Thursday, 4 August 2016

Testimoni Freddy Budiman Menjerat Haris Azhar

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Masyarakat Indonesia dihebohkan oleh testimoni Freddy Budiman yang disampaikan kepada Koordinator KontraS Haris Azhar. Kehebohan itu tentunya disebabkan oleh Haris Azhar yang menyebarkannya di dunia maya secara viral. Viral itu mungkin artinya menyebar seperti virus secara virtual.

            Apabila kita mengikuti berita-berita tersebut melalui media di televisi dan internet secara sekilas, tampaknya tidak ada yang aneh dari testimoni Freddy Budiman. Bahkan, banyak orang yang berpendapat bahwa sesungguhnya Haris Azhar memberikan masukan positif kepada pihak-pihak yang terkait untuk menyelidikinya lebih lanjut agar perang terhadap Narkoba di Indonesia bisa benar-benar berhasil. Pendapat dan pandangan bahwa Haris Azhar memberikan informasi positif bagi pembersihan oknum-oknum aparat dari peredaran Narkoba terus menguat dan cenderung meruntuhkan kepercayaan masyarakat kepada polisi, BNN, dan TNI. Masyarakat benar-benar berharap bahwa aparat kepolisian, BNN, dan TNI dapat menindaklanjuti informasi Haris Azhar sehingga bisa benar-benar terbuka jelas dan transparan.

            Akan tetapi, tiba-tiba rakyat dikejutkan oleh tindakan polisi dan TNI yang melaporkan Haris Azhar dengan kasus dugaan pencemaran nama baik. Sungguh, hal itu sangat mengherankan karena kelakuan polisi dan TNI tersebut bisa membuat masyarakat takut untuk berpartisipasi dalam penanggulangan kejahatan Narkoba. Seharusnya, informasi dari Haris Azhar bisa ditindaklanjuti dan diselesaikan secara sederhana dalam waktu singkat. Aparat hanya harus mengecek pledoi dan pengacara Freddy Budiman untuk disesuaikan dengan informasi dari Haris Azhar. Hasilnya, hanya dua, yaitu testimoni Freddy Budiman bisa salah dan bisa benar, kemudian mempublikasikannya kepada masyarakat. Kalau benar, harus ditindaklanjuti benar-benar. Kalau salah, Freddy Budiman berarti pembohong. Haris Azhar sebagai penyampai informasi mendapatkan kejelasan, termasuk masyarakat juga mendapatkan informasi yang lebih terang. Sesungguhnya, sesederhana itu penyelesaiannya.

            Memang ternyata kepolisian pun bertindak sangat cepat dalam menelusuri masalah ini. Kepolisian sudah memeriksa pledoi Freddy Budiman dan kuasa hukum Freddy Budiman. Hasilnya, Kapolri Tito Karnavian menegaskan seperti yang dikutip nasional.kompas.com, "Kami sudah mendapatkan data pledoi dan sudah kami periksa ke pengacara Freddy. Semuanya tidak ada yang mengonfirmasi keterangan Haris."

            Penjelasan Tito Karnavian seharusnya menyelesaikan semuanya. Artinya, Freddy Budiman tidak memberikan keterangan yang benar kepada Haris Azhar. Sudah, cukup sampai di sana.

            Akan tetapi, mengapa situasinya menjadi tambah panjang dengan dilaporkannya Haris Azhar atas dugaan pencemaran nama baik?

            Orang-orang menjadi bingung, bahkan banyak pula yang mendukung Haris Azhar serta berharap Haris Azhar dilindungi. Hal itu pun dikuatkan dengan kesediaan Haris Azhar untuk bekerja sama dengan institusi terkait dalam menyelesaikan masalah itu.

            Sesungguhnya, masalah selesai dengan telah ditemukannya pledoi dan kuasa hukum Freddy Budiman. Namun, sayang sekali masalah menjadi tambah panjang karena jika dibaca lebih teliti tulisan Haris Azhar, memang ada kalimat-kalimat yang diduga mengarah pada tuduhan terhadap institusi penegak hukum kepolisian, BNN, dan TNI. Kalimat-kalimat itulah yang akan menjerat Haris Azhar. Saya rasa Haris Azhar sulit bebas dari kalimat-kalimat yang ditulisnya sendiri dan itu bisa berakhir teramat buruk terhadap Haris Azhar.

            Kalimat-kalimat itu tertulis jelas pada paragraf pertama. Paragraf itulah yang benar-benar bisa mengikatnya kuat-kuat dan sulit sekali dilepaskan.

            Coba perhatikan paragraf pertama sebagaimana yang dikutip fajaronline.com.

            Di tengah proses persiapan eksekusi hukuman mati yang ketiga dibawah pemerintahan Joko Widodo, saya meyakini bahwa pelaksanaan ini hanya untuk ugal-ugalan popularitas. Bukan karena upaya keadilan. Hukum yang seharusnya bisa bekerja secara komprehensif menyeluruh dalam menanggulangi kejahatan ternyata hanya mimpi. Kasus Penyeludupan Narkoba yang dilakukan Freddy Budiman, sangat menarik disimak, dari sisi kelemahan hukum, sebagaimana yang saya sampaikan di bawah ini.

            Dalam paragraf tersebut Haris Azhar menulis “saya meyakini” dan “ternyata hanya mimpi”.  Itu benar-benar sebuah tudingan yang serius. Dia memiliki “keyakinan” dan mendapatkan “kenyataan” berdasarkan pengakuan Freddy Budiman. Pengakuan yang kata dia sendiri berasal dari Bandit itu menjadi dasar yang membuat dirinya yakin dan mendapatkan kenyataan bahwa penanggulangan kejahatan hanya mimpi. Padahal, testimoni Freddy Budiman baru sebatas pengakuan Freddy Budiman yang perlu dikaji dan diteliti lebih jauh kebenarannya. Haris Azhar benar-benar ceroboh dengan menulis kalimat-kalimat itu.

            Bagaimana mungkin orang secerdas dia memiliki sebuah keyakinan dan mendapatkan kenyataan berdasarkan kesaksian sepihak yang belum teruji kebenarannya?

            Hal yang lebih mempersulit bagi dirinya lagi adalah dia menyebarkannya secara virtual. Keyakinan dirinya dan kenyataan yang didapatkannya mempengaruhi alam pikiran para pembaca sehingga polisi, TNI, BNN, dan mungkin juga institusi lainnya khawatir bahwa para pembaca tulisan Haris Azhar memiliki keyakinan dan mendapatkan kenyataan yang sama seperti Haris Azhar. Hal itu memang bisa meruntuhkan kepercayaan masyarakat kepada institusi-institusi tersebut. Padahal, testimoni Freddy Budiman belum tentu benar. Bahkan, telah dinyatakan tidak benar berdasarkan penuturan Kapolri Tito Karnavian.

            Hal yang membuat saya bertanya-tanya adalah Haris Azhar terlihat tidak konsisten. Dia mengatakan bahwa seharusnya apa yang ditulisnya dapat menjadi petunjuk dan sumber informasi bagi penegak hukum untuk menanggulangi kejahatan Narkoba. Aparat dapat bekerja sesuai dengan kewenangannya untuk mencari bukti-bukti berdasarkan pengakuan Freddy Budiman. Artinya, Haris Azhar pun belum memilki bukti.

            Kalau belum memiliki bukti, mengapa harus mengklaim diri telah memiliki keyakinan dan mendapatkan kenyataan?

            Kok bisa yakin dan mendapat kenyataan, tanpa ada bukti?

            Coba perhatikan lagi tulisannya.

            …. saya meyakini bahwa pelaksanaan ini hanya untuk ugal-ugalan popularitas. Bukan karena upaya keadilan. Hukum yang seharusnya bisa bekerja secara komprehensif menyeluruh dalam menanggulangi kejahatan ternyata hanya mimpi …..

            Tak heran jika polisi dan TNI selalu meminta bukti pada Haris Azhar. Hal itu disebabkan Haris Azhar telah memiliki keyakinan dan mendapatkan kenyataan. Artinya, polisi dan TNI meminta dasar keyakinan dan kenyataan yang didapatkan Haris Azhar.

           
Pelajaran Bagi Semua

Kejadian ini sudah selayaknya menjadi pelajaran bagi kita semua. Kalau kata Kadiv Humas Polri Boy Rafli Amar, kasus dugaan pencemaran nama baik ini agar menjadi pelajaran bagi semua pihak dalam bidang hukum. Kalau saya sendiri menyarankan kepada siapa pun untuk menggunakan bahasa, kata, dan kalimat secara hati-hati dan dipikirkan karena bisa menjerat penulisnya sendiri. Di samping itu pun, hindarkan untuk melakukan tuduhan atau tudingan yang langsung menukik sehingga merusakkan martabat pihak lain, kecuali sudah ada bukti jelas tak terbantahkan dan mampu melepaskan diri jika ada gugatan dari pihak lain. Dalam hal isi, Presiden Jokowi pun mewanti-wanti melalui juru bicaranya Johan Budi bahwa siapa pun boleh berpendapat, tetapi pendapatnya itu harus dipikirkan matang-matang sebelum dipublikasikan.

            Seandainya Haris Azhar tidak menulis paragraf pertama, dari sisi bahasa sebenarnya tidak ada masalah. Hal itu disebabkan paragraf-paragaraf selanjutnya hanya berisi pengakuan Freddy Budiman dan tidak ada kesimpulan apa pun yang menunjukkan sebuah keyakinan bahwa itu adalah kebenaran serta tidak memperlihatkan itu merupakan sebuah kenyataan. Itu hanya sebuah informasi dari seorang bandit. Soal Freddy mengatakan adanya keterlibatan oknum polisi, TNI, BNN, atau bea cukai, hanya berupa omongan pengakuan yang harus dibuktikan dahulu. Sayangnya, Haris Azhar menggunakan pengakuan tanpa bukti dari Freddy itu sebagai dasar bagi dirinya untuk “meyakini bahwa pelaksanaan ini hanya untuk ugal-ugalan popularitas. Bukan karena upaya keadilan. Di samping itu, pengakuan Freddy pun menjadi dasar bagi Haris Azhar sebagai kenyataan bahwa penanggulangan kejahatan hanya mimpi.

            Sebenarnya, jika Haris Azhar mau menulis paragraf pertama dengan lebih hati-hati, situasinya akan lain dan tidak akan diduga melakukan pencemaran nama baik. Dia sesungguhnya bisa menulis seperti ini.

            …. saya menduga bahwa pelaksanaan ini hanya untuk ugal-ugalan popularitas. Terkesan bukan karena upaya keadilan. Hukum yang seharusnya bisa bekerja secara komprehensif menyeluruh dalam menanggulangi kejahatan bisa jadi hanya mimpi …..

            Perhatikan perbedaannya. Meyakini diganti menduga. Sebelum kata bukan pada kalimat kedua ditambah kata terkesan. Kata ternyata diganti bisa jadi.

            Kata-kata menduga, terkesan, dan bisa jadi, bukanlah tuduhan. Namanya juga dugaan, kesan, dan kemungkinan. Kata-kata itu masih mengandung ketidakpastian yang artinya membuka ruang untuk dipastikan kebenarannya. Hasilnya, dugaan, kesan, dan kemungkinan itu bisa salah dan bisa benar.

            Di samping itu, tulisan itu hendaknya ditutup oleh pernyataan-pernyataan yang menyejukkan dalam arti menunjukkan “kesetujuan” Haris Azhar dalam menanggulangi kejahatan penyalahgunaan Narkoba yang dimulai di dalam tubuh aparat sendiri sehingga Indonesia bisa terbebas dari penyakit Narkoba dan orang yang tidak seharusnya dihukum mati bisa bebas dari hukuman itu.

            Memang sulit untuk membiasakan diri menggunakan bahasa-bahasa yang tidak menyudutkan apalagi jika ada idealisme dalam diri kita, misalnya, antihukuman mati yang jika melihat orang dihukum mati, marahnya bukan main. Seperti juga saya yang memiliki idealisme tertentu yang jika ada orang atau pihak yang melakukan atau menulis sesuatu yang bertentangan dengan idealisme saya, saya marah bukan main, kemudian berusaha menulis atau melakukan tindakan yang kasar-kasar untuk menunjukkan bahwa diri kita kesal dan marah. Bedanya, saya sampai saat ini tidak terkena tuduhan mencemarkan nama baik pihak lain meskipun sebenarnya saya sering was was juga sih karena saya sering menggunakan kata-kata yang “kurang ajar”, seperti, goblok, bego, tolol, bodoh, brengsek, bahkan anjing.

            Yah, namanya juga pelajaran hidup. Semoga kejadian seperti ini menjadi pelajaran bagi semua. Yang namanya pelajaran itu kan dipelajari oleh para pelajar. Para pelajar itu adalah kita semua. Jika ketika belajar melakukan kesalahan, wajar namanya juga belajar. Mudah-mudahan ada penyelesaian yang baik sehingga benar-benar menjadi pelajaran. Yang kurang ajar itu adalah jika sudah tahu salah, ngotot menganggap dirinya benar. Itu namanya terlalu.

            Hukuman mati harus jalan terus. Biarkan mereka yang antihukuman mati berpendapat karena mereka memiliki hak itu sepanjang tidak bertentangan dengan hukum. Saya sebenarnya bukan prohukuman mati, melainkan prohukum qishash. Qishash itu setimpal. Hukuman apa pun harus setimpal dengan kejahatan yang dilakukan, baik kejahatan berat maupun ringan. Kalau ada kejahatan berat yang hukuman setimpalnya adalah mati, cukup hanya dengan hukuman mati, tidak boleh lebih dari itu, misalnya, sudah dihukum mati dan jelas matinya, ditambah mutilasi.  Itu namanya berlebihan dan segala yang berlebihan itu sangat dibenci Allah swt. Kita tidak perlu ngikut-ngikut negara lain yang berlebihan, sudah menghukum mati, memutilasi lagi, lalu tubuhnya disebar ke berbagai tempat, malahan lintas pulau segala.

            Negara mana yang pernah melakukan itu coba hayo tebak?

            Itu negara yang sering disebut-sebut “pemilik hukum terbaik” di dunia yang orang-orang gemar belajar hukum ke negeri itu. Negara itu pernah menjajah Indonesia sangat lama. Namanya Negara Belanda.

            Siapa yang pernah dihukum seperti itu oleh Belanda?

            Si Pitung!

            Sudah ditembak mati, kepala Si Pitung dikubur entah di mana, badannya di mana, tangan kiri di mana, tangan kanan di wilayah lain, kaki kiri di kota mana, kaki kanannya pun entah di pulau yang mana.

            Kita jangan ikutan seperti mereka. Mereka sadis banget!

                

No comments:

Post a Comment