oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Sekolah parlemen sebenarnya
sangat bagus untuk meningkatkan kualitas anggota dewan, tetapi harus dikaji
kemungkinan efektivitasnya. Hal itu disebabkan menurut kabar yang beredar,
gagasan semacam ini sudah berkali-kali dilakukan dan pelaksanaannya kerap sepi
peminat sehingga sama sekali tidak efektif. Banyak sekali anggota dewan yang
tidak merasa perlu untuk mengikuti
pendidikan semacam itu.
Wajar jika sepi peminat karena kemungkinan besar banyak
sekali wakil rakyat yang menganggap bahwa posisinya sebagai anggota dewan
merupakan tujuan, bukan merupakan alat. Mereka seperti pemburu rusa yang telah
mendapatkan buruannya. Ketika berburu, semangatnya bukan main, apa pun akan
dilakukannya untuk mendapatkan buruannya. Akan tetapi, ketika buruannya sudah
didapatkan, mereka merasa tak harus semangat lagi, kemudian mereka merasa letih
dan tidak ingin lagi berlelah-lelah dengan buruannya. Semangatnya sudah
terkuras habis. Demikian pula jika seorang cowok atau cewek menyukai seseorang
yang diinginkannya, akan mati-matian mengejarnya sampai mendapatkannya. Akan
tetapi, ketika sudah berhasil, semangat mencintainya itu berkurang drastis dan
mereka merasa lelah, tak perlu lagi melakukan kerja keras. Hal yang sama
terjadi pada para wakil rakyat yang menjadikan posisi anggota dewan sebagai
tujuan. Ketika tujuannya telah diraih, mereka merasa letih dan semangatnya jauh
berkurang dibandingkan ketika mati-matian kampanye untuk memburu jabatan yang
sangat diinginkannya. Berbeda dengan anggota dewan yang memiliki pandangan dan
niat bahwa kursi anggota dewan hanya merupakan alat bagi dirinya untuk
mengaktualisasikan diri dalam rangka membangun bangsa dan negara. Bagi mereka,
kegembiraan mendapatkan posisi sama dengan kegembiraan menemukan alat untuk
mencapai tujuan yang dicita-citakannya, yaitu membangun bangsa dan negara.
Mereka inilah orang-orang hebat, anggota-anggota dewan yang pantas disebut
terhormat yang kualitasnya jauh berada di atas para pemburu rusa atau para
pemburu cinta.
Apabila yang dimaksud Sekolah Parlemen itu adalah untuk
para wakil rakyat, baik di pusat maupun di daerah, tampaknya tidak akan
efektif. Hal itu disebabkan masih banyak anggota dewan yang bisa jadi hanya menjadikan
jabatannya sebagai tujuan perjuangan. Ketika tujuan sudah didapat, mereka
merasa tak penting lagi untuk bekerja keras. Toh, apa yang diinginkannnya sudah
didapat. Di samping itu, mereka pun masih banyak yang harus dipikirkan, yaitu mikirin hutang bekas kampanye kemarin
dan memenuhi janji-janji yang pernah
diumbar selama masa kampanye, kemudian memikirkan pula bagaimana caranya ngumpulin uang untuk kampanye pada
periode berikutnya. Hal yang semakin membuat mereka enggan untuk ikut sekolah
parlemen adalah karena memiliki tugas utama, yaitu menyusun undang-undang,
mengawasi pemerintahan, dan menyusun anggaran.
Sekolah
Politik
Lembaga yang justru sangat
penting diadakan adalah pendidikan politik bagi para politisi atau mereka yang
berniat memiliki kedudukan politik, baik di eksekutif maupun legislatif.
Pendidikan ini seharusnya diwajibkan bagi mereka yang hendak menjadi kepala
daerah, kepala negara, maupun anggota dewan. Bentuknya harus mirip universitas
dengan masa pendidikan bisa satu sampai dengan dua tahun. Sebelum lulus, mereka
harus seperti mahasiswa biasa, yaitu menyusun penelitian yang nantinya bisa
dijadikan visi dan misi yang dapat ditawarkan kepada masyarakat pada masa
kampanye. Mereka pun harus memiliki nilai yang tinggi atau cukup untuk bisa
lulus pendidikan. Jika nilainya buruk, tidak perlu lulus. Dengan demikian, para
calon eksekutif maupun legislatif merupakan orang-orang terdidik, baik
kognitif, afektif, maupun psikomotor dan siap menjalani tugasnya sebagai para
penyelenggara negara. Meskipun demikian, mereka tidak serta merta dapat
menduduki jabatannya karena harus melalui proses pemilihan. Masyarakat harus
tahu berapa nilai pendidikan mereka, apa hasil penelitian mereka, dan apa yang
akan didapatkan masyarakat jika memilih orang-orang itu.
Para jebolan sekolah politik ini pun harus didukung oleh
pemerintah dalam hal dana kampanye. Sebaiknya, negaralah yang membiayai mereka
kampanye. Dengan demikian, tidak ada perlombaan uang dan meminimalisasi adanya
politik uang di samping mencegah lebih dini adanya jual beli legislasi pada
masa selanjutnya.
Partai memang kerap mengadakan pelatihan-pelatihan atau
pendidikan bagi para kadernya. Akan tetapi, dari beberapa kegiatan pelatihan,
pendidikan, atau pengaderan yang pernah saya saksikan, kegiatan itu banyak membicarakan
partainya sendiri dan bukannya memberikan wawasan atau pemahaman untuk
meningkatkan pembangunan masyarakat, memunculkan kebijakan-kebijakan prorakyat,
serta teknik-teknik dalam menyusun undang-undang, mengawasi pemerintahan,
maupun menyusun anggaran. Pembicaraan yang paling menarik dalam acara-acara itu
adalah biasanya mengenai upaya-upaya
untuk memenangkan partainya dalam pemilihan dengan suara yang maksimal serta
menjegal saingannya agar mendapatkan
suara yang lebih kecil daripada partainya. Oleh sebab itu, tak heran jika
Ketua DPR RI Ade Komarudin dan juga banyak masyarakat yang memandang bahwa
banyak anggota dewan yang tidak berkualitas sehingga perlu dididik agar lebih
berkualitas.
Pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan dalam
partai tampak kurang disiplin dan terkadang diikuti setengah hati oleh
pesertanya. Ada narasumber yang sering diminta untuk menjadi pembicara dalam
kegiatan-kegiatan pelatihan beberapa partai yang kesal tentang kualitas peserta
pelatihan itu.
Sang Narasumber yang bergelar doktor itu pernah
berceritera, “Kacau sekali pesertanya. Waktu selesai jam istirahat siang,
ruangan kelas kosong. Lama sekali kosongnya. Saya cari peserta-peserta itu. Eh,
… ternyata mereka sedang tertawa-tawa di tempat makan sambil di kiri-kanannya
ditemani perempuan-perempuan. Sebagian lagi matanya kelihatannya sedang mabok.”
Dia meneruskan ceriteranya, “Terus saya tanya mereka,
‘Kenapa tidak masuk ruangan lagi?’ Mereka jawab seenaknya, ‘Ya, kami cukup di
sini saja, tidak usah pintar-pintar amat. Bapak saja yang pintar. Nanti kalau
ada apa-apa, kita tinggal tanya sama Bapak saja.’ Coba, gila nggak mereka?”
Saya cuma tersenyum mendengar ceritera itu.
Mungkin tidak semua partai seperti itu. Mungkin ada yang
benar-benar serius penuh kesungguhan. Akan tetapi, dari yang pernah saya
saksikan dan saya dengar, memang rata-rata kurang serius. Paling tidak, ada
satu partai yang saya dengar lebih serius dan sungguh-sungguh. Itu pun saya
hanya mendengar ceriteranya, tidak menyaksikan langsung. Saya memang tidak
menyaksikan dan mendengar pelatihan atau pendidikan dari seluruh partai, hanya
beberapa. Partai yang tidak pernah saya saksikan dan saya dengar, saya tidak
tahu bagaimana pelatihan mereka. Bisa bagus, bisa pula buruk. Entahlah.
Sekolah politik memang perlu dan mendesak dibuat jika
masih percaya pada sistem politik demokrasi. Kalau dibiarkan seperti ini tanpa
pendidikan lebih dulu sebelum menduduki jabatannya, baik eksekutif maupun
legislatif, keadaannya tidak akan jauh berbeda dengan saat ini. Sekolah politik
ini harus diwajibkan, bukan diperbolehkan. Mereka yang berniat sungguh-sungguh
menduduki jabatan politik harus memiliki ijazah dari sekolah politik yang
diawasi oleh pemerintah. Jadi, tidak akan ada lagi orang-orang yang tiba-tiba
mencalonkan diri hanya karena popularitasnya dengan menggeser kader-kader yang
sudah lebih dahulu berkiprah dalam partainya.
Salah seorang anggota dewan pernah menyatakan langsung
kepada saya, “Politik itu tidak ada sekolahnya. Main saja langsung sampai hasil.
Nanti kalau sudah jadi, ada yang ngajarin. Ikuti saja.”
Pernyataannya itu menunjukkan bahwa para politisi yang
telah menduduki jabatannya akan “diarahkan” oleh mereka yang telah lebih dahulu
mendapatkan posisi politik atau menguasai permainan politik. Kalau yang
ngajarin politisi baru itu orang-orang baik dan mengarahkan pada hal-hal yang
baik, bagus sekali. Akan tetapi, kalau yang ngajarinnya orang-orang brengsek
dan mengarahkan pada perilaku brengsek, bertambahlah para brengseker di negeri
ini. Cita-cita pembangunan nasional pun akan selalu terhambat oleh orang-orang
brengsek ini.
Sekolah politik itu sangat penting dan harus diwajibkan.
Dengan demikian, para politisi yang berkampanye itu sudah terdidik dengan baik,
sedangkan modal politik dan sosialnya sebelum mengikuti pendidikan merupakan
tambahan berharga bagi dirinya untuk menduduki jabatan yang diharapkan dapat
mengantarkan rakyat menuju kemakmuran lahir dan kemakmuran batin.
No comments:
Post a Comment