oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Berulang-ulang saya
mengatakan hal seperti judul di atas, terutama kepada para mahasiswa
nonreguler. Hampir di semua kampus para mahasiswa nonreguler rata-rata jauh
lebih malas dibandingkan mahasiswa reguler. Pada beberapa perguruan tinggi
mereka bahkan sangat malas. Terkesan seenaknya.
Pernah ada seorang profesor yang mengeluh soal ini, “Saya tidak mengerti
mereka. Kuliah nggak pernah masuk, UTS dan UAS nilainya buruk, tidak pernah
mengerjakan tugas, tetapi mereka ingin nilai dan lulus kuliah.”
“Mungkin mereka sibuk dengan pekerjaannya, Prof.,” kata
saya.
“Iya, kalau begitu, mereka seharusnya aktif berkomunikasi
dengan dosennya sehingga tetap ada kegiatan belajar mengajar,” sanggahnya, “Ini
mah mengontak juga tidak.”
Berkaitan dengan obrolan-obrolan itu, saya kerap
menegaskan pada para mahasiswa agar aktif kuliah, mengerjakan tugas, dan
memahami materi kuliah.
Kalau ada yang malas-malas, apalagi kalau jumlahnya cukup
banyak, saya suka sindir mereka, “Ngapain kalian kuliah? Bayar mahal-mahal,
jauh-jauh datang ke sini, ngabisin waktu, tetapi tidak mengerti materi kuliah.
Rugi banget kalian. Kalau kalian tidak mengerti, aktif bertanya.”
Biasanya mereka cengengesan.
“Sebaiknya, kalau kalian ingin ijazah, beli saja. Banyak
kok yang jualan ijazah. Nggak perlu kuliah, kalian bisa langsung jadi sarjana
dengan ijazah yang mirip asli, malah lebih bagus dari yang asli bentuknya.”
Mereka biasanya masih cengengesan.
“Tidak pantas kalian marah-marah ketika ada nonmuslim
keturunan Cina jadi gubernur atau pemimpin lainnya. Mestinya kita semua mikir,
mengapa bukan kita yang menjadi pemimpin.”
Mereka mulai serius memperhatikan.
“Kita seharusnya yang introspeksi diri. Apakah kita
mempersiapkan diri untuk menjadi pemimpin? Apakah kita berdisiplin dan
bermanfaat dalam hidup kita? Apakah kita punya banyak pengetahuan yang bisa
diterapkan untuk kebaikan masyarakat?”
Mereka semakin serius dan tampak ada yang ingin
menyanggah saya.
“Tidak perlulah kita banyak melakukan demonstrasi untuk
hal itu. Sebaiknya, kita renungkan diri sendiri. Mau jadi pemimpin bagaimana
kita? Kuliah saja tidak serius, malas-malasan, tetapi pengen lulus dan dapat
ijazah? Apa yang kita dapatkan dari kampus kalau kitanya tidak sungguh-sungguh?”
Mereka terdiam.
“Seharusnya, kita lebih serius dan sungguh-sungguh
menampilkan diri sebagai yang terbaik dan mampu bersaing dengan siapa saja.
Tidak perlu marah-marah kalau bukan golongan kita yang menjadi pemimpin.
Siapkan saja setiap diri untuk menjadi pemimpin dengan bersungguh-sungguh.
Kalau kitanya serius, insyaallah ada
banyak posisi yang dipercayakan Allah swt kepada kita.”
Mereka terdiam sambil berpikir. Akan tetapi, saya tidak
tahu apakah mereka akan berubah menjadi lebih baik atau tidak.
“Kalau kalian hanya ingin kertas ijazah, saya sarankan beli
saja ijazah palsu, tidak perlu kuliah. Banyak kok mafianya. Cari saja. Kalian
bisa langsung jadi sarjana.”
Saya tidak peduli di antara para mahasiswa itu ada yang
profesinya sebagai polisi, tentara, pegawai negeri sipil, termasuk kerabat
pengelola perguruan tinggi. Saya yakin jika ada pengelola perguruan tinggi mana
saja yang menganggap saya salah karena memberikan motivasi kepada para mahasiswa,
perguruan tinggi itu adalah perguruan tinggi yang hanya cari uang dan tidak
mencerdaskan bangsa. Perguruan tinggi itu adalah perguruan tinggi odong-odong.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment