Thursday, 9 March 2017

Pertumbuhan Ekonomi Yang Tak Dirasakan Rakyat

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya
Rasanya ada yang aneh dengan Negara Indonesia yang kita cintai ini. Sudah lumayan lama Indonesia diberitakan telah mampu mengalami peningkatan pertumbuhan ekonomi dan surplus neraca perdagangan. Dunia mengakui hal itu dan masyarakat pun melihat tampaknya pemerintah bekerja serius. Akan tetapi, pertumbuhan ekonomi itu sepertinya tidak dirasakan masyarakat. Artinya, masyarakat tidak ikut mengalami pertumbuhan itu. Bahkan, dalam keseharian saya menemukan orang-orang pekerja keras yang tiba-tiba mengeluh karena lesu bisnisnya, beberapa teman menelepon saya siapa tahu saya punya pekerjaan untuk mereka, banyak rencana bisnis yang gagal, banyak pedagang yang mengaku sulit mendapatkan uang, mahasiswa sulit membeli buku sekalipun buku murah, malah ada kepala dinas kesehatan yang tidak mampu membiayai kuliah anaknya di bidang kesehatan, dan lain sebagainya yang semuanya itu biasanya jarang saya dengar. Sementara itu, ada beberapa beban hidup yang mengalami kenaikan, misalnya, listrik, BBM, dan beberapa bahan pokok. Saya merasa ada kesenjangan antara pertumbuhan ekonomi yang dicapai negara dengan keadaan ekonomi masyarakat yang sebenarnya.

            Pemerintah Indonesia biasanya beralasan bahwa kesulitan itu diakibatkan oleh ekonomi dunia yang sedang mengalami goncangan. Beberapa kalangan masyarakat bisa menerima alasan itu. Akan tetapi, mereka yang tidak menyukai pemerintahan Jokowi, malah memberikan ejekan kepada pemerintah bahwa berita pertumbuhan ekonomi Indonesia itu hanya hoax.

            Saya memang tidak mengerti tentang ekonomi. Jadi, saya tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Kok bisa ya pemerintahnya menyatakan pertumbuhan ekonominya surplus, tetapi masyarakatnya kesulitan. Rasanya ada yang aneh. Seharusnya, ketika ekonomi negara tumbuh, rakyatnya pun merasakan pertumbuhan itu. Akan tetapi, kenyataannya seperti tidak nyambung antara pemerintah dengan rakyat.

            Saya sendiri merasakannya ketika akan memanfaatkan tanah kosong untuk saya jadikan kos-kosan. Saya berniat pinjam uang dari bank karena katanya menurut kabar angin yang berembus sepoi-sepoi uang di bank yang seharusnya bisa diserap masyarakat itu tidak pernah terserap habis, hanya sedikit yang terserap, sedangkan sisanya selalu banyak setiap tahunnya. Artinya, ada kesenjangan antara bank dengan masyarakat. Memang begitu kejadiannya. Ketika saya berniat meminjam, saya segera menyadari bahwa saya tidak memiliki kemampuan untuk membayar angsurannya karena terlalu besar dalam jangka waktu yang pendek. Perlu diketahui bahwa saya ini tidak pernah pinjam uang di bank sebelumnya karena memang anti-berhutang dan anti-punya cicilan apa pun, kecuali benar-benar untuk kebutuhan yang sangat mendesak. Daripada harus membeli barang atau kendaraan baru dengan mencicil, lebih baik membeli yang second  sesuai kemampuan saya. Kalau nggak punya uang, ya nggak perlu banyak keinginan.

            Karena terlalu besar angsuran dan terlalu pendek jangka waktu pengembalian, saya tidak jadi meminjam uang. Lebih baik, tunggu saja rezeki dari tempat lain yang tidak tahu entah dari mana, tetapi jelas dari Allah swt.

            Terlalu besarnya angsuran dan terlalu pendeknya jangka waktu pengembalian uang ke lembaga keuangan, baik bank maupun nonbank mengakibatkan lambatnya pertumbuhan ekonomi masyarakat. Kelihatannya bank dan masyarakat ingin sama-sama untung, tetapi saling berhadapan, seolah-olah saling berseteru. Seharusnya kan kalau pakai falsafahnya Pancasila, lembaga keuangan dan masyarakat itu harus saling dorong, saling bantu agar mendapatkan keuntungan bersama-sama. Sekarang ini rasanya masih kapitalis karena bank ingin untung besar dengan berbagai syaratnya dan masyarakat juga ingin untung, tetapi megap-megap untuk mengembalikan cicilan. Bank sepertinya berniat menggelontorkan pinjaman, tetapi hanya untuk keuntungan dirinya.

            Ada baiknya bank memperpanjang jangka waktu pengembalian sampai sepuluh atau lima belas tahun sehingga masyarakat di samping dapat mengembalikan dengan mudah dan murah, juga menikmati dengan cepat hasil bisnisnya. Jangan seperti sekarang ini, masyarakat yang meminjam uang masih banyak yang belum menikmati hasil usahanya, tetapi sudah dipusingkan terlebih dahulu untuk membayar cicilan setiap bulannya.

            Saya menduga jika jumlah angsurannya rendah, kasus-kasus kredit macet, penyitaan aset, dan kasus hutang-piutang yang kerap berakhir dengan keributan bisa diminimalisasi. Kalau sekarang kita masih melihat banyak kasus negatif akibat ekonomi uang, kan biasanya masyarakat tidak mampu lagi membayar cicilan, tetapi masih memiliki harapan usahanya bisa berkembang dan membutuhkan tambahan waktu untuk melakukan pembayaran.

            Sebaiknya, segera dipikirkan agar setiap lembaga keuangan lebih mendekatkan diri pada kenyataan riil yang terjadi di masyarakat. Artinya, lembaga keuangan dapat lebih memahami kemampuan masyarakat dan lebih menurunkan atau melonggarkan berbagai persyaratannya sehingga masyarakat dapat lebih banyak menyerap dana bank dan mampu berbisnis dengan berbagai lembaga keuangan sehingga tercipta kehidupan ekonomi yang saling membantu dan saling mendorong untuk kemakmuran bersama. Itu namanya Pancasilais; gotong royong, bukan kapitalis dan bukan pula komunis. Kita bisa untung sama-sama, adil sama-sama pula sebagaimana Keadilan bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

            Seperti saya bilang tadi, saya bukan ahli ekonomi dan tidak mengerti-mengerti amat tentang bank atau lembaga keuangan. Akan tetapi, saya punya harapan jika lembaga keuangan dapat lebih memahami masyarakat serta masyarakat dapat lebih mudah dan ringan berhadapan dengan lembaga keuangan, masyarakat pun akan lebih disiplin dalam berhubungan dengan bank dan mengembangkan usahanya. Tidak lagi seperti Tom and Jerry yang terus-terusan kejar-kejaran seumur hidup tanpa pernah berhenti.


            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment