Sunday, 12 March 2017

Para Ahli Harus Meluaskan Pandangan

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya
Para ahli sejarah, arkeolog, antropolog, dan lain sebagainya yang keilmuannya menyangkut manusia dan kemanusiaan harus meluaskan pandangannya karena di samping ilmu pengetahuan itu selalu berkembang, juga telah ditemukan kenyataan-kenyataan baru yang jelas bisa menggugurkan pengetahuan lama. Salah satu contoh para ahli harus lebih meluaskan pandangan adalah soal sejarah tentang Nabi Prabu Siliwangi as yang selama ini banyak diteliti dan terus diteliti tak henti-henti dan selalu berakhir dengan menimbulkan banyak pertanyaan yang tidak tuntas dijawab. Hal itu disebabkan terbatasnya sumber-sumber informasi serta terbatasnya jangkauan pemahaman kita mengenai sejarah dan sosok Prabu Siliwangi as sendiri.

            Salah seorang pangeran dari Kerajaan Islam Cirebon, yaitu Pangeran Wangsakerta mendapatkan perintah dari Sultan Sepuh untuk menelusuri eksistensi Prabu Siliwangi as. Hal itu disebabkan nama Prabu Siliwangi as selalu harum di masyarakat, terutama masyarakat Sunda. Sosok Prabu Siliwangi sangat dirindukan dan dibanggakan.

            Dalam penelitiannya, Pangeran Wangsakerta kesulitan mendapatkan hasil yang benar mengenai Prabu Siliwangi. Hal itu disebabkan dia menelusurinya dengan menggunakan data-data dari carita pantun, pengalaman-pengalaman Belanda, serta syair-syair lain yang semuanya tampak bernilai sastra dan bukan sejarah. Oleh sebab itu, ia menyimpulkan bahwa nama Siliwangi sebagai raja Sunda tidak tercatat dalam pustaka-pustaka sejarah. Hanyalah orang-orang Jawa Barat yang menggunakan sebutan Prabu Siliwangi (Saleh Danasasmita: 1991).

            Memang dalam kenyataannya di kalangan masyarakat Sunda sendiri pun tidak memiliki kejelasan yang pasti tentang raja yang mana yang bernama Prabu Siliwangi. Nama Prabu Siliwangi kerap dijadikan sesebutan untuk raja Sunda yang mana saja yang dianggap masyarakat sebagai raja yang adil, baik hati, dan mampu memberikan keamanan dan kemakmuran bagi rakyatnya. Ada banyak raja yang disebut Prabu Siliwangi, misalnya, Sri Baduga Maharaja, Lingga Buana Wisesa, dan Niskala Wastu Kancana.

            Tampaknya sesebutan itu merupakan penghargaan masyarakat kepada rajanya yang dipandang telah mampu menjalankan amanah atau ajaran dari Nabi Prabu Siliwangi as yang pernah hidup dulu ketika Indonesia masih berupa Benua Sundaland dan bukan kepulauan seperti sekarang ini.

            Hasil penelitian para ahli yang ada sekarang seluruhnya tidak meraih atau tidak menelaah kehidupan pada masa Indonesia masih berupa Benua Sundaland karena pengetahuan mengenai Benua Sundaland sendiri baru dipahami sekarang-sekarang ini. Para ahli hanya menggunakan sumber-sumber informasi pada masa Indonesia sudah berupa kepulauan seperti sekarang ini. Dengan demikian, sumber informasi yang digunakan sangatlah terbatas dan terkadang mengalami kebuntuan.

            Ketika pemahaman baru muncul, yaitu Indonesia dulunya adalah sebuah benua yang sangat besar, otomatis pengetahuan tentang sejarah Indonesia, manusia Indonesia, bahkan hubungan antarmanusia di dunia ini pun seharusnya berubah pula. Kita tidak bisa lagi menerima begitu saja pemahaman-pemahaman lama yang tidak mengikutsertakan eksisnya Benua Sundaland. Apabila masih bertahan pada pemahaman lama, tanpa Benua Sundaland, kita akan terjebak seperti terjebaknya orang yang memahami bahwa “pelangi adalah jalan para puteri dari kahyangan untuk melakukan berbagai urusan di Bumi”. Soal pelangi adalah jalan yang menghubungkan kahyangan dengan Bumi, adalah pengetahuan lama yang sudah usang karena ada pengetahuan baru yang menggantikannya, yaitu “pelangi tercipta karena sinar Matahari yang menembus butiran air di langit sehingga menimbulkan spektrum rupa-rupa warna”.

            Orang yang masih percaya bahwa pelangi adalah jalan tol dari kahyangan menuju Bumi adalah orang yang ketinggalan zaman. Begitu pula orang yang masih percaya dengan berbagai pengetahuan yang tidak melibatkan eksistensi Benua Sundaland adalah orang yang ketinggalan zaman atau orang kolot yang bertahan pada kekolotannya.

            Para ahli harus meluaskan pandangannnya. Pendapat Pangeran Wangsakerta pada abad XVII tentang Prabu Siliwangi tersebut wajib mendapatkan kritikan keras karena tidak mengikutsertakan eksistensi Benua Sundaland. Dengan hadirnya pemahaman baru, kita dapat lebih jauh menjangkau berbagai pengetahuan baru. Bahkan, saya sendiri meyakini bahwa Prabu Siliwangi as adalah Nabi Allah swt. Hal itu disebabkan dilihat dari ajaran Sunda Wiwitan yang berintikan tauhid  dalam bahasa Sunda dan setiap ajaran tauhid harus memiliki nabi. Satu-satunya orang yang diyakini tidak memiliki noda cela sepanjang hidupnya dalam keyakinan orang Sunda hanyalah Prabu Siliwangi, tidak ada sosok lain. Oleh sebab itu, Prabu Siliwangi adalah nabi yang hidup jauh sebelum Nabi Muhammad saw lahir karena tak ada nabi setelah Muhammad saw. Di samping itu, Allah swt dalam QS Saba menjelaskan bahwa tak ada nabi yang diutus ke Indonesia dan tak ada kitab yang diwajibkan dibaca pascabencana besar yang membuat Benua Sundaland menjadi archipelago seperti saat ini.

            Setelah bencana mahadahsyat itu, orang-orang beriman Indonesia yang selamat hanyalah hidup dengan menggunakan ajaran dari para nabi terdahulu yang diutus dalam masa Sundaland. Ajaran-ajaran itulah yang kita sebut sekarang ini sebagai kearifan lokal, local wisdom.

            Baru setelah Muhammad saw menjadi nabi, Indonesia pun didakwahi secara langsung oleh Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya. Tak ada nabi yang diutus ke Indonesia pascabencana besar, kecuali Muhammad saw. Begitu yang diberitakan Allah swt dalam QS Saba. Untuk lebih jelasnya, para pembaca bisa pelajari tulisan saya yang lalu yang berjudul Indonesia dalam Pandangan Allah swt dan Nabi Prabu Siliwangi Alaihissalam.


            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment