oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Beberapa waktu lalu seorang
mahasiswa dari sebuah perguruan tinggi di Kota Malang ditangkap Densus 88
karena berpemahaman dan bersikap intoleran, radikal, kemudian menjadi teroris.
Memang dia tidak melakukan aksi teror langsung, tetapi melakukan pengumpulan
sumbangan dan pengumpulan dana lainnya dari masyarakat untuk kemudian
diserahkan kepada para teroris yang berafiliasi dengan “Islamic State of Iraq and Syiria” (Isis).
Biasanya, pihak kepolisian jika melakukan penangkapan
terhadap orang yang berstatus pelajar atau mahasiswa, kerap melakukan
penanganan yang berbeda dibandingkan kepada yang lainnya. Para pelajar atau
mahasiswa untuk beberapa kasus, dilakukan penanganan yang lebih ringan, misalnya,
dikembalikan kepada orangtua, dikembalikan kepada institusi pendidikannya untuk
dibina agar bisa terjadi kesadaran, atau penanganan berbeda lainnya. Contohnya,
empat ratus mahasiswa Aceh yang diketahui telah melakukan tindakan korupsi dana
beasiswa ditangani dengan cara tidak akan dihukum jika mengembalikan seluruh
dana beasiswa yang telah digunakannya ke kas daerah, itu berarti berbeda
penanganan dibandingkan para calo atau dosen yang terlibat dalam korupsi itu.
Memang ada baik dan buruknya penanganan seperti itu, ada
plus minusnya. Akan tetapi, untuk penanganan soal radikalisme atau terorisme,
sebaiknya itu tidak dilakukan, perlakukan saja seperti para teroris lainnya dan
diharuskan mengikuti program deradikalisasi. Hal itu disebabkan sebagaimana
yang disampaikan pihak Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sendiri
yang menjelaskan bahwa sumber radikalisme adalah berasal dari “keluarga, Medsos, dan guru, dosen, atau para
pengajar lainnya”. Bahkan, Ketua BNPT Boy Rafli Amar menegaskan bahwa
dirinya memiliki daftar akurat yang berisi nama-nama perguruan tinggi dan
dosen-dosen yang terpapar paham-paham radikal. Itu artinya, jika mahasiswa yang
telah terbukti ditangkap Densus 88 dan memang terbukti pula di pengadilan
bersikap dan berpahaman radikal dikembalikan ke keluarganya atau ke kampusnya,
bisa menjadi masalah baru.
Bagaimana jika pemahaman radikalnya berasal dari
keluarga?
Bagaimana jika memang kampusnya yang terpapar parah
berpahaman radikal?
Bagaimana jika memang keradikalannya itu berasal dari
guru atau dosen-dosennya?
Dia bisa mempengaruhi mahasiswa lainnya atau malah
dikuatkan pemahamannya oleh lingkungan yang menjadi sumber pemahaman
radikalnya. Oleh sebab itu, mahasiswa yang sudah ditangkap Densus 88 dan
terbukti radikal bahkan membantu atau melakukan teror, tidak perlu diperlakukan
berbeda hanya karena dia berstatus pelajar atau mahasiswa. Perlakukan saja
seperti yang lainnya. Usianya juga sudah bukan anak-anak lagi karena di atas
tujuh belas tahun.
Ada baiknya juga Boy Rafli Amar tidak hanya mengatakan
bahwa dirinya dan BNPT memiliki daftar nama-nama perguruan tinggi dan dosen
atau guru-guru berpaham radikal, tetapi sebutkan saja nama perguruan tinggi itu
agar masyarakat dan pemerintah memberikan penilaian sendiri terhadap
institusi-institusi itu. Biarkan kepercayaan rakyat dan pemerintah
mempertimbangkannya untuk melakukan tindakan selanjutnya. Di samping itu, BNPT
sendiri segera saja melakukan berbagai tindakan untuk meminimalisasi atau kalau
bisa, menghentikan mereka demi tercapainya tujuan pembangunan nasional
Indonesia.
Negeri ini didirikan oleh para ulama, para santri, dan para
pejuang nasionalis yang mengorbankan air mata, darah, dan nyawa untuk
kemerdekaan. Mereka berharap bahwa Indonesia menjadi tempat yang aman dan
menjadi wadah bagi generasi selanjutnya agar makmur lahir dan makmur batin
sebagaimana yang terkandung dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945. Oleh sebab itu, berbagai gangguan untuk mewujudkan cita-cita pembangunan
Negara Indonesia harus dihilangkan.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment