Showing posts with label Partai. Show all posts
Showing posts with label Partai. Show all posts

Friday, 22 October 2021

Menghitung Anies

 

oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Nyanyi lagunya Krisdayanti, yuk.

 

“Menghitung hari

Detik demi detik

Masa kunanti apa ‘kan ada

Jalan cerita kisah yang panjang

Menghitung hariii ….”

 

            Sekarang mari kita ganti kata “hari” dengan kata “Anies”.

 

“Menghitung Anies

Detik demi detik

Masa kunanti apa ‘kan ada

Jalan cerita kisah yang panjang

Menghitung Aniiies ….”

           

            Enak nyanyinya?

            Merdu kan?

            Kalian yang nyanyi, ya pasti merdu atuh.

            Jabatan Anies Baswedan sebagai gubernur DKI Jakarta berakhir pada 16 Oktober 2022. Selanjutnya, kepemimpinan Jakarta akan dipegang pelaksana tugas (Plt) hingga 2024.

            Setelah berhenti menjadi gubernur, Anies harus berhitung dan banyak berpikir. Dia bisa ikutan menjadi calon dalam pemilihan presiden, ikutan lagi menjadi gubernur DKI Jakarta untuk periode kedua, atau selesai dalam berpolitik karena sudah mentok nggak bisa ke sana dan ke sini.

            Kalau untuk ikut menjadi calon presiden (Capres), dia harus didukung partai dengan minimal kekuatan 20%. Sampai hari ini dia belum punya kekuatan itu. Hal itu disebabkan 82% partai adalah kekuatan politik pemerintahan Jokowi. Sisanya, 18% ada di PKS dan Partai Demokrat. Masih sangat kurang untuk menjadi syarat ikutan nyapres. Itu juga kalau memang PKS dan Demokrat nyalonin Anies. Kenyataannya, hingga hari ini kedua partai itu belum terbuka menyatakan akan mencalonkan Anies. Partai Demokrat malah sudah mengusung calonnya sendiri, yaitu Agus Harimurto Yudhoyono (AHY), Ketua Partai Demokrat. PKS juga dengar-dengar punya calon sendiri yang kalau saya nggak salah dengar, namanya Dr. Salim. Memang belum terlalu terkenal, tetapi kalau memang dicalonkan, PKS akan berjuang untuk memperkenalkan sosok calonnya itu.

            Lalu, bagaimana nasib Gubernur Seiman Santun Anies Baswedan itu yang dulu pendukungnya melarang jenazah untuk disholatkan di masjid karena memilih Ahok?

            Dia harus bekerja keras untuk mendapatkan dukungan dari partai. Terjal memang, tetapi harus dilalui jika benar berniat menjadi calon presiden.

            Kalau merasa terlalu berat untuk nyapres, ya nyagub lagi aja ikut pemilihan gubernur DKI Jakarta untuk periode kedua. Kalau buat nyagub, dukungan partai sepertinya aman buat Anies. Jika dilihat dari kasus interpelasi tentang rencana pelaksanaan balap mobil Formula E yang dianggap telah merusakkan kawasan Monas dan telah mengeluarkan uang rakyat hampir satu triliun tanpa jelas kapan pelaksanaan dan tempat balapnya itu, ada tujuh partai yang membentengi Anies dari serangan interpelasi PDIP dan PSI. Artinya, ada banyak partai yang tampaknya bersedia untuk menjadi kendaraan Anies jika nyagub lagi di DKI.

            Meskipun aman untuk ikutan nyagub lagi, belum tentu terpilih lagi karena akan muncul calon-calon gubernur baru, misalnya, Riza Patria yang sekarang menjadi wakil gubernur dari Gerindra itu bisa ikutan menjadi calon gubernur, begitu juga dengan orang lain. Lawan berat Anies yang sudah mendapatkan banyak dukungan adalah Gibran Rakabuming Raka yang sekarang masih menjadi walikota Solo dan anak dari Presiden RI Jokowi. Gibran sudah mendapatkan dukungan terbuka dari PKB dan PAN. Dia sendiri adalah kader PDIP. Belum lagi Gerindra sudah bersilaturahmi kepada Gibran. Enam menteri, Kapolri, Gubernur Jateng Ganjar, dan mantan Wagub DKI Ahok sudah mendatangi Gibran. Penyanyi kondang balada Iwan Fals pun mendukung jika Gibran melanjutkan karir politiknya ke tingkat yang lebih tinggi.

            Tantangan buat Anies memang sangat berat. Nyapres terjal, nyagub juga sangat berat karena dia nganggur dulu dari jabatan publik tahun 2022 dan harus menunggu selama dua tahun hingga pemilihan serentak pada 2024.

            Kalau Anies tidak berhasil melanjutkan karir politiknya, saya sarankan Anies kembali pada habitatnya yang lama, menjadi pengajar seperti saya saja. Banyak hal yang bisa diajarkan oleh Anies kepada generasi muda lewat sekolahan atau kuliahan.

            Mari menyanyi lagi.

            “Menghitung Anies

            Detik demi detik ….”

            Udah ah, bosen.

            Sampurasun.

Tuesday, 16 July 2019

Kecewa Sama Prabowo, Bikin Partai Sendiri Saja


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Setelah Jokowi dan Prabowo melakukan rekonsiliasi (13 Juli 2019), ternyata banyak pendukung Prabowo yang kecewa. Mereka ingin rekonsiliasi tidak terjadi, tetapi kenyataannya terjadi. Hal itu disebabkan agenda-agenda mereka runtuh secara tiba-tiba dengan adanya pengakuan dan pernyataan resmi yang diberikan Prabowo kepada Jokowi sebagai pemenang Pilpres 2019.

            Koalisi Adil Makmur memang sudah dibubarkan.  Partai-partai pengusung Prabowo-Sandi kembali dan dikembalikan ke kedaulatannya masing-masing, tidak lagi terikat pada koalisi. Mereka bergerak bebas sekehendak mereka. Ada yang sudah memastikan dirinya menjadi oposisi yang bertindak sebagai “pengingat” Jokowi dan penyeimbang kekuasaannya, yaitu PKS. Selebihnya, sampai tulisan ini dibuat masih belum jelas sikapnya, entah bergabung Jokowi, entah berada di luar pemerintahan. Para pendukung Prabowo yang kelimpungan dan tampak lebih kecewa adalah kelompok-kelompok yang bukan partai. Mereka kehilangan “tunggangan”, baik Prabowo maupun partai-partai pendukung untuk memuluskan agenda-agenda sendiri yang tampak berbeda dengan apa yang menjadi ide Prabowo sendiri.

            Prabowo-Sandi memiliki agenda-agenda yang menurut beberapa pengamat “beririsan” dengan agenda-agenda Jokowi-Maruf Amin. Artinya, keinginan Jokowi-Amin mirip dengan keinginan Prabowo-Sandi dalam memajukan dan membuat Indonesia adil makmur.

            Oleh karena itu, wajar jika Prabowo ketika rekonsiliasi menyatakan siap membantu pemerintahan Jokowi-Amin. Kesiapan Prabowo membantu pemerintah itu bisa dengan memperkuat dan bergabung Jokowi atau mendorong dengan cara memberikan pengawasan dan kritik-kritik konstruktif dari luar pemerintahan. Bagi Prabowo, keutuhan dan keselamatan NKRI jauh lebih penting dibandingkan kepentingan-kepentingan politik sesaat, sebagaimana dalam surat yang ditulisnya sendiri kepada Amien Rais, pentolan PAN.

            Hal itulah yang membuat pendukung Prabowo-Sandi nonpartai kecewa. Partai seperti PKS juga sebetulnya seperti sedikit kecewa, tetapi mereka masih bisa berkiprah dalam politik secara resmi melalui lembaga legislatif DPR. Adapun pendukung nonpartai seperti kehilangan arah dan pegangan karena agenda-agenda politik mereka “melayang tak lagi bertenaga”.

            Berkaca dari pengalaman tersebut, sebaiknya pendukung Prabowo-Sandi nonpartai jangan lagi menggunakan siapa pun dan apa pun sebagai kendaraan politik. Jika ingin memperjuangkan agendanya sendiri, buat saja partai sendiri. Dengan demikian, mereka bisa menguji kemampuan dirinya untuk terjun langsung dalam persaingan politik. Jika berhasil, mereka memiliki kekuatan semakin besar. Jika gagal, mereka lebih menyadari berbagai kesulitan dan tantangan yang harus dihadapi dalam berpartai.

            Presiden pertama RI Ir. Soekarno pernah berkata, “Aku tidak suka orang Islam yang merintih-rintih, ‘janganlah Islam dipisahkan dari negara’. Aku lebih suka orang Islam yang berani menjawab tantangan zaman. Penuhilah kursi-kursi parlemen itu jika engkau benar-benar rakyat Islam!”

Sampurasun.

Saturday, 27 August 2016

Bukan Sekolah Parlemen, Melainkan Sekolah Politik

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Sekolah parlemen sebenarnya sangat bagus untuk meningkatkan kualitas anggota dewan, tetapi harus dikaji kemungkinan efektivitasnya. Hal itu disebabkan menurut kabar yang beredar, gagasan semacam ini sudah berkali-kali dilakukan dan pelaksanaannya kerap sepi peminat sehingga sama sekali tidak efektif. Banyak sekali anggota dewan yang tidak merasa perlu untuk  mengikuti pendidikan semacam itu.

            Wajar jika sepi peminat karena kemungkinan besar banyak sekali wakil rakyat yang menganggap bahwa posisinya sebagai anggota dewan merupakan tujuan, bukan merupakan alat. Mereka seperti pemburu rusa yang telah mendapatkan buruannya. Ketika berburu, semangatnya bukan main, apa pun akan dilakukannya untuk mendapatkan buruannya. Akan tetapi, ketika buruannya sudah didapatkan, mereka merasa tak harus semangat lagi, kemudian mereka merasa letih dan tidak ingin lagi berlelah-lelah dengan buruannya. Semangatnya sudah terkuras habis. Demikian pula jika seorang cowok atau cewek menyukai seseorang yang diinginkannya, akan mati-matian mengejarnya sampai mendapatkannya. Akan tetapi, ketika sudah berhasil, semangat mencintainya itu berkurang drastis dan mereka merasa lelah, tak perlu lagi melakukan kerja keras. Hal yang sama terjadi pada para wakil rakyat yang menjadikan posisi anggota dewan sebagai tujuan. Ketika tujuannya telah diraih, mereka merasa letih dan semangatnya jauh berkurang dibandingkan ketika mati-matian kampanye untuk memburu jabatan yang sangat diinginkannya. Berbeda dengan anggota dewan yang memiliki pandangan dan niat bahwa kursi anggota dewan hanya merupakan alat bagi dirinya untuk mengaktualisasikan diri dalam rangka membangun bangsa dan negara. Bagi mereka, kegembiraan mendapatkan posisi sama dengan kegembiraan menemukan alat untuk mencapai tujuan yang dicita-citakannya, yaitu membangun bangsa dan negara. Mereka inilah orang-orang hebat, anggota-anggota dewan yang pantas disebut terhormat yang kualitasnya jauh berada di atas para pemburu rusa atau para pemburu cinta.

            Apabila yang dimaksud Sekolah Parlemen itu adalah untuk para wakil rakyat, baik di pusat maupun di daerah, tampaknya tidak akan efektif. Hal itu disebabkan masih banyak anggota dewan yang bisa jadi hanya menjadikan jabatannya sebagai tujuan perjuangan. Ketika tujuan sudah didapat, mereka merasa tak penting lagi untuk bekerja keras. Toh, apa yang diinginkannnya sudah didapat. Di samping itu, mereka pun masih banyak yang harus dipikirkan, yaitu mikirin hutang bekas kampanye kemarin dan memenuhi janji-janji yang pernah diumbar selama masa kampanye, kemudian memikirkan pula bagaimana caranya ngumpulin uang untuk kampanye pada periode berikutnya. Hal yang semakin membuat mereka enggan untuk ikut sekolah parlemen adalah karena memiliki tugas utama, yaitu menyusun undang-undang, mengawasi pemerintahan, dan menyusun anggaran.


Sekolah Politik

Lembaga yang justru sangat penting diadakan adalah pendidikan politik bagi para politisi atau mereka yang berniat memiliki kedudukan politik, baik di eksekutif maupun legislatif. Pendidikan ini seharusnya diwajibkan bagi mereka yang hendak menjadi kepala daerah, kepala negara, maupun anggota dewan. Bentuknya harus mirip universitas dengan masa pendidikan bisa satu sampai dengan dua tahun. Sebelum lulus, mereka harus seperti mahasiswa biasa, yaitu menyusun penelitian yang nantinya bisa dijadikan visi dan misi yang dapat ditawarkan kepada masyarakat pada masa kampanye. Mereka pun harus memiliki nilai yang tinggi atau cukup untuk bisa lulus pendidikan. Jika nilainya buruk, tidak perlu lulus. Dengan demikian, para calon eksekutif maupun legislatif merupakan orang-orang terdidik, baik kognitif, afektif, maupun psikomotor dan siap menjalani tugasnya sebagai para penyelenggara negara. Meskipun demikian, mereka tidak serta merta dapat menduduki jabatannya karena harus melalui proses pemilihan. Masyarakat harus tahu berapa nilai pendidikan mereka, apa hasil penelitian mereka, dan apa yang akan didapatkan masyarakat jika memilih orang-orang itu.

            Para jebolan sekolah politik ini pun harus didukung oleh pemerintah dalam hal dana kampanye. Sebaiknya, negaralah yang membiayai mereka kampanye. Dengan demikian, tidak ada perlombaan uang dan meminimalisasi adanya politik uang di samping mencegah lebih dini adanya jual beli legislasi pada masa selanjutnya.  

            Partai memang kerap mengadakan pelatihan-pelatihan atau pendidikan bagi para kadernya. Akan tetapi, dari beberapa kegiatan pelatihan, pendidikan, atau pengaderan yang pernah saya saksikan, kegiatan itu banyak membicarakan partainya sendiri dan bukannya memberikan wawasan atau pemahaman untuk meningkatkan pembangunan masyarakat, memunculkan kebijakan-kebijakan prorakyat, serta teknik-teknik dalam menyusun undang-undang, mengawasi pemerintahan, maupun menyusun anggaran. Pembicaraan yang paling menarik dalam acara-acara itu adalah biasanya mengenai upaya-upaya untuk memenangkan partainya dalam pemilihan dengan suara yang maksimal serta menjegal saingannya agar mendapatkan suara yang lebih kecil daripada partainya. Oleh sebab itu, tak heran jika Ketua DPR RI Ade Komarudin dan juga banyak masyarakat yang memandang bahwa banyak anggota dewan yang tidak berkualitas sehingga perlu dididik agar lebih berkualitas.

            Pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan dalam partai tampak kurang disiplin dan terkadang diikuti setengah hati oleh pesertanya. Ada narasumber yang sering diminta untuk menjadi pembicara dalam kegiatan-kegiatan pelatihan beberapa partai yang kesal tentang kualitas peserta pelatihan itu.

            Sang Narasumber yang bergelar doktor itu pernah berceritera, “Kacau sekali pesertanya. Waktu selesai jam istirahat siang, ruangan kelas kosong. Lama sekali kosongnya. Saya cari peserta-peserta itu. Eh, … ternyata mereka sedang tertawa-tawa di tempat makan sambil di kiri-kanannya ditemani perempuan-perempuan. Sebagian lagi matanya kelihatannya sedang mabok.”

            Dia meneruskan ceriteranya, “Terus saya tanya mereka, ‘Kenapa tidak masuk ruangan lagi?’ Mereka jawab seenaknya, ‘Ya, kami cukup di sini saja, tidak usah pintar-pintar amat. Bapak saja yang pintar. Nanti kalau ada apa-apa, kita tinggal tanya sama Bapak saja.’ Coba, gila nggak mereka?”

            Saya cuma tersenyum mendengar ceritera itu.

            Mungkin tidak semua partai seperti itu. Mungkin ada yang benar-benar serius penuh kesungguhan. Akan tetapi, dari yang pernah saya saksikan dan saya dengar, memang rata-rata kurang serius. Paling tidak, ada satu partai yang saya dengar lebih serius dan sungguh-sungguh. Itu pun saya hanya mendengar ceriteranya, tidak menyaksikan langsung. Saya memang tidak menyaksikan dan mendengar pelatihan atau pendidikan dari seluruh partai, hanya beberapa. Partai yang tidak pernah saya saksikan dan saya dengar, saya tidak tahu bagaimana pelatihan mereka. Bisa bagus, bisa pula buruk. Entahlah.

            Sekolah politik memang perlu dan mendesak dibuat jika masih percaya pada sistem politik demokrasi. Kalau dibiarkan seperti ini tanpa pendidikan lebih dulu sebelum menduduki jabatannya, baik eksekutif maupun legislatif, keadaannya tidak akan jauh berbeda dengan saat ini. Sekolah politik ini harus diwajibkan, bukan diperbolehkan. Mereka yang berniat sungguh-sungguh menduduki jabatan politik harus memiliki ijazah dari sekolah politik yang diawasi oleh pemerintah. Jadi, tidak akan ada lagi orang-orang yang tiba-tiba mencalonkan diri hanya karena popularitasnya dengan menggeser kader-kader yang sudah lebih dahulu berkiprah dalam partainya.

            Salah seorang anggota dewan pernah menyatakan langsung kepada saya, “Politik itu tidak ada sekolahnya. Main saja langsung sampai hasil. Nanti kalau sudah jadi, ada yang ngajarin. Ikuti saja.”

            Pernyataannya itu menunjukkan bahwa para politisi yang telah menduduki jabatannya akan “diarahkan” oleh mereka yang telah lebih dahulu mendapatkan posisi politik atau menguasai permainan politik. Kalau yang ngajarin politisi baru itu orang-orang baik dan mengarahkan pada hal-hal yang baik, bagus sekali. Akan tetapi, kalau yang ngajarinnya orang-orang brengsek dan mengarahkan pada perilaku brengsek, bertambahlah para brengseker di negeri ini. Cita-cita pembangunan nasional pun akan selalu terhambat oleh orang-orang brengsek ini.

            Sekolah politik itu sangat penting dan harus diwajibkan. Dengan demikian, para politisi yang berkampanye itu sudah terdidik dengan baik, sedangkan modal politik dan sosialnya sebelum mengikuti pendidikan merupakan tambahan berharga bagi dirinya untuk menduduki jabatan yang diharapkan dapat mengantarkan rakyat menuju kemakmuran lahir dan kemakmuran batin.

            

Wednesday, 7 July 2010

Demokrasi Itu Menyuburkan Pertengkaran

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Setiap partai tentunya ingin menang. Untuk menang, pasti harus mampu menunjukkan diri sebagai yang terbaik. Untuk menjadi yang terbaik, tentunya harus mengalahkan partai saingannya. Terjadilah adu mulut saling tuding, saling ejek, black campaign, saling fitnah, dan saling buka-buka aib. Harapannya jelas agar rakyat memilih partainya dengan meninggalkan partai saingannya.

Siapa pun jika diejek, dibuka aibnya, dituding, dituduh-tuduh, pasti akan melakukan perlawanan. Contoh busuk adalah seperti yang pernah terjadi di salah satu daerah. Seorang bupati menyuap anggota-anggota DPRD agar usulan dan aturan-aturannya disetujui. Saat itu semua anggota DPRD menerima suapan itu dan diam-diam saja. Akan tetapi, ketika dekat masa Pilkada, beberapa anggota DPRD yang punya jago lain untuk menjadi bupati baru, membuka kedok suapan itu. Lalu, mengembalikan uang suapan itu ke kas negara. Mengapa hal itu tidak dilaporkan dari dulu, tahun-tahun yang lalu saat perilaku suap itu masih baru? Jawabannya adalah jelas ingin kemenangan politik, kekuasaan. Pertengkaran pun terjadi. Perilaku macam apa itu?

Demikian pula dengan yang terjadi di pusat. Ada pejabat negara yang ingin usulannya disetujui DPR. Usulan atau aturan-aturan itu kalau dilihat, memang prorakyat kecil. Akan tetapi, DPR tidak juga menyetujuinya. Oleh sebab itu, Sang Pejabat menggunakan uang negara menyuap anggota DPR. Akhirnya, aturan-aturan yang sangat mulia itu pun disetujui. Akan tetapi, ada pihak lain yang berambisi mendapatkan kedudukan Sang Pejabat. Mereka pun membuka peristiwa penyuapan itu. Akhirnya, Sang Pejabat jatuh, padahal sangat mementingkan rakyat kecil. Namun, ia harus melakukan penyuapan agar programnya bisa terlaksana. Dengan jatuhnya Si Pejabat, hancur pula program kerjanya. Digantilah dengan usulan pejabat penggantinya yang kabarnya kualitas keberpihakannya kepada rakyat kecil sangat rendah. Sistem politik macam apa yang terjadi di negeri ini?

Pertengkaran di tingkat grassroot adalah sangat berbahaya. Para petinggi partai tak bosan-bosannya mendorong kadernya agar selalu mengampanyekan partainya setiap saat. Partai lain disebutnya lebih rendah dan tidak berkualitas. Semua partai begitu. Akibatnya bisa berbahaya. Para pendukung partai bisa berkelahi. Apalagi jika pada masa kampanye, suhu politik memanas, para politisi memutar otak untuk menang.

Hal yang paling gila adalah partai-partai menggunakan Al Quran dan Hadits Nabi. Ketika kampanye, terjadi hujan ayat, hujan hadits. Saat terjadi perselisihan dalam proses pemilihan, mereka saling mengafirkan, saling tuding, kedua belah pihak meneriakkan takbir dengan keras-keras, tetapi dalam keadaan berseberangan. Apa ini?

Pertengkaran itu bukan hanya terjadi antarpartai, melainkan pula di dalam tubuh partai. Setiap aktivis partai yang ingin mendapatkan kekuasaan dalam pemerintahan harus berusaha untuk menduduki posisi-posisi puncak di partainya. Untuk mendapatkan posisi itu, tentunya harus bersaing dengan yang lain. Dimulailah pengelompokan dalam intern partai. Di antara para pendukungnya menyebar isu-isu tak karuan yang bisa benar bisa salah. Di sini pun sudah terjadi pertengkaran hati. Kalau tak selesai, selanjutnya yang merasa dirugikan akan mundur. Ekstremnya keluar partai, lalu mendirikan partai sendiri atau bergabung dengan partai lain untuk kemudian menjadi lawan permanen musuh politiknya yang dulu sahabatan itu.

Bukan hanya di lingkungan legislatif pertengkaran itu terjadi, melainkan pula dengan pihak eksekutif. Tak jarang antara eksekutif dengan legislatif bertemu, lalu mempertahankan pendapatnya masing-masing. Semuanya tegang. Kita menganggap itu suatu kemajuan bangsa. Orang bertengkar dibilang maju.

Untuk pertengkaran dalam rangka demokrasi ini, sudah tercatat dalam sejarah. Tentara adalah yang sangat dirugikan, tetapi yang lain juga merasa rugi, semuanya memang jadi rugi. Pertengkaran akan terus terjadi jika terus berdemokrasi. Anehnya, semua bilang untuk rakyat. Jadi, pertengkaran itu untuk rakyat. Kalau memang sama-sama untuk rakyat, mengapa harus bertengkar?

Friday, 28 May 2010

Demokrasi Ubah Indonesia Jadi Republik Sinetron

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Akhir-akhir ini kita menyaksikan banyak artis, baik itu artis lakon maupun penyanyi yang menjadi politisi. Banyak pihak yang memprihatinkan situasi dan kondisi tersebut. Dulu saja ketika negeri ini dipenuhi oleh para politisi yang punya perhatian khusus terhadap bangsa sudah amburadul, apalagi jika dipimpin oleh para artis yang jelas punya core bisnis di bidang entertainment, bukan dalam bidang penyelenggaraan negara.

Para artis dan pendukungnya berkilah bahwa mereka pun memiliki perhatian terhadap politik dan mempunyai kepedulian terhadap masalah yang diderita bangsa. Alasan itu tampaknya tidak terlalu penting untuk didiskusikan maupun diperdebatkan, bahkan tidak memerlukan tanggapan. Dalam dunia demokrasi tidak terlalu penting apakah seseorang itu cerdas, punya semangat juang, beriman, atau cinta kepada rakyat. Demokrasi hanyalah memerlukan dukungan rakyat pemilih. Para artis memiliki kesempatan emas untuk mendulang suara karena kepopulerannya di mata masyarakat. Dia pasti populer karena nama dan wajahnya sering tampil di media massa, baik cetak maupun elektronik. Rakyat akan cenderung memilihnya meskipun sebenarnya ia terkenal bukan dalam bidang politik maupun kenegaraan, melainkan dalam bidang yang jauh dari kekuasaan.

Soal rakyat cenderung memilih artis, sudah dibuktikan dalam kehidupan politik kita. Sebut saja Dede Yusuf, Komar, Sys NS, Rano Karno, Adjie Masaid, belakangan Syaiful Jamil, Primus Yustisio, Julia Peres, dan sederet nama lainnya ikut serta dalam memanfaatkan kepopuleran dirinya untuk ikut nimbrung di lembaga-lembaga politik.

Apabila pada masa depan semakin banyak artis yang menduduki jabatan-jabatan politis, tak terlalu salah apabila profesi artis akan menjadi salah satu batu loncatan untuk menjadi pemimpin di Indonesia. Sudah sangat wajar jika entar-entar Bang Haji Rhoma Irama ikut mencalonkan diri menjadi presiden. Dia toh memiliki umat yang banyak, penggemar yang membludak, dan organisasi dangdut yang paling kuat di Indonesia ini. Jadilah kita Republik Sinetron Indonesia (RSI).

Parahnya, para politisi sungguhan, baik yang busuk maupun yang terhormat ikut pula terjebak dalam kondisi ini. Mereka tak bisa mengelak karena partainya harus besar. Untuk harus besar, jelas mesti mendapat dukungan rakyat banyak karena itulah yang dituntut dalam demokrasi.
Semua tak punya solusi untuk masalah ini. Pada satu pihak khawatir dengan kemampuan para politisi layar kaca, di pihak lain demokrasi menuntut jumlah pemilih terbanyak. Artinya, hal ini menunjukkan bahwa peran serta para artis tak bisa dihindari dalam dunia demokrasi. Partai yang tidak mau menggunakan alat efektif berupa artis untuk mendulang suara akan menjadi partai gurem tak bermakna meskipun diisi oleh orang-orang cerdas, beriman, dan penuh daya juang.

Hal ini menunjukkan dengan jelas bahwa sistem politik demokrasi adalah sistem yang rendah dan kampungan. Sistem ini telah membuat bingung rakyat, politisi, dan seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara. Sistem demokrasi hanyalah sistem politik gugurubugan yang menjatuhkan moral dan kepribadian bangsa Indonesia.

Tulisan ini sungguh bukan untuk mendiskreditkan para artis karena bisa saja mereka lebih baik daripada para politisi busuk yang selama ini menjadi duri bagi Negara Indonesia. Akan tetapi, kesan yang didapat saat ini adalah adanya pemanfaatan situasi oleh para artis dan elit politik untuk mencapai kekuasaan dengan cara rendah dan tidak bertanggung jawab. Situasi ini terjadi karena kita menggunakan sistem politik rendahan, yaitu demokrasi.