oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Seluruh suku bangsa di dunia
ini rata-rata memiliki senjata khas untuk mempertahankan diri sekaligus show of force kepada musuh atau
pihak-pihak yang dicurigai akan melakukan penyerangan terhadap sukunya. Di
samping senjata untuk membunuh musuh, juga rata-rata setiap suku bangsa di
dunia ini memiliki tameng atau perisai sebagai alat untuk menahan laju serangan
musuh dan mengusir musuh dari wilayahnya.
Ada ribuan jenis senjata dan perisai yang berbeda pada
setiap suku bangsa di dunia ini. Di Indonesia saja kita sudah mengenal banyak
senjata peninggalan hampir seluruh leluhur setiap suku. Ada keris, golok sakti, gada, tameng, badik,
cemeti, cakra, denda musala, bajra limprung gada, duduk, ale, konta boji,
bindi, tamsir, pedang, trisula, suduk, pasopati, bramastra, marcu jiwa, tombak,
panah, dan lain sebagainya.
Akan tetapi, anehnya, Suku Sunda tidak memiliki senjata
khas untuk bertempur dan tidak memiliki tameng untuk menahan laju serangan
musuh atau mengusir musuh. Satu-satunya suku bangsa yang tidak memiliki perisai
untuk berperang yang saya ketahui hanyalah Suku Sunda. Kasih tahu saya kalau
ada tameng atau perisai Sunda. Saya sangat senang mengetahuinya dan ingin melihat
bentuknya seperti apa.
Saya bisa memastikan bahwa 99% tidak ada satu orang pun
yang dapat menunjukkan perisai Suku Sunda yang digunakan untuk bertempur karena
memang tidak ada.
Demikian pula senjata khas Sunda untuk membunuh musuh
sama sekali tidak ada.
Adakah?
Apa?
Kujang?
Hmmh … mari kita lihat sejarahnya untuk apa itu kujang
sesungguhnya.
Di Suku Sunda memang ada benda-benda tajam, seperti, bedog (golok), arit, gergaji, etem (pemotong
kangkung), kudi, dan lain sebagainya.
Akan tetapi, itu semua hanyalah alat untuk bekerja dalam pertanian, peternakan,
dan pertukangan. Alat-alat itu semuanya bukanlah senjata untuk bertempur,
melainkan untuk bekerja sehari-hari.
Tak ada senjata khusus milik Suku Sunda. Aneh memang.
Akan tetapi, ini memang kenyataan. Tampaknya, Nabi Prabu Siliwangi as dulu
memang mengajarkan kelembutan dan budi pekerti yang baik. Allah swt sendiri
menciptakan Suku Sunda seperti itu. Tidak gemar bermusuhan. Tidak bersifat
mengancam orang lain. Terbuka kepada siapa saja. Ramah. Hal itu ada dalam
pepatah terkenal Sunda, yaitu someah hade
ka semah, ‘menghormati dan memuliakan tamu/orang asing’.
Kalau ada orang Sunda yang gemar bermusuhan dan kerap
menunjukkan sikap mengancam orang lain, dapat dipastikan dirinya sudah terkena
pengaruh orang-orang luar Sunda dan hidup dengan cara-cara orang lain. Dirinya
sudah “memaksakan” diri untuk tidak bersikap sebagaimana orang Sunda.
Orang Sunda itu mesti halus dan berbudi pekerti yang
baik. Tidak boleh angkuh dan merendahkan orang lain. Buktinya, orang Sunda
tidak punya senjata perang dan tidak punya perisai perang seperti suku-suku
lain.
Kujang?
Kujang itu sebenarnya bukan senjata.
Haris Sukanda
Natasasmita dalam tulisannya yang berjudul Antara Senjata Kudyang dengan Senjata-Senjata Tajam Berpamor Lainnya (1991)
menerangkan tentang kujang dengan cukup baik. Menurutnya, kujang itu dulunya
adalah kudi. Kudi sendiri merupakan
pisau melengkung atau golok kecil pendek yang tajam pada bagian luar yang
melengkung. Sebagian kudi tajam pula bagian dalamnya. Berbeda dengan arit yang hanya tajam pada bagian dalamnya. Kudi tampaknya
biasanya digunakan untuk menghaluskan kayu dengan cara menyerut, kerap pula
digunakan untuk memotong ranting-ranting pohon. Tak jarang pula digunakan untuk
mengupas kulit buah-buahan yang akan dimakan.
Meskipun pendek, kudi tajam sekali. Saking tajamnya,
digunakan pula dalam pepatah Sunda, seperti ulah
sok nyisikudi, ‘jangan suka meraba-raba kudi’. Jika meraba-raba kudi tanpa
pandangan yang benar, tangan kita bisa terluka parah dan lama sembuh. Maksud
dari pepatah itu adalah jangan suka
cari-cari masalah yang tidak perlu. Hal itu disebabkan masalah itu bisa
melukai kita dan sulit untuk diselesaikan.
Kudi itu alat tajam yang ringan dibawa-bawa dan serba
guna sehingga dimilliki pula oleh para bangsawan untuk memotong makanan atau
memotong hal-hal yang ringan. Seiring berjalannya waktu, terjadi perubahan
bentuk pada kudi. Semakin banyak dan semakin nyaman bangsawan menggunakan kudi,
bentuknya pun disesuaikan dengan kedudukan para bangsawan itu. Dengan demikian,
kudi pun menjadi semakin indah dan semakin terhormat. Bentuknya tetap kudi,
tetapi mendapatkan tambahan lekukan-lekukan indah, lubang-lubang tertata rapi,
dan ujungnya ada yang bertambah menjadi dua, satu pendek dan satu lagi lebih
panjang. Kudi yang berujung dua biasa disebut dua pangadekna, ‘dua mata tajamnya’.
Makin lama, kudi
makin populer dan terhormat karena bentuknya yang semakin indah bagai perhiasan
utama di kalangan orang-orang mulia, termasuk di kalangan rohaniwan dan
agamawan. Saking mulianya, kudi ini dilekatkan dengan Tuhan yang dalam bahasa
Sunda disebut Hyang. Kudi yang
kemudian ditambah kata Hyang menjadi kudi Hyang, kudihyang, kudhyang, kudyang, akhirnya
kujang.
Setelah menjadi kujang, orang yang tidak mengenal benda
ini tidak mengerti alat apa itu karena bentuknya sangat indah, apalagi jika
menggunakan alas dan kotak kaca di dalam rumah. Benda itu mirip perhiasan dan
jauh dari kesan senjata yang mengancam jiwa manusia.
Kujang sekarang adalah perhiasan dan tidak pernah ada
catatan siapa orangnya yang pernah mati terbunuh oleh kujang. Berbeda dengan
keris yang sudah banyak memakan korban jiwa. Kujang lebih dikenal karena
keindahannya sebagai perhiasan. Kujang itu tetap akan menjadi perhiasan dan
tetap indah jika orang menikmati keindahan itu dan tidak melakukan kerusakan
pada keindahan itu. Tak ada ancaman dari kujang, kecuali keindahan.
KUJANG. Sumber Foto: yollaapischaparahiangan.blogspot.co.id |
Ketika situasi benar-benar buruk, meskipun tidak memiliki
senjata khas, semua alat pertanian Sunda berubah menjadi alat pembunuh yang
teramat efektif dan sangat menghancurkan. Golok, etem, arit, dan gergaji akan
bersamaan dengan kujang melakukan pembumihangusan terhadap para pengganggu.
Begitulah Allah swt memiliki sifat. Allah swt itu selalu
ingin dikenal dirinya sebagai zat yang
penuh kasih sayang dan penuh cinta. Kalimat yang paling harus diucapkan
setiap muslim adalah basmallah. Itu
artinya Allah swt ingin dikenal sebagai zat penuh kemuliaan, keindahan,
kebahagiaan, dan sama sekali tidak ingin melakukan penghukuman kepada setiap
makhluk yang diciptakan-Nya. Kalaupun ada dari makhluk-Nya yang melakukan
kesalahan, Allah swt selalu memberikan pengampunan jika makhluk-Nya datang
meminta pengampunan-Nya. Sepanjang orang-orang memandang keindahan dan
kemegahan Allah swt, orang-orang pun akan merasakan indah dan bahagia. Akan
tetapi, jika orang-orang sudah tidak mengindahkan keindahan Allah swt, kasih
sayang Allah swt, dan kemegahan Allah swt, Allah swt akan berubah menjadi
sangat berbahaya, Maha Berbahaya, Maha Mengerikan, Maha Penuh Kemurkaan, dan
Maha Penghancur.
Sifat Allah swt seperti itu digambarkan dalam kujang oleh
para panday Sunda.
Sifat orang Sunda pun seharusnya seperti itu. Orang Sunda
harus memaujudkan sifat Allah swt dalam dirinya yang penuh kasih sayang, ramah,
sopan, tetapi memiliki potensi menghancurkan siapa pun yang mewujudkan niat
buruknya di muka Bumi. Di balik kasih sayang, cinta, dan keindahan, ada
kekerasan yang bisa menghancurkan apa pun. Akan tetapi, kekerasan itu harus
kembali ditutupi dan menghilang, kemudian menjadi keindahan dan kasih sayang
apabila kejahatan sudah tak tampak lagi.
Kujang itu adalah perhiasan yang asalnya alat potong
tajam pendek bernama kudi. Kujang akan berubah menjadi senjata mengerikan jika
terjadi gangguan terhadap pemiliknya dan sekitarnya.
Sampurasun
No comments:
Post a Comment