oleh Tom Finaldin
Bandung, Putera Sang Surya
Sesungguhnya, tidak ada yang namanya
Islam Nusantara, Islam Arab, Islam Timur Tengah, Islam Fundamentalis, Islam
Fanatik, Islam Garis Keras, Islam Radikal, Islam Moderat, ataupun Islam-Islam
lainnya. Saya juga ketika masih SMA pernah dikata-katai sebagai “Islam Tanjung
Priok”.
Saya
jawab saja, “Saya bukan Islam Tanjung Priok. Saya Islam Soekarno-Hatta.”
Saya
jawab seperti itu karena saya tinggal dengan orangtua saya di seputaran Jl.
Soekarno-Hatta, Bandung. Tanjung Priok itu nama tempat. Jl. Soekarno-Hatta juga
nama tempat. Saya tidak tinggal di Tanjung Priok, Jakarta, tetapi di Jl.
Soekarno-Hatta, Bandung. Jadi, kalau mau ngata-ngatai saya, sebaiknya sebut
saja saya adalah Islam Soekarno-Hatta.
Sesungguhnya,
Islam is Islam. Islam adalah Islam. Islam ya Islam. Tidak ada
yang lain.
Secara
wahyu dan ajaran, Islam memang tidak ada dua, tiga, atau empat karena memiliki
kitab yang sama, nabi-nabi yang juga sama, dan Tuhan Yang Sama. Meskipun
demikian, kita tidak bisa mengingkari bahwa dalam kenyataan terjadi nuansa
praktik-praktik islami di dunia ini. Setiap negara, setiap kaum, setiap suku,
ataupun setiap komunitas memiliki ciri khas tersendiri dalam melaksanakan
ajaran Islam. Hal itu disebabkan memang manusia diciptakan Allah swt
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Setiap bangsa dan suku itu memiliki karakter
dan sifat yang berlainan. Ajaran Islam yang kemudian bersentuhan dengan setiap
karakter dan sifat yang ada dalam lingkungan manusia tertentu menimbulkan
nuansa yang khas pula yang tampak jelas terlihat dan terwujud dalam kehidupan
sehari-hari.
Sepanjang
tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam yang utama, nuansa-nuansa yang
tampak berbeda itu tidaklah harus menjadi masalah. Bahkan, seharusnya
memperkaya pengetahuan Islam kita. Kita tidak boleh memaksakan suatu karakter
tertentu terhadap karakter lain yang sesungguhnya sudah diciptakan secara
berbeda. Salah total jika kita harus menyeragamkan seluruh manusia dengan karakter
Arab hanya karena Nabi Muhammad saw adalah orang Arab.
Nabi
Muhammad saw sendiri tidak pernah berniat menyeragamkan seluruh manusia, tetapi
justru menyempurnakan tingkah laku manusia yang berbeda itu agar lebih baik, “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.”
Artinya, pada
setiap bangsa, suku, kaum, dan komunitas sudah memiliki akhlak-akhlak yang baik
dan Nabi Muhammad saw datang untuk menyempurnakan akhlak itu agar terarah menuju
pada pengabdian kepada Allah swt.
Apa
itu Islam Nusantara?
Memang
definisi ataupun pengertian Islam Nusantara sendiri masih belum jelas sampai
sekarang. Akan tetapi, minimal pendapat Said Agil Siradj, tokoh NU, dapat
dijadikan pijakan kecil untuk memahami Islam Nusantara.
Dia
bilang, “Islam Nusantara adalah Islam yang merangkul budaya Nusantara. Islam
Arab adalah Islam yang keras.”
Ada
baiknya pemahaman itu diperjelas dengan menggunakan berbagai penelitian sangat mendalam
sehingga semakin terang dan semakin bisa dipahami dengan mudah sekaligus
menepis pendapat-pendapat mereka yang menolak pemahaman Islam Nusantara.
Beda Arab Beda Indonesia
Kita tidak bisa mengingkari kenyataan
bahwa Arab dan Indonesia memiliki perbedaan watak. Jauh sebelum Muhammad saw
menjadi nabi, orang Arab itu berwatak sangat keras. Mereka hidup dalam suasana
penuh heroisme, berbangga-bangga atas keturunan dan silsilah keluarga,
menjunjung tinggi kepahlawanan, bersedia menumpahkan darah saling bunuh untuk
kehormatan kaum dan keluarga, hubungan di antara kaum adalah dengan perjuangan
dan pembelaan harga diri, kedigjayaan dan keterampilan berkelahi main pedang
merupakan kebanggaan yang dijunjung tinggi. Meskipun demikian, mereka sangat
menghormati perjanjian karena jika terjadi pelanggaran, perang pun tidak akan
bisa dihindari. Jika terjadi perang, kemusnahan suatu kaum atau suatu keluarga
sangat mungkin terjadi. Hal itu disebabkan pihak yang kalah biasanya
harta-hartanya dirampas dan kaum perempuannya dibagi-bagikan kepada pihak-pihak
yang menang. Perempuan dan harta dipandang sama, yaitu sebagai rampasan perang.
Ketika
Muhammad saw menjadi nabi, mereka yang berwatak keras itu dipersatukan dalam
satu panji, yaitu Islam. Sedikit demi sedikit, setahap demi setahap, kebiasaan
buruk mereka dihilangkan dan kebiasaan baik mereka semakin disempurnakan. Meskipun
demikian, watak yang keras dan penuh perjuangan itu tidak dihapus karena memang
sudah diciptakan demikian. Kekerasan watak itu tetap ada, tetapi diarahkan
untuk hal-hal yang baik, semisal, keberanian membela kebenaran, semangat
berkorban untuk membela kehormatan Islam, dan keinginan kuat untuk menegakkan
keadilan.
Adapun
Indonesia, jauh sebelum ajaran Nabi Muhammad saw datang, berada dalam situasi
yang berbeda. Indonesia tidak seperti Arab yang penuh dengan heroisme atas
dasar kebanggaan keluarga. Indonesia berada dalam situasi yang jauh lebih
lembut dan tenang. Di Indonesia sudah tercipta rasa-rasa saling tenggang rasa,
tepo seliro, sambung rasa, gotong royong, bahkan silih asih, silih asuh, silih asah. Membuat orang lain tidak
tersakiti, baik oleh lisan maupun perbuatan merupakan ajaran yang tumbuh pada
mayoritas setiap suku bangsa di Indonesia. Menjaga lingkungan untuk tetap
tenang dan stabil adalah ciri khas rakyat Indonesia.
Ketika
ajaran Muhammad saw hadir di Indonesia, watak-watak tenang dan lembut itu
semakin disempurnakan. Orang-orang Indonesia ini merasa nyaman dengan Islam
yang dijalankan dengan watak yang tenang dan lembut sebagaimana karakternya
yang memang diciptakan Allah swt seperti itu. Oleh sebab itu, siapa pun pihak
yang ingin mengubah watak dan sifat asli bangsa Indonesia selalu akan
mendapatkan kesulitan, perlawanan, serta berakhir menjadi kelompok-kelompok
kecil yang kerap membuat resah.
Islam
yang dijalankan dengan wataknya sendiri inilah yang tampaknya disebut Islam
Nusantara yang membedakannya dengan Islam Arab. Islam-nya tetap sama.
Perbedaannya adalah dalam watak dan sifat manusia yang menjalankannya.
Islam
Arab yang penuh kekerasan diberikan ruang untuk hidup dalam ajaran Islam.
Demikian pula Islam yang penuh kelembutan diberikan ruang untuk berkembang
dalam ajaran Islam. Permasalahannya adalah kapan kita harus seperti Arab dan
kapan harus kembali menjadi diri sendiri. Tambahan pula bagi orang Arab, kapan
harus seperti orang Indonesia dan kapan harus menjadi diri mereka sendiri.
Kekerasan dan kelembutan memang ada dalam ajaran Islam. Kedua hal itu
seharusnya saling mengisi dan bersinergi dalam rangka mengabdikan diri kepada
Allah swt serta memuliakan Islam dan kaum muslimin.
Bibit Islam Nusantara
Bibit Islam Nusantara tampaknya sudah
bersemai di Indonesia ini sejak lama. Saya melihatnya dari folklore, ‘kisa-kisah rakyat’, yang berkembang dan bertahan di
Sunda dan di Jawa. Di Sunda ada kisah konflik antara Kian Santang dan Prabu
Siliwangi. Di Jawa ada konflik antara Prabu
Brawijaya dan Sabdo Palon Noyo Genggong.
Kedua kisah ini hanya dongeng dan bukan sejarah karena Si Pembuat Ceritera menggunakan
tokoh-tokoh yang sama yang kemudian dihidupkan dalam latar ceritera yang
berbeda dan dalam waktu yang berlainan pula (sudah jangan dipikirkan kalimat
ini, bisa pusing). Meskipun demikian, para pujangga atau pembuat ceritera ini
adalah orang-orang hebat. Mereka membuat ceritera berdasarkan fenomena yang
terjadi saat itu, lalu memasukkannya ke dalam suasana spiritual mereka,
kemudian mengeluarkannya lagi menjadi sebuah prediksi masa depan dengan
kemampuan mereka yang tinggi dalam nganjang
ka mangsa datang, ‘melihat masa depan’. Penglihatan mereka itu terbukti
benar dan kita rasakan saat ini. Mari kita lihat bagaimana kisah-kisah yang
menjadi bibit Islam Nusantara.
Kian Santang dan Prabu Siliwangi
Prabu Siliwangi as sebenarnya nabi yang
hidup pada masa Indonesia masih berbentuk Benua Sundaland dan bukan kepulauan
seperti sekarang ini. Akan tetapi, dalam dongeng berikut sosok Prabu Siliwangi
as ditarik menjadi tokoh ceritera masa kini untuk mewakili ajaran Sunda.
Maksudnya, ajaran Sunda dihidupkan dalam rupa tokoh Prabu Siliwangi pada masa
Si Pembuat Ceritera hidup.
Kisahnya
panjang, tetapi potongan pendek dari kisah itulah yang sangat terkenal. Dalam
dongeng itu, dikisahkan bahwa Prabu Siliwangi yang telah memeluk agama Islam
kembali ke agamanya yang dulu, yaitu Sunda Wiwitan. Perlu dipahami bahwa Sunda
Wiwitan adalah ajaran Islam pra-Muhammad saw. Karena Prabu Siliwangi kembali
pada agamanya yang dulu, anak kandungnya sendiri, yaitu Kian Santang Sang
Penyebar Islam berniat memeranginya. Prabu Siliwangi pun kabur dan tilem, ‘hilang’, ke dalam hutan. Ada yang menyebut ke Hutan Sancang di Garut,
adapula yang menyebut ke Hutan Salak. Tidak masalah ke hutan yang mana, pokoknya
ke dalam hutan.
Prabu
Siliwangi tidak melawan anaknya sendiri. Ia memilih untuk tilem atau hilang dari pandangan mata manusia. Namun, ia akan
kembali mengunjungi keturunannya di mana saja dalam wujud yang tidak tampak
oleh mata. Yang dimaksud keturunannya ini bukan hanya orang Sunda, melainkan
pula seluruh penduduk Benua Sundaland yang pernah berada di wilayah kekuasannya,
sekarang bernama Indonesia dan sekitarnya. Hal itu bisa dilihat dalam Uga Wangsit Siliwangi.
Prabu Siliwangi berkata kepada warga
Pajajaran yang ikut mundur sebelum menghilang, “Perjalanan kita hanya sampai
hari ini meskipun kalian semua setia kepadaku! Aku tidak boleh membawa-bawa
kalian pada masalah ini, ikut-ikutan hidup sengsara, ikut kumal sambil
kelaparan. Kalian harus memilih untuk hidup selanjutnya supaya nanti bisa hidup
makmur dan kaya raya, bisa mendirikan lagi Pajajaran! Bukan Pajajaran seperti
yang sekarang ini, melainkan Pajajaran yang berdirinya dibangkitkan oleh
perkembangan zaman! Pilih! Aku tidak akan menghalang-halangi sebab bagiku,
tidak pantas menjadi raja yang seluruh rakyatnya selalu lapar dan sengsara.
….
Seluruh keturunan kalian akan aku
kunjungi, tetapi hanya pada waktu yang diperlukan. Aku akan datang lagi
menolong yang membutuhkan pertolongan, membantu yang kesusahan, tetapi hanya
kepada mereka yang baik tingkah lakunya. Jika aku datang, tidak akan terlihat.
Kalau aku berbicara, tidak akan terdengar. Memang aku akan datang. Akan tetapi,
hanya kepada mereka yang baik hatinya, mereka yang memahami terhadap satu
tujuan, mereka yang mengerti pada keharuman sejati, mereka yang memiliki empati
tinggi dan tertata rapi pikirannya, serta yang baik tingkah lakunya. Kalau aku
datang, tidak akan berupa dan tidak akan bersuara, tetapi memberi ciri dengan
wewangian. Sejak hari ini, Pajajaran
hilang dari alam nyata. Hilang kotanya, hilang negaranya. Pajajaran tidak akan
meninggalkan jejak, kecuali nama untuk mereka yang menelusurinya.”
Kapan
Prabu Silwangi mengunjungi keturunannya itu?
Kita
akan cari tahu waktunya dari kisah Sabdo Palon Noyo Genggong.
Prabu Brawijaya dan Sabdo Palon Noyogenggong
Kisah Jawa ini pun memiliki beberapa
kesamaan dengan kisah Sunda sebelumnya, yaitu Prabu Brawijaya dikejar anak
kandungnya sendiri yang sudah beragama Islam. Prabu Brawijaya dipaksa anaknya
untuk menerima Islam. Sang Prabu pun kabur, lalu disusul oleh Sunan Kalijaga.
Sunan Kalijaga menyusulnya untuk mencari solusi yang terbaik agar terjadi
perdamaian antara Prabu Brawijaya dengan anaknya yang berasal dari istrinya yang
berdarah Cina. Sunan Kalijaga pun dapat menyusulnya. Kemudian, terjadi
pertemuan di daerah Banyuwangi sekarang.
Ingatlah kepada kisah lama yang ditulis di
dalam buku babad tentang Negara Mojopahit. Waktu itu Sang Prabu Brawijaya
mengadakan pertemuan dengan Sunan Kalijaga didampingi oleh punakawannya yang
bernama Sabdo Palon Noyo Genggong.
Prabu Brawijaya berkata lemah lembut
kepada punakawannya, “Sabdo Palon, sekarang saya sudah menjadi Islam.
Bagaimanakah kamu? Lebih baik ikut Islam sekali, sebuah agama yang suci dan
baik.”
Sabdo Palon menjawab kasar, “Hamba
tak mau masuk Islam Sang Prabu sebab saya ini raja serta pembesar Dang Hyang
setanah Jawa! Saya ini yang membantu anak cucu serta para raja di tanah Jawa.
Sudah digaris kita harus berpisah.
Berpisah dengan Sang Prabu kembali
ke asal mula saya. Namun, Sang Prabu, kami mohon dicatat. Kelak setelah 500
tahun, saya akan mengajarkan budi pekerti lagi. Saya sebar ke seluruh tanah
Jawa.
Bila ada yang tidak mau memakai,
akan saya hancurkan! Mereka akan saya jadikan makanan jin setan dan
lain-lainnya. Belum legalah hati saya bila belum saya hancur leburkan! Saya
akan membuat tanda akan datangnya kata-kata saya ini, yaitu bila kelak Gunung
Merapi meletus dan memuntahkan laharnya.
Letusan Gunung
Merapi ini adalah letusan yang terbesar sepanjang sejarah. Letusan ini
menimbulkan rupa-rupa penderitaan. Di samping itu, terdapat pula bencana lain,
seperti, gempa bumi di mana-mana, gunung-gunung berapi banyak yang meletus,
banjir bak lautan lepas, ketidakadilan ekonomi,
banyak penyakit, kerusakan dalam bidang peternakan, dan banyak keresahan
diderita manusia.
Demikianlah kata-kata Sabda Palon
yang segera menghilang tiba-tiba. Dirinya tidak tampak lagi. Ia kembali ke
alamnya. Prabu Brawijaya tertegun sejenak. Sama sekali tidak dapat berbicara.
Hatinya kecewa sekali dan merasa salah. Namun, bagaimana lagi, segala itu sudah
menjadi kodrat yang tidak mungkin diubahnya lagi.
Menguatnya Islam Arab
Di dalam kedua kisah itu, yaitu Kian
Santang dan Prabu Siliwangi serta Prabu Brawijaya dan Sabdo Palon Noyo
genggong, tampak jelas Islam Arab mengambil alih pengaruh di Nusantara ini
sehingga mengakibatkan bibit-bibit Islam Nusantara “tengelam sementara”. Islam
berjiwa Arab ini sangat cepat meluas pengaruhnya dari atas sampai bawah, dari
penguasa sampai dengan rakyat kecil.
Kian
Santang adalah perwakilan tokoh Islam Arab karena merupakan tokoh yang ngalanglang ka tanah Arab, ‘berkelana ke
tanah Arab’. Dia kembali lagi ke tanah Sunda dengan ajaran Islam sekaligus
perilaku Arab. Adapun Prabu Siliwangi merupakan tokoh yang nerus Bumi, ‘melesak ke dalam Bumi’, dalam arti tokoh yang sangat
kuat dengan kepribadian Sunda.
Prabu
Brawijaya adalah tokoh yang terpengaruh Islam Arab atas ultimatum anaknya
sendiri. Adapun Sabdo Palon Noyo Genggong adalah tokoh spiritual pengajar budi
pekerti Jawa.
Jadi,
jelas sekali, baik Kian Santang maupun Prabu Brawijaya telah menerima Islam
Arab dalam hidupnya. Adapun Prabu Siliwangi dan Sabdo Palon Noyo Genggong
memilih untuk tetap dalam akhlaknya yang membuat mereka merasa aman, nyaman,
dan benar.
Prabu
Siliwangi dan Sabdo Palon Noyo Genggong tampaknya mewakili Islam Nusantara yang
sementara waktu harus menahan diri menunggu takdir untuk kembali tampil dan
menyeimbangkan segalanya. Meskipun mereka berdua tampak tidak menerima Islam,
sesungguhnya bukan Islam yang mereka tolak, melainkan Islam yang dijalankan
dalam perilaku Arab. Mereka menginginkan Islam yang dijalankan dengan watak
Nusantara. Hal itu bisa dilihat bahwa Prabu Siliwangi dan Sabdo Palon Noyo
Genggong sama sekali tidak menolak keesaan Tuhan, tidak mengingkari Allah swt,
tidak memusuhi Nabi Muhammad saw, tidak menyangkal ayat-ayat Al Quran, serta tidak
ingin memerangi dan membinasakan orang-orang Islam.
Kritikan
dan ejekan beberapa Raja Sunda selalu ditujukan kepada orang Islam dan bukan
kepada Islam. Maharaja Sri Baduga pernah melontarkan ejekan bahwa orang Islam adalah orang-orang yang serakah terhadap
agama. Dia memilih untuk hidup tenang
dan bahagia hati daripada bertingkah seperti orang-orang Islam.
Tidak
ada keterangan yang jelas mengenai ”serakah
terhadap agama”. Akan tetapi, saya mencoba merasakannya sebagai orang
Sunda. Yang dimaksud “serakah terhadap agama” itu mirip yang terjadi hari ini
juga, yaitu sikap berlebihan orang Islam terhadap agamanya. Karena merasa yakin
berdasarkan hati, akal, dan ilmu pengetahuan bahwa Islam adalah agama yang
benar dan tidak pernah salah, orang Islam mudah sekali melecehkan serta
merendahkan agama orang lain dan para pengikutnya. Bahkan, hal yang lebih parah
adalah kerap merendahkan pula sesama orang Islam hanya disebabkan berbeda
Ormas. Memang benar Islam itu agama yang benar dan tidak akan bisa dikalahkan
secara hati, akal, dan ilmu pengetahuan, tetapi mempertontonkan kebenaran
keyakinan secara arogan sambil merendahkan orang lain adalah sikap yang
berlebihan.
