Showing posts with label dosen. Show all posts
Showing posts with label dosen. Show all posts

Tuesday, 21 June 2022

Mahasiswa Radikal Jangan Dikembalikan ke Kampus

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Beberapa waktu lalu seorang mahasiswa dari sebuah perguruan tinggi di Kota Malang ditangkap Densus 88 karena berpemahaman dan bersikap intoleran, radikal, kemudian menjadi teroris. Memang dia tidak melakukan aksi teror langsung, tetapi melakukan pengumpulan sumbangan dan pengumpulan dana lainnya dari masyarakat untuk kemudian diserahkan kepada para teroris yang berafiliasi dengan “Islamic State of Iraq and Syiria” (Isis).

            Biasanya, pihak kepolisian jika melakukan penangkapan terhadap orang yang berstatus pelajar atau mahasiswa, kerap melakukan penanganan yang berbeda dibandingkan kepada yang lainnya. Para pelajar atau mahasiswa untuk beberapa kasus, dilakukan penanganan yang lebih ringan, misalnya, dikembalikan kepada orangtua, dikembalikan kepada institusi pendidikannya untuk dibina agar bisa terjadi kesadaran, atau penanganan berbeda lainnya. Contohnya, empat ratus mahasiswa Aceh yang diketahui telah melakukan tindakan korupsi dana beasiswa ditangani dengan cara tidak akan dihukum jika mengembalikan seluruh dana beasiswa yang telah digunakannya ke kas daerah, itu berarti berbeda penanganan dibandingkan para calo atau dosen yang terlibat dalam korupsi itu.

            Memang ada baik dan buruknya penanganan seperti itu, ada plus minusnya. Akan tetapi, untuk penanganan soal radikalisme atau terorisme, sebaiknya itu tidak dilakukan, perlakukan saja seperti para teroris lainnya dan diharuskan mengikuti program deradikalisasi. Hal itu disebabkan sebagaimana yang disampaikan pihak Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sendiri yang menjelaskan bahwa sumber radikalisme adalah berasal dari “keluarga, Medsos, dan guru, dosen, atau para pengajar lainnya”. Bahkan, Ketua BNPT Boy Rafli Amar menegaskan bahwa dirinya memiliki daftar akurat yang berisi nama-nama perguruan tinggi dan dosen-dosen yang terpapar paham-paham radikal. Itu artinya, jika mahasiswa yang telah terbukti ditangkap Densus 88 dan memang terbukti pula di pengadilan bersikap dan berpahaman radikal dikembalikan ke keluarganya atau ke kampusnya, bisa menjadi masalah baru.

            Bagaimana jika pemahaman radikalnya berasal dari keluarga?

            Bagaimana jika memang kampusnya yang terpapar parah berpahaman radikal?

            Bagaimana jika memang keradikalannya itu berasal dari guru atau dosen-dosennya?

            Dia bisa mempengaruhi mahasiswa lainnya atau malah dikuatkan pemahamannya oleh lingkungan yang menjadi sumber pemahaman radikalnya. Oleh sebab itu, mahasiswa yang sudah ditangkap Densus 88 dan terbukti radikal bahkan membantu atau melakukan teror, tidak perlu diperlakukan berbeda hanya karena dia berstatus pelajar atau mahasiswa. Perlakukan saja seperti yang lainnya. Usianya juga sudah bukan anak-anak lagi karena di atas tujuh belas tahun.

            Ada baiknya juga Boy Rafli Amar tidak hanya mengatakan bahwa dirinya dan BNPT memiliki daftar nama-nama perguruan tinggi dan dosen atau guru-guru berpaham radikal, tetapi sebutkan saja nama perguruan tinggi itu agar masyarakat dan pemerintah memberikan penilaian sendiri terhadap institusi-institusi itu. Biarkan kepercayaan rakyat dan pemerintah mempertimbangkannya untuk melakukan tindakan selanjutnya. Di samping itu, BNPT sendiri segera saja melakukan berbagai tindakan untuk meminimalisasi atau kalau bisa, menghentikan mereka demi tercapainya tujuan pembangunan nasional Indonesia.

            Negeri ini didirikan oleh para ulama, para santri, dan para pejuang nasionalis yang mengorbankan air mata, darah, dan nyawa untuk kemerdekaan. Mereka berharap bahwa Indonesia menjadi tempat yang aman dan menjadi wadah bagi generasi selanjutnya agar makmur lahir dan makmur batin sebagaimana yang terkandung dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Oleh sebab itu, berbagai gangguan untuk mewujudkan cita-cita pembangunan Negara Indonesia harus dihilangkan.

            Sampurasun.

Monday, 21 August 2017

Pendidikan Antikorupsi

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Saya selalu menaruh hormat kepada perguruan tinggi mana pun yang mengajarkan mata kuliah antikorupsi kepada para mahasiswanya. Hal itu disebabkan tidak atau belum semua perguruan tinggi mengajarkan mata kuliah itu. Di samping itu, perguruan tinggi yang mengajarkan mata kuliah antikorupsi telah memberikan dasar-dasar pemahaman kepada generasi muda tentang korupsi dan pastinya memberikan sumbangan pencegahan sejak dini agar para pemuda tidak terjebak dalam perilaku korupsi.

            Secara sekilas, dari nama mata kuliahnya saja, saya bisa membayangkan bahwa dalam mata kuliah antikorupsi akan terkandung ilmu hukum, ilmu politik, sosiologi, ilmu sejarah, ilmu budaya, dan ilmu agama. Semua ilmu itu memperkaya khazanah keilmuan dalam mata kuliah antikorupsi.

            Teman saya seorang dosen pengajar Pendidikan Antikorupsi. Dia berceritera kepada saya. Setelah satu kali atau dua kali mengajar mata kuliah itu, dia kaget, kesal, dan merasa lucu. Masalahnya, ketika dalam sesi diskusi atau tanya jawab, para mahasiswa malah menyerang kampusnya sendiri dengan berbagai tuduhan dan dugaan penyelewengan dana. Mahasiswa mulai menghitung dana yang dikeluarkan oleh mahasiswa. Mereka menjumlahkan uang yang dibayarkan seluruh mahasiswa dan penerimaan lain oleh kampus mereka. Kemudian, mereka membandingkannya dengan fasilitas yang mereka terima, baik fisik maupun nonfisik. Mereka pun mendiskusikan bahkan memperdebatkan soal toilet, kelas, tenaga pengajar, laboratorium, kegiatan-kegiatan mahasiswa, dan berbagai hal-hal lainnya yang seharusnya mereka terima. Situasi menjadi lebih seru ketika mahasiswa menilai bahwa ada ketimpangan yang dilakukan kampus mereka sendiri dalam arti jumlah uang yang diterima kampus jauh lebih besar dibandingkan fasilitas yang harus mereka terima. Mereka mulai menuduh dan menduga bahwa telah terjadi tindakan korupsi di kampus mereka. Itulah yang membuat dosennya kesal sekaligus merasa lucu.

            Terkait dengan hal itu, saya sungguh benar-benar menaruh hormat pada perguruan tinggi yang mengajarkan antikorupsi. Hal itu disebabkan perguruan tinggi itu berani dan memiliki kesanggupan untuk menerima kritik dari mahasiswanya dan bersedia membersihkan dirinya dari berbagai penyimpangan dana karena para mahasiswa akan belajar memahami korupsi dimulai di lingkungan kampusnya sendiri.


            Sampurasun

Friday, 24 March 2017

Jangan Marah Kalau Keturunan Cina Nonmuslim Jadi Pemimpin

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Berulang-ulang saya mengatakan hal seperti judul di atas, terutama kepada para mahasiswa nonreguler. Hampir di semua kampus para mahasiswa nonreguler rata-rata jauh lebih malas dibandingkan mahasiswa reguler. Pada beberapa perguruan tinggi mereka bahkan sangat malas. Terkesan seenaknya.

            Pernah ada seorang profesor  yang mengeluh soal ini, “Saya tidak mengerti mereka. Kuliah nggak pernah masuk, UTS dan UAS nilainya buruk, tidak pernah mengerjakan tugas, tetapi mereka ingin nilai dan lulus kuliah.”

            “Mungkin mereka sibuk dengan pekerjaannya, Prof.,” kata saya.

            “Iya, kalau begitu, mereka seharusnya aktif berkomunikasi dengan dosennya sehingga tetap ada kegiatan belajar mengajar,” sanggahnya, “Ini mah mengontak juga tidak.”

            Berkaitan dengan obrolan-obrolan itu, saya kerap menegaskan pada para mahasiswa agar aktif kuliah, mengerjakan tugas, dan memahami materi kuliah.

            Kalau ada yang malas-malas, apalagi kalau jumlahnya cukup banyak, saya suka sindir mereka, “Ngapain kalian kuliah? Bayar mahal-mahal, jauh-jauh datang ke sini, ngabisin waktu, tetapi tidak mengerti materi kuliah. Rugi banget kalian. Kalau kalian tidak mengerti, aktif bertanya.”

            Biasanya mereka cengengesan.

            “Sebaiknya, kalau kalian ingin ijazah, beli saja. Banyak kok yang jualan ijazah. Nggak perlu kuliah, kalian bisa langsung jadi sarjana dengan ijazah yang mirip asli, malah lebih bagus dari yang asli bentuknya.”

            Mereka biasanya masih cengengesan.

            “Tidak pantas kalian marah-marah ketika ada nonmuslim keturunan Cina jadi gubernur atau pemimpin lainnya. Mestinya kita semua mikir, mengapa bukan kita yang menjadi pemimpin.”

            Mereka mulai serius memperhatikan.

            “Kita seharusnya yang introspeksi diri. Apakah kita mempersiapkan diri untuk menjadi pemimpin? Apakah kita berdisiplin dan bermanfaat dalam hidup kita? Apakah kita punya banyak pengetahuan yang bisa diterapkan untuk kebaikan masyarakat?”

            Mereka semakin serius dan tampak ada yang ingin menyanggah saya.

            “Tidak perlulah kita banyak melakukan demonstrasi untuk hal itu. Sebaiknya, kita renungkan diri sendiri. Mau jadi pemimpin bagaimana kita? Kuliah saja tidak serius, malas-malasan, tetapi pengen lulus dan dapat ijazah? Apa yang kita dapatkan dari kampus kalau kitanya tidak sungguh-sungguh?”

            Mereka terdiam.

            “Seharusnya, kita lebih serius dan sungguh-sungguh menampilkan diri sebagai yang terbaik dan mampu bersaing dengan siapa saja. Tidak perlu marah-marah kalau bukan golongan kita yang menjadi pemimpin. Siapkan saja setiap diri untuk menjadi pemimpin dengan bersungguh-sungguh. Kalau kitanya serius, insyaallah ada banyak posisi yang dipercayakan Allah swt kepada kita.”

            Mereka terdiam sambil berpikir. Akan tetapi, saya tidak tahu apakah mereka akan berubah menjadi lebih baik atau tidak.

            “Kalau kalian hanya ingin kertas ijazah, saya sarankan beli saja ijazah palsu, tidak perlu kuliah. Banyak kok mafianya. Cari saja. Kalian bisa langsung jadi sarjana.”

            Saya tidak peduli di antara para mahasiswa itu ada yang profesinya sebagai polisi, tentara, pegawai negeri sipil, termasuk kerabat pengelola perguruan tinggi. Saya yakin jika ada pengelola perguruan tinggi mana saja yang menganggap saya salah karena memberikan motivasi kepada para mahasiswa, perguruan tinggi itu adalah perguruan tinggi yang hanya cari uang dan tidak mencerdaskan bangsa. Perguruan tinggi itu adalah perguruan tinggi odong-odong.


            Sampurasun.