaga keuangan
lebih mendekatkan diri pada kenyataan riil yang terjadi di masyarakat. Artinya,
lembaga keuangan dapat lebih memahami kemampuan masyarakat dan lebih menurunkan
atau melonggarkan berbagai persyaratannya sehingga masyarakat dapat lebih banyak
menyerap dana bank dan mampu berbisnis dengan berbagai lembaga keuangan sehingga
tercipta kehidupan ekonomi yang saling membantu dan saling mendorong untuk
kemakmuran bersama. Itu namanya Pancasilais; gotong royong, bukan kapitalis dan
bukan pula komunis. Kita bisa untung sama-sama, adil sama-sama pula sebagaimana
Keadilan bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Seperti saya bilang tadi, saya bukan ahli ekonomi dan
tidak mengerti-mengerti amat tentang bank atau lembaga keuangan. Akan tetapi, saya punya
harapan jika lembaga keuangan dapat lebih memahami masyarakat serta masyarakat dapat
lebih mudah dan ringan berhadapan dengan lembaga keuangan, masyarakat pun akan
lebih disiplin dalam berhubungan dengan bank dan mengembangkan usahanya. Tidak
lagi seperti Tom and Jerry yang
terus-terusan kejar-kejaran seumur hidup tanpa pernah berhenti.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment