oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Biasanya, kalau nonton Indonesia Lawyers Club (ILC), saya
selalu mendapatkan pengetahuan baru, kadang banyak kadang sedikit. Akan tetapi,
tayangan langsung ILC pada 9 Agustus 2016 tentang layak-tidaknya Haris Azhar
jadi tersangka, tak ada pengetahuan baru yang saya dapatkan. Meskipun demikian,
saya mendapatkan tontonan yang menghibur. Jadi, acara itu telah membuat saya
sangat terhibur.
Para ahli yang diundang berbicara di acara itu
benar-benar sangat menghibur. Mereka membuat ungkapan-ungkapan yang bisa
membangun suatu opini atau asumsi di masyarakat yang terkesan melebarkan
masalah sehingga kabur dari masalah “pencemaran nama baik”.
Suara-suara yang keluar dari para ahli hukum pun
mengisyaratkan bahwa Haris Azhar tidak perlu dilanjutkan kasus pencemaran nama
baiknya. Alasannya macam-macam, seperti, kurang tepat pasalnya, sebaiknya
polisi mencari bukti, serta berharap polisi, TNI, BNN, dan bea cukai bisa lebih
tenang.
Saya melihat sebenarnya polisi, TNI, BNN, dan bea cukai lebih
tenang karena mereka lebih menguasai masalah, merasa diri telah relatif bekerja
dengan baik, dan penasaran atas kebenaran apa yang ditulis Haris Azhar. Oleh
sebab itu, TNI tampak sangat senang dengan adanya 200 pengacara yang mendukung
Haris Azhar. Semakin terang semakin baik.
Justru yang harus tenang itu Haris Azhar dan para
pendukungnya. Haris harus bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya. Tenang
saja kalau merasa benar. Tidak perlu bikin gaduh lagi yang salah-salah bisa
melakukan tindakan yang dianggap melanggar hukum lagi. Lebih repot nantinya.
Akan tetapi, saya melihat bahwa pihak Haris Azhar
tampaknya sudah mulai “lemah” dan mungkin sedikit melihat akan mengalami kekalahan
dalam hal “pencemaran nama baik” jika masuk persidangan. Hal itu bisa dilihat
dari suara-suara yang tidak menghendaki kasus hukum Haris Azhar diteruskan dan
berupaya berpendapat bahwa pasal yang akan digunakan untuk menjerat Haris Azhar
tidak tepat.
Saya juga melihat bahwa dalam sisi bahasa memang ada
celah yang bisa membuat Haris Azhar terjatuh. Apalagi jika dilihat dari
keseluruhan isi, tulisan itu termasuk tulisan yang sangat buruk. Haris Azhar
bilang itu merupakan informasi, tetapi tidak memenuhi unsur penulisan informasi
yang baik. Kalau dulu tulisan itu disodorkan pada media cetak yang berkualitas,
tulisan itu pasti ditolak mentah-mentah karena sangat buruk. Kalau ditawarkan
pada media cetak odong-odong, mungkin saja diterima dan diterbitkan. Hal itu
disebabkan tulisan itu tidak memuat unsur 5W 1H secara lengkap sehingga akan
memunculkan banyak distorsi kepada para pembacanya. Sebuah tulisan berita atau
informasi tanpa memuat unsur 5W 1H secara lengkap, bisa dikategorikan tulisan
“tidak bisa dipercaya” karena bisa mengandung banyak kebohongan dan fitnah.
Tulisan informasi yang baik harus jelas unsurnya, yang
terdiri atas what, when, where, who, why,
and how. Harus jelas apa yang terjadi, kapan terjadinya, di mana tempatnya,
siapa saja yang terlibat, mengapa itu terjadi, dan bagaimana kejadiannya. Tidak
perlu panjang-panjang juga asal unsur-unsurnya lengkap, tulisan itu
dikategorikan tulisan berkualitas. Akan tetapi, sepanjang apa pun sebuah
tulisan informasi kalau tidak lengkap unsurnya, tulisan itu adalah tulisan yang
buruk.
Penyampai informasi yang baik harus melakukan cover both side jika menulis informasi
yang mengandung pertentangan di antara beberapa pihak. Penyampai informasi yang
lebih baik lagi adalah yang melakukan cover
all side, yaitu yang melakukan penelitian mendalam sebelum tulisannya
dipublikasikan.
Ada hal yang membuat saya tertarik. Meskipun beberapa
kali diakui Haris Azhar bahwa apa yang ditulisnya tidak berhubungan dengan
hukuman mati, tetapi para ahli hukum yang mendukungnya terkesan melebarkan
masalah dengan “menyalahkan” hukuman mati. Oleh sebab itu, saya menganggapnya
tetap ada hubungan dengan hukuman mati.
Prof. Andi Hamzah juga mencontohkan bahwa di Belanda soal
Narkoba ini hukumannya 12 tahun, bukan hukuman mati karena orang Belanda
menganggap bahwa mengedarkan Narkoba sama dengan membantu orang untuk bunuh
diri. Kita ini bukan orang Belanda, kita orang Indonesia yang punya masalah
sekitar 50 orang mati dalam satu hari. Jangan disama-samakan begitu dong.
Apalagi menggiring kita harus sama dengan Belanda. Masing-masing saja karena
kita punya nilai, budaya, dan masalah yang berbeda.
Demikian pula masih banyak orang yang beralasan bahwa
hukuman mati tidak menghentikan peredaran dan penyalahgunaan Narkoba. Artinya,
ada upaya membangun opini bahwa hukuman mati tidak perlu karena kejahatan
Narkoba terus ada. Alasan itu hanya kalimat mainan untuk anak kecil. Saya
pernah bilang bahwa “makan” itu tidak menghilangkan rasa lapar karena lapar
akan terus ada. Artinya, tidak perlu makan karena percuma meskipun makan, rasa
lapar akan datang lagi dan terus datang. Sebaiknya tidak usah makan. Jangan
pula mencuci mobil karena kotor lagi kotor lagi. Artinya, tidak perlu mencuci
mobil karena percuma meskipun mencuci mobil, kotor lagi kotor lagi. Sebaiknya
tidak usah mencuci mobil.
Begitu kah?
Kasus Haris Azhar harus sampai masuk pengadilan agar
semuanya terang benderang dan masyarakat serta seluruh elemen bangsa
mendapatkan pelajaran dari itu semua. Kalau tidak diteruskan, justru citra
polisi, BNN, TNI, dan bea cukai semakin memburuk. Ibarat menelan ludahnya
sendiri. Kepercayaan kepada aparat keamanan di Indonesia akan semakin buruk dan
terus memburuk. Hal itu pun akan memunculkan dugaan lebih bahwa polisi, BNN, TNI,
dan bea cukai memang masih berada dalam zaman prareformasi yang dikabarkan dipenuhi
aparat penuh kebusukan. Oleh sebab itu, akan menjadi sebuah keyakinan bahwa benarlah
apa yang dikatakan pemabuk Freddy Budiman pada Haris Azhar. Sungguh malang nasib
bangsa Indonesia jika seperti itu. Berbeda jika diteruskan masuk ke pengadilan,
semuanya akan menjadi lebih terang dan lebih jelas. Semua mengerti pada masa
depan tentang apa yang boleh dan apa yang dilarang, baik dalam dunia maya
maupun dalam dunia nyata.
Hal yang lebih parah jika tidak diteruskan ke pengadilan
adalah masyarakat mungkin akan melakukan hal yang seperti dilakukan Haris
Azhar. Orang bisa menulis macam-macam dengan mengakui bahwa yang dia tulis
datanya berasal dari orang yang sudah mati. Dia tidak perlu membuktikannya
karena itu adalah tugas polisi. Nanti-nanti, mungkin ada orang yang menulis testimoni
seorang germo pelacuran yang mengakui telah memasok para pelacur dan gigolo ke
sejumlah menteri di kabinet Jokowi. Dia akan bilang pernah bertemu dengan germo
itu ketika sama-sama duduk mengobrol sambil mengantri di sebuah tempat pangkas
rambut. Dia tidak kenal germo itu, hanya kenal saat itu. Lalu, germo itu pergi
entah ke mana. Dia akan bilang bahwa itu adalah informasi penting yang
merupakan momentum untuk “membersihkan”
pemerintahan Jokowi. Dia tidak perlu membuktikannya karena itu adalah tugas
polisi. Dia hanya akan bilang tanya saja sama tukang cukurnya kalau tidak
percaya. Tukang cukur pun akan mengiyakan bahwa dia memang mengobrol saat itu
dengan seseorang, tetapi tidak jelas mengobrol apa karena sedang sibuk mencukur.
Itu tugas polisi untuk membuktikannya dan mencari germo itu di antah berantah.
Bisa seperti itu kan?
Oh, sangat memungkinkan.
Mau?
Akan menjadi lebih carut marut jika memasuki masa Pilpres,
Pilkada, Pileg, atau Pil-Pil lainnya. Akan ada banyak black campaign yang beredar di dunia maya dengan mendasarkan isi
tulisannya pada orang yang telah mati atau orang yang tidak dikenal atau orang
yang kenal sebentar yang isinya bertujuan menjatuhkan martabat orang lain agar
tidak dapat menduduki jabatan dalam pemerintahan. Pihak yang jadi korban black campaign akan membalasnya dengan
cara yang sama. Indonesia pun akan jadi ajang fitnah, baik di dunia maya maupun
di dunia nyata. Patut diingat bahwa black
campaign itu sama-sama mengandung dua kemungkinan, yaitu bisa benar dan
bisa salah. Penulis black campaign tidak
perlu sembunyi dan takut. Dia tinggal bilang itu adalah testimoni orang yang
telah mati atau orang yang kebetulan bertemu di kafe. Dia pun mempersilakan
polisi untuk membuktikannya.
Begitukah yang kita
inginkan?
Hati-Hati
dengan Tim Independen
Dalam menyelesaikan ocehan
pemabuk yang ditulis Haris Azhar, timbul wacana untuk membentuk tim independen.
Tim ini memang perlu jika situasinya sangat genting dan tidak ada institusi
lain yang bisa dipercaya untuk menyelesaikan masalah.
Dengan dibentuknya tim independen, berarti pula
kepercayaan masyarakat kepada pemerintah sangat rendah, bahkan bisa sama sekali
tidak mempercayai pemerintah. Saya masih ingat kata-kata Prof. Dr. H. Ateng Syafrudin, S.H. (alm) ketika saya membantunya
menyusun biografinya. Dia mengatakan bahwa ciri-ciri pemerintahan yang belum
maju adalah selalu membentuk lembaga baru untuk menyelesaikan masalah.
“Jadi, pemerintahnya itu selalu menggunakan tim baru dan
bukannya mengoptimalkan institusi yang sudah ada,” katanya.
Berdasarkan hal tersebut, boleh saja membentuk tim
independen, tetapi semua harus rela mengakui bahwa kepolisian, BNN, TNI, dan
bea cukai merupakan institusi yang belum bisa dipercaya untuk menyelesaikan
masalah. Secara kasar, institusi-institusi tersebut tidak bisa dipercaya,
jangankan untuk melaksanakan tugasnya, membenahi dirinya sendiri belum becus.
Kalau memang begitu kenyataannya, tim independen memang sangat diperlukan.
Bukan hanya itu yang harus diakui dengan lahirnya tim independen, yaitu harus
diakui pula bahwa pemerintahan Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi masih
belum bisa dikatakan memiliki kemajuan yang berarti. Artinya, Indonesia harus
mengakui bahwa kita adalah negeri terbelakang.
Indonesia memiliki pengalaman itu dengan lahirnya KPK.
Lembaga itu lahir karena kepolisian dianggap tidak becus menangani kasus-kasus
korupsi. Polisi kehilangan kepercayaan dalam menangani kasus korupsi. Itu
sejarah. Bukan hanya KPK yang lahir seperti itu, ada banyak komisi yang
dibentuk yang sebenarnya bisa ditangani
oleh institusi yang telah ada sejak dulu.
Kalau memang polisi, BNN, TNI, bea cukai, dianggap tidak
becus untuk menyelesaikan masalah, segeralah bentuk tim independen.
Kalau Indonesia memang negeri terbelakang dan belum
melangkah maju, jangan tunggu waktu lama untuk membentuk tim independen. Segera
bentuk.
Jika ingin dipercaya sebagai institusi yang kredibel dan
ingin hidup sebagai negara maju, buktikan diri dengan sungguh-sungguh bahwa
dirinya mampu menyelesaikan masalah dengan baik dan tuntas tanpa ada keraguan
sedikit pun. Dengan demikian, tim independen sama sekali tidak diperlukan.
Optimalkan institusi yang ada.
Meskipun demikian, bukti kesungguhan itu harus nyata
terlihat, baik oleh dirinya sendiri maupun oleh masyarakat; baik di dalam
negeri maupun di luar negeri. Bukan dengan memaksakan diri sebagai institusi
yang kredibel, tetapi sesungguhnya tidak memiliki kemampuan untuk memecahkan
masalah. Bukan berarti harus tanpa masalah karena masalah selalu ada, tetapi
ketika masalah ada, penyelesaiannya harus baik, tuntas, dan memuaskan.
Pembentukan tim independen adalah pilihan. Keduanya
memiliki risiko yang harus diperhitungkan.
Tanggung
Jawab Bersama
Tanggung jawab “pencegahan”
peredaran dan penyalahgunaan Narkoba ini merupakan tugas bersama, bukan hanya
tugas BNN. Kalaulah ada yang bilang bahwa BNN “gagal” dalam hal pencegahan
Narkoba yang ditandai dengan masih banyaknya peredaran Narkoba, orang itu sebenarnya
sedang mempermalukan dirinya sendiri. Tugas dan tanggung jawab pencegahan itu
bukan hanya BNN, melainkan pula bidang pendidikan, budaya, agama, serta seluruh
masyarakat. Kegagalan pencegahan adalah kegagalan kita sebagai bangsa, termasuk
orang yang menyudutkan BNN sendiri. Hal itu disebabkan dirinya pun memiliki
kewajiban itu. Artinya, jika pencegahan disebut gagal, dirinya pun sebenarnya
telah gagal dalam berperan serta mencegah peredaran dan penyalahgunaan Narkoba.
Bagi saya, penangkapan yang dilakukan BNN termasuk pula
pencegahan di dalamnya. Artinya, minimal orang yang ditangkap BNN “tercegah”
untuk melakukan hal yang sama. Justru kalau BNN gagal dalam penangkapan, itu
harus dikritik habis-habisan karena memang itu tugas dan wewenangnya yang tidak
dimiliki pihak lain, termasuk masyarakat. Kalau gagal dalam pencegahan, yang
harus dikritik adalah seluruhnya, termasuk diri Si Pengkritik sendiri karena
semua orang memiliki kewajiban itu. Kegagalan pencegahan adalah kegagalan
seluruh elemen bangsa Indonesia. Kegagalan penangkapan adalah kegagalan BNN dan
kepolisian.
No comments:
Post a Comment