Tuesday, 21 March 2017

Banjir Langganan

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya
Setiap hari hujan, apalagi jika hujan besar, jalan raya di Rancaekek dan Dayeuhkolot, terutama Cieunteung selalu direndam banjir.

            Apakah banjir itu tidak bisa ditanggulangi?

            Perasaan, saya sudah pernah mendengar sekitar tiga atau empat tahun lalu bahwa banjir di Rancaekek itu akibat dari penyempitan aliran sungai gara-gara pembangunan pabrik. Kepolisian sudah menetapkan tersangka untuk kasus banjir akibat penyempitan aliran sungai itu. Dalam kata lain, penyempitan itu diakibatkan oleh ulah manusia. Manusia itu sudah jadi tersangka.

            Kalau sudah ada tersangka, seharusnya sudah ditindaklanjuti, kemudian dilakukan perbaikan terhadap penyempitan aliran sungai itu. Akan tetapi, banjir ternyata terus terjadi. Bahkan, banjir menggenang terus ada, padahal hujan sudah lebih dari 24 jam berhenti.

            Aneh.

            Apakah ini ada tersangka lain dengan kasus yang lain, misalnya, penyumbatan gorong-gorong?

            Apakah kasus penyempitan aliran sungai yang lalu belum dituntaskan kasusnya?

            Kepolisian dan Pemda, baik Kabupaten Bandung, Kabupaten Sumedang, maupun Provinsi Jawa Barat hendaknya serius berkoordinasi. Hal ini sebenarnya bisa ditanggulangi, dicari penyebabnya, ditemukan pendosanya, kemudian dilakukan perbaikan.

            Hal yang sangat rumit dan sangat aneh adalah soal banjir di Cieunteung, Kabupaten Bandung. Wilayah ini sudah ratusan tahun selalu kena banjir. Akan tetapi, tak ada yang mampu menanggulanginya. Sebelum Indonesia dijajah, daerah ini selalu banjir. Ketika VOC datang, wilayah ini masih banjir. Saat Pemerintah Belanda mengambil alih, wilayah ini tetap banjir. Sewaktu RAA Wiranatakusumah menjadi Bupati Bandung, baru ada kesadaran untuk meninggalkan tempat ini. Dulu wilayah ini namanya Krapyak dan menjadi pusat Ibukota Kabupaten Bandung. Oleh sebab itu, sekarang namanya menjadi Dayeuhkolot, ‘Kota Tua’, dan memang ada ciri-ciri jelas merupakan bekas pusat pemerintahan. RAA Wiranatakusumah memindahkan pusat pemerintahan Kabupaten Bandung karena wilayah ini selalu dilanda banjir. Banjir ini terus terjadi sampai sekarang. Ketika Bupati Bandung RAA Wiranatakusumah berusia genap 16 tahun, pusat pemerintahan dipindahkan ke dekat Sungai Cikapundung, lalu membuat pendopo bersama rakyatnya. Sekarang pendopo itu menjadi rumah dinas walikota Bandung dan wilayah itu dikenal sebagai Alun-alun Bandung.

            Hebat ya RAA Wiranatakusumah. Dalam usianya yang masih 16 tahun sudah jadi bupati dan membuat kota besar yang sekarang menjadi kota terbesar ketiga di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya. Anak sekarang mana ada yang usianya 16 tahun sudah bisa memikirkan bagaimana caranya membangun kota. Paling-paling, mereka masih main game di handphone, play station, atau game on line. Saya pikir ada yang salah dalam pendidikan kita yang kebarat-baratan ini. Anak muda dulu malah lebih bertanggung jawab dan kreatif.

            Wilayah Dayeuhkolot yang ditinggalkannya tetap banjir. Anehnya, baik RAA Wiranatakusumah maupun Belanda tidak tertarik untuk memperbaiki wilayah itu. Mungkin memang tepat jika wilayah itu sudah seharusnya dijadikan danau. Saat ini pun rencananya memang hendak dijadikan danau, tetapi tidak kunjung terwujud. Ada banyak kerumitan di sana, yaitu soal penempatan masyarakat yang akan tergusur karena pembangunan danau atau polder, soal pengalihan tempat usaha masyarakat dan pasar, soal jumlah ganti rugi yang harus dibayarkan kepada masyarakat, soal banyaknya kelompok berperilaku preman yang membuat urusan tambah kusut, soal kurang adanya koordinasi yang baik di antara SKPD-SKPD yang bertanggung jawab atas hal tersebut, dan masih banyak lagi kerumitan lainnya. Paling tidak, itulah yang dapat saya dengar ketika mengantar teman saya yang melakukan penelitian di sana untuk meraih gelar masternya terkait kebijakan publik.

            Saya melihatnya agak aneh.

            Serius nggak sih menyelesaikan banjir di sana yang sudah ratusan tahun itu?

            Apakah mau dibiarkan seperti itu serta menjadikannya proyek penanggulangan bencana alam rutin dan mengambil keuntungan sampingan dari bantuan-bantuan yang kerap diberikan, baik oleh organisasi, kelompok masyarakat, individu, atau mobil-motor yang lewat di sana ketika terjadi banjir?

            Saya pikir, kalau serius dengan niat yang kuat, pasti selesai.

            Lamun keyeng, tangtu pareng, ‘kalau serius ngotot, pasti tercapai’. Begitu kata pepatah orang tua Sunda.


            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment