oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Semakin hari semakin tidak
karu-karuan persoalan yang berasal dari Curhatan Freddy Budiman pada Haris
Azhar. Banyak sekali pendapat liar yang kemudian berpotensi mengacaukan
pemikiran masyarakat.
Ada orang yang bilang ini adalah momentum.
Momentum apaan?
Momentum untuk membersihkan aparat?
Seolah-olah isi pesan dari Freddy Budiman pada Haris
Azhar adalah sesuatu yang baru untuk membongkar kebusukan aparat.
Itukah maksud Haris Azhar mempublikasikan obrolannya yang
belum tentu benar itu kepada masyarakat?
Ingin menunjukkan bahwa di dalam tubuh aparat ada para
penjahat yang bermain dalam bisnis Narkoba?
Kalau itu tujuannya, sangatlah rendah dan terlalu
“diada-adakan”. Sama sekali tidak pantas untuk dijadikan sebuah momentum. Oleh
sebab itu, tulisan Haris Azhar sama sekali tidak memiliki nilai yang bisa
disebut penting. Tulisan itu hanya membuat kisruh.
Perkara di dalam tubuh aparat kepolisian, tentara, dan
PNS ada oknum-oknum yang terlibat bisnis Narkoba, itu adalah ceritera lama yang
orang-orang sudah sering mendengar. Saya juga sering mendengarnya sejak masih duduk
di sekolah dasar. Orang-orang juga tahu itu. Itulah yang harus diperangi aparat
kepolisian, TNI, BNN, Bea Cukai, dan seluruh masyarakat. Pemimpin BNN Budi
Waseso pun mengakui hal itu dan menurutnya hal itu menjadi tantangan baginya
untuk membebaskan Indonesia dari kejahatan penyalahgunaan Narkoba. Presiden RI
Jokowi pun tampaknya merasakan hal itu.
Oleh sebab itu, Presiden kukuh untuk tetap memberlakukan hukuman mati. Banyak
orang yang tahu soal itu.
Tidak perlu tulisan Haris Azhar untuk soal itu.
Orang-orang berikut aparat pemerintah juga sudah tahu sejak lama.
Sejak kecil saya sering mendengar orang-orang yang lebih
dewasa membicarakan hal-hal penyalahgunaan dan peredaran Narkoba. Saya pernah
dengar ceritera ada anak menteri yang dikawal Kopasus pulang dari luar negeri
untuk bisnis Narkoba. Anak menteri itu turun dari kapal terbang di bandara sambil
mabuk dan dijaga ketat prajurit Kopasus. Saya juga dengar bahwa salah seorang
teman saya otaknya menjadi tidak normal karena terlalu banyak bergaul dengan
anak-anak pejabat yang gemar mabuk-mabukan dan menggunakan Narkoba. Di samping
itu, banyak ceritera lain yang saya dengar. Ceritera-ceritera yang beredar
sejak saya kecil itu tentunya bisa benar dan bisa salah karena itu hanya
obrolan orang lain yang sempat saya dengar tanpa sengaja. Kita tidak bisa
meyakini sesuatu adalah benar hanya karena mendengar obrolan orang lain.
Lagian, kisah-kisah itu beredar sebelum terjadi gerakan reformasi di Indonesia.
Semua tahu bahwa ABRI, terutama AD saat itu sangat represif terhadap
masyarakat. Oleh sebab itu, gerakan reformasi menginginkan adanya perubahan
mendasar dalam kehidupan di Indonesia, termasuk soal perilaku oknum aparat yang
sangat tidak terpuji. Pascareformasi, seluruh institusi, dipaksa dan memaksa
dirinya untuk berubah ke arah yang lebih baik. Perubahan itu sedang terjadi
sampai dengan hari ini. Kita melihat ada banyak anggota TNI dan polisi yang
ditangkap gara-gara terlibat perilaku penyalahgunaan Narkoba. Kita lihat juga
ada kepala daerah yang ditangkap karena kasus yang sama. Hal itu menunjukkan
adanya suatu perbaikan dibandingkan dengan masa lalu. Pada masa lalu mana ada
oknum aparat yang diberitakan ditangkap gara-gara Narkoba. Kalau ada yang menyebut
bahwa itu bukanlah perbaikan di dalam tubuh aparat, dia adalah pendusta dan
pengacau. Memang perbaikan itu masih belum sempurna, tetapi perbaikan itu sudah
ada dan sedang terjadi sampai dengan hari ini. Masyarakat pun harus terus
mendorong aparat agar lebih baik bekerja, baik dengan apresiasi maupun dengan
kritikan. Akan tetapi, jangan melakukan pitnah, eh … fitnah. Maklum, saya orang
Sunda suka lupa menggunakan huruf f,
kebiasaan pake huruf p.
Pada awal reformasi pun perilaku busuk oknum-oknum aparat
dibicarakan habis-habisan. Bahkan, persoalan oknum aparat dengan Narkoba ini
menjadi tema beberapa talk show di
televisi. Saya sempat menyaksikan sebuah acara talk show di kalau tidak di TVRI, mungkin RCTI. Saya lupa-lupa ingat. Sepertinya di RCTI. Eh, TVRI kayaknya.
Kemungkinan besar RCTI. Poho. Akan
tetapi, yang membuat saya tertarik adalah pernyataan dari salah seorang
narasumber.
Ia mengatakan, “Gaji tentara dan polisi itu kecil. Tapi
kenapa orang mau jadi tentara atau polisi? Gajinya memang kecil, tetapi yang
besar adalah dari bisnis Narkoba. Mereka jadi kaya dan banyak uang karena
Narkoba.”
Saat itu tak ada yang menuduh Si Narasumber itu sebagai
“Pencemar Nama Baik”. Hal itu mungkin disebabkan tentara dan polisi sedang
dalam keadaan tersudut oleh gerakan reformasi sehingga kondisinya sedang down. Bisa pula karena baik polisi maupun tentara
diam-diam mengakui bahwa di dalam tubuh institusinya banyak oknum yang melakukan
tindakan sebagaimana yang dikatakan Si Narasumber di televisi.
Berbagai makian, kritikan, tuduhan, cercaan pada polisi
dan tentara, membuat kedua institusi itu mau tidak mau, suka atau tidak suka,
rela ataupun terpaksa bersegera membenahi dirinya. Mereka menginginkan
institusinya berubah sesuai dengan keinginan gerakan reformasi. Memang tidak
mudah dan sampai sekarang pun belum sempurna, tetapi upaya ke arah perbaikan
itu sudah ada dan terus terjadi. Apalagi sekarang masyarakat pun dapat ikut
berperan serta dalam memberikan banyak masukan pada institusi kepolisian maupun
TNI, tidak seperti masa lalu yang terkesan mereka harus selalu benar dan rakyat
wajib tunduk. Kalau rakyat tidak tunduk, tuduhannya bisa PKI atau subversif.
Sekarang tidak lagi sepanjang masyarakat menyampaikannya dengan cara yang baik
dan tidak melanggar hukum.
Kalau boleh saya menilai, … pasti boleh menilai kan?
Memangnya siapa yang mau melarang saya?
Kalau boleh saya menilai, TNI lebih cepat mereformasi
dirinya dibandingkan institusi-institusi lainnya. Mereka pulang ke barak dan
lebih berkonsentrasi pada profesinya sebagai tentara, tidak lagi ikut-ikutan
politik dan tidak mencampuri urusan ketertiban masyarakat, kecuali jika
diperlukan. Mereka memang masih memiliki masalah kecil-kecil, tetapi masyarakat
semakin bangga dengan TNI yang mampu menjaga kedaulatan wilayah Indonesia,
tidak lagi petantang-petenteng seperti
semuanya berpangkat jenderal, memiliki Alutsista yang lebih lengkap dan terus
melengkapi dirinya, bersedia patuh pada bangsa dan negara, memiliki kemampuan
tempur yang membanggakan, bersedia berkorban untuk menyelamatkan WNI, termasuk
membersihkan anggotanya yang terlibat penyalahgunaan Narkoba, dan sebagainya.
Hal-hal itu membuat masyarakat semakin merasa terlilndungi dan bangga sebagai
bangsa Indonesia.
Dalam beberapa hal untuk meningkatkan kualitas dirinya,
TNI tidak jarang mengundang masyarakat untuk memberikan masukan. Saya juga
pernah diundang untuk berdiskusi di Seskoad Bandung mengenai sinergitas TNI-Polri dalam menangani
berbagai ancaman, terutama terorisme. Saya sebagai salah satu rakyat yang
diundang senang benar bisa memberikan masukan dan pihak dari TNI pun banyak
yang menyetujui usulan saya meskipun ada juga yang tidak begitu setuju dengan
pandangan saya. Namanya juga diskusi.
Demikian pula dengan kepolisian. Meskipun tampak
terengah-engah memperbaiki diri karena di samping ingin tampil dengan citra
yang baik di tengah-tengah masih terasa adanya tudingan abuse of power, rekening gendut, terlibat Pungli, pemerasan, dan
Narkoba, mereka berupaya keras melakukan tindakan “pembersihan” di dalam
dirinya sendiri. Hal itu bisa dilihat dari banyaknya anggota kepolisian yang
diproses secara hukum. Perlahan-lahan masyarakat pun mulai terasa lebih dekat
dengan polisi. Dalam menanangani terorisme, misalnya, polisi cukup bekerja
keras sehingga Indonesia bisa dibilang relatif lebih aman dibandingkan
negara-negara lainnya. Banyak cewek ABG-ABG
yang meminta berfoto bersama polisi. Itu adalah kenyataan. Tidak bisa
dipungkiri.
Benar polisi masih belum sempurna. Pendapat itu 100%
benar, tetapi bukan berarti kita boleh semau-maunya menuduh polisi sebagai
“bersandiwara untuk citra baik” dalam menjalankan tugas dan kewajibannya.
Kalaulah masih ada kebusukan di dalam tubuh polisi, itu harus diperangi
bersama-sama, baik oleh polisi sendiri, pemerintah yang berkomitmen kuat dalam
menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, maupun oleh keterbukaan
masyarakat dalam menyampaikan aspirasi sepanjang tidak melanggar hukum.
Perang terhadap Narkoba di dalam tubuh kepolisian ini
sudah terjadi sejak lama meskipun belum sempurna benar. Saya merasakannya
sendiri. Ketika awal keterbukaan terjadi pada 1998, saya sebagai orang yang
gemar menulis, segera memanfaatkannya dengan menulis buku yang berjudul Bahaya Napza bagi Pelajar.
Kalau boleh saya mengaku-aku, … boleh kan saya
mengaku-aku? Ya boleh dong, memangnya siapa yang mau melarang saya?
Yang tidak boleh itu berbohong!
Kalau boleh saya mengaku-aku, saya adalah orang pertama yang menulis buku tentang bahaya Narkoba
untuk konsumsi masyarakat umum di Indonesia ini. Saya mengaku-aku itu
karena saat itu sulit sekali mendapatkan sumber tertulis yang berupa buku
mengenai Narkoba atau Napza (Narkotika,
Psikotropika, dan Zat Adiktif). Maksudnya, sumber tertulis yang bisa dibaca
masyarakat umum. Satu-satunya buku yang saya temukan adalah buku pinjaman dari
Kepolisian RI Daerah Jawa Barat. Itu pun buku yang sangat rumit sehingga orang
jangankan untuk membacanya, melihat bukunya saja sudah “muak” karena terlalu tebal
dengan bahasa yang tidak mudah dipahami masyarakat umum.
Karena tidak ada sumber tertulis lain, saya pun berusaha
untuk melakukan berbagai wawancara dan eksperimen. Salah satu yang membantu
saya adalah Kanit Serse Narkotik Polda Jabar (Maaf kalau salah sebut jabatan).
Saya lupa nama orangnya. Pokoknya, dia masih perawan, belum menikah (saat itu),
cantik, supel, ramah, dan tidak sulit ditemui. Dia juga yang jadi model untuk
ilustrasi dalam buku saya di samping teman-teman saya tentunya. Karena dia
cantik dan menarik, saya ajak juga dia jadi narasumber ketika saya diminta
Ikapi Cabang Jawa Barat untuk mengadakan diskusi panel soal Narkoba dalam salah
satu acara Pameran Buku Bandung. Saya pasangkan dia dengan Ustadz Aam Amirudin dan artis Inka Christie. Peserta diskusi penuh
benar, meluap, tentunya bukan karena Narkoba, melainkan karena ada Inka
Christie.
Karena beberapa kali ketemu, dia jadi cukup akrab dengan
saya. Malahan, sempat sedikit Curhat.
“Kang, kita ini harus memberantas Narkoba di seluruh Jawa
Barat, tetapi anggota kita hanya tujuh orang,” keluhnya.
“Masa?”
“Iya, malahan sekarang tinggal lima orang karena yang dua
ditangkap.”
“Ditangkap? Kenapa?”
“Ditangkap karena pake Narkoba. Waktu dites, di urine-nya ada Narkoba,” katanya, “Saya udah bela-belain mereka karena mereka
harus bertugas masuk ke lingkungan pengguna Narkoba, tapi … ya mau bagaimana
lagi. Mereka tetap ditangkap.”
Saya terdiam.
“Ya, sudah,” katanya pelan.
Itu kejadian pada 1998. Artinya, kepolisian sudah mulai
bertindak lebih tegas terhadap anggotanya yang terlibat Narkoba meskipun dibela
oleh komandannya sendiri. Kita harus mengapresiasi itu. Benar belum sempurna,
tetapi tindakan positif sudah dilakukan sejak lama.
Di samping itu, kepolisian pun menyambut baik buku saya.
Bahkan, tanpa disangka-sangka, Kapolri
Jenderal Polisi Drs. Roesmanhadi, S.H. berkenan memberikan sambutan
tertulis dalam buku saya. Tak heran jika PT Telkom kemudian mensponsori
penerbitan buku saya yang diterbitkan oleh CV Pembangunan Jaya, Bandung.
Tadinya, saya ingin buku itu ada di toko-toko buku, tetapi ternyata cetakan
pertama langsung habis di Kabupaten Bandung, Kabupaten Garut, Kota Bekasi, dan
Kota Tangerang. Saya juga hanya diberi lima buku oleh penerbitnya. Sekarang
malah tinggal satu, rusak lagi karena hilang, pernah ada yang minta, dan pinjam
tanpa kembali. Cetakan kedua pun tidak sampai ke toko buku karena dibeli oleh
Dinas Pembangunan Provinsi Jawa Barat tahun anggaran 2000 dan diklaim Milik Negara Tidak Diperdagangkan. Sejak
itu, buku-buku tentang Narkoba makin banyak. Syukurlah.
Lantas, kenapa tulisan Haris Azhar seolah-olah menjadi
begitu penting?
Persoalan oknum itu ada di mana-mana dan sudah menjadi
pengetahuan banyak orang.
Apa bedanya celoteh Freddy Budiman dengan celoteh
orang-orang yang pernah saya dengar sejak saya kecil?
Biasa saja. Obrolan tanpa bukti.
Sudah sejak lama kisah oknum itu selalu ada dan aparat
juga memahami hal itu, kemudian mencoba mengatasinya. Presiden Jokowi juga
mengerti hal itu. Oleh sebab itu, dia menyatakan bahwa Indonesia berada dalam
kondisi darurat Narkoba.
Tulisan Haris Azhar menjadi penting apabila di dalamnya
dimuat nama-nama oknum aparat jahat itu. Ditulis pula kapan dan di mana kejadiannya.
Jangan-jangan kejadiannya sebelum 1998 atau sebelum reformasi. Kalau itu mah,
ya orang-orang juga bisa memahami.
Hal yang pantas dijadikan momentum itu adalah pernyataan
Presiden Jokowi bahwa Indonesia Darurat
Narkoba!
Sangat tidak pantas
ocehan pengedar Narkoba dan pemakai Narkoba berikut kematiannya menjadi momentum utama dalam pemberantasan
Narkoba. Sementara itu, Kapolri Tito Karnavian pun sudah menyatakan bahwa
pledoi dan kuasa hukum Freddy Budiman tidak ada yang mengonfirmasi apa yang
ditulis Haris Azhar. Di samping itu, Kalapas Nusakambangan Liberty Sitinjak pun
setelah diperiksa BNN diberitakan tidak mendengar ada uang sejumlah seperti
yang disebutkan dalam tulisan Haris Azhar yang mengalir ke aparat penegak
hukum. Demikian pula soal CCTV. Wajar saja jika petugas BNN bertanya mengenai
izin atau aturan pemasangan itu. Saya pun pasti akan bertanya-tanya soal itu. Pertanyaan
itu wajar karena sangat tidak sopan jika memasang CCTV di ruangan seseorang
sehingga setiap gerak-gerik orang itu bisa diawasi 24 jam. Setiap orang itu
memiliki hak privasi.
Oleh sebab itu, tak heran Sitinjak mengatakan, “Mohon maaf,
apa pun yang dilakukan Freddy Budiman saya tahu.”
Dia mengatakan “mohon maaf” karena mungkin melihat
gerakan-gerakan pribadi yang seharusnya hanya boleh dilihat oleh pelakunya
sendiri. Saya juga sekarang “mohon maaf” karena mungkin saja Freddy Budiman yang
lama dipenjara dan tidak bertemu wanita melakukan gerakan-gerakan tubuh untuk
memuaskan imajinasinya sendiri di ruangannya. Itu bagian dari privasi.
Akan tetapi, dengan CCTV 24 jam di ruangan itu, apa yang
tidak bisa dilhat?
Wajar jika ada orang, bukan hanya BNN yang menanyakan
soal kebijakan CCTV itu. Akan tetapi, itu dilakukan pihak Lapas karena Freddy
Budiman ini penjahat luar biasa yang tidak boleh lengah dalam mengawasinya.
Mau jadi bangsa apa Indonesia jika ocehan pemabuk
dijadikan momentum penegakan hukum di Indonesia?
Sungguh hina sekali bangsa Indonesia jika kematian
seorang pemabuk dianggap sebagai momentum bersejarah dalam penyelamatan
generasi muda Indonesia dari kejahatan Narkoba.
Momentum bersejarah itu adalah pernyataan Presiden RI!
Memang ada momentum yang besar sih, tetapi bukan
persoalan Narkoba, melainkan momentum untuk menyadarkan masyarakat agar lebih
berhati-hati dalam menulis di dunia virtual agar tidak menimbulkan fitnah,
gejolak buruk, dan kerancuan berpikir. Kalau mau menulis, pikir dulu
matang-matang, kecuali sudah memahami risikonya dan jangan menyesal jika
tulisan itu menjerat dirinya sendiri.
Di sinilah pesan Muhammad Rasulullah saw menjadi sangat
berharga, “Jika kamu tidak bisa berbicara
yang benar, lebih baik diam. Diam itu adalah emas bagimu.”
Akan tetapi, kalau
mampu berbicara yang benar dan baik, bicaralah karena perkataan yang baik
mengarahkan kita ke arah kemuliaan. Perkataan yang baik mendekatkan kita pada
kebaikan dan menjadi kendaraan kita menuju surga.
Adapula momentum yang bersejarah dalam hal ini, yaitu
kepolisian harus lebih jeli. Kepolisian hendaknya mampu mendeteksi siapa saja yang
diuntungkan dan dirugikan oleh kematian Freddy Budiman dan penjahat lainnya.
Yang diuntungkan salah satunya jelas bangsa Indonesia
karena salah satu atau beberapa perusak generasi muda sehat bangsa telah mati.
Kalau ada yang diuntungkan lagi di samping bangsa Indonesia, harus
dipublikasikan untuk menjadi pelajaran.
Pihak-pihak yang dirugikan oleh kematian Freddy Budiman dan
penjahat lainnya pun harus diungkap karena pihak-pihak ini bisa jadi kehilangan
“ATM” yang biasa mereka gesek ketika mereka butuh uang. Bisa jadi Freddy
Budiman dan orang-orang sejenisnya pun kerap mengucurkan dana pada LSM-LSM atau
Ormas-ormas atau kelompok-kelompok atau orang-orang atau oknum-oknum yang
berada di sekelilingnya yang dianggap “teman untuk mengamankan dirinya” dari
jeratan hukum. Mereka inilah yang kemungkinan “marah besar” karena dengan dilaksanakannya
hukuman mati terhadap Freddy Budiman dan orang-orang sejenisnya, berarti pula
kehancuran “ATM” yang dapat selalu mereka gesek. Mereka ini pun memiliki
potensi untuk mewujudkan kekecewaannya dengan cara mengganggu tekad bangsa
Indonesia dalam memerangi Narkoba dan mempersulit penegakkan hukum di
Indonesia.
No comments:
Post a Comment