oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Demokrasi memang melahirkan
banyak keburukan, salah satunya adalah membludaknya fitnah dan kedustaan. Akan
tetapi, keburukan ini bukan tidak bisa dihilangkan. Sangat mungkin kebejatan
ini bisa diperbaiki.
Kita ambil contoh di DKI Jakarta yang juga pasti terjadi
di daerah-daerah lain. Banyak pihak yang melancarkan serangan fitnah,
kedustaan, dan pembodohan masyarakat terhadap pasangan calon pemimpin yang
tidak disukai mereka. Sering sekali terjadi fitnah-fitnah tak berdasar yang
sangat meresahkan dan membahayakan bagi pemikiran generasi muda. Fitnah-fitnah dan
kebohongan itu sesungguhnya akan mengurung pikiran generasi muda sehingga sulit
berkembang dan sulit meluaskan pikiran sehingga selalu terpenjara oleh
dogma-dogma dan doktrin-doktrin kampungan yang sama sekali bertentangan dengan
ajaran Islam. Tak ada dogma dan doktrin dalam Islam. Islam melarang umatnya
untuk mempercayai sesuatu tanpa proses berpikir. Segalanya harus masuk akal.
Kalau tidak masuk akal, berarti itu bukan Islam. Dogma dan doktrin kacangan itu
hanya akan mempertahankan kebodohan, keterbelakangan, dan kemiskinan. Kenyataan
sudah menunjukkan hal seperti itu. Masyarakat yang dipenjara oleh dogma dan
doktrin, selalu tertinggal dan tertipu.
Pasangan Ahok-Djarot dan pasangan Anies-Sandi kerap
menyatakan diri sebagai korban fitnah dan kedustaan. Hal ini pun disebarluaskan
oleh media, baik cetak maupun elektronik. Akan tetapi, tampaknya kedua pasangan
ini kurang berupaya keras untuk menangkal fitnah dan kedustaan yang terjadi.
Mereka hanya sibuk mempertahankan dan membela diri. Mereka hanya berupaya menangkal
fitnah dan kedustaan apabila menyerang dirinya sendiri.
Seharusnya, mereka menangkal fitnah dan kebohongan itu
dengan cara mengingatkan bahwa masyarakat jangan melakukan fitnah dan kedustaan
kepada pihak lawannya juga. Misalnya, ketika Ahok-Djarot disebut kaki tangan
komunis Cina, Anies-Sandi harus mengingatkan masyarakat agar jangan menghina
lawannya dengan cara seperti itu. Tunjukkan bahwa Anies-Sandi adalah pasangan
yang tidak ingin dibela dengan cara-cara kotor. Demikian pula sebaliknya,
ketika Anies-Sandi mendapatkan fitnah sebagai penganut Islam aliran sesat,
Ahok-Djarot ikut membela mereka agar siapa pun tidak boleh memfitnah lawannya
dengan cara murahan seperti itu. Tunjukkan bahwa Ahok-Djarot tidak ingin dibela
dengan cara-cara kotor. Tunjukkan bahwa Ahok-Djarot hanya mau dibela dengan cara
mempublikasikan program kerja, keberhasilan-keberhasilannya, dan visi misinya
pada masa depan. Kedua pasangan itu harus mendidik masyarakat agar persaingan
menjadi sehat dan meminimalisasi segala bentuk kekotoran.
Ahok-Djarot jangan menganggap fitnah dan kedustaan yang
menimpa Anies-Sandi sebagai keuntungan bagi dirinya. Mereka tidak boleh
membiarkan hal itu terjadi. Demikian pula Anies-Sandi jangan menganggap bahwa
fitnah dan kedustaan yang menimpa Ahok-Djarot sebagai keuntungan bagi dirinya.
Salah total jika punya perasaan seperti itu. Sangat tidak mendidik.
Jika masih percaya demokrasi dan percaya bahwa demokrasi
bisa menjadi bermartabat, pasangan calon mana pun di Indonesia jangan pernah mencari
untung dari fitnah dan kedustaan yang melanda saingannya. Fitnah dan kedustaan
itu bukan masalah untung-rugi atau kalah-menang dalam Pilkada, Pilpres, atau
Pileg, melainkan masalah bangsa sehari-hari. Masalah ini adalah masalah kita
semua dan sangat tidak layak mendapatkan keuntungan dari cara-cara kotor dan
buruk seperti itu.
Ada contoh nyata yang sangat baik terjadi di Jawa Barat.
Ketika Agum-Numan kalah dalam pemilihan gubernur karena yang menang adalah
Aher-Dede Yusuf, para pendukung Agum kecewa dan marah, lalu bikin aksi-aksi
demonstrasi besar-besaran dengan segala informasi yang tak jelas beredar di
kepala para peserta aksi. Agum dengan bijaksananya mengingatkan agar para
pendukungnya tidak meneruskan aksi-aksi itu dan segera berpartisipasi
menciptakan Jawa Barat agar semakin kondusif. Hasilnya, aksi-aksi itu berhenti
total dan tidak pernah ada lagi. Kecewa sih boleh kecewa, tetapi tidak boleh
desktruktif dan menyesatkan pikiran orang lain.
Contoh yang terjadi di Provinsi Jawa Barat ini bisa
dilakukan di seluruh Indonesia. Seluruh pasangan calon harus mengendalikan
setiap pendukungnya untuk tidak melakukan fitnah, kedustaan, dan huru-hara.
Seluruh pasangan calon harus mendeklarasikan dirinya untuk tidak rela jika
harus dibela dengan cara memfitnah pasangan lawannya, membuat kabar bohong, dan
merancang huru-hara. Seluruh pasangan calon harus menampakkan dengan jelas
bahwa dirinya hanya ingin bersaing secara sehat dan terpelajar.
Begitu caranya jika ingin melakukan pendidikan politik
yang positif bagi masyarakat.
Begitulah seharusnya Indonesia
Mendidik Indonesia.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment