Sunday 5 March 2017

Cikal Bakal Islam Nusantara

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya
Sesungguhnya, tidak ada yang namanya Islam Nusantara, Islam Arab, Islam Timur Tengah, Islam Fundamentalis, Islam Fanatik, Islam Garis Keras, Islam Radikal, Islam Moderat, ataupun Islam-Islam lainnya. Saya juga ketika masih SMA pernah dikata-katai sebagai “Islam Tanjung Priok”.
            Saya jawab saja, “Saya bukan Islam Tanjung Priok. Saya Islam Soekarno-Hatta.”
            Saya jawab seperti itu karena saya tinggal dengan orangtua saya di seputaran Jl. Soekarno-Hatta, Bandung. Tanjung Priok itu nama tempat. Jl. Soekarno-Hatta juga nama tempat. Saya tidak tinggal di Tanjung Priok, Jakarta, tetapi di Jl. Soekarno-Hatta, Bandung. Jadi, kalau mau ngata-ngatai saya, sebaiknya sebut saja saya adalah Islam Soekarno-Hatta.
            Sesungguhnya, Islam is Islam.  Islam adalah Islam. Islam ya Islam. Tidak ada yang lain.
            Secara wahyu dan ajaran, Islam memang tidak ada dua, tiga, atau empat karena memiliki kitab yang sama, nabi-nabi yang juga sama, dan Tuhan Yang Sama. Meskipun demikian, kita tidak bisa mengingkari bahwa dalam kenyataan terjadi nuansa praktik-praktik islami di dunia ini. Setiap negara, setiap kaum, setiap suku, ataupun setiap komunitas memiliki ciri khas tersendiri dalam melaksanakan ajaran Islam. Hal itu disebabkan memang manusia diciptakan Allah swt berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Setiap bangsa dan suku itu memiliki karakter dan sifat yang berlainan. Ajaran Islam yang kemudian bersentuhan dengan setiap karakter dan sifat yang ada dalam lingkungan manusia tertentu menimbulkan nuansa yang khas pula yang tampak jelas terlihat dan terwujud dalam kehidupan sehari-hari.
            Sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam yang utama, nuansa-nuansa yang tampak berbeda itu tidaklah harus menjadi masalah. Bahkan, seharusnya memperkaya pengetahuan Islam kita. Kita tidak boleh memaksakan suatu karakter tertentu terhadap karakter lain yang sesungguhnya sudah diciptakan secara berbeda. Salah total jika kita harus menyeragamkan seluruh manusia dengan karakter Arab hanya karena Nabi Muhammad saw adalah orang Arab.
            Nabi Muhammad saw sendiri tidak pernah berniat menyeragamkan seluruh manusia, tetapi justru menyempurnakan tingkah laku manusia yang berbeda itu agar lebih baik, “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.”
            Artinya, pada setiap bangsa, suku, kaum, dan komunitas sudah memiliki akhlak-akhlak yang baik dan Nabi Muhammad saw datang untuk menyempurnakan akhlak itu agar terarah menuju pada pengabdian kepada Allah swt.
            Apa itu Islam Nusantara?
            Memang definisi ataupun pengertian Islam Nusantara sendiri masih belum jelas sampai sekarang. Akan tetapi, minimal pendapat Said Agil Siradj, tokoh NU, dapat dijadikan pijakan kecil untuk memahami Islam Nusantara.
            Dia bilang, “Islam Nusantara adalah Islam yang merangkul budaya Nusantara. Islam Arab adalah Islam yang keras.”
            Ada baiknya pemahaman itu diperjelas dengan menggunakan berbagai penelitian sangat mendalam sehingga semakin terang dan semakin bisa dipahami dengan mudah sekaligus menepis pendapat-pendapat mereka yang menolak pemahaman Islam Nusantara.

Beda Arab Beda Indonesia
Kita tidak bisa mengingkari kenyataan bahwa Arab dan Indonesia memiliki perbedaan watak. Jauh sebelum Muhammad saw menjadi nabi, orang Arab itu berwatak sangat keras. Mereka hidup dalam suasana penuh heroisme, berbangga-bangga atas keturunan dan silsilah keluarga, menjunjung tinggi kepahlawanan, bersedia menumpahkan darah saling bunuh untuk kehormatan kaum dan keluarga, hubungan di antara kaum adalah dengan perjuangan dan pembelaan harga diri, kedigjayaan dan keterampilan berkelahi main pedang merupakan kebanggaan yang dijunjung tinggi. Meskipun demikian, mereka sangat menghormati perjanjian karena jika terjadi pelanggaran, perang pun tidak akan bisa dihindari. Jika terjadi perang, kemusnahan suatu kaum atau suatu keluarga sangat mungkin terjadi. Hal itu disebabkan pihak yang kalah biasanya harta-hartanya dirampas dan kaum perempuannya dibagi-bagikan kepada pihak-pihak yang menang. Perempuan dan harta dipandang sama, yaitu sebagai rampasan perang.
            Ketika Muhammad saw menjadi nabi, mereka yang berwatak keras itu dipersatukan dalam satu panji, yaitu Islam. Sedikit demi sedikit, setahap demi setahap, kebiasaan buruk mereka dihilangkan dan kebiasaan baik mereka semakin disempurnakan. Meskipun demikian, watak yang keras dan penuh perjuangan itu tidak dihapus karena memang sudah diciptakan demikian. Kekerasan watak itu tetap ada, tetapi diarahkan untuk hal-hal yang baik, semisal, keberanian membela kebenaran, semangat berkorban untuk membela kehormatan Islam, dan keinginan kuat untuk menegakkan keadilan.
            Adapun Indonesia, jauh sebelum ajaran Nabi Muhammad saw datang, berada dalam situasi yang berbeda. Indonesia tidak seperti Arab yang penuh dengan heroisme atas dasar kebanggaan keluarga. Indonesia berada dalam situasi yang jauh lebih lembut dan tenang. Di Indonesia sudah tercipta rasa-rasa saling tenggang rasa, tepo seliro, sambung rasa, gotong royong, bahkan silih asih, silih asuh, silih asah. Membuat orang lain tidak tersakiti, baik oleh lisan maupun perbuatan merupakan ajaran yang tumbuh pada mayoritas setiap suku bangsa di Indonesia. Menjaga lingkungan untuk tetap tenang dan stabil adalah ciri khas rakyat Indonesia.
            Ketika ajaran Muhammad saw hadir di Indonesia, watak-watak tenang dan lembut itu semakin disempurnakan. Orang-orang Indonesia ini merasa nyaman dengan Islam yang dijalankan dengan watak yang tenang dan lembut sebagaimana karakternya yang memang diciptakan Allah swt seperti itu. Oleh sebab itu, siapa pun pihak yang ingin mengubah watak dan sifat asli bangsa Indonesia selalu akan mendapatkan kesulitan, perlawanan, serta berakhir menjadi kelompok-kelompok kecil yang kerap membuat resah.
            Islam yang dijalankan dengan wataknya sendiri inilah yang tampaknya disebut Islam Nusantara yang membedakannya dengan Islam Arab. Islam-nya tetap sama. Perbedaannya adalah dalam watak dan sifat manusia yang menjalankannya.
            Islam Arab yang penuh kekerasan diberikan ruang untuk hidup dalam ajaran Islam. Demikian pula Islam yang penuh kelembutan diberikan ruang untuk berkembang dalam ajaran Islam. Permasalahannya adalah kapan kita harus seperti Arab dan kapan harus kembali menjadi diri sendiri. Tambahan pula bagi orang Arab, kapan harus seperti orang Indonesia dan kapan harus menjadi diri mereka sendiri. Kekerasan dan kelembutan memang ada dalam ajaran Islam. Kedua hal itu seharusnya saling mengisi dan bersinergi dalam rangka mengabdikan diri kepada Allah swt serta memuliakan Islam dan kaum muslimin.

Bibit Islam Nusantara
Bibit Islam Nusantara tampaknya sudah bersemai di Indonesia ini sejak lama. Saya melihatnya dari folklore, ‘kisa-kisah rakyat’, yang berkembang dan bertahan di Sunda dan di Jawa. Di Sunda ada kisah konflik antara Kian Santang dan Prabu Siliwangi. Di Jawa ada konflik antara Prabu Brawijaya dan Sabdo Palon Noyo Genggong. Kedua kisah ini hanya dongeng dan bukan sejarah karena Si Pembuat Ceritera menggunakan tokoh-tokoh yang sama yang kemudian dihidupkan dalam latar ceritera yang berbeda dan dalam waktu yang berlainan pula (sudah jangan dipikirkan kalimat ini, bisa pusing). Meskipun demikian, para pujangga atau pembuat ceritera ini adalah orang-orang hebat. Mereka membuat ceritera berdasarkan fenomena yang terjadi saat itu, lalu memasukkannya ke dalam suasana spiritual mereka, kemudian mengeluarkannya lagi menjadi sebuah prediksi masa depan dengan kemampuan mereka yang tinggi dalam nganjang ka mangsa datang, ‘melihat masa depan’. Penglihatan mereka itu terbukti benar dan kita rasakan saat ini. Mari kita lihat bagaimana kisah-kisah yang menjadi bibit Islam Nusantara.

Kian Santang dan Prabu Siliwangi
Prabu Siliwangi as sebenarnya nabi yang hidup pada masa Indonesia masih berbentuk Benua Sundaland dan bukan kepulauan seperti sekarang ini. Akan tetapi, dalam dongeng berikut sosok Prabu Siliwangi as ditarik menjadi tokoh ceritera masa kini untuk mewakili ajaran Sunda. Maksudnya, ajaran Sunda dihidupkan dalam rupa tokoh Prabu Siliwangi pada masa Si Pembuat Ceritera hidup.
            Kisahnya panjang, tetapi potongan pendek dari kisah itulah yang sangat terkenal. Dalam dongeng itu, dikisahkan bahwa Prabu Siliwangi yang telah memeluk agama Islam kembali ke agamanya yang dulu, yaitu Sunda Wiwitan. Perlu dipahami bahwa Sunda Wiwitan adalah ajaran Islam pra-Muhammad saw. Karena Prabu Siliwangi kembali pada agamanya yang dulu, anak kandungnya sendiri, yaitu Kian Santang Sang Penyebar Islam berniat memeranginya. Prabu Siliwangi pun kabur dan tilem, ‘hilang’, ke dalam hutan. Ada yang menyebut ke Hutan Sancang di Garut, adapula yang menyebut ke Hutan Salak. Tidak masalah ke hutan yang mana, pokoknya ke dalam hutan.
            Prabu Siliwangi tidak melawan anaknya sendiri. Ia memilih untuk tilem atau hilang dari pandangan mata manusia. Namun, ia akan kembali mengunjungi keturunannya di mana saja dalam wujud yang tidak tampak oleh mata. Yang dimaksud keturunannya ini bukan hanya orang Sunda, melainkan pula seluruh penduduk Benua Sundaland yang pernah berada di wilayah kekuasannya, sekarang bernama Indonesia dan sekitarnya. Hal itu bisa dilihat dalam Uga Wangsit Siliwangi.
            Prabu Siliwangi berkata kepada warga Pajajaran yang ikut mundur sebelum menghilang, “Perjalanan kita hanya sampai hari ini meskipun kalian semua setia kepadaku! Aku tidak boleh membawa-bawa kalian pada masalah ini, ikut-ikutan hidup sengsara, ikut kumal sambil kelaparan. Kalian harus memilih untuk hidup selanjutnya supaya nanti bisa hidup makmur dan kaya raya, bisa mendirikan lagi Pajajaran! Bukan Pajajaran seperti yang sekarang ini, melainkan Pajajaran yang berdirinya dibangkitkan oleh perkembangan zaman! Pilih! Aku tidak akan menghalang-halangi sebab bagiku, tidak pantas menjadi raja yang seluruh rakyatnya selalu lapar dan sengsara.
            ….
            Seluruh keturunan kalian akan aku kunjungi, tetapi hanya pada waktu yang diperlukan. Aku akan datang lagi menolong yang membutuhkan pertolongan, membantu yang kesusahan, tetapi hanya kepada mereka yang baik tingkah lakunya. Jika aku datang, tidak akan terlihat. Kalau aku berbicara, tidak akan terdengar. Memang aku akan datang. Akan tetapi, hanya kepada mereka yang baik hatinya, mereka yang memahami terhadap satu tujuan, mereka yang mengerti pada keharuman sejati, mereka yang memiliki empati tinggi dan tertata rapi pikirannya, serta yang baik tingkah lakunya. Kalau aku datang, tidak akan berupa dan tidak akan bersuara, tetapi memberi ciri dengan wewangian.  Sejak hari ini, Pajajaran hilang dari alam nyata. Hilang kotanya, hilang negaranya. Pajajaran tidak akan meninggalkan jejak, kecuali nama untuk mereka yang menelusurinya.”
            Kapan Prabu Silwangi mengunjungi keturunannya itu?
            Kita akan cari tahu waktunya dari kisah Sabdo Palon Noyo Genggong.

Prabu Brawijaya dan Sabdo Palon Noyogenggong
Kisah Jawa ini pun memiliki beberapa kesamaan dengan kisah Sunda sebelumnya, yaitu Prabu Brawijaya dikejar anak kandungnya sendiri yang sudah beragama Islam. Prabu Brawijaya dipaksa anaknya untuk menerima Islam. Sang Prabu pun kabur, lalu disusul oleh Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga menyusulnya untuk mencari solusi yang terbaik agar terjadi perdamaian antara Prabu Brawijaya dengan anaknya yang berasal dari istrinya yang berdarah Cina. Sunan Kalijaga pun dapat menyusulnya. Kemudian, terjadi pertemuan di daerah Banyuwangi sekarang.
            Ingatlah kepada kisah lama yang ditulis di dalam buku babad tentang Negara Mojopahit. Waktu itu Sang Prabu Brawijaya mengadakan pertemuan dengan Sunan Kalijaga didampingi oleh punakawannya yang bernama Sabdo Palon Noyo Genggong.
            Prabu Brawijaya berkata lemah lembut kepada punakawannya, “Sabdo Palon, sekarang saya sudah menjadi Islam. Bagaimanakah kamu? Lebih baik ikut Islam sekali, sebuah agama yang suci dan baik.”
            Sabdo Palon menjawab kasar, “Hamba tak mau masuk Islam Sang Prabu sebab saya ini raja serta pembesar Dang Hyang setanah Jawa! Saya ini yang membantu anak cucu serta para raja di tanah Jawa. Sudah digaris kita harus berpisah.
            Berpisah dengan Sang Prabu kembali ke asal mula saya. Namun, Sang Prabu, kami mohon dicatat. Kelak setelah 500 tahun, saya akan mengajarkan budi pekerti lagi. Saya sebar ke seluruh tanah Jawa.
            Bila ada yang tidak mau memakai, akan saya hancurkan! Mereka akan saya jadikan makanan jin setan dan lain-lainnya. Belum legalah hati saya bila belum saya hancur leburkan! Saya akan membuat tanda akan datangnya kata-kata saya ini, yaitu bila kelak Gunung Merapi meletus dan memuntahkan laharnya.
            Letusan Gunung Merapi ini adalah letusan yang terbesar sepanjang sejarah. Letusan ini menimbulkan rupa-rupa penderitaan. Di samping itu, terdapat pula bencana lain, seperti, gempa bumi di mana-mana, gunung-gunung berapi banyak yang meletus, banjir bak lautan lepas, ketidakadilan ekonomi,  banyak penyakit, kerusakan dalam bidang peternakan, dan banyak keresahan diderita manusia.
            Demikianlah kata-kata Sabda Palon yang segera menghilang tiba-tiba. Dirinya tidak tampak lagi. Ia kembali ke alamnya. Prabu Brawijaya tertegun sejenak. Sama sekali tidak dapat berbicara. Hatinya kecewa sekali dan merasa salah. Namun, bagaimana lagi, segala itu sudah menjadi kodrat yang tidak mungkin diubahnya lagi.

Menguatnya Islam Arab
Di dalam kedua kisah itu, yaitu Kian Santang dan Prabu Siliwangi serta Prabu Brawijaya dan Sabdo Palon Noyo genggong, tampak jelas Islam Arab mengambil alih pengaruh di Nusantara ini sehingga mengakibatkan bibit-bibit Islam Nusantara “tengelam sementara”. Islam berjiwa Arab ini sangat cepat meluas pengaruhnya dari atas sampai bawah, dari penguasa sampai dengan rakyat kecil.
            Kian Santang adalah perwakilan tokoh Islam Arab karena merupakan tokoh yang ngalanglang ka tanah Arab, ‘berkelana ke tanah Arab’. Dia kembali lagi ke tanah Sunda dengan ajaran Islam sekaligus perilaku Arab. Adapun Prabu Siliwangi merupakan tokoh yang nerus Bumi, ‘melesak ke dalam Bumi’, dalam arti tokoh yang sangat kuat dengan kepribadian Sunda.
            Prabu Brawijaya adalah tokoh yang terpengaruh Islam Arab atas ultimatum anaknya sendiri. Adapun Sabdo Palon Noyo Genggong adalah tokoh spiritual pengajar budi pekerti Jawa.
            Jadi, jelas sekali, baik Kian Santang maupun Prabu Brawijaya telah menerima Islam Arab dalam hidupnya. Adapun Prabu Siliwangi dan Sabdo Palon Noyo Genggong memilih untuk tetap dalam akhlaknya yang membuat mereka merasa aman, nyaman, dan benar.
            Prabu Siliwangi dan Sabdo Palon Noyo Genggong tampaknya mewakili Islam Nusantara yang sementara waktu harus menahan diri menunggu takdir untuk kembali tampil dan menyeimbangkan segalanya. Meskipun mereka berdua tampak tidak menerima Islam, sesungguhnya bukan Islam yang mereka tolak, melainkan Islam yang dijalankan dalam perilaku Arab. Mereka menginginkan Islam yang dijalankan dengan watak Nusantara. Hal itu bisa dilihat bahwa Prabu Siliwangi dan Sabdo Palon Noyo Genggong sama sekali tidak menolak keesaan Tuhan, tidak mengingkari Allah swt, tidak memusuhi Nabi Muhammad saw, tidak menyangkal ayat-ayat Al Quran, serta tidak ingin memerangi dan membinasakan orang-orang Islam.
            Kritikan dan ejekan beberapa Raja Sunda selalu ditujukan kepada orang Islam dan bukan kepada Islam. Maharaja Sri Baduga pernah melontarkan ejekan bahwa orang Islam adalah orang-orang yang serakah terhadap agama. Dia memilih untuk hidup tenang dan bahagia hati daripada bertingkah seperti orang-orang Islam.
            Tidak ada keterangan yang jelas mengenai ”serakah terhadap agama”. Akan tetapi, saya mencoba merasakannya sebagai orang Sunda. Yang dimaksud “serakah terhadap agama” itu mirip yang terjadi hari ini juga, yaitu sikap berlebihan orang Islam terhadap agamanya. Karena merasa yakin berdasarkan hati, akal, dan ilmu pengetahuan bahwa Islam adalah agama yang benar dan tidak pernah salah, orang Islam mudah sekali melecehkan serta merendahkan agama orang lain dan para pengikutnya. Bahkan, hal yang lebih parah adalah kerap merendahkan pula sesama orang Islam hanya disebabkan berbeda Ormas. Memang benar Islam itu agama yang benar dan tidak akan bisa dikalahkan secara hati, akal, dan ilmu pengetahuan, tetapi mempertontonkan kebenaran keyakinan secara arogan sambil merendahkan orang lain adalah sikap yang berlebihan.
            Itulah yang saya rasakan dari kalimat Sri Baduga Maharaja bahwa orang Islam, “orang yang serakah terhadap agama.”
            Memang begitu kan kenyataannya?
            Sedikit-sedikit bilang kafir, sesat, bidah, neraka, murtad, dan lain sebagainya. Tentunya, tidak semua orang Islam seperti itu. Banyak pula yang mampu menjaga diri dan hatinya untuk tidak melukai orang lain, baik fisik maupun psikis.
            Perilaku arogan seperti ini pun sesungguhnya terjadi pula pada zaman Nabi Muhammad saw. Oleh sebab itu, Nabi Muhammad saw berulang-ulang mengingatkan sahabat-sahabatnya. Contohnya, ketika Islam semakin menguat di Madinah, banyak sekali para pemimpin nonmuslim yang melakukan diplomasi kepada Nabi Muhammad saw. Para penyembah berhala, penguasa dan pendeta Kristen, tokoh-tokoh Yahudi, dan para pemimpin Majusi berduyun-duyun bergantian menemui Nabi Muhammad saw. Para sahabat Nabi Muhammad saw sering melecehkan tamu-tamu Nabi saw karena agama dan perilaku buruk orang-orang kafir itu. Para sahabat tak jarang menertawakan keyakinan orang-orang nonmuslim yang jelas-jelas salah dalam pandangan Islam. Para sahabat memandang rendah keyakinan nonmuslim dan pribadi para pemimpinnya yang juga memang tidak masuk akal.
            Melihat para sahabatnya berperilaku tidak sopan seperti itu, Nabi Muhammad saw selalu mengingatkan, “Jika ada orang mulia di antara mereka datang kepadaku, perlakukanlah sebagaimana mereka orang mulia di antara kaumnya.”
            Artinya, tamu itu harus dihormati. Para pemimpin itu tetap harus dihormati meskipun berbeda keyakinan dan agama karena mereka adalah orang yang terhormat di dalam kaumnya.
            Memang para sahabat kadang berlebihan dan sangat keterlaluan. Bahkan, sampai dengan melakukan pembunuhan terhadap tamu Nabi Muhammad saw. Para sahabat tahu bahwa Nabi Muhammad saw itu adalah orang yang sangat lembut dan baik. Oleh sebab itu, Nabi Muhammad saw selalu memperhatikan dan memberikan banyak kebutuhan orang-orang kafir yang datang kepadanya. Nabi Muhammad saw tidak pernah berkeras hati dalam menghadapi tamunya. Nabi Muhammad saw sangat dikenal kedermawanannya melebihi angin. Angin itu sangat dermawan, memberikan kehidupan oksigen pada semua makhluk hidup tanpa diminta dan tanpa meminta balasan. Nabi Muhammad saw lebih dermawan daripada angin. Oleh sebab itu, para sahabat kadang kesal karena merasa Nabi Muhammad saw selalu menguntungkan para tamunya yang jelas-jelas kafir itu. Apalagi jika tamunya itu diketahui pada masa lalunya pernah melakukan kejahatan, penganiayaan, dan pengusiran terhadap orang Islam. Para sahabat kadang-kadang berbohong dengan mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw sedang tidak ada di tempat, padahal Nabi ada di rumahnya.
            Bahkan, para sahabat berbohong dengan mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw baru bisa ditemui malam hari. Selama tamunya menunggu malam, para sahabat mengajaknya berbincang-bincang, lalu mengajaknya berjalan-jalan. Ketika sampai di tempat sepi, para sahabat pun memancung tamu Nabi Muhammad saw tersebut.
            Mereka memegang kepalanya sambil berteriak kepada temannya, “Cepat penggallah leher kepala musuh Allah ini!”
            Itu kenyataan.
            Mau bagaimana lagi?
            Itu watak mereka.
            Tak heran jika Nabi Muhammad saw menasihati, “Orang Islam itu adalah orang yang mampu menjaga dirinya untuk tidak menyakiti orang lain.”
            Kembali ke soal Prabu Siliwangi as. Kian Santang memang tokoh pemberani dan gemar menantang risiko meskipun berakibat kematian. Kisah yang sangat terkenal adalah ketika mengkhitan beberapa orang Garut, Jawa Barat, tetapi terjadi kesalahan prosedur sehingga mengakibatkan orang yang disunat mati. Dia terlalu berani. Ia pun memiliki pandangan cukup radikal bahwa menurutnya untuk membuat suatu masyarakat menjadi muslim, haruslah mengalahkan terlebih dahulu penguasanya. Ketika penguasanya jatuh ke tangan kaum muslim, masyarakat pun akan menjadi muslim. Kian Santang memang cukup terpengaruh oleh watak Islam Arab. Adapun Prabu Siliwangi lebih menyukai jalan yang lebih soft dan lembut.
            Karena watak Islam Arab yang keras itulah, Prabu Siliwangi mengalah untuk tilem ke dalam hutan dan akan kembali lagi pada waktu yang tepat. Di samping itu, Prabu Siliwangi menyadari bahwa memang ini saatnya untuk agama selam, ‘Islam’, dalam arti watak Arab berkuasa. Hal itu disebabkan memang Islam Arab sangat dibutuhkan untuk menghalangi penjajahan bangsa-bangsa penjajah  merusakkan tanah air Indonesia. Watak-watak keras Arab sangat diperlukan untuk kemerdekaan Indonesia. Ajaran-ajaran kebanggaan diri, perang, keberanian, kepahlawanan memang sangat dibutuhkan untuk perjuangan Indonesia dalam mengusir penjajahan. Untuk menghentikan penjajahan, memang diperlukan watak-watak keras dan pemberani. Oleh sebab itu, kalimat-kalimat jihad fisabilillah dan hadiah surga meluas di mana-mana. Kisah-kisah kepahlawanan dari tanah Arab, Turki, dan zaman kekhalifahan merangsek masuk ke dalam jiwa dan otak kaum muslimin untuk menjadi pemberani melawan penjajahan. Islam Arab memang berpengaruh besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
            Sabdo Palon Noyo Genggong pun menyadari hal yang sama bahwa sudah ada garis untuk berpisah dengan Prabu Brawijaya. Ia pun memahami bahwa Islam Arab sangat diperlukan untuk perjuangan melawan kompeni. Meskipun demikian, di kalangan orang Jawa ada ejekan bagi orang Islam sebagai orang yang kearab-araban. Ejekan mereka itu disebabkan banyaknya nama-nama bayi yang berbahasa Arab, berpakaian ala Arab, berperilaku bagai Arab, berbicara seperti orang Arab, semakih bergaya Arab dianggapnya semakin soleh dan dekat dengan Nabi saw. Padahal, Islam sendiri tidak mutlak-mutlakan mengajarkan hal seperti itu.
            Sabdo Palon Noyo Genggong membiarkan Islam Arab berada di tanah Jawa sampai Gunung Merapi meletus dahsyat untuk kemudian kembali mengajarkan budi pekerti.

Islam Nusantara Menguat
Merapi telah meletus dahsyat dan mengguncangkan perhatian seluruh dunia. Bencana gempa Bumi dan banjir bak lautan lepas kerap terjadi. Ketimpangan ekonomi masih terjadi.  Perilaku manusia makin tidak terkendali, baik mulutnya maupun tingkah lakunya.
            Prabu Siliwangi dan Sabdo Palon Noyo Genggong sesungguhnya telah kembali dan hidup di masyarakat. Prabu Silliwangi dengan Sunda Wiwitan serta Sabdo Palon Noyo Genggong dengan budi pekerti kembali mempengaruhi hidup bangsa Indonesia. Kedua tokoh itu mewakili nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang dirindukan kembali hidup sebagai jati diri bangsa.
            Tidak merasakah kita bahwa pengaruh mereka berdua sangat kuat dan semakin kuat terhadap diri kita?
            Penjajahan sudah selesai, kecuali di Palestina. Islam Arab dengan kekerasan wataknya telah sempurna berkontribusi bagi kemerdekaan Indonesia. Sekarang watak itu harus disimpan dulu agar bisa kembali pada watak asli bangsa yang lembut, penuh nilai luhur, tenggang rasa, sambung rasa, silih asih-silih asuh-silih asah, gotong royong, tepo seliro, dan lain sebagainya. Kita sudah merdeka. Ruang untuk kembali tenang sudah sangat terbuka lebar.
            Pancasila tidak lagi dipertentangkan dengan Islam, bahkan menjadi bagian dari semangat perjuangan Islam. Bhineka Tunggal Ika adalah jati diri bangsa yang terus diperjuangkan. Pembukaan UUD 1945 merupakan perwujudan dasar budi perkerti bangsa untuk mencapai tujuan nasional bangsa Indonesia. Toleransi menjadi sarana untuk saling membiarkan orang lain bebas menjalankan keyakinannya masing-masing. Soal benar dan salah keyakinan itu adalah urusan nanti di akhirat dalam pengadilan Illahi bukan di dunia ini.
            Itulah cikal bakal Islam Nusantara, yaitu Islam yang dijalankan oleh watak dan karakter bangsa Indonesia yang penuh nilai-nilai keluhuran diri hasil dari olah rasa.
            Bagi mereka yang masih menggunakan Islam berwatak Arab, padahal situasinya sudah berbeda, Sabdo Palon Noyo Genggong memberikan ancaman, “Bila ada yang tidak mau memakai (budi pekerti), akan saya hancurkan! Mereka akan saya jadikan makanan jin setan dan lain-lainnya. Belum legalah hati saya bila belum saya hancur leburkan!”
            Hal ini juga terbukti bahwa dengan semakin menguatnya kerinduan bangsa pada jati dirinya sendiri, siapa pun akan dilibas dan pasti dikalahkan, baik itu mereka yang kearab-araban maupun kebarat-baratan.
            Mereka yang masih belum kembali pada nilai-nilai luhur bangsa anugerah Allah swt, akan tersudut, terpojok, serta selalu berada kegelisahan dan kecemasan. Bahkan, bisa-bisa dianggap pengganggu atau perusak suasana oleh masyarakat.
            Kini saatnya meminggirkan Islam Arab dan kembali pada Islam Nusantara. Bahkan, orang-orang Arab pun sudah menyadari bahwa sekarang masanya bukan masa kekerasan dan perang, melainkan masa kelembutan, perdamaian, berbagi, dan saling mengisi. Kehadiran Raja Arab Salman di Indonesia dengan berbagai pernyataannya tentang Indonesia menunjukkan bahwa dia dan Arab ingin belajar dari Indonesia mengenai toleransi, keramahan, persaudaraan, perdamaian, kebebasan berbicara yang terukur, serta kebebasan menyampaikan aspirasi. Islam Nusantara tampaknya semakin hari semakin dapat menjadi jawaban dalam memecahkan setiap keresahan dunia saat ini. Syaratnya, kitanya dulu yang telah banyak diberi anugerah oleh Allah swt ini mampu saling melindungi, saling berbagi, saling menyayangi, dan saling menghormati di antara sesama bangsa sendiri. Jika kitanya masih tersesat, jangan harap bisa berkontribusi bagi semesta alam. Perbaiki diri saja dulu, baru berbuat bagi orang lain.
            Sampurasun.
           


No comments:

Post a Comment