Tuesday 21 March 2017

Jangan Ambil Keuntungan Politik dari Fitnah

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Demokrasi memang melahirkan banyak keburukan, salah satunya adalah membludaknya fitnah dan kedustaan. Akan tetapi, keburukan ini bukan tidak bisa dihilangkan. Sangat mungkin kebejatan ini bisa diperbaiki.

            Kita ambil contoh di DKI Jakarta yang juga pasti terjadi di daerah-daerah lain. Banyak pihak yang melancarkan serangan fitnah, kedustaan, dan pembodohan masyarakat terhadap pasangan calon pemimpin yang tidak disukai mereka. Sering sekali terjadi fitnah-fitnah tak berdasar yang sangat meresahkan dan membahayakan bagi pemikiran generasi muda. Fitnah-fitnah dan kebohongan itu sesungguhnya akan mengurung pikiran generasi muda sehingga sulit berkembang dan sulit meluaskan pikiran sehingga selalu terpenjara oleh dogma-dogma dan doktrin-doktrin kampungan yang sama sekali bertentangan dengan ajaran Islam. Tak ada dogma dan doktrin dalam Islam. Islam melarang umatnya untuk mempercayai sesuatu tanpa proses berpikir. Segalanya harus masuk akal. Kalau tidak masuk akal, berarti itu bukan Islam. Dogma dan doktrin kacangan itu hanya akan mempertahankan kebodohan, keterbelakangan, dan kemiskinan. Kenyataan sudah menunjukkan hal seperti itu. Masyarakat yang dipenjara oleh dogma dan doktrin, selalu tertinggal dan tertipu.

            Pasangan Ahok-Djarot dan pasangan Anies-Sandi kerap menyatakan diri sebagai korban fitnah dan kedustaan. Hal ini pun disebarluaskan oleh media, baik cetak maupun elektronik. Akan tetapi, tampaknya kedua pasangan ini kurang berupaya keras untuk menangkal fitnah dan kedustaan yang terjadi. Mereka hanya sibuk mempertahankan dan membela diri. Mereka hanya berupaya menangkal fitnah dan kedustaan apabila menyerang dirinya sendiri.

            Seharusnya, mereka menangkal fitnah dan kebohongan itu dengan cara mengingatkan bahwa masyarakat jangan melakukan fitnah dan kedustaan kepada pihak lawannya juga. Misalnya, ketika Ahok-Djarot disebut kaki tangan komunis Cina, Anies-Sandi harus mengingatkan masyarakat agar jangan menghina lawannya dengan cara seperti itu. Tunjukkan bahwa Anies-Sandi adalah pasangan yang tidak ingin dibela dengan cara-cara kotor. Demikian pula sebaliknya, ketika Anies-Sandi mendapatkan fitnah sebagai penganut Islam aliran sesat, Ahok-Djarot ikut membela mereka agar siapa pun tidak boleh memfitnah lawannya dengan cara murahan seperti itu. Tunjukkan bahwa Ahok-Djarot tidak ingin dibela dengan cara-cara kotor. Tunjukkan bahwa Ahok-Djarot hanya mau dibela dengan cara mempublikasikan program kerja, keberhasilan-keberhasilannya, dan visi misinya pada masa depan. Kedua pasangan itu harus mendidik masyarakat agar persaingan menjadi sehat dan meminimalisasi segala bentuk kekotoran.

            Ahok-Djarot jangan menganggap fitnah dan kedustaan yang menimpa Anies-Sandi sebagai keuntungan bagi dirinya. Mereka tidak boleh membiarkan hal itu terjadi. Demikian pula Anies-Sandi jangan menganggap bahwa fitnah dan kedustaan yang menimpa Ahok-Djarot sebagai keuntungan bagi dirinya. Salah total jika punya perasaan seperti itu. Sangat tidak mendidik.

            Jika masih percaya demokrasi dan percaya bahwa demokrasi bisa menjadi bermartabat, pasangan calon mana pun di Indonesia jangan pernah mencari untung dari fitnah dan kedustaan yang melanda saingannya. Fitnah dan kedustaan itu bukan masalah untung-rugi atau kalah-menang dalam Pilkada, Pilpres, atau Pileg, melainkan masalah bangsa sehari-hari. Masalah ini adalah masalah kita semua dan sangat tidak layak mendapatkan keuntungan dari cara-cara kotor dan buruk seperti itu.

            Ada contoh nyata yang sangat baik terjadi di Jawa Barat. Ketika Agum-Numan kalah dalam pemilihan gubernur karena yang menang adalah Aher-Dede Yusuf, para pendukung Agum kecewa dan marah, lalu bikin aksi-aksi demonstrasi besar-besaran dengan segala informasi yang tak jelas beredar di kepala para peserta aksi. Agum dengan bijaksananya mengingatkan agar para pendukungnya tidak meneruskan aksi-aksi itu dan segera berpartisipasi menciptakan Jawa Barat agar semakin kondusif. Hasilnya, aksi-aksi itu berhenti total dan tidak pernah ada lagi. Kecewa sih boleh kecewa, tetapi tidak boleh desktruktif dan menyesatkan pikiran orang lain.

            Contoh yang terjadi di Provinsi Jawa Barat ini bisa dilakukan di seluruh Indonesia. Seluruh pasangan calon harus mengendalikan setiap pendukungnya untuk tidak melakukan fitnah, kedustaan, dan huru-hara. Seluruh pasangan calon harus mendeklarasikan dirinya untuk tidak rela jika harus dibela dengan cara memfitnah pasangan lawannya, membuat kabar bohong, dan merancang huru-hara. Seluruh pasangan calon harus menampakkan dengan jelas bahwa dirinya hanya ingin bersaing secara sehat dan terpelajar.

            Begitu caranya jika ingin melakukan pendidikan politik yang positif bagi masyarakat.

            Begitulah seharusnya Indonesia Mendidik Indonesia.

            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment