Saturday, 27 August 2016

Bukan Sekolah Parlemen, Melainkan Sekolah Politik

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Sekolah parlemen sebenarnya sangat bagus untuk meningkatkan kualitas anggota dewan, tetapi harus dikaji kemungkinan efektivitasnya. Hal itu disebabkan menurut kabar yang beredar, gagasan semacam ini sudah berkali-kali dilakukan dan pelaksanaannya kerap sepi peminat sehingga sama sekali tidak efektif. Banyak sekali anggota dewan yang tidak merasa perlu untuk  mengikuti pendidikan semacam itu.

            Wajar jika sepi peminat karena kemungkinan besar banyak sekali wakil rakyat yang menganggap bahwa posisinya sebagai anggota dewan merupakan tujuan, bukan merupakan alat. Mereka seperti pemburu rusa yang telah mendapatkan buruannya. Ketika berburu, semangatnya bukan main, apa pun akan dilakukannya untuk mendapatkan buruannya. Akan tetapi, ketika buruannya sudah didapatkan, mereka merasa tak harus semangat lagi, kemudian mereka merasa letih dan tidak ingin lagi berlelah-lelah dengan buruannya. Semangatnya sudah terkuras habis. Demikian pula jika seorang cowok atau cewek menyukai seseorang yang diinginkannya, akan mati-matian mengejarnya sampai mendapatkannya. Akan tetapi, ketika sudah berhasil, semangat mencintainya itu berkurang drastis dan mereka merasa lelah, tak perlu lagi melakukan kerja keras. Hal yang sama terjadi pada para wakil rakyat yang menjadikan posisi anggota dewan sebagai tujuan. Ketika tujuannya telah diraih, mereka merasa letih dan semangatnya jauh berkurang dibandingkan ketika mati-matian kampanye untuk memburu jabatan yang sangat diinginkannya. Berbeda dengan anggota dewan yang memiliki pandangan dan niat bahwa kursi anggota dewan hanya merupakan alat bagi dirinya untuk mengaktualisasikan diri dalam rangka membangun bangsa dan negara. Bagi mereka, kegembiraan mendapatkan posisi sama dengan kegembiraan menemukan alat untuk mencapai tujuan yang dicita-citakannya, yaitu membangun bangsa dan negara. Mereka inilah orang-orang hebat, anggota-anggota dewan yang pantas disebut terhormat yang kualitasnya jauh berada di atas para pemburu rusa atau para pemburu cinta.

            Apabila yang dimaksud Sekolah Parlemen itu adalah untuk para wakil rakyat, baik di pusat maupun di daerah, tampaknya tidak akan efektif. Hal itu disebabkan masih banyak anggota dewan yang bisa jadi hanya menjadikan jabatannya sebagai tujuan perjuangan. Ketika tujuan sudah didapat, mereka merasa tak penting lagi untuk bekerja keras. Toh, apa yang diinginkannnya sudah didapat. Di samping itu, mereka pun masih banyak yang harus dipikirkan, yaitu mikirin hutang bekas kampanye kemarin dan memenuhi janji-janji yang pernah diumbar selama masa kampanye, kemudian memikirkan pula bagaimana caranya ngumpulin uang untuk kampanye pada periode berikutnya. Hal yang semakin membuat mereka enggan untuk ikut sekolah parlemen adalah karena memiliki tugas utama, yaitu menyusun undang-undang, mengawasi pemerintahan, dan menyusun anggaran.


Sekolah Politik

Lembaga yang justru sangat penting diadakan adalah pendidikan politik bagi para politisi atau mereka yang berniat memiliki kedudukan politik, baik di eksekutif maupun legislatif. Pendidikan ini seharusnya diwajibkan bagi mereka yang hendak menjadi kepala daerah, kepala negara, maupun anggota dewan. Bentuknya harus mirip universitas dengan masa pendidikan bisa satu sampai dengan dua tahun. Sebelum lulus, mereka harus seperti mahasiswa biasa, yaitu menyusun penelitian yang nantinya bisa dijadikan visi dan misi yang dapat ditawarkan kepada masyarakat pada masa kampanye. Mereka pun harus memiliki nilai yang tinggi atau cukup untuk bisa lulus pendidikan. Jika nilainya buruk, tidak perlu lulus. Dengan demikian, para calon eksekutif maupun legislatif merupakan orang-orang terdidik, baik kognitif, afektif, maupun psikomotor dan siap menjalani tugasnya sebagai para penyelenggara negara. Meskipun demikian, mereka tidak serta merta dapat menduduki jabatannya karena harus melalui proses pemilihan. Masyarakat harus tahu berapa nilai pendidikan mereka, apa hasil penelitian mereka, dan apa yang akan didapatkan masyarakat jika memilih orang-orang itu.

            Para jebolan sekolah politik ini pun harus didukung oleh pemerintah dalam hal dana kampanye. Sebaiknya, negaralah yang membiayai mereka kampanye. Dengan demikian, tidak ada perlombaan uang dan meminimalisasi adanya politik uang di samping mencegah lebih dini adanya jual beli legislasi pada masa selanjutnya.  

            Partai memang kerap mengadakan pelatihan-pelatihan atau pendidikan bagi para kadernya. Akan tetapi, dari beberapa kegiatan pelatihan, pendidikan, atau pengaderan yang pernah saya saksikan, kegiatan itu banyak membicarakan partainya sendiri dan bukannya memberikan wawasan atau pemahaman untuk meningkatkan pembangunan masyarakat, memunculkan kebijakan-kebijakan prorakyat, serta teknik-teknik dalam menyusun undang-undang, mengawasi pemerintahan, maupun menyusun anggaran. Pembicaraan yang paling menarik dalam acara-acara itu adalah biasanya mengenai upaya-upaya untuk memenangkan partainya dalam pemilihan dengan suara yang maksimal serta menjegal saingannya agar mendapatkan suara yang lebih kecil daripada partainya. Oleh sebab itu, tak heran jika Ketua DPR RI Ade Komarudin dan juga banyak masyarakat yang memandang bahwa banyak anggota dewan yang tidak berkualitas sehingga perlu dididik agar lebih berkualitas.

            Pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan dalam partai tampak kurang disiplin dan terkadang diikuti setengah hati oleh pesertanya. Ada narasumber yang sering diminta untuk menjadi pembicara dalam kegiatan-kegiatan pelatihan beberapa partai yang kesal tentang kualitas peserta pelatihan itu.

            Sang Narasumber yang bergelar doktor itu pernah berceritera, “Kacau sekali pesertanya. Waktu selesai jam istirahat siang, ruangan kelas kosong. Lama sekali kosongnya. Saya cari peserta-peserta itu. Eh, … ternyata mereka sedang tertawa-tawa di tempat makan sambil di kiri-kanannya ditemani perempuan-perempuan. Sebagian lagi matanya kelihatannya sedang mabok.”

            Dia meneruskan ceriteranya, “Terus saya tanya mereka, ‘Kenapa tidak masuk ruangan lagi?’ Mereka jawab seenaknya, ‘Ya, kami cukup di sini saja, tidak usah pintar-pintar amat. Bapak saja yang pintar. Nanti kalau ada apa-apa, kita tinggal tanya sama Bapak saja.’ Coba, gila nggak mereka?”

            Saya cuma tersenyum mendengar ceritera itu.

            Mungkin tidak semua partai seperti itu. Mungkin ada yang benar-benar serius penuh kesungguhan. Akan tetapi, dari yang pernah saya saksikan dan saya dengar, memang rata-rata kurang serius. Paling tidak, ada satu partai yang saya dengar lebih serius dan sungguh-sungguh. Itu pun saya hanya mendengar ceriteranya, tidak menyaksikan langsung. Saya memang tidak menyaksikan dan mendengar pelatihan atau pendidikan dari seluruh partai, hanya beberapa. Partai yang tidak pernah saya saksikan dan saya dengar, saya tidak tahu bagaimana pelatihan mereka. Bisa bagus, bisa pula buruk. Entahlah.

            Sekolah politik memang perlu dan mendesak dibuat jika masih percaya pada sistem politik demokrasi. Kalau dibiarkan seperti ini tanpa pendidikan lebih dulu sebelum menduduki jabatannya, baik eksekutif maupun legislatif, keadaannya tidak akan jauh berbeda dengan saat ini. Sekolah politik ini harus diwajibkan, bukan diperbolehkan. Mereka yang berniat sungguh-sungguh menduduki jabatan politik harus memiliki ijazah dari sekolah politik yang diawasi oleh pemerintah. Jadi, tidak akan ada lagi orang-orang yang tiba-tiba mencalonkan diri hanya karena popularitasnya dengan menggeser kader-kader yang sudah lebih dahulu berkiprah dalam partainya.

            Salah seorang anggota dewan pernah menyatakan langsung kepada saya, “Politik itu tidak ada sekolahnya. Main saja langsung sampai hasil. Nanti kalau sudah jadi, ada yang ngajarin. Ikuti saja.”

            Pernyataannya itu menunjukkan bahwa para politisi yang telah menduduki jabatannya akan “diarahkan” oleh mereka yang telah lebih dahulu mendapatkan posisi politik atau menguasai permainan politik. Kalau yang ngajarin politisi baru itu orang-orang baik dan mengarahkan pada hal-hal yang baik, bagus sekali. Akan tetapi, kalau yang ngajarinnya orang-orang brengsek dan mengarahkan pada perilaku brengsek, bertambahlah para brengseker di negeri ini. Cita-cita pembangunan nasional pun akan selalu terhambat oleh orang-orang brengsek ini.

            Sekolah politik itu sangat penting dan harus diwajibkan. Dengan demikian, para politisi yang berkampanye itu sudah terdidik dengan baik, sedangkan modal politik dan sosialnya sebelum mengikuti pendidikan merupakan tambahan berharga bagi dirinya untuk menduduki jabatan yang diharapkan dapat mengantarkan rakyat menuju kemakmuran lahir dan kemakmuran batin.

            

No comments:

Post a Comment