oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Para ahli sejarah, arkeolog,
antropolog, dan lain sebagainya yang keilmuannya menyangkut manusia dan
kemanusiaan harus meluaskan pandangannya karena di samping ilmu pengetahuan itu
selalu berkembang, juga telah ditemukan kenyataan-kenyataan baru yang jelas
bisa menggugurkan pengetahuan lama. Salah satu contoh para ahli harus lebih
meluaskan pandangan adalah soal sejarah tentang Nabi Prabu Siliwangi as yang
selama ini banyak diteliti dan terus diteliti tak henti-henti dan selalu
berakhir dengan menimbulkan banyak pertanyaan yang tidak tuntas dijawab. Hal
itu disebabkan terbatasnya sumber-sumber informasi serta terbatasnya jangkauan
pemahaman kita mengenai sejarah dan sosok Prabu Siliwangi as sendiri.
Salah seorang pangeran dari Kerajaan Islam Cirebon, yaitu
Pangeran Wangsakerta mendapatkan
perintah dari Sultan Sepuh untuk menelusuri eksistensi Prabu Siliwangi as. Hal
itu disebabkan nama Prabu Siliwangi as selalu harum di masyarakat, terutama
masyarakat Sunda. Sosok Prabu Siliwangi sangat dirindukan dan dibanggakan.
Dalam penelitiannya, Pangeran Wangsakerta kesulitan mendapatkan
hasil yang benar mengenai Prabu Siliwangi. Hal itu disebabkan dia menelusurinya
dengan menggunakan data-data dari carita
pantun, pengalaman-pengalaman Belanda, serta syair-syair lain yang semuanya
tampak bernilai sastra dan bukan sejarah. Oleh sebab itu, ia menyimpulkan bahwa
nama Siliwangi sebagai raja Sunda tidak tercatat dalam pustaka-pustaka sejarah.
Hanyalah orang-orang Jawa Barat yang menggunakan sebutan Prabu Siliwangi (Saleh
Danasasmita: 1991).
Memang dalam kenyataannya di kalangan masyarakat Sunda
sendiri pun tidak memiliki kejelasan yang pasti tentang raja yang mana yang
bernama Prabu Siliwangi. Nama Prabu Siliwangi kerap dijadikan sesebutan untuk
raja Sunda yang mana saja yang dianggap masyarakat sebagai raja yang adil, baik
hati, dan mampu memberikan keamanan dan kemakmuran bagi rakyatnya. Ada banyak raja
yang disebut Prabu Siliwangi, misalnya, Sri Baduga Maharaja, Lingga Buana
Wisesa, dan Niskala Wastu Kancana.
Tampaknya sesebutan itu merupakan penghargaan masyarakat
kepada rajanya yang dipandang telah mampu menjalankan amanah atau ajaran dari Nabi
Prabu Siliwangi as yang pernah hidup dulu ketika Indonesia masih berupa Benua
Sundaland dan bukan kepulauan seperti sekarang ini.
Hasil penelitian para ahli yang ada sekarang seluruhnya
tidak meraih atau tidak menelaah kehidupan pada masa Indonesia masih berupa
Benua Sundaland karena pengetahuan mengenai Benua Sundaland sendiri baru
dipahami sekarang-sekarang ini. Para ahli hanya menggunakan sumber-sumber
informasi pada masa Indonesia sudah berupa kepulauan seperti sekarang ini.
Dengan demikian, sumber informasi yang digunakan sangatlah terbatas dan
terkadang mengalami kebuntuan.
Ketika pemahaman baru muncul, yaitu Indonesia dulunya
adalah sebuah benua yang sangat besar, otomatis pengetahuan tentang sejarah
Indonesia, manusia Indonesia, bahkan hubungan antarmanusia di dunia ini pun
seharusnya berubah pula. Kita tidak bisa lagi menerima begitu saja
pemahaman-pemahaman lama yang tidak mengikutsertakan eksisnya Benua Sundaland.
Apabila masih bertahan pada pemahaman lama, tanpa Benua Sundaland, kita akan
terjebak seperti terjebaknya orang yang memahami bahwa “pelangi adalah jalan
para puteri dari kahyangan untuk melakukan berbagai urusan di Bumi”. Soal pelangi
adalah jalan yang menghubungkan kahyangan dengan Bumi, adalah pengetahuan lama
yang sudah usang karena ada pengetahuan baru yang menggantikannya, yaitu “pelangi
tercipta karena sinar Matahari yang menembus butiran air di langit sehingga
menimbulkan spektrum rupa-rupa warna”.
Orang yang masih percaya bahwa pelangi adalah jalan tol
dari kahyangan menuju Bumi adalah orang yang ketinggalan zaman. Begitu pula
orang yang masih percaya dengan berbagai pengetahuan yang tidak melibatkan
eksistensi Benua Sundaland adalah orang yang ketinggalan zaman atau orang kolot
yang bertahan pada kekolotannya.
Para ahli harus meluaskan pandangannnya. Pendapat
Pangeran Wangsakerta pada abad XVII tentang Prabu Siliwangi tersebut wajib
mendapatkan kritikan keras karena tidak mengikutsertakan eksistensi Benua
Sundaland. Dengan hadirnya pemahaman baru, kita dapat lebih jauh menjangkau
berbagai pengetahuan baru. Bahkan, saya sendiri meyakini bahwa Prabu Siliwangi as
adalah Nabi Allah swt. Hal itu disebabkan dilihat dari ajaran Sunda Wiwitan
yang berintikan tauhid dalam bahasa Sunda dan setiap ajaran tauhid
harus memiliki nabi. Satu-satunya orang yang diyakini tidak memiliki noda cela
sepanjang hidupnya dalam keyakinan orang Sunda hanyalah Prabu Siliwangi, tidak
ada sosok lain. Oleh sebab itu, Prabu Siliwangi adalah nabi yang hidup jauh
sebelum Nabi Muhammad saw lahir karena tak ada nabi setelah Muhammad saw. Di
samping itu, Allah swt dalam QS Saba
menjelaskan bahwa tak ada nabi yang
diutus ke Indonesia dan tak ada kitab yang diwajibkan dibaca pascabencana
besar yang membuat Benua Sundaland menjadi archipelago
seperti saat ini.
Setelah bencana mahadahsyat itu, orang-orang beriman
Indonesia yang selamat hanyalah hidup dengan menggunakan ajaran dari para nabi
terdahulu yang diutus dalam masa Sundaland. Ajaran-ajaran itulah yang kita
sebut sekarang ini sebagai kearifan
lokal, local wisdom.
Baru setelah Muhammad
saw menjadi nabi, Indonesia pun didakwahi secara langsung oleh Nabi Muhammad
saw dan para sahabatnya. Tak ada nabi yang diutus ke Indonesia pascabencana
besar, kecuali Muhammad saw. Begitu yang diberitakan Allah swt dalam QS Saba.
Untuk lebih jelasnya, para pembaca bisa pelajari tulisan saya yang lalu yang
berjudul Indonesia dalam Pandangan Allah
swt dan Nabi Prabu Siliwangi
Alaihissalam.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment