oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Setiap hari hujan, apalagi
jika hujan besar, jalan raya di Rancaekek dan Dayeuhkolot, terutama Cieunteung
selalu direndam banjir.
Apakah banjir itu tidak bisa ditanggulangi?
Perasaan, saya sudah pernah mendengar sekitar tiga atau
empat tahun lalu bahwa banjir di Rancaekek itu akibat dari penyempitan aliran
sungai gara-gara pembangunan pabrik. Kepolisian sudah menetapkan tersangka
untuk kasus banjir akibat penyempitan aliran sungai itu. Dalam kata lain,
penyempitan itu diakibatkan oleh ulah manusia. Manusia itu sudah jadi
tersangka.
Kalau sudah ada tersangka, seharusnya sudah
ditindaklanjuti, kemudian dilakukan perbaikan terhadap penyempitan aliran
sungai itu. Akan tetapi, banjir ternyata terus terjadi. Bahkan, banjir
menggenang terus ada, padahal hujan sudah lebih dari 24 jam berhenti.
Aneh.
Apakah ini ada tersangka lain dengan kasus yang lain,
misalnya, penyumbatan gorong-gorong?
Apakah kasus penyempitan aliran sungai yang lalu belum
dituntaskan kasusnya?
Kepolisian dan Pemda, baik Kabupaten Bandung, Kabupaten
Sumedang, maupun Provinsi Jawa Barat hendaknya serius berkoordinasi. Hal ini
sebenarnya bisa ditanggulangi, dicari penyebabnya, ditemukan pendosanya,
kemudian dilakukan perbaikan.
Hal yang sangat rumit dan sangat aneh adalah soal banjir
di Cieunteung, Kabupaten Bandung. Wilayah ini sudah ratusan tahun selalu kena
banjir. Akan tetapi, tak ada yang mampu menanggulanginya. Sebelum Indonesia
dijajah, daerah ini selalu banjir. Ketika VOC datang, wilayah ini masih banjir.
Saat Pemerintah Belanda mengambil alih, wilayah ini tetap banjir. Sewaktu RAA
Wiranatakusumah menjadi Bupati Bandung, baru ada kesadaran untuk meninggalkan
tempat ini. Dulu wilayah ini namanya Krapyak
dan menjadi pusat Ibukota Kabupaten Bandung. Oleh sebab itu, sekarang
namanya menjadi Dayeuhkolot, ‘Kota
Tua’, dan memang ada ciri-ciri jelas merupakan bekas pusat pemerintahan. RAA
Wiranatakusumah memindahkan pusat pemerintahan Kabupaten Bandung karena wilayah
ini selalu dilanda banjir. Banjir ini terus terjadi sampai sekarang. Ketika Bupati
Bandung RAA Wiranatakusumah berusia genap 16 tahun, pusat pemerintahan
dipindahkan ke dekat Sungai Cikapundung, lalu membuat pendopo bersama
rakyatnya. Sekarang pendopo itu menjadi rumah dinas walikota Bandung dan wilayah
itu dikenal sebagai Alun-alun Bandung.
Hebat ya RAA Wiranatakusumah. Dalam usianya yang masih 16
tahun sudah jadi bupati dan membuat kota besar yang sekarang menjadi kota
terbesar ketiga di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya. Anak sekarang mana ada
yang usianya 16 tahun sudah bisa memikirkan bagaimana caranya membangun kota.
Paling-paling, mereka masih main game di handphone,
play station, atau game on line.
Saya pikir ada yang salah dalam pendidikan kita yang kebarat-baratan ini. Anak muda dulu malah lebih bertanggung jawab
dan kreatif.
Wilayah Dayeuhkolot yang ditinggalkannya tetap banjir.
Anehnya, baik RAA Wiranatakusumah maupun Belanda tidak tertarik untuk
memperbaiki wilayah itu. Mungkin memang tepat jika wilayah itu sudah seharusnya
dijadikan danau. Saat ini pun rencananya memang hendak dijadikan danau, tetapi
tidak kunjung terwujud. Ada banyak kerumitan di sana, yaitu soal penempatan
masyarakat yang akan tergusur karena pembangunan danau atau polder, soal
pengalihan tempat usaha masyarakat dan pasar, soal jumlah ganti rugi yang harus
dibayarkan kepada masyarakat, soal banyaknya kelompok berperilaku preman yang
membuat urusan tambah kusut, soal kurang adanya koordinasi yang baik di antara
SKPD-SKPD yang bertanggung jawab atas hal tersebut, dan masih banyak lagi
kerumitan lainnya. Paling tidak, itulah yang dapat saya dengar ketika mengantar
teman saya yang melakukan penelitian di sana untuk meraih gelar masternya
terkait kebijakan publik.
Saya melihatnya agak aneh.
Serius nggak sih menyelesaikan banjir di sana yang sudah
ratusan tahun itu?
Apakah mau dibiarkan seperti itu serta menjadikannya
proyek penanggulangan bencana alam rutin dan mengambil keuntungan sampingan
dari bantuan-bantuan yang kerap diberikan, baik oleh organisasi, kelompok
masyarakat, individu, atau mobil-motor yang lewat di sana ketika terjadi
banjir?
Saya pikir, kalau serius dengan niat yang kuat, pasti
selesai.
Lamun keyeng, tangtu pareng, ‘kalau
serius ngotot, pasti tercapai’. Begitu kata pepatah orang tua Sunda.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment