Friday 24 March 2017

Jangan Marah Kalau Keturunan Cina Nonmuslim Jadi Pemimpin

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Berulang-ulang saya mengatakan hal seperti judul di atas, terutama kepada para mahasiswa nonreguler. Hampir di semua kampus para mahasiswa nonreguler rata-rata jauh lebih malas dibandingkan mahasiswa reguler. Pada beberapa perguruan tinggi mereka bahkan sangat malas. Terkesan seenaknya.

            Pernah ada seorang profesor  yang mengeluh soal ini, “Saya tidak mengerti mereka. Kuliah nggak pernah masuk, UTS dan UAS nilainya buruk, tidak pernah mengerjakan tugas, tetapi mereka ingin nilai dan lulus kuliah.”

            “Mungkin mereka sibuk dengan pekerjaannya, Prof.,” kata saya.

            “Iya, kalau begitu, mereka seharusnya aktif berkomunikasi dengan dosennya sehingga tetap ada kegiatan belajar mengajar,” sanggahnya, “Ini mah mengontak juga tidak.”

            Berkaitan dengan obrolan-obrolan itu, saya kerap menegaskan pada para mahasiswa agar aktif kuliah, mengerjakan tugas, dan memahami materi kuliah.

            Kalau ada yang malas-malas, apalagi kalau jumlahnya cukup banyak, saya suka sindir mereka, “Ngapain kalian kuliah? Bayar mahal-mahal, jauh-jauh datang ke sini, ngabisin waktu, tetapi tidak mengerti materi kuliah. Rugi banget kalian. Kalau kalian tidak mengerti, aktif bertanya.”

            Biasanya mereka cengengesan.

            “Sebaiknya, kalau kalian ingin ijazah, beli saja. Banyak kok yang jualan ijazah. Nggak perlu kuliah, kalian bisa langsung jadi sarjana dengan ijazah yang mirip asli, malah lebih bagus dari yang asli bentuknya.”

            Mereka biasanya masih cengengesan.

            “Tidak pantas kalian marah-marah ketika ada nonmuslim keturunan Cina jadi gubernur atau pemimpin lainnya. Mestinya kita semua mikir, mengapa bukan kita yang menjadi pemimpin.”

            Mereka mulai serius memperhatikan.

            “Kita seharusnya yang introspeksi diri. Apakah kita mempersiapkan diri untuk menjadi pemimpin? Apakah kita berdisiplin dan bermanfaat dalam hidup kita? Apakah kita punya banyak pengetahuan yang bisa diterapkan untuk kebaikan masyarakat?”

            Mereka semakin serius dan tampak ada yang ingin menyanggah saya.

            “Tidak perlulah kita banyak melakukan demonstrasi untuk hal itu. Sebaiknya, kita renungkan diri sendiri. Mau jadi pemimpin bagaimana kita? Kuliah saja tidak serius, malas-malasan, tetapi pengen lulus dan dapat ijazah? Apa yang kita dapatkan dari kampus kalau kitanya tidak sungguh-sungguh?”

            Mereka terdiam.

            “Seharusnya, kita lebih serius dan sungguh-sungguh menampilkan diri sebagai yang terbaik dan mampu bersaing dengan siapa saja. Tidak perlu marah-marah kalau bukan golongan kita yang menjadi pemimpin. Siapkan saja setiap diri untuk menjadi pemimpin dengan bersungguh-sungguh. Kalau kitanya serius, insyaallah ada banyak posisi yang dipercayakan Allah swt kepada kita.”

            Mereka terdiam sambil berpikir. Akan tetapi, saya tidak tahu apakah mereka akan berubah menjadi lebih baik atau tidak.

            “Kalau kalian hanya ingin kertas ijazah, saya sarankan beli saja ijazah palsu, tidak perlu kuliah. Banyak kok mafianya. Cari saja. Kalian bisa langsung jadi sarjana.”

            Saya tidak peduli di antara para mahasiswa itu ada yang profesinya sebagai polisi, tentara, pegawai negeri sipil, termasuk kerabat pengelola perguruan tinggi. Saya yakin jika ada pengelola perguruan tinggi mana saja yang menganggap saya salah karena memberikan motivasi kepada para mahasiswa, perguruan tinggi itu adalah perguruan tinggi yang hanya cari uang dan tidak mencerdaskan bangsa. Perguruan tinggi itu adalah perguruan tinggi odong-odong.


            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment