Showing posts with label Sandiaga Uno. Show all posts
Showing posts with label Sandiaga Uno. Show all posts

Tuesday, 16 July 2019

Kecewa Sama Prabowo, Bikin Partai Sendiri Saja


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Setelah Jokowi dan Prabowo melakukan rekonsiliasi (13 Juli 2019), ternyata banyak pendukung Prabowo yang kecewa. Mereka ingin rekonsiliasi tidak terjadi, tetapi kenyataannya terjadi. Hal itu disebabkan agenda-agenda mereka runtuh secara tiba-tiba dengan adanya pengakuan dan pernyataan resmi yang diberikan Prabowo kepada Jokowi sebagai pemenang Pilpres 2019.

            Koalisi Adil Makmur memang sudah dibubarkan.  Partai-partai pengusung Prabowo-Sandi kembali dan dikembalikan ke kedaulatannya masing-masing, tidak lagi terikat pada koalisi. Mereka bergerak bebas sekehendak mereka. Ada yang sudah memastikan dirinya menjadi oposisi yang bertindak sebagai “pengingat” Jokowi dan penyeimbang kekuasaannya, yaitu PKS. Selebihnya, sampai tulisan ini dibuat masih belum jelas sikapnya, entah bergabung Jokowi, entah berada di luar pemerintahan. Para pendukung Prabowo yang kelimpungan dan tampak lebih kecewa adalah kelompok-kelompok yang bukan partai. Mereka kehilangan “tunggangan”, baik Prabowo maupun partai-partai pendukung untuk memuluskan agenda-agenda sendiri yang tampak berbeda dengan apa yang menjadi ide Prabowo sendiri.

            Prabowo-Sandi memiliki agenda-agenda yang menurut beberapa pengamat “beririsan” dengan agenda-agenda Jokowi-Maruf Amin. Artinya, keinginan Jokowi-Amin mirip dengan keinginan Prabowo-Sandi dalam memajukan dan membuat Indonesia adil makmur.

            Oleh karena itu, wajar jika Prabowo ketika rekonsiliasi menyatakan siap membantu pemerintahan Jokowi-Amin. Kesiapan Prabowo membantu pemerintah itu bisa dengan memperkuat dan bergabung Jokowi atau mendorong dengan cara memberikan pengawasan dan kritik-kritik konstruktif dari luar pemerintahan. Bagi Prabowo, keutuhan dan keselamatan NKRI jauh lebih penting dibandingkan kepentingan-kepentingan politik sesaat, sebagaimana dalam surat yang ditulisnya sendiri kepada Amien Rais, pentolan PAN.

            Hal itulah yang membuat pendukung Prabowo-Sandi nonpartai kecewa. Partai seperti PKS juga sebetulnya seperti sedikit kecewa, tetapi mereka masih bisa berkiprah dalam politik secara resmi melalui lembaga legislatif DPR. Adapun pendukung nonpartai seperti kehilangan arah dan pegangan karena agenda-agenda politik mereka “melayang tak lagi bertenaga”.

            Berkaca dari pengalaman tersebut, sebaiknya pendukung Prabowo-Sandi nonpartai jangan lagi menggunakan siapa pun dan apa pun sebagai kendaraan politik. Jika ingin memperjuangkan agendanya sendiri, buat saja partai sendiri. Dengan demikian, mereka bisa menguji kemampuan dirinya untuk terjun langsung dalam persaingan politik. Jika berhasil, mereka memiliki kekuatan semakin besar. Jika gagal, mereka lebih menyadari berbagai kesulitan dan tantangan yang harus dihadapi dalam berpartai.

            Presiden pertama RI Ir. Soekarno pernah berkata, “Aku tidak suka orang Islam yang merintih-rintih, ‘janganlah Islam dipisahkan dari negara’. Aku lebih suka orang Islam yang berani menjawab tantangan zaman. Penuhilah kursi-kursi parlemen itu jika engkau benar-benar rakyat Islam!”

Sampurasun.

Friday, 5 July 2019

Beda Antara Rekonsiliasi dan Legitimasi


oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya
Setelah memperhatikan komentar-komentar di Media Sosial mengenai situasi politik akhir-akhir ini, ada hal yang menarik, terutama mengenai ajakan rekonsiliasi dari Presiden Jokowi kepada rival utamanya Prabowo Subianto bersama para pendukungnya. Seperti yang telah kita ketahui bahwa pasangan Capres 01 Jokowi-Maruf Amin berhasil mengalahkan pasangan Capres 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dalam Pemilihan Presiden 17 April 2019. Setelah menang, Jokowi mengajak untuk melakukan rekonsiliasi kepada Prabowo. Rekonsiliasi itu ternyata sulit terlaksana.

            Masyarakat bertanya-tanya mengapa itu sulit dilakukan?

            Berbagai dugaan pun bertebaran mulai dari kurang besarnya jiwa dalam menghadapi kekalahan, kecurigaan atas meningkatnya peluang komunisme, hingga Jokowi mencari legitimasi untuk kekuasaan yang telah diraih untuk kedua kalinya sebagai presiden Republik Indonesia. Adalah sangat tidak masuk akal jika Jokowi mengajak rekonsiliasi untuk mencari legitimasi. Seolah-olah sengaja Jokowi-Prabowo dihalangi untuk rekonsiliasi supaya Jokowi-Amin tidak legitimate dan tidak bisa dilantik menjadi Presiden dan Wapres RI untuk periode 2019-2024. Bahkan, masih ada yang bermimpi bahwa Prabowo Subianto yang akan dilantik menjadi presiden RI periode 2019-2024. Hal ini sungguh sangat mengherankan.


Legitimasi Jokowi-Amin
Legitimasi itu memiliki pengertian “pengakuan, penerimaan, persetujuan, dan pengesahan”.

            Legitimasi bagi Jokowi-Maruf Amin sebagai presiden-Wapres RI terpilih sudah sangat kuat. Mereka dipilih oleh 85 juta rakyat Indonesia, dikuatkan oleh hasil Sidang Mahkamah Konstitusi (MK), ditetapkan sebagai pemenang oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan diakui kemenangannya oleh lebih dari empat puluh negara di dunia.

            Kurang legitimate apa lagi mereka?

            Jokowi-Amin tetap legitimate meskipun rekonsiliasi tidak terjadi. Pelantikan mereka tidak dipengaruhi oleh rekonsiliasi. Pelantikan jalan terus meskipun sebagian kecil masyarakat Indonesia tidak mengakuinya, tidak menyetujuinya, bahkan membencinya.

            Dalam kenyataannya, setiap presiden di Indonesia dan di seluruh dunia ini tidak selalu disetujui oleh 100% rakyatnya. Selalu saja ada yang tidak suka dan tidak setuju. Akan tetapi, presiden terpilih tetap legitimate untuk memimpin penyelenggaraan negara.

            Adalah hal yang sia-sia jika menghalangi rekonsiliasi agar Jokowi-Amin tidak legitimate, apalagi berharap tidak dilantik, bahkan kalah oleh Prabowo-Sandi.


Rekonsiliasi Jokowi-Prabowo
Rekonsiliasi mengandung arti “memulihkan keadaan ke keadaan sebelumnya sebelum terjadi perbedaan atau menyelesaikan perbedaan-perbedaan yang ada”. Rekonsiliasi itu sangat berguna untuk meredam ketegangan, menciptakan suasana adem dan tenang.

            Adalah perilaku yang sangat mulia jika mengupayakan jalannya rekonsiliasi untuk kebaikan bersama. Kalau di antara manusia terjadi perselisihan/pertengkaran, adalah hal yang teramat mulia bagi pihak-pihak yang mengupayakan terjadinya rekonsiliasi. Sebaliknya, teramat buruklah mereka yang menghalang-halangi terjadinya rekonsiliasi. Jika dua orang bertengkar/berselisih bahkan bermusuhan, orang yang berupaya keras untuk memulihkan hubungan pasti jauh lebih baik dibandingkan mereka yang terus-menerus memelihara permusuhan. Begitulah hal yang saya pahami dalam ajaran Islam yang saya yakini penuh cinta, kasih, sayang, perdamaian, dan rahmat bagi semesta alam.

            Rekonsiliasi antara Jokowi dan Prabowo sangat diperlukan untuk meredakan ketegangan dan mempersatukan bangsa untuk melangkah ke masa depan. Hal ini tidak terkait langsung dengan legitimasi Jokowi-Amin karena mereka sudah legitimate dengan atau tanpa terjadinya rekonsiliasi.

            Terjadinya rekonsiliasi adalah untuk meneduhkan suasana berbangsa dan bernegara hingga berjalan beriringan saling bahu dan saling mengingatkan untuk kebaikan bersama.


Sampurasun.

Wednesday, 10 April 2019

Memecah Belah Ulama


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Dalam suasana Pemilu 2019, baik Pilpres maupun Pileg yang digelar April 2019 ini, situasi harus diakui bahwa masyarakat “memanas” karena dipanas-panasi melalui media sosial. Hal yang sangat mengkhawatirkan adalah banyaknya orang yang mengklaim diri atau diklaim sebagai ulama ikut juga terlibat dalam suasana yang panas ini. Secara sepintas saja sudah sangat jelas terlihat bahwa ada ulama dan habib yang mendukung pasangan Jokowi-Maruf Amin dan ada yang mendukung pasangan Prabowo-Sandiaga Uno. Sayangnya, di media sosial berseliweran postingan-postingan, baik itu kata-kata maupun video yang isinya memaki-maki ulama hingga ada istilah yang menurut saya aneh, yaitu, “ulama kami, ulama kalian, ulama mereka”. Istilah itu menunjukkan dengan jelas adanya perpecahan di antara orang-orang yang mengklaim diri atau diklaim sebagai ulama.

            Saya sungguh tidak tahu apakah perpecahan itu diakibatkan oleh orang di luar Indonesia yang ingin memecah para ulama di Indonesia, apakah diciptakan oleh para politikus busuk yang hanya peduli kekuasaannya dan tidak peduli dengan keharmonisan rakyat Indonesia, atau memang orang-orang yang disebut ulama itu sendiri yang menginginkan kondisi seperti itu. Sungguh saya tidak tahu hal itu dan hanya bisa diketahui melalui penelitian mendalam, baik menggunakan metode kualitatif, kuantitatif, ataupun campuran di antara keduanya.

            Kenyataan seperti itu membuat saya bertanya-tanya apakah mungkin para ulama bisa saling memaki, menghujat, dan saling merendahkan?

            Apa dan siapa sih sebenarnya yang disebut ulama itu?

            Di dalam beberapa literatur yang saya baca dan dari pemahaman orang Indonesia secara umum, ulama biasa dipahami sebagai orang yang berilmu agama dan menjadi pemimpin agama di lingkungan masyarakat. Intinya, ulama itu adalah orang yang berilmu.

            Kalaulah artinya hanya seperti itu, tidak perlu heran jika banyak orang yang mengaku-aku sebagai ulama atau diakui sebagai ulama. Kemudian, terjadi banyak percekcokan, perselisihan, pertengkaran karena perbedaan kepentingan, kekuasaan, pengaruh, harga diri, atau kedudukan. Tak heran pula ada istilah ulama su yang biasa diartikan sebagai ulama buruk atau ulama jahat. Hal itu juga secara bahasa tidaklah salah jika ulama su adalah orang berilmu yang buruk atau jahat.

            Hal tersebut dapat menjawab pertanyaan saya tentang apakah para ulama bisa saling menghujat, memaki, memfitnah, atau merendahkan?

            Jawabannya, “Bisa!”

            Hal itu disebabkan bahwa arti ulama yang digunakan hanyalah ‘orang berilmu’. Perpecahan di antara ulama pun tidak bisa dihindari dan itu memalukan bagi kaum muslimin.


Arti Ulama dalam Al Quran
Berbeda jika kita menggunakan Al Quran untuk memahami apa dan siapa itu ulama. Dalam Al Quran arti ulama itu tidak sebatas orang berilmu agama dan menjadi pemimpin agama, tetapi “orang yang memiliki rasa takut kepada Allah swt”.

            Allah swt berfirman, “… Di antara hamba-hamba Allah, yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama….” (QS Fathir : 28)

            Para ahli tafsir mengatakan bahwa ulama itu adalah orang yang berilmu agama tinggi yang dengan ilmunya mengantarkan dirinya takut kepada Allah swt. Intinya, ulama itu adalah orang yang takut kepada Allah swt.

            Hal ini mudah dipahami karena untuk memiliki rasa takut kepada Allah swt, harus memiliki ilmu tentang Allah swt. Arti kebalikannya adalah jika tidak takut kepada Allah swt, ia tidak memiliki ilmu tentang Allah swt. Takut karena memiliki ilmunya. Tidak takut karena tidak memiliki ilmunya.

            Dengan menggunakan arti ulama yang berasal dari Al Quran, sangatlah tidak mungkin terjadi perpecahan di antara ulama. Orang yang takut kepada Allah swt tidak mungkin saling mencaci, saling memaki, saling menghujat, atau saling merendahkan. Orang-orang ini takut sekali jika pikirannya, kata-katanya, dan perbuatannya menimbulkan kerusakan di muka Bumi dengan menyakiti  hati dan fisik orang yang takut kepada Allah swt. Orang yang takut Allah swt mustahil menyakiti orang yang takut kepada Allah swt.

            Hal itu menjelaskan bahwa sesungguhnya tidak perlu ada istilah ulama su karena tidak mungkin orang yang takut Allah swt berbuat buruk atau jahat. Sudah pasti orang jahat dan buruk adalah bukan orang yang takut kepada Allah swt. Dia pasti bukan ulama.

            Apalagi jika kita menggunakan kata “takwa” untuk mengganti kalimat “orang yang takut kepada Allah swt”, akan jelas terlihat jalan logisnya. Kata takwa memiliki makna pula “takut kepada Allah swt”.

            Sangatlah tidak masuk akal jika ada kalimat “orang takwa yang jahat” atau “orang takwa yang buruk”. Orang takwa itu selalu baik karena takut kepada Allah swt.

            Akan tetapi, masuk akal jika ada kalimat “orang berilmu yang jahat” atau “orang berilmu yang buruk”.


Tak Mungkin Ulama Berpecah Belah
Jika kita melihat perpecahan atau konflik di antara orang yang katanya “ulama”, itu disebabkan mereka sesungguhnya bukan ulama atau orang jahat yang sedang menyakiti ulama. Tidak mungkin ulama dengan ulama saling menyakiti. Tidak mungkin orang takwa dengan orang takwa saling merendahkan. Pasti salah satu ada yang jahat atau kedua-duanya jahat.

            Kalau sama-sama takwa dan takut kepada Allah swt, mengapa harus bertengkar?

            Ulama su sesungguhnya bukanlah ulama dalam pandangan Allah swt. Mereka hanyalah orang-orang yang merasa nikmat mengklaim diri atau diklaim orang lain sebagai ulama. Akan tetapi, tidak dalam pandangan Allah swt. Mereka hanyalah manusia jahat dan buruk.

           Saya mohon maaf jika dalam tulisan saya ini terdapat kesalahan. Apabila para pembaca yang baik hati menemukan kesalahan, tolong koreksi saya dengan baik dan berikan saya tambahan ilmu yang baik. Saya sangat senang mendapatkan banyak koreksi sehingga saya dapat memperbaiki diri dengan lebih baik lagi.

Sampurasun.

Monday, 1 April 2019

Tidak Perlu Pengaman Swasta di TPS


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Pada satu sisi kita harus bersyukur atas semangat masyarakat untuk menyukseskan Pemilu RI 2019 dengan kepedulian yang tinggi untuk mendukung jago-jagonya dalam perhelatan demokrasi, termasuk bersedia memberikan pengamanan gratis untuk “membantu” KPU di setiap Tempat Pemungutan Suara (TPS). Akan tetapi, pada sisi lain ada kekhawatiran lain tentang kehadiran pengamanan swasta di setiap TPS yang ada.

            Sebagaimana yang kita ketahui perang di media sosial yang diwarnai dengan hoax, fitnah, dan ujaran kebencian begitu banyak berseliweran. Keras sekali perang kata-kata itu. Hal itu kalau tidak dikendalikan, bisa berakibat pada bentrokan fisik di dunia nyata.

            Para pendukung Pasangan 01 Jokowi-Maruf Amin membentuk pengamanan khusus untuk di TPS-TPS. Demikian pula para pendukung Pasangan 02 Prabowo-Sandiuno bersedia membuat pengamanan ekstra di TPS-TPS.

            Hal yang wajib diperhatikan adalah jika di sebuah TPS ada dua “pengamanan swasta” yang berasal dari 01 dan 02, tak ada jaminan mereka baik-baik saja, tak ada kepastian mereka tidak akan bentrok. Bahkan, akan menjadi beban baru bagi KPU untuk mengadakan pengamanan tambahan untuk mengawasi mereka agar tidak bentrok.

            Di samping itu, ada tenaga pengamanan dari pendukung pasangan calon presiden yang merencanakan menyediakan makanan dan minuman untuk masyarakat yang datang ke tempat pemungutan suara. Itu sangat berbahaya, malah bisa berakibat hukum karena dapat dianggap memberikan pengaruh pada keputusan masyarakat untuk memilih calon presiden yang mereka sukai.

            Sebaiknya, tidak perlu ada tenaga pengamanan untuk di TPS yang berasal dari kedua pasangan calon presiden. Gunakan saja pengamanan yang resmi dan disediakan oleh negara karena lebih bisa dipastikan netral dibandingkan mereka yang berasal dari dua kubu pasangan calon.

            Semangat itu bagus, tetapi efek negatif dari semangat berlebihan itu buruk.

Sampurasun.

Tuesday, 21 March 2017

Jangan Ambil Keuntungan Politik dari Fitnah

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Demokrasi memang melahirkan banyak keburukan, salah satunya adalah membludaknya fitnah dan kedustaan. Akan tetapi, keburukan ini bukan tidak bisa dihilangkan. Sangat mungkin kebejatan ini bisa diperbaiki.

            Kita ambil contoh di DKI Jakarta yang juga pasti terjadi di daerah-daerah lain. Banyak pihak yang melancarkan serangan fitnah, kedustaan, dan pembodohan masyarakat terhadap pasangan calon pemimpin yang tidak disukai mereka. Sering sekali terjadi fitnah-fitnah tak berdasar yang sangat meresahkan dan membahayakan bagi pemikiran generasi muda. Fitnah-fitnah dan kebohongan itu sesungguhnya akan mengurung pikiran generasi muda sehingga sulit berkembang dan sulit meluaskan pikiran sehingga selalu terpenjara oleh dogma-dogma dan doktrin-doktrin kampungan yang sama sekali bertentangan dengan ajaran Islam. Tak ada dogma dan doktrin dalam Islam. Islam melarang umatnya untuk mempercayai sesuatu tanpa proses berpikir. Segalanya harus masuk akal. Kalau tidak masuk akal, berarti itu bukan Islam. Dogma dan doktrin kacangan itu hanya akan mempertahankan kebodohan, keterbelakangan, dan kemiskinan. Kenyataan sudah menunjukkan hal seperti itu. Masyarakat yang dipenjara oleh dogma dan doktrin, selalu tertinggal dan tertipu.

            Pasangan Ahok-Djarot dan pasangan Anies-Sandi kerap menyatakan diri sebagai korban fitnah dan kedustaan. Hal ini pun disebarluaskan oleh media, baik cetak maupun elektronik. Akan tetapi, tampaknya kedua pasangan ini kurang berupaya keras untuk menangkal fitnah dan kedustaan yang terjadi. Mereka hanya sibuk mempertahankan dan membela diri. Mereka hanya berupaya menangkal fitnah dan kedustaan apabila menyerang dirinya sendiri.

            Seharusnya, mereka menangkal fitnah dan kebohongan itu dengan cara mengingatkan bahwa masyarakat jangan melakukan fitnah dan kedustaan kepada pihak lawannya juga. Misalnya, ketika Ahok-Djarot disebut kaki tangan komunis Cina, Anies-Sandi harus mengingatkan masyarakat agar jangan menghina lawannya dengan cara seperti itu. Tunjukkan bahwa Anies-Sandi adalah pasangan yang tidak ingin dibela dengan cara-cara kotor. Demikian pula sebaliknya, ketika Anies-Sandi mendapatkan fitnah sebagai penganut Islam aliran sesat, Ahok-Djarot ikut membela mereka agar siapa pun tidak boleh memfitnah lawannya dengan cara murahan seperti itu. Tunjukkan bahwa Ahok-Djarot tidak ingin dibela dengan cara-cara kotor. Tunjukkan bahwa Ahok-Djarot hanya mau dibela dengan cara mempublikasikan program kerja, keberhasilan-keberhasilannya, dan visi misinya pada masa depan. Kedua pasangan itu harus mendidik masyarakat agar persaingan menjadi sehat dan meminimalisasi segala bentuk kekotoran.

            Ahok-Djarot jangan menganggap fitnah dan kedustaan yang menimpa Anies-Sandi sebagai keuntungan bagi dirinya. Mereka tidak boleh membiarkan hal itu terjadi. Demikian pula Anies-Sandi jangan menganggap bahwa fitnah dan kedustaan yang menimpa Ahok-Djarot sebagai keuntungan bagi dirinya. Salah total jika punya perasaan seperti itu. Sangat tidak mendidik.

            Jika masih percaya demokrasi dan percaya bahwa demokrasi bisa menjadi bermartabat, pasangan calon mana pun di Indonesia jangan pernah mencari untung dari fitnah dan kedustaan yang melanda saingannya. Fitnah dan kedustaan itu bukan masalah untung-rugi atau kalah-menang dalam Pilkada, Pilpres, atau Pileg, melainkan masalah bangsa sehari-hari. Masalah ini adalah masalah kita semua dan sangat tidak layak mendapatkan keuntungan dari cara-cara kotor dan buruk seperti itu.

            Ada contoh nyata yang sangat baik terjadi di Jawa Barat. Ketika Agum-Numan kalah dalam pemilihan gubernur karena yang menang adalah Aher-Dede Yusuf, para pendukung Agum kecewa dan marah, lalu bikin aksi-aksi demonstrasi besar-besaran dengan segala informasi yang tak jelas beredar di kepala para peserta aksi. Agum dengan bijaksananya mengingatkan agar para pendukungnya tidak meneruskan aksi-aksi itu dan segera berpartisipasi menciptakan Jawa Barat agar semakin kondusif. Hasilnya, aksi-aksi itu berhenti total dan tidak pernah ada lagi. Kecewa sih boleh kecewa, tetapi tidak boleh desktruktif dan menyesatkan pikiran orang lain.

            Contoh yang terjadi di Provinsi Jawa Barat ini bisa dilakukan di seluruh Indonesia. Seluruh pasangan calon harus mengendalikan setiap pendukungnya untuk tidak melakukan fitnah, kedustaan, dan huru-hara. Seluruh pasangan calon harus mendeklarasikan dirinya untuk tidak rela jika harus dibela dengan cara memfitnah pasangan lawannya, membuat kabar bohong, dan merancang huru-hara. Seluruh pasangan calon harus menampakkan dengan jelas bahwa dirinya hanya ingin bersaing secara sehat dan terpelajar.

            Begitu caranya jika ingin melakukan pendidikan politik yang positif bagi masyarakat.

            Begitulah seharusnya Indonesia Mendidik Indonesia.

            Sampurasun.