Itulah
yang saya rasakan dari kalimat Sri Baduga Maharaja bahwa orang Islam, “orang
yang serakah terhadap agama.”
Memang
begitu kan kenyataannya?
Sedikit-sedikit
bilang kafir, sesat, bidah, neraka, murtad, dan lain sebagainya. Tentunya,
tidak semua orang Islam seperti itu. Banyak pula yang mampu menjaga diri dan
hatinya untuk tidak melukai orang lain, baik fisik maupun psikis.
Perilaku
arogan seperti ini pun sesungguhnya terjadi pula pada zaman Nabi Muhammad saw.
Oleh sebab itu, Nabi Muhammad saw berulang-ulang mengingatkan
sahabat-sahabatnya. Contohnya, ketika Islam semakin menguat di Madinah, banyak
sekali para pemimpin nonmuslim yang melakukan diplomasi kepada Nabi Muhammad
saw. Para penyembah berhala, penguasa dan pendeta Kristen, tokoh-tokoh Yahudi,
dan para pemimpin Majusi berduyun-duyun bergantian menemui Nabi Muhammad saw.
Para sahabat Nabi Muhammad saw sering melecehkan tamu-tamu Nabi saw karena
agama dan perilaku buruk orang-orang kafir itu. Para sahabat tak jarang
menertawakan keyakinan orang-orang nonmuslim yang jelas-jelas salah dalam
pandangan Islam. Para sahabat memandang rendah keyakinan nonmuslim dan pribadi
para pemimpinnya yang juga memang tidak masuk akal.
Melihat
para sahabatnya berperilaku tidak sopan seperti itu, Nabi Muhammad saw selalu
mengingatkan, “Jika ada orang mulia di
antara mereka datang kepadaku, perlakukanlah sebagaimana mereka orang mulia di
antara kaumnya.”
Artinya,
tamu itu harus dihormati. Para pemimpin itu tetap harus dihormati meskipun
berbeda keyakinan dan agama karena mereka adalah orang yang terhormat di dalam
kaumnya.
Memang
para sahabat kadang berlebihan dan sangat keterlaluan. Bahkan, sampai dengan
melakukan pembunuhan terhadap tamu Nabi Muhammad saw. Para sahabat tahu bahwa
Nabi Muhammad saw itu adalah orang yang sangat lembut dan baik. Oleh sebab itu,
Nabi Muhammad saw selalu memperhatikan dan memberikan banyak kebutuhan
orang-orang kafir yang datang kepadanya. Nabi Muhammad saw tidak pernah
berkeras hati dalam menghadapi tamunya. Nabi Muhammad saw sangat dikenal
kedermawanannya melebihi angin. Angin itu sangat dermawan, memberikan kehidupan
oksigen pada semua makhluk hidup tanpa diminta dan tanpa meminta balasan. Nabi
Muhammad saw lebih dermawan daripada angin. Oleh sebab itu, para sahabat kadang
kesal karena merasa Nabi Muhammad saw selalu menguntungkan para tamunya yang
jelas-jelas kafir itu. Apalagi jika tamunya itu diketahui pada masa lalunya
pernah melakukan kejahatan, penganiayaan, dan pengusiran terhadap orang Islam.
Para sahabat kadang-kadang berbohong dengan mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw
sedang tidak ada di tempat, padahal Nabi ada di rumahnya.
Bahkan,
para sahabat berbohong dengan mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw baru bisa
ditemui malam hari. Selama tamunya menunggu malam, para sahabat mengajaknya
berbincang-bincang, lalu mengajaknya berjalan-jalan. Ketika sampai di tempat
sepi, para sahabat pun memancung tamu Nabi Muhammad saw tersebut.
Mereka
memegang kepalanya sambil berteriak kepada temannya, “Cepat penggallah leher
kepala musuh Allah ini!”
Itu
kenyataan.
Mau
bagaimana lagi?
Itu
watak mereka.
Tak
heran jika Nabi Muhammad saw menasihati, “Orang
Islam itu adalah orang yang mampu menjaga dirinya untuk tidak menyakiti orang
lain.”
Kembali ke soal
Prabu Siliwangi as. Kian Santang memang tokoh pemberani dan gemar menantang
risiko meskipun berakibat kematian. Kisah yang sangat terkenal adalah ketika
mengkhitan beberapa orang Garut, Jawa Barat, tetapi terjadi kesalahan prosedur
sehingga mengakibatkan orang yang disunat mati. Dia terlalu berani. Ia pun
memiliki pandangan cukup radikal bahwa menurutnya untuk membuat suatu
masyarakat menjadi muslim, haruslah mengalahkan terlebih dahulu penguasanya.
Ketika penguasanya jatuh ke tangan kaum muslim, masyarakat pun akan menjadi
muslim. Kian Santang memang cukup terpengaruh oleh watak Islam Arab. Adapun
Prabu Siliwangi lebih menyukai jalan yang lebih soft dan lembut.
Karena
watak Islam Arab yang keras itulah, Prabu Siliwangi mengalah untuk tilem ke dalam hutan dan akan kembali
lagi pada waktu yang tepat. Di samping itu, Prabu Siliwangi menyadari bahwa
memang ini saatnya untuk agama selam, ‘Islam’,
dalam arti watak Arab berkuasa. Hal itu disebabkan memang Islam Arab sangat
dibutuhkan untuk menghalangi penjajahan bangsa-bangsa penjajah merusakkan tanah air Indonesia. Watak-watak
keras Arab sangat diperlukan untuk kemerdekaan Indonesia. Ajaran-ajaran
kebanggaan diri, perang, keberanian, kepahlawanan memang sangat dibutuhkan
untuk perjuangan Indonesia dalam mengusir penjajahan. Untuk menghentikan
penjajahan, memang diperlukan watak-watak keras dan pemberani. Oleh sebab itu,
kalimat-kalimat jihad fisabilillah dan
hadiah surga meluas di mana-mana. Kisah-kisah kepahlawanan dari tanah Arab,
Turki, dan zaman kekhalifahan merangsek masuk ke dalam jiwa dan otak kaum
muslimin untuk menjadi pemberani melawan penjajahan. Islam Arab memang
berpengaruh besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Sabdo
Palon Noyo Genggong pun menyadari hal yang sama bahwa sudah ada garis untuk
berpisah dengan Prabu Brawijaya. Ia pun memahami bahwa Islam Arab sangat
diperlukan untuk perjuangan melawan kompeni. Meskipun demikian, di kalangan
orang Jawa ada ejekan bagi orang Islam sebagai orang yang kearab-araban. Ejekan mereka itu disebabkan banyaknya nama-nama
bayi yang berbahasa Arab, berpakaian ala Arab, berperilaku bagai Arab,
berbicara seperti orang Arab, semakih bergaya Arab dianggapnya semakin soleh
dan dekat dengan Nabi saw. Padahal, Islam sendiri tidak mutlak-mutlakan
mengajarkan hal seperti itu.
Sabdo
Palon Noyo Genggong membiarkan Islam Arab berada di tanah Jawa sampai Gunung
Merapi meletus dahsyat untuk kemudian kembali mengajarkan budi pekerti.
Islam Nusantara Menguat
Merapi telah meletus dahsyat dan
mengguncangkan perhatian seluruh dunia. Bencana gempa Bumi dan banjir bak
lautan lepas kerap terjadi. Ketimpangan ekonomi masih terjadi. Perilaku manusia makin tidak terkendali, baik
mulutnya maupun tingkah lakunya.
