Wednesday, 10 August 2016

Kasus Haris Azhar Harus Masuk Pengadilan

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Biasanya, kalau nonton Indonesia Lawyers Club (ILC), saya selalu mendapatkan pengetahuan baru, kadang banyak kadang sedikit. Akan tetapi, tayangan langsung ILC pada 9 Agustus 2016 tentang layak-tidaknya Haris Azhar jadi tersangka, tak ada pengetahuan baru yang saya dapatkan. Meskipun demikian, saya mendapatkan tontonan yang menghibur. Jadi, acara itu telah membuat saya sangat terhibur.

            Para ahli yang diundang berbicara di acara itu benar-benar sangat menghibur. Mereka membuat ungkapan-ungkapan yang bisa membangun suatu opini atau asumsi di masyarakat yang terkesan melebarkan masalah sehingga kabur dari masalah “pencemaran nama baik”.

            Suara-suara yang keluar dari para ahli hukum pun mengisyaratkan bahwa Haris Azhar tidak perlu dilanjutkan kasus pencemaran nama baiknya. Alasannya macam-macam, seperti, kurang tepat pasalnya, sebaiknya polisi mencari bukti, serta berharap polisi, TNI, BNN, dan bea cukai bisa lebih tenang.

            Saya melihat sebenarnya polisi, TNI, BNN, dan bea cukai lebih tenang karena mereka lebih menguasai masalah, merasa diri telah relatif bekerja dengan baik, dan penasaran atas kebenaran apa yang ditulis Haris Azhar. Oleh sebab itu, TNI tampak sangat senang dengan adanya 200 pengacara yang mendukung Haris Azhar. Semakin terang semakin baik.

            Justru yang harus tenang itu Haris Azhar dan para pendukungnya. Haris harus bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya. Tenang saja kalau merasa benar. Tidak perlu bikin gaduh lagi yang salah-salah bisa melakukan tindakan yang dianggap melanggar hukum lagi. Lebih repot nantinya.

            Akan tetapi, saya melihat bahwa pihak Haris Azhar tampaknya sudah mulai “lemah” dan mungkin sedikit melihat akan mengalami kekalahan dalam hal “pencemaran nama baik” jika masuk persidangan. Hal itu bisa dilihat dari suara-suara yang tidak menghendaki kasus hukum Haris Azhar diteruskan dan berupaya berpendapat bahwa pasal yang akan digunakan untuk menjerat Haris Azhar tidak tepat.

            Saya juga melihat bahwa dalam sisi bahasa memang ada celah yang bisa membuat Haris Azhar terjatuh. Apalagi jika dilihat dari keseluruhan isi, tulisan itu termasuk tulisan yang sangat buruk. Haris Azhar bilang itu merupakan informasi, tetapi tidak memenuhi unsur penulisan informasi yang baik. Kalau dulu tulisan itu disodorkan pada media cetak yang berkualitas, tulisan itu pasti ditolak mentah-mentah karena sangat buruk. Kalau ditawarkan pada media cetak odong-odong, mungkin saja diterima dan diterbitkan. Hal itu disebabkan tulisan itu tidak memuat unsur 5W 1H secara lengkap sehingga akan memunculkan banyak distorsi kepada para pembacanya. Sebuah tulisan berita atau informasi tanpa memuat unsur 5W 1H secara lengkap, bisa dikategorikan tulisan “tidak bisa dipercaya” karena bisa mengandung banyak kebohongan dan fitnah.

            Tulisan informasi yang baik harus jelas unsurnya, yang terdiri atas what, when, where, who, why, and how. Harus jelas apa yang terjadi, kapan terjadinya, di mana tempatnya, siapa saja yang terlibat, mengapa itu terjadi, dan bagaimana kejadiannya. Tidak perlu panjang-panjang juga asal unsur-unsurnya lengkap, tulisan itu dikategorikan tulisan berkualitas. Akan tetapi, sepanjang apa pun sebuah tulisan informasi kalau tidak lengkap unsurnya, tulisan itu adalah tulisan yang buruk.

            Penyampai informasi yang baik harus melakukan cover both side jika menulis informasi yang mengandung pertentangan di antara beberapa pihak. Penyampai informasi yang lebih baik lagi adalah yang melakukan cover all side, yaitu yang melakukan penelitian mendalam sebelum tulisannya dipublikasikan.

            Ada hal yang membuat saya tertarik. Meskipun beberapa kali diakui Haris Azhar bahwa apa yang ditulisnya tidak berhubungan dengan hukuman mati, tetapi para ahli hukum yang mendukungnya terkesan melebarkan masalah dengan “menyalahkan” hukuman mati. Oleh sebab itu, saya menganggapnya tetap ada hubungan dengan hukuman mati.

            Prof. Andi Hamzah juga mencontohkan bahwa di Belanda soal Narkoba ini hukumannya 12 tahun, bukan hukuman mati karena orang Belanda menganggap bahwa mengedarkan Narkoba sama dengan membantu orang untuk bunuh diri. Kita ini bukan orang Belanda, kita orang Indonesia yang punya masalah sekitar 50 orang mati dalam satu hari. Jangan disama-samakan begitu dong. Apalagi menggiring kita harus sama dengan Belanda. Masing-masing saja karena kita punya nilai, budaya, dan masalah yang berbeda.

            Demikian pula masih banyak orang yang beralasan bahwa hukuman mati tidak menghentikan peredaran dan penyalahgunaan Narkoba. Artinya, ada upaya membangun opini bahwa hukuman mati tidak perlu karena kejahatan Narkoba terus ada. Alasan itu hanya kalimat mainan untuk anak kecil. Saya pernah bilang bahwa “makan” itu tidak menghilangkan rasa lapar karena lapar akan terus ada. Artinya, tidak perlu makan karena percuma meskipun makan, rasa lapar akan datang lagi dan terus datang. Sebaiknya tidak usah makan. Jangan pula mencuci mobil karena kotor lagi kotor lagi. Artinya, tidak perlu mencuci mobil karena percuma meskipun mencuci mobil, kotor lagi kotor lagi. Sebaiknya tidak usah mencuci mobil.

            Begitu kah?

            Kasus Haris Azhar harus sampai masuk pengadilan agar semuanya terang benderang dan masyarakat serta seluruh elemen bangsa mendapatkan pelajaran dari itu semua. Kalau tidak diteruskan, justru citra polisi, BNN, TNI, dan bea cukai semakin memburuk. Ibarat menelan ludahnya sendiri. Kepercayaan kepada aparat keamanan di Indonesia akan semakin buruk dan terus memburuk. Hal itu pun akan memunculkan dugaan lebih bahwa polisi, BNN, TNI, dan bea cukai memang masih berada dalam zaman prareformasi yang dikabarkan dipenuhi aparat penuh kebusukan. Oleh sebab itu, akan menjadi sebuah keyakinan bahwa benarlah apa yang dikatakan pemabuk Freddy Budiman pada Haris Azhar. Sungguh malang nasib bangsa Indonesia jika seperti itu. Berbeda jika diteruskan masuk ke pengadilan, semuanya akan menjadi lebih terang dan lebih jelas. Semua mengerti pada masa depan tentang apa yang boleh dan apa yang dilarang, baik dalam dunia maya maupun dalam dunia nyata.

            Hal yang lebih parah jika tidak diteruskan ke pengadilan adalah masyarakat mungkin akan melakukan hal yang seperti dilakukan Haris Azhar. Orang bisa menulis macam-macam dengan mengakui bahwa yang dia tulis datanya berasal dari orang yang sudah mati. Dia tidak perlu membuktikannya karena itu adalah tugas polisi. Nanti-nanti, mungkin ada orang yang menulis testimoni seorang germo pelacuran yang mengakui telah memasok para pelacur dan gigolo ke sejumlah menteri di kabinet Jokowi. Dia akan bilang pernah bertemu dengan germo itu ketika sama-sama duduk mengobrol sambil mengantri di sebuah tempat pangkas rambut. Dia tidak kenal germo itu, hanya kenal saat itu. Lalu, germo itu pergi entah ke mana. Dia akan bilang bahwa itu adalah informasi penting yang merupakan momentum untuk “membersihkan” pemerintahan Jokowi. Dia tidak perlu membuktikannya karena itu adalah tugas polisi. Dia hanya akan bilang tanya saja sama tukang cukurnya kalau tidak percaya. Tukang cukur pun akan mengiyakan bahwa dia memang mengobrol saat itu dengan seseorang, tetapi tidak jelas mengobrol apa karena sedang sibuk mencukur. Itu tugas polisi untuk membuktikannya dan mencari germo itu di antah berantah.

            Bisa seperti itu kan?

            Oh, sangat memungkinkan.

            Mau?

            Akan menjadi lebih carut marut jika memasuki masa Pilpres, Pilkada, Pileg, atau Pil-Pil lainnya. Akan ada banyak black campaign yang beredar di dunia maya dengan mendasarkan isi tulisannya pada orang yang telah mati atau orang yang tidak dikenal atau orang yang kenal sebentar yang isinya bertujuan menjatuhkan martabat orang lain agar tidak dapat menduduki jabatan dalam pemerintahan. Pihak yang jadi korban black campaign akan membalasnya dengan cara yang sama. Indonesia pun akan jadi ajang fitnah, baik di dunia maya maupun di dunia nyata. Patut diingat bahwa black campaign itu sama-sama mengandung dua kemungkinan, yaitu bisa benar dan bisa salah. Penulis black campaign tidak perlu sembunyi dan takut. Dia tinggal bilang itu adalah testimoni orang yang telah mati atau orang yang kebetulan bertemu di kafe. Dia pun mempersilakan polisi untuk membuktikannya.

Begitukah yang kita inginkan?


Hati-Hati dengan Tim Independen

Dalam menyelesaikan ocehan pemabuk yang ditulis Haris Azhar, timbul wacana untuk membentuk tim independen. Tim ini memang perlu jika situasinya sangat genting dan tidak ada institusi lain yang bisa dipercaya untuk menyelesaikan masalah.

            Dengan dibentuknya tim independen, berarti pula kepercayaan masyarakat kepada pemerintah sangat rendah, bahkan bisa sama sekali tidak mempercayai pemerintah. Saya masih ingat kata-kata Prof. Dr. H. Ateng Syafrudin, S.H. (alm) ketika saya membantunya menyusun biografinya. Dia mengatakan bahwa ciri-ciri pemerintahan yang belum maju adalah selalu membentuk lembaga baru untuk menyelesaikan masalah.

            “Jadi, pemerintahnya itu selalu menggunakan tim baru dan bukannya mengoptimalkan institusi yang sudah ada,” katanya.

            Berdasarkan hal tersebut, boleh saja membentuk tim independen, tetapi semua harus rela mengakui bahwa kepolisian, BNN, TNI, dan bea cukai merupakan institusi yang belum bisa dipercaya untuk menyelesaikan masalah. Secara kasar, institusi-institusi tersebut tidak bisa dipercaya, jangankan untuk melaksanakan tugasnya, membenahi dirinya sendiri belum becus. Kalau memang begitu kenyataannya, tim independen memang sangat diperlukan. Bukan hanya itu yang harus diakui dengan lahirnya tim independen, yaitu harus diakui pula bahwa pemerintahan Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi masih belum bisa dikatakan memiliki kemajuan yang berarti. Artinya, Indonesia harus mengakui bahwa kita adalah negeri terbelakang.

            Indonesia memiliki pengalaman itu dengan lahirnya KPK. Lembaga itu lahir karena kepolisian dianggap tidak becus menangani kasus-kasus korupsi. Polisi kehilangan kepercayaan dalam menangani kasus korupsi. Itu sejarah. Bukan hanya KPK yang lahir seperti itu, ada banyak komisi yang dibentuk yang sebenarnya  bisa ditangani oleh institusi yang telah ada sejak dulu.

            Kalau memang polisi, BNN, TNI, bea cukai, dianggap tidak becus untuk menyelesaikan masalah, segeralah bentuk tim independen.

            Kalau Indonesia memang negeri terbelakang dan belum melangkah maju, jangan tunggu waktu lama untuk membentuk tim independen. Segera bentuk.

            Jika ingin dipercaya sebagai institusi yang kredibel dan ingin hidup sebagai negara maju, buktikan diri dengan sungguh-sungguh bahwa dirinya mampu menyelesaikan masalah dengan baik dan tuntas tanpa ada keraguan sedikit pun. Dengan demikian, tim independen sama sekali tidak diperlukan. Optimalkan institusi yang ada.

            Meskipun demikian, bukti kesungguhan itu harus nyata terlihat, baik oleh dirinya sendiri maupun oleh masyarakat; baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Bukan dengan memaksakan diri sebagai institusi yang kredibel, tetapi sesungguhnya tidak memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah. Bukan berarti harus tanpa masalah karena masalah selalu ada, tetapi ketika masalah ada, penyelesaiannya harus baik, tuntas, dan memuaskan.

            Pembentukan tim independen adalah pilihan. Keduanya memiliki risiko yang harus diperhitungkan.


Tanggung Jawab Bersama

Tanggung jawab “pencegahan” peredaran dan penyalahgunaan Narkoba ini merupakan tugas bersama, bukan hanya tugas BNN. Kalaulah ada yang bilang bahwa BNN “gagal” dalam hal pencegahan Narkoba yang ditandai dengan masih banyaknya peredaran Narkoba, orang itu sebenarnya sedang mempermalukan dirinya sendiri. Tugas dan tanggung jawab pencegahan itu bukan hanya BNN, melainkan pula bidang pendidikan, budaya, agama, serta seluruh masyarakat. Kegagalan pencegahan adalah kegagalan kita sebagai bangsa, termasuk orang yang menyudutkan BNN sendiri. Hal itu disebabkan dirinya pun memiliki kewajiban itu. Artinya, jika pencegahan disebut gagal, dirinya pun sebenarnya telah gagal dalam berperan serta mencegah peredaran dan penyalahgunaan Narkoba.


            Bagi saya, penangkapan yang dilakukan BNN termasuk pula pencegahan di dalamnya. Artinya, minimal orang yang ditangkap BNN “tercegah” untuk melakukan hal yang sama. Justru kalau BNN gagal dalam penangkapan, itu harus dikritik habis-habisan karena memang itu tugas dan wewenangnya yang tidak dimiliki pihak lain, termasuk masyarakat. Kalau gagal dalam pencegahan, yang harus dikritik adalah seluruhnya, termasuk diri Si Pengkritik sendiri karena semua orang memiliki kewajiban itu. Kegagalan pencegahan adalah kegagalan seluruh elemen bangsa Indonesia. Kegagalan penangkapan adalah kegagalan BNN dan kepolisian. 

No comments:

Post a Comment