oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Masyarakat Indonesia
dihebohkan oleh testimoni Freddy Budiman yang disampaikan kepada Koordinator
KontraS Haris Azhar. Kehebohan itu tentunya disebabkan oleh Haris Azhar yang
menyebarkannya di dunia maya secara viral.
Viral itu mungkin artinya menyebar
seperti virus secara virtual.
Apabila kita mengikuti berita-berita tersebut melalui media
di televisi dan internet secara sekilas, tampaknya tidak ada yang aneh dari testimoni
Freddy Budiman. Bahkan, banyak orang yang berpendapat bahwa sesungguhnya Haris
Azhar memberikan masukan positif kepada pihak-pihak yang terkait untuk menyelidikinya
lebih lanjut agar perang terhadap Narkoba di Indonesia bisa benar-benar
berhasil. Pendapat dan pandangan bahwa Haris Azhar memberikan informasi positif
bagi pembersihan oknum-oknum aparat dari peredaran Narkoba terus menguat dan
cenderung meruntuhkan kepercayaan masyarakat kepada polisi, BNN, dan TNI. Masyarakat
benar-benar berharap bahwa aparat kepolisian, BNN, dan TNI dapat
menindaklanjuti informasi Haris Azhar sehingga bisa benar-benar terbuka jelas
dan transparan.
Akan tetapi, tiba-tiba rakyat dikejutkan oleh tindakan
polisi dan TNI yang melaporkan Haris Azhar dengan kasus dugaan pencemaran nama baik. Sungguh, hal itu sangat mengherankan
karena kelakuan polisi dan TNI tersebut bisa membuat masyarakat takut untuk
berpartisipasi dalam penanggulangan kejahatan Narkoba. Seharusnya, informasi
dari Haris Azhar bisa ditindaklanjuti dan diselesaikan secara sederhana dalam
waktu singkat. Aparat hanya harus mengecek pledoi dan pengacara Freddy Budiman
untuk disesuaikan dengan informasi dari Haris Azhar. Hasilnya, hanya dua, yaitu
testimoni Freddy Budiman bisa salah dan bisa benar, kemudian mempublikasikannya
kepada masyarakat. Kalau benar, harus ditindaklanjuti benar-benar. Kalau salah,
Freddy Budiman berarti pembohong. Haris Azhar sebagai penyampai informasi
mendapatkan kejelasan, termasuk masyarakat juga mendapatkan informasi yang
lebih terang. Sesungguhnya, sesederhana itu penyelesaiannya.
Memang ternyata kepolisian pun bertindak sangat cepat
dalam menelusuri masalah ini. Kepolisian sudah memeriksa pledoi Freddy Budiman dan
kuasa hukum Freddy Budiman. Hasilnya, Kapolri Tito Karnavian menegaskan seperti
yang dikutip nasional.kompas.com, "Kami
sudah mendapatkan data pledoi dan sudah kami periksa ke pengacara Freddy.
Semuanya tidak ada yang mengonfirmasi keterangan Haris."
Penjelasan Tito Karnavian seharusnya menyelesaikan
semuanya. Artinya, Freddy Budiman tidak memberikan keterangan yang benar kepada
Haris Azhar. Sudah, cukup sampai di sana.
Akan tetapi, mengapa situasinya menjadi tambah panjang dengan
dilaporkannya Haris Azhar atas dugaan
pencemaran nama baik?
Orang-orang menjadi bingung, bahkan banyak pula yang
mendukung Haris Azhar serta berharap Haris Azhar dilindungi. Hal itu pun
dikuatkan dengan kesediaan Haris Azhar untuk bekerja sama dengan institusi
terkait dalam menyelesaikan masalah itu.
Sesungguhnya, masalah selesai dengan telah ditemukannya
pledoi dan kuasa hukum Freddy Budiman. Namun, sayang sekali masalah menjadi
tambah panjang karena jika dibaca lebih teliti tulisan Haris Azhar, memang ada
kalimat-kalimat yang diduga mengarah pada tuduhan terhadap institusi penegak
hukum kepolisian, BNN, dan TNI. Kalimat-kalimat itulah yang akan menjerat Haris
Azhar. Saya rasa Haris Azhar sulit bebas dari kalimat-kalimat yang ditulisnya sendiri
dan itu bisa berakhir teramat buruk terhadap Haris Azhar.
Kalimat-kalimat itu tertulis jelas pada paragraf pertama.
Paragraf itulah yang benar-benar bisa mengikatnya kuat-kuat dan sulit sekali
dilepaskan.
Coba perhatikan paragraf pertama sebagaimana yang dikutip
fajaronline.com.
Di tengah proses persiapan eksekusi
hukuman mati yang ketiga dibawah pemerintahan Joko Widodo, saya meyakini bahwa pelaksanaan ini hanya untuk ugal-ugalan
popularitas. Bukan karena upaya keadilan. Hukum yang seharusnya bisa bekerja
secara komprehensif menyeluruh dalam menanggulangi kejahatan ternyata hanya
mimpi. Kasus Penyeludupan Narkoba yang dilakukan Freddy Budiman, sangat
menarik disimak, dari sisi kelemahan hukum, sebagaimana yang saya sampaikan di
bawah ini.
Dalam paragraf tersebut Haris Azhar menulis “saya meyakini” dan “ternyata hanya mimpi”. Itu
benar-benar sebuah tudingan yang serius. Dia memiliki “keyakinan” dan mendapatkan “kenyataan”
berdasarkan pengakuan Freddy Budiman. Pengakuan yang kata dia sendiri
berasal dari Bandit itu menjadi dasar yang membuat dirinya yakin dan mendapatkan kenyataan
bahwa penanggulangan kejahatan hanya
mimpi. Padahal, testimoni Freddy Budiman baru sebatas pengakuan Freddy
Budiman yang perlu dikaji dan diteliti lebih jauh kebenarannya. Haris Azhar
benar-benar ceroboh dengan menulis kalimat-kalimat itu.
Bagaimana mungkin orang secerdas dia memiliki sebuah keyakinan dan mendapatkan kenyataan berdasarkan kesaksian sepihak
yang belum teruji kebenarannya?
Hal yang lebih mempersulit bagi dirinya lagi adalah dia
menyebarkannya secara virtual. Keyakinan dirinya
dan kenyataan yang didapatkannya
mempengaruhi alam pikiran para pembaca sehingga polisi, TNI, BNN, dan mungkin
juga institusi lainnya khawatir bahwa para pembaca tulisan Haris Azhar memiliki
keyakinan dan mendapatkan kenyataan yang sama seperti Haris Azhar.
Hal itu memang bisa meruntuhkan kepercayaan masyarakat kepada
institusi-institusi tersebut. Padahal, testimoni Freddy Budiman belum tentu
benar. Bahkan, telah dinyatakan tidak benar berdasarkan penuturan Kapolri Tito
Karnavian.
Hal yang membuat saya bertanya-tanya adalah Haris Azhar
terlihat tidak konsisten. Dia mengatakan bahwa seharusnya apa yang ditulisnya
dapat menjadi petunjuk dan sumber informasi bagi penegak hukum untuk
menanggulangi kejahatan Narkoba. Aparat dapat bekerja sesuai dengan
kewenangannya untuk mencari bukti-bukti berdasarkan pengakuan Freddy Budiman.
Artinya, Haris Azhar pun belum memilki bukti.
Kalau belum memiliki bukti, mengapa harus mengklaim diri
telah memiliki keyakinan dan
mendapatkan kenyataan?
Kok bisa yakin dan
mendapat kenyataan, tanpa ada bukti?
Coba perhatikan lagi tulisannya.
…. saya meyakini bahwa pelaksanaan ini hanya untuk ugal-ugalan
popularitas. Bukan karena upaya keadilan. Hukum yang seharusnya bisa bekerja
secara komprehensif menyeluruh dalam menanggulangi kejahatan ternyata hanya
mimpi …..
Tak heran jika polisi dan TNI selalu
meminta bukti pada Haris Azhar. Hal itu disebabkan Haris Azhar telah memiliki keyakinan dan mendapatkan kenyataan. Artinya, polisi dan TNI
meminta dasar keyakinan dan kenyataan yang didapatkan Haris Azhar.
Pelajaran
Bagi Semua
Kejadian ini sudah
selayaknya menjadi pelajaran bagi kita semua. Kalau kata Kadiv Humas Polri Boy
Rafli Amar, kasus dugaan pencemaran nama baik ini agar menjadi pelajaran bagi
semua pihak dalam bidang hukum. Kalau saya sendiri menyarankan kepada siapa pun
untuk menggunakan bahasa, kata, dan kalimat secara hati-hati dan dipikirkan
karena bisa menjerat penulisnya sendiri. Di samping itu pun, hindarkan untuk
melakukan tuduhan atau tudingan yang langsung menukik sehingga merusakkan
martabat pihak lain, kecuali sudah ada bukti jelas tak terbantahkan dan mampu
melepaskan diri jika ada gugatan dari pihak lain. Dalam hal isi, Presiden
Jokowi pun mewanti-wanti melalui juru bicaranya Johan Budi bahwa siapa pun
boleh berpendapat, tetapi pendapatnya itu harus dipikirkan matang-matang
sebelum dipublikasikan.
Seandainya Haris Azhar tidak menulis paragraf pertama,
dari sisi bahasa sebenarnya tidak ada masalah. Hal itu disebabkan paragraf-paragaraf
selanjutnya hanya berisi pengakuan Freddy Budiman dan tidak ada kesimpulan apa
pun yang menunjukkan sebuah keyakinan bahwa itu adalah kebenaran serta tidak
memperlihatkan itu merupakan sebuah kenyataan. Itu hanya sebuah informasi dari
seorang bandit. Soal Freddy mengatakan adanya keterlibatan oknum polisi, TNI,
BNN, atau bea cukai, hanya berupa omongan pengakuan yang harus dibuktikan
dahulu. Sayangnya, Haris Azhar menggunakan pengakuan tanpa bukti dari Freddy
itu sebagai dasar bagi dirinya untuk “meyakini
bahwa pelaksanaan ini hanya untuk ugal-ugalan popularitas. Bukan karena upaya
keadilan. Di samping itu, pengakuan Freddy pun menjadi dasar bagi Haris
Azhar sebagai kenyataan bahwa penanggulangan
kejahatan hanya mimpi.
Sebenarnya, jika
Haris Azhar mau menulis paragraf pertama dengan lebih hati-hati, situasinya
akan lain dan tidak akan diduga melakukan pencemaran nama baik. Dia
sesungguhnya bisa menulis seperti ini.
…. saya menduga bahwa pelaksanaan ini hanya
untuk ugal-ugalan popularitas. Terkesan bukan karena upaya keadilan. Hukum yang
seharusnya bisa bekerja secara komprehensif menyeluruh dalam menanggulangi
kejahatan bisa jadi hanya mimpi …..
Perhatikan perbedaannya. Meyakini diganti menduga. Sebelum kata bukan
pada kalimat kedua ditambah kata terkesan.
Kata ternyata diganti bisa jadi.
Kata-kata menduga, terkesan, dan bisa jadi, bukanlah tuduhan. Namanya
juga dugaan, kesan, dan kemungkinan. Kata-kata itu masih
mengandung ketidakpastian yang artinya membuka ruang untuk dipastikan
kebenarannya. Hasilnya, dugaan, kesan, dan
kemungkinan itu bisa salah dan bisa
benar.
Di samping itu, tulisan itu hendaknya ditutup oleh
pernyataan-pernyataan yang menyejukkan dalam arti menunjukkan “kesetujuan” Haris
Azhar dalam menanggulangi kejahatan penyalahgunaan Narkoba yang dimulai di dalam
tubuh aparat sendiri sehingga Indonesia bisa terbebas dari penyakit Narkoba dan
orang yang tidak seharusnya dihukum mati bisa bebas dari hukuman itu.
Memang sulit untuk membiasakan diri menggunakan
bahasa-bahasa yang tidak menyudutkan apalagi jika ada idealisme dalam diri
kita, misalnya, antihukuman mati yang
jika melihat orang dihukum mati, marahnya bukan main. Seperti juga saya yang
memiliki idealisme tertentu yang jika ada orang atau pihak yang melakukan atau
menulis sesuatu yang bertentangan dengan idealisme saya, saya marah bukan main,
kemudian berusaha menulis atau melakukan tindakan yang kasar-kasar untuk
menunjukkan bahwa diri kita kesal dan marah. Bedanya, saya sampai saat ini
tidak terkena tuduhan mencemarkan nama baik pihak lain meskipun sebenarnya saya
sering was was juga sih karena saya
sering menggunakan kata-kata yang “kurang ajar”, seperti, goblok, bego, tolol, bodoh, brengsek, bahkan anjing.
Yah, namanya juga
pelajaran hidup. Semoga kejadian seperti ini menjadi pelajaran bagi semua. Yang
namanya pelajaran itu kan dipelajari oleh para pelajar. Para pelajar itu adalah
kita semua. Jika ketika belajar melakukan kesalahan, wajar namanya juga
belajar. Mudah-mudahan ada penyelesaian yang baik sehingga benar-benar menjadi
pelajaran. Yang kurang ajar itu adalah jika sudah tahu salah, ngotot menganggap
dirinya benar. Itu namanya terlalu.
Hukuman mati harus
jalan terus. Biarkan mereka yang antihukuman mati berpendapat karena mereka
memiliki hak itu sepanjang tidak bertentangan dengan hukum. Saya sebenarnya
bukan prohukuman mati, melainkan prohukum qishash. Qishash itu setimpal.
Hukuman apa pun harus setimpal dengan kejahatan yang dilakukan, baik kejahatan
berat maupun ringan. Kalau ada kejahatan berat yang hukuman setimpalnya adalah
mati, cukup hanya dengan hukuman mati, tidak boleh lebih dari itu, misalnya,
sudah dihukum mati dan jelas matinya, ditambah mutilasi. Itu namanya berlebihan dan segala yang berlebihan
itu sangat dibenci Allah swt. Kita
tidak perlu ngikut-ngikut negara lain yang berlebihan, sudah menghukum mati,
memutilasi lagi, lalu tubuhnya disebar ke berbagai tempat, malahan lintas pulau
segala.
Negara mana yang pernah melakukan itu coba hayo tebak?
Itu negara yang sering disebut-sebut “pemilik hukum
terbaik” di dunia yang orang-orang gemar belajar hukum ke negeri itu. Negara
itu pernah menjajah Indonesia sangat lama. Namanya Negara Belanda.
Siapa yang pernah dihukum seperti itu oleh Belanda?
Si Pitung!
Sudah ditembak mati, kepala Si Pitung dikubur entah di
mana, badannya di mana, tangan kiri di mana, tangan kanan di wilayah lain, kaki
kiri di kota mana, kaki kanannya pun entah di pulau yang mana.
Kita jangan ikutan seperti mereka. Mereka sadis banget!
No comments:
Post a Comment