Prabu
Siliwangi dan Sabdo Palon Noyo Genggong sesungguhnya telah kembali dan hidup di
masyarakat. Prabu Silliwangi dengan Sunda Wiwitan serta Sabdo Palon Noyo
Genggong dengan budi pekerti kembali mempengaruhi hidup bangsa Indonesia. Kedua
tokoh itu mewakili nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang dirindukan kembali
hidup sebagai jati diri bangsa.
Tidak
merasakah kita bahwa pengaruh mereka berdua sangat kuat dan semakin kuat
terhadap diri kita?
Penjajahan
sudah selesai, kecuali di Palestina. Islam Arab dengan kekerasan wataknya telah
sempurna berkontribusi bagi kemerdekaan Indonesia. Sekarang watak itu harus
disimpan dulu agar bisa kembali pada watak asli bangsa yang lembut, penuh nilai
luhur, tenggang rasa, sambung rasa, silih asih-silih asuh-silih asah, gotong
royong, tepo seliro, dan lain sebagainya. Kita sudah merdeka. Ruang untuk
kembali tenang sudah sangat terbuka lebar.
Pancasila tidak lagi dipertentangkan
dengan Islam, bahkan menjadi bagian dari semangat perjuangan Islam. Bhineka Tunggal Ika adalah jati diri
bangsa yang terus diperjuangkan. Pembukaan
UUD 1945 merupakan perwujudan dasar budi perkerti bangsa untuk mencapai
tujuan nasional bangsa Indonesia. Toleransi
menjadi sarana untuk saling membiarkan orang lain bebas menjalankan
keyakinannya masing-masing. Soal benar dan salah keyakinan itu adalah urusan
nanti di akhirat dalam pengadilan Illahi bukan di dunia ini.
Itulah
cikal bakal Islam Nusantara, yaitu Islam yang dijalankan oleh watak dan
karakter bangsa Indonesia yang penuh nilai-nilai keluhuran diri hasil dari olah
rasa.
Bagi
mereka yang masih menggunakan Islam berwatak Arab, padahal situasinya sudah
berbeda, Sabdo Palon Noyo Genggong memberikan ancaman, “Bila ada yang tidak mau memakai (budi pekerti), akan saya hancurkan! Mereka akan saya jadikan makanan jin setan dan
lain-lainnya. Belum legalah hati saya bila belum saya hancur leburkan!”
Hal ini juga
terbukti bahwa dengan semakin menguatnya kerinduan bangsa pada jati dirinya
sendiri, siapa pun akan dilibas dan pasti dikalahkan, baik itu mereka yang kearab-araban maupun kebarat-baratan.
Mereka
yang masih belum kembali pada nilai-nilai luhur bangsa anugerah Allah swt, akan
tersudut, terpojok, serta selalu berada kegelisahan dan kecemasan. Bahkan,
bisa-bisa dianggap pengganggu atau perusak suasana oleh masyarakat.
Kini
saatnya meminggirkan Islam Arab dan kembali pada Islam Nusantara. Bahkan,
orang-orang Arab pun sudah menyadari bahwa sekarang masanya bukan masa
kekerasan dan perang, melainkan masa kelembutan, perdamaian, berbagi, dan
saling mengisi. Kehadiran Raja Arab Salman di Indonesia dengan berbagai
pernyataannya tentang Indonesia menunjukkan bahwa dia dan Arab ingin belajar
dari Indonesia mengenai toleransi, keramahan, persaudaraan, perdamaian,
kebebasan berbicara yang terukur, serta kebebasan menyampaikan aspirasi. Islam
Nusantara tampaknya semakin hari semakin dapat menjadi jawaban dalam memecahkan
setiap keresahan dunia saat ini. Syaratnya, kitanya dulu yang telah banyak
diberi anugerah oleh Allah swt ini mampu saling melindungi, saling berbagi,
saling menyayangi, dan saling menghormati di antara sesama bangsa sendiri. Jika
kitanya masih tersesat, jangan harap bisa berkontribusi bagi semesta alam.
Perbaiki diri saja dulu, baru berbuat bagi orang lain.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment