oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Penjajahan Belanda memang
sangat mengerikan di Indonesia ini. Bukan hanya sumber daya alam yang mereka
ambil, bukan hanya ekonomi yang mereka rusakkan, melainkan hampir segalanya.
Mereka merusakkan pendidikan, tradisi, budaya, termasuk silsilah keluarga para
bangsawan di Indonesia. Salah satu silsilah yang dirusaknya adalah silsilah
Prabu Siliwangi. Bukan hanya Belanda yang merusakkan hal itu, melainkan pula
para penguasa pribumi Indonesia sendiri berperan serta dalam perusakan itu.
Saleh Danasasmita (1991) dalam makalahnya yang berjudul Silihwangi sebagai Pangkal Silsilah
Kebangsaan (Tradisi Naskah Abad XVIII dan XIX) menuliskan bahwa sejak
tentara Belanda, Kapitan Adolf Winkler melakukan
ekspedisi untuk mengunjungi reruntuhan Istana Prabu Siliwangi, nama Siliwangi
mulai masuk dalam catatan Kumpeni
Belanda. Daerah Bogor selalu dicatatnya dengan nama Pajajaran. Bahkan, Gunung Pangrango disebutnya Gunung Pajajaran. Demikian pula Abraham
van Riebeeek dalam ekspedisinya pada 1703, 1704, dan 1709 selalu mencatat
tentang de opgank van Pakowang atau rijsenden smallen toegank van Pakowang dan
vreeselijke diepe gragt. Sejak permulaan
abad 18, nama Pajajaran, nama Pakuan dengan jalan masuknya yang sempit mendaki
dan diapit oleh parit yang dalam lagi mengerikan, serta nama Siliwangi sudah populer
dalam lingkungan pejabat inti VOC di Batavia. Van Riebeeek bahkan “tergila-gila”
oleh kota bekas Pakuan sehingga mendirikan rumah peristirahatan di sana yang
dinamainya Somerhuijsje Batoe Toelis.
Mudah dipahami bila
kemudian tumbuh semacam anggapan dalam kalangan kompeni bahwa keturunan
Siliwangi adalah golongan bangsawan setempat. Mereka pun melihat bahwa di Pulau
Jawa terdapat lapisan atau tingkatan kebangsawanan seperti di Eropa. Oleh sebab
itu, untuk penerbitan gelar, G.J. van
Imhoff yang bangsawan intelek dan penganut aliran romantisme ajaran Rousseau pada 2 Maret 1745 mengadakan zegelordonantie yang menetapkan tarif untuk
permohonan gelar kebangsawan yang terbagi atas empat tingkat, yaitu: Pangeran seharga 150 ringgit; Adipati dan Tumenggung seharga 125 ringgit; Aria
seharga 100 ringgit; Ngabehi dan Demang seharga 75 ringgit.
Akan tetapi, pada 25 Mei 1750 pengelompokan tarif diubah lebih
murah menjadi: Pangeran seharga 125
ringgit; Raden, Adipati, Aria, dan Tumenggung seharga 80 ringgit; Ngabehi, Demang, dan Rangga seharga 60 ringgit.
Dari sinilah tampaknya kekusutan dan kekalangkabutan
silsilah Prabu Siliwangi. Setelah Belanda memperjualbelikan gelar
kebangsawanan, lalu mengaitkannya pada silsilah Siliwangi, segalanya menjadi
berantakan. Tak jelas lagi mana keturunan Prabu Siliwangi yang asli dan mana
yang hasil pembelian gelar. Para penguasa pribumi pun memang membutuhkan hal
itu untuk mendapatkan legitimasi sebagai keturunan Prabu Siliwangi sehingga
mendapatkan hak untuk memerintah, menjadi penguasa, serta mengelola sebuah
daerah. Gelar yang terkait dengan Prabu Siliwangi itu menjadi jaminan mutu agar
kekuasaannya makin kukuh dan mendapat kepercayaan untuk memimpin.
Pantas saja saat ini banyak sekali yang mengaku-aku
sebagai keturunan Prabu Siliwangi dengan membawa kisah-kisah yang “ngaler-ngidul” nggak jelas ditambah
bumbu memiliki harta karun pusaka yang entah ada di mana. Bisa jadi leluhur
mereka itu sebenarnya bukan keturunan asli Prabu Siliwangi, melainkan karena “beli
gelar” dari penjajah Belanda. Pantas saja kelakuannya aneh. Bilangnya keturunan
Prabu Siliwangi, tetapi tidak berperilaku seperti berdarah Siliwangi. Kacau.
Kasus ini mah mirip mereka yang ngaku-ngaku sarjana, tetapi sebetulnya hanya dapat
dari “beli gelar dan ijazah palsu”. Pantas saja gelarnya sarjana, tetapi cara
berpikir dan cara bersikapnya kayak anak lulusan SMP.
Benar-benar kacau.
Hati-hati kalau ada yang ngaku-aku keturunan Prabu
Siliwangi, padahal tipu. Belum tentu benar. Hati-hati pula kalau ada yang
ngaku-ngaku sarjana, padahal beli ijazah di percetakan, tipu juga itu mah.
No comments:
Post a Comment