Tuesday, 23 August 2016

UU Terkait Ham Yang Patut Dicurigai

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Akhir-akhir ini mulai ada beberapa pemberitaan tentang hal yang dianggap sebagai kekerasan guru terhadap murid. Perilaku guru yang dianggap melanggar Ham tersebut menyebabkan guru harus mendapatkan hukuman.

            Saya merasa ada yang aneh dari hal-hal ini. Ketika ada berita guru yang dilaporkan, diadili, atau divonis bersalah telah melakukan pelanggaran Ham, reaksi masyarakat adalah sama sekali tidak menunjukkan kegembiraan atau kesetujuan atas nasib yang menimpa guru tersebut. Masyarakat justru tampaknya cenderung menyalahkan para orangtua dan murid yang telah melaporkan guru tersebut pada pihak yang berwajib. Masyarakat dengan spontan banyak yang segera bersimpatik dan memberikan dukungan kepada guru yang tengah menjalani nasib buruk tersebut. Masyarakat banyak yang menyayangkan adanya kasus tersebut. Kelihatannya, tak ada masyarakat yang sangat senang atas peristiwa tersebut. Mereka yang bergembira mungkin hanya para penggemar Ham made in barat itu. Berbeda dengan pelaksanaan hukuman mati bagi para pengedar Narkoba, rakyat langsung banyak sekali yang mendukung hukuman itu.

            Jadi, undang-undang atau aturan yang bisa menjerat para guru itu sebenarnya aspirasi dari mana?

            Kalau aspirasi dari rakyat, kita tidak melihat adanya rakyat yang menyambut gembira atas hukuman yang diberikan kepada para guru itu. Rakyat justru agak terganggu dengan adanya kasus-kasus tersebut. Apalagi ketika ada guru yang dikeroyok oleh murid dan orangtua murid, rakyat benar-benar terganggu dan langsung mendukung guru yang teraniaya.

            Ketika guru diadili sampai dihukum karena dianggap telah melanggar Ham, rakyat banyak yang memberikan dukungan kepada guru. Ketika guru dilangggar kehormatannya oleh siswa dan orangtua siswa, rakyat tetap mendukung guru. Rakyat masih selalu mendukung guru meskipun telah melakukan hukuman fisik pada muridnya. Rakyat tampaknya menganggap hukuman yang diberikan oleh guru-guru itu kepada siswanya yang bermasalah merupakan sesuatu yang “wajar” dilakukan.

            Mungkin rakyat mendukung para guru tersebut karena tidak tahu dengan utuh kekerasan yang terjadi. Bisa jadi sebenarnya guru telah melakukan kekerasan yang keterlaluan, misalnya, mencubit sampai kulit terkelupas dan berdarah, melakukan tindakan kasar dengan kata-kata yang berasal dari kebun binatang, menggampar sampai menimbulkan luka serius apalagi sampai luka permanen, atau menjemur murid hingga pingsan. Kalau sampai mengetahui kekerasan tersebut dilakukan dengan keterlaluan, rakyat pasti setuju agar guru tersebut mendapatkan hukuman. Akan tetapi, jika Sang Guru memberikan hukuman fisik yang dianggap wajar untuk mendisiplinkan muridnya, rakyat pasti tidak setuju dan akan tetap mendukung guru yang artinya tidak setuju terhadap aturan-aturan yang membuat guru ketakutan untuk memberikan pendidikan dalam kedisiplinan. Kalau hanya mencubit tanpa menimbulkan luka serius apalagi permanen, rakyat menganggapnya sesuatu yang wajar. Saya juga salah seorang anggota rakyat Indonesia yang pasti memiliki penilaian mengenai apakah sebuah hukuman fisik itu dapat dikategorikan wajar atau keterlaluan.

            Hal yang membuat khawatir banyak orang adalah undang-undang tentang Ham tersebut menghalangi guru untuk memberikan pengalaman hidup agar siswa dapat berdisiplin, tidak mengganggu teman-temannya, selalu menghormati guru, menghormati hak milik orang lain, dan lain sebagainya. Kalaulah hukuman fisik ringan dan bentakan wajar yang dipicu oleh kebandelan seorang siswa membuat guru harus menanggung derita sebagai pelanggar Ham, itulah yang menjadi pertanyaan saya bahwa aspirasi dari mana undang-undang itu lahir. Hal itu disebabkan rakyat merasa tidak benar dengan hal-hal seperti itu.

            Sangat disayangkan jika undang-undang yang bisa menjerat para guru itu lahir dengan klaim merupakan aspirasi rakyat, tetapi sesungguhnya merupakan pesanan dari “pihak lain” yang sama sekali tidak berhubungan dengan rakyat. Bahkan, menimbulkan kerancuan di dalam kehidupan sosial.


Undang-Undang Pesanan

Mengenai undang-undang yang sesungguhnya bukan aspirasi rakyat ini sudah sejak lama dicurigai marak di Indonesia. Pada masa pemerintahan lalu, undang-undang yang diduga merupakan pesanan ini banyak terkait dengan pengelolaan sumber daya alam. Sekarang seharusnya sudah sangat berkurang atau bisa dicegah dengan semangat nasionalisme yang semakin tinggi dan pembelaan kepada rakyat yang lebih besar. Kalaulah sekarang masih ada undang-undang yang bukan berasal dari aspirasi rakyat atau bukan berdasarkan nilai-nilai yang tumbuh di tengah-tengah rakyat, sangatlah disayangkan.

            Saya sebagai warga Negara Indonesia sangat khawatir bahwa undang-undang Ham ini justru merupakan pesanan dari pihak lain atau hasil peniruan dari undang-undang negara lain. Sangat kerdil bangsa Indonesia jika itu benar-benar terjadi. Kekhawatiran saya itu berdasarkan bahwa banyak orang yang telah menduga dengan memiliki data bahwa kemungkinan adanya undang-undang pesanan itu benar-benar nyata adanya.

            H. Amang Syafrudin Lc., mantan anggota DPD RI mengisyaratkan undang-undang pesanan itu merupakan hasil dari transactional legislation atau lebih enak dengan istilah “jual beli legislasi”. Jika ada yang membantah adanya jual beli legislasi, baik elit maupun masyarakat umum, kemungkinan besar mereka tidak tahu atau tidak mengerti legislasi. Hal tersebut sebagaimana yang ditegaskan mantan anggota DPR RI Permadi. Menurutnya, banyaknya legislasi pesanan asing itu disebabkan oleh para anggota legislatif kita yang tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai legislasi itu sendiri.

            “Orang-orang asing itu kalau memesan legislasi, tidak banyak-banyak, cukup satu kalimat dalam satu ayat,” kata Permadi dalam acara Jakarta Lawyers Club di stasiun televisi tvOne (2010).

            Saat ini memang sangat sulit bagi masyarakat untuk tidak menduga adanya jual beli legislasi. Hal itu disebabkan Negara Indonesia, sebagaimana dikatakan Amien Rais (2008), sudah berada pada posisi state capture corruption, ‘korupsi yang menyandera negara’.

            Menurutnya, state capture corruption ternyata mengejawantah dalam pembelian berbagai dekrit politik dan pembuatan undang-undang oleh sektor korporat dan penyalahgunaan wewenang dalam mendatangkan keuntungan-keuntungan ekonomi. Dengan kata lain, sebuah korporasi atau gabungan korporasi asing lewat pemerintah yang sedang berkuasa mampu membeli perundang-undangan, mendiktekan kontrak karya di bidang pertambangan dan bidang-bidang lainnya, seperti, perbankan, pertanian, kehutanan, pendidikan, kesehatan, dan pengadaan air. Akibatnya, pemerintah sendiri hanya menjadi sekedar kepanjangan tangan kepentingan korporasi-korporasi besar.

            Selanjutnya, Amien Rais mencontohkan bahwa bila kita teliti Peraturan Presiden No. 77 Tahun 2007, ada keanehan yang mencolok. Lebih dari enam puluh jenis usaha ditulis dalam bahasa Inggris tanpa ada padanannya dalam bahasa Indonesia sehingga kesimpulannya, penulis draft Peraturan Presiden itu hanya mencontek peraturan negara lain, entah negara mana. Kemungkinan kedua adalah memang ada tim korporasi asing yang menuliskan rancangan naskah Peraturan Presiden itu.

            Ia menegaskan bahwa campur tangan korporasi asing dalam membuat rancangan berbagai naskah UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan lain-lain merupakan cara yang paling canggih dan tidak tampak vulgar karena jarang terdeteksi oleh publik atau media massa. Cara yang paling efektif yang dilakukan korporasi-korporasi internasional untuk menjarah sumber daya alam, kekayaan hutan, perkebunan, dan lain-lain adalah lewat “pembelian” legislasi. Sekali lagi, inilah yang dinamakan state capture corruption.


Pentingnya Kajian Akademik

Kajian akademik sangat penting sekali dalam proses membuat undang-undang. Bukan hanya menyusun naskah akademik yang penting, melainkan pula sosialisasi naskah itu yang juga sangat penting. Dengan demikian, seluruh masyarakat yang memiliki perhatian terhadap lahirnya sebuah undang-undang dapat berpartisipasi memberikan masukan positif. Jangan hanya disosialisasikan kepada orang-orang yang ditunjuk, misalnya, polisi, jaksa, hakim, atau akademisi tertentu. Hendaknya disosialisasikan pula naskah akademik akhir tersebut kepada masyarakat luas. Sekarang ini zaman internet. Naskah-naskah akademik itu dapat disebarkan melalui internet sehingga masyarakat dapat ikut lebih berpartisipasi. Masyarakat ini banyak yang pintar-pintar dan memiliki kepentingan terhadap sesuatu hal yang menjadi daya tarik bagi dirinya. Dengan terlibatnya masyarakat luas, undang-undang yang ditetapkan pun akan memiliki dukungan yang lebih luas yang akhirnya akan mendapatkan kepatuhan yang juga lebih kuat. Di samping itu, perilaku yang bisa menjurus pada kecurigaan “jual beli legislasi” dapat ditekan seminimal mungkin, bahkan dihilangkan.

            Saya mencoba mencari tahu pikiran-pikiran yang mungkin menjadi dasar adanya undang-undang yang dapat menjerat guru menjadi pelanggar ham tersebut. Saya mencarinya bukan dari kajian akademik untuk proses pembuatan undang-undang karena saya belum menemukannya, melainkan dari artikel-artikel yang berkaitan dengan kekerasan di lingkungan sekolah. Dari beberapa artikel yang mereka tulis, saya mendapatkan kesan adanya “penggiringan opini” agar lembaga sekolah dijadikan lembaga semisal “surga” bagi para siswa dengan menekankan guru yang harus lebih mengerti siswa dan memberikan kenyamanan berlebihan kepada siswa. Padahal, sekolah itu merupakan lembaga pendidikan dan dalam pendidikan itu selalu ada hukuman dan penghargaan untuk mendapatkan hasil pendidikan yang maksimal. Di samping itu, mereka pun menggunakan data-data yang tidak lengkap mengenai kekerasan yang terjadi serta penggunaan teori-teori yang tidak tepat untuk dijadikan alat analisis.

            Dalam hal data-data yang digunakan kerap ditulis telah terjadi kekerasan di sebuah kota anu di lingkungan sekolah anu, tetapi hanya ditulis di sebuah SMA tanpa nama sekolahnya. Di samping itu, jenis kekerasannya pun tidak ditulis jelas, padahal sebuah kekerasan itu bisa dinilai berat dan ringannya. Misalnya, mencubit. Dalam bahasa Sunda mencubit itu adalah nyiwit. Ada dua bentuknya, yaitu: ciwit leutik, ‘cubit kecil’, dan ciwit badag, ‘cubit besar’. Cubit kecil itu sangat berbahaya dan bisa menimbulkan luka serius. Akan tetapi, cubit besar sama sekali tidak berbahaya serta hanya menimbulkan sedikit rasa sakit yang segera hilang dan hanya menimbulkan rasa malu jika dilakukan seorang guru terhadap muridnya. Berbeda jika melakukan cubit besar terhadap pasangan yang justru menimbulkan rasa senang dan menimbulkan rasa manja.

            Dalam hal penggunaan kajian atau teori tentang kekerasan pun terkesan dipaksakan dan tidak tepat sasaran. Entah penelitinya berbohong karena bertujuan memuaskan Sang Pemesan hasil penelitian, entah bangsa Indonesia yang salah menggunakannya. Saya kutipkan satu kajian dari sekian banyak kajian yang tidak tepat untuk dijadikan alat analisis.

            Murid yang mengalami hukuman fisik akan memakai kekerasan di keluarganya nanti, sehingga siklus kekerasan makin kuat. Gershoff, yang meneliti kasus ini selama 60 tahun sejak 1938, menemukan sejumlah perilaku negatif akibat dari kekerasan, seperti perilaku bermasalah dalam agresi, anti-sosial, dan gangguan kesehatan mental. Kekerasan tidak mengajar murid untuk bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, dan tidak menghentikan perilaku keliru jika mereka ada di luar pantauan orangtua dan guru (Ad hoc Corporal Punishment Committee (2003)

            Ada banyak pertanyaan untuk kutipan tersebut.

            Si Gershoff itu meneliti di mana? Di negara mana? Di Indonesia?

            Mengapa harus mengikuti penelitian dengan objek orang-orang yang berbeda kultur dengan kultur bangsa Indonesia?

            Sungguh sangat tidak tepat menggunakan perilaku orang lain untuk dijadikan panduan bagi kita yang memiliki kultur berbeda.

            Adakah murid di Indonesia yang pernah dihukum gurunya, kemudian menjadi seseorang yang penuh kekerasaan sehingga menganiaya keluarganya?

            Kalau ada, sebutkan nama orangnya! Di mana dia tinggal?

            Kalau tidak ada, kenapa harus menggunakan hasil penelitian Si Gershoff?

            Teliti sendiri dong di negeri sendiri!

            Kekerasan macam apa yang telah dilakukan guru di tempat Si Gershoff meneliti sehingga bisa mengubah seseorang menjadi seorang pemarah? Tindakan apa yang telah dilakukan murid yang telah memicu gurunya sehingga memberikan hukuman yang bisa membuat seseorang menjadi sangat kasar?

            Kejadian nggak di Indonesia? Hukuman yang pernah dilakukan guru yang mana yang membuat seorang murid menjadi penuh agresi dan antisosial?

            Kalau tidak ada, kenapa harus menggunakan pendapat Gershoff?

            Pada kalimat akhir ujung kutipan sama sekali tidak berlaku di Indonesia. Coba perhatikan.

            Kekerasan tidak mengajar murid untuk bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, dan tidak menghentikan perilaku keliru jika mereka ada di luar pantauan orangtua dan guru (Ad hoc Corporal Punishment Committee (2003)

            Pada kalimat itu tidak dijelaskan mengenai kekerasan apa dan ukuran berat-ringannya kekerasan yang dilakukan. Pokoknya, semua bisa dibilang kekerasan jika mereka bilang itu adalah kekerasan. Kalaulah kekerasan itu keterlaluan dan hanya bertujuan menunjukkan kekuasaan diri atas orang yang lebih lemah dalam hal ini guru terhadap murid, itu jelas kekerasan yang harus dihindari. Akan tetapi, jika “kekerasan” itu bertujuan mendidik agar siswa dapat hidup lebih baik dan dilakukan dengan terukur tanpa menimbulkan kerusakan tubuh apalagi bersifat permanen, itu harus didukung.

            Di Indonesia justru berbagai “kekerasan” yang dilakukan guru dan orangtua, menjadikan seseorang lebih baik dan akan terus diingat dalam memorinya sepanjang masa. Saya menggunakan kata “kekerasan”, padahal saya sendiri enggan menggunakannya karena yang saya lihat sebagai kekerasan kata mereka itu sebenarnya banyak yang berupa “ketegasan” untuk disiplin.

            Saya ini penulis dan pernah menjadi wartawan sebuah majalah pendidikan. Tugas saya itu adalah yang paling berat dan paling penting. Dalam setiap edisi saya diwajibkan mewawancarai tokoh atau pejabat negara dan foto mereka harus berada dalam jilid depan majalah. Redaktur berharap agar biografi singkat para tokoh atau pejabat itu menjadi contoh bagi generasi muda agar bisa memotivasi anak muda untuk masa depan yang lebih baik. Seluruh orang penting dalam pemerintahan di Provinsi Jawa Barat ketika Banten masih belum menjadi provinsi terpisah, sudah saya wawancarai. Gubernur Jawa Barat, keempat Wakil Gubernur (dulu Wagub Jabar ada empat orang), bupati, walikota, beberapa Sekda, dan kepala dinas sudah saya wawancarai. Seluruh orang-orang hebat itu selalu mengalami “kekerasan” pada masa kecil dan masa mudanya. “Kekerasan” itu ada yang datang dari ayahnya, ibunya, kakeknya, uwaknya, gurunya, kiyainya, dan orang-orang terdekat lainnya. Ada yang pada usia empat tahun dipaksa bangun jika belum bangun pukul empat pagi, lalu dipaksa shalat dan dzikir Shubuh dalam cuaca yang dingin sekali; dijemur pada tengah hari dengan satu kaki dan tangan menjewer telinganya sendiri; diusir dari dalam rumah dan dibiarkan tidur di teras; dibiarkan tidur di masjid; dipukul jika tidak shalat; dihajar jika main-main terlalu lama dan keterlaluan; masih banyak kekerasan lain yang mereka dapatkan yang tidak mungkin saya tulis di sini karena terlalu banyak.

            Kisah-kisah itu muncul ketika mereka menjawab pertanyaan-pertanyaan saya.

            Bagaimana cara pendidikan di keluarga sewaktu kecil?

            Siapa yang paling berperan dalam memberikan pendidikan di keluarga?

             Nasihat apa yang orangtua berikan yang sampai saat ini menjadi pegangan hidup?

            Apa kisah menarik yang pernah dialami di sekolah atau di pesantren?

            Beberapa dari mereka mengisahkannya dengan tertawa-tawa karena merasa lucu jika mengingat saat menerima hukuman dan pendidikan tegas itu. Beberapa lagi mengisahkan dengan bangga. Tak ada satu orang pun yang dendam kepada orang-orang dekatnya yang telah memberikan pendidikan yang keras. Justru mereka berterima kasih kepada orang-orang itu karena justru merasa terpicu untuk dapat berbuat lebih baik agar tidak menerima hukuman itu lagi. Mereka masih mengingatnya dan itu menjadi pelajaran berharga bagi mereka.

            Berbagai “kekerasan”, hukuman, dan penderitaan yang mereka alami menjadikan mereka manusia-manusia yang lebih kuat dan lebih mampu mengatasi masalah ketika sudah terlepas dari lingkungan keluarga, sekolah, dan pesantren.

            Mantan Wakil Gubernur Jawa Barat, H.M.A Sampurna (Alm.) mengatakan, “Anak-anak sekarang mentalnya lemah, semangatnya rendah karena tidak dididik dengan berbagai penderitaan dan penderitaan, kesulitan demi kesulitan. Kalau kami dulu dewasa dengan penderitaan dan bimbingan yang keras sehingga lebih mampu mengatasi masalah.”

            Kalau mau jujur, para pejabat dan tokoh penting di Indonesia ini yang usianya sudah mencapai 45 tahun ke atas sekarang, kemungkinan besar pernah mengalami berbagai kekerasan dan kesulitan dalam masa kecilnya atau masa mudanya yang dilakukan orang lain terhadapnya. Dengan hal itulah mereka mendapatkan pelajaran untuk menjadi orang yang lebih kuat menghadapi hidup dan memecahkan berbagai masalah.

            Di Indonesia ini hampir tidak ada orang yang dididik orangtuanya dan gurunya dengan keras agar lebih mampu menghadapi masa depan, tetapi kemudian menjadi manusia-manusia pemarah, antisosial, agresi, dan  berpenyakit mental. Berbeda dengan orang-orang di tempat Gershoff melakukan penelitian. Kalaupun ada dan terjadi di Indonesia, kekerasan yang diterimanya bukanlah untuk mendidik dirinya, melainkan merupakan korban pelampiasan kemarahan dan pertunjukkan kekuasan diri seseorang terhadapnya.

            Justru orang-orang yang tidak pernah mendapatkan bimbingan keras dan tegaslah yang biasanya mudah sekali jatuh depresi, lemah, frustrasi, stres, dan putus asa. Hal itu disebabkan mereka awalnya terbiasa hidup di lingkungan yang nyaman bak surga. Mereka hidup di lingkungan orang-orang yang selalu memahami dirinya dan mendapatkan suasana menyenangkan tanpa kesulitan berarti. Bahkan, ketika melakukan kesalahan pun tidak pernah mendapatkan hukuman yang membuatnya belajar dari kesalahannya. Akan tetapi, ketika keluar dari zona nyaman itu, mereka pun mendapatkan banyak masalah dan tantangan yang membuat mereka terkejut dan sedih tanpa memiliki solusi alternatif. Mereka adalah generasi-generasi lemah yang dalam bahasa Sunda disebut epes meer, ‘mudah menyerah’, atau keuyeup apu, ‘lamban bagai kepiting yang rapuh, kolokan, dan kurang semangat’.

            Itulah bahayanya jika menggeneralisasi seluruh kekerasan sebagai perbuatan melanggar Ham. Padahal, jenis kekerasan itu banyak dan ukurannya berat-ringannya berbeda-beda serta niat dan tujuannya pun berbeda pula.

            Sekarang terserah kita mau dibawa ke mana generasi muda kita ini. Mau diwujudkan sebagai generasi lemah yang mudah menyerah yang ditandai dengan mendapatkan kesulitan berupa “dicubit sedikit saja” lapor polisi atau generasi kokoh pantang mundur yang jika ditonjok pun dia tetap berdiri tegar bangga dengan dirinya sendiri serta mampu memecahkan berbagai masalah.


 Guru Harus Berperan Lebih Aktif

Guru harus berperan lebih aktif dalam soal pendidikan di lingkungan sekolah. Guru dapat terlibat aktif dalam memberikan masukan pada pemerintah, baik mengenai proses pendidikan maupun dalam penyusunan undang-undang. Jangan sampai justru orang-orang di luar llingkungan sekolah yang banyak mengatur kehidupan pendidikan. Hal itu disebabkan guru yang lebih memahami soal pendidikan di sekolah dan di kelas berikut permasalahannya karena guru merupakan subjek aktif yang berada pada garis depan.

            Guru dapat memberikan masukan melalui tulisan-tulisan ilmiah mengenai bagaimana menumbuhkan murid yang hormat, sopan, dan patuh terhadap guru. Demikian pula mengenai cara-cara meningkatkan kecerdasan kognitif, afektif, dan psikomotor siswa. Guru pun dapat menggunakan sarana Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dalam memecahkan masalah di kelas mengenai murid yang dianggap dapat memicu guru untuk memberikan hukuman. Hal itu disebabkan dalam menyusun PTK tersebut, guru harus melakukan refleksi dan boleh bertukar pikiran dengan teman sejawat. Dengan refleksi, hasil tukar pikiran dengan teman sejawat, serta penggunaan teori-teori dan kajian-kajian yang tepat akan mendapatkan hasil yang baik yang dapat digunakan sendiri di kelasnya, di lingkungan sekolahnya, di sekolah-sekolah lain, bahkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah untuk lebih meningkatkan kualitas pendidikan, mencegah terjadinya kekerasan di sekolah yang bisa disebabkan oleh kurang sabarnya guru atau bandelnya siswa, serta bagaimana cara memberikan hukuman terukur dan efektif jika memang ada siswa yang harus diberikan hukuman.

            Kunci utama guru adalah harus rajin membaca buku sehingga mendapatkan pengetahuan dari sana-sini. Dengan pengetahuan yang banyak dan pengalaman yang banyak, guru memiliki banyak pilihan atau alternatif, baik dalam hal akademis maupun dalam hal nonakademis, semisal, perilaku. Dengan banyak membaca literatur, guru pun akan lebih banyak memiliki bahan untuk membuat tulisan.

            Saya ini pernah membantu banyak guru di Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi, Cirebon, Kuningan, dan Indramayu dalam memberikan pelatihan menyusun PTK. Akan tetapi, penyakitnya selalu sama, yaitu banyak guru yang memiliki kemampuan menulis yang rendah. Hal itu disebabkan banyak guru yang kurang membaca. Akibatnya, tidak memiliki bahan untuk ditulis. Jangankan untuk membuat penelitian, menulis saja sangat sulit.  

            Jika saja guru banyak membaca, banyak mengamati, banyak melakukan refleksi, dan banyak bertukar pikiran dengan teman sejawat mengenai penanganan terhadap perilaku siswa yang pantas untuk diberikan hukuman, akan ada banyak hasil penelitian yang dilakukan guru yang dapat menjadi masukan bagi pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Jika guru hanya banyak diam dan membiarkan orang lain di luar pendidikan yang mengatur pendidikan, jangan kecewa jika ada peraturan atau ada undang-undang yang dianggap tidak memiliki keberpihakan kepada guru dan pada pendidikan secara umum. Jangan pula sedih dan kesal jika ada peraturan atau undang-undang yang justru bisa merugikan guru karena guru tidak banyak aktif memberikan masukan.

             Guru-lah yang seharusnya bersuara secara ilmiah untuk menyelesaikan banyak persoalan di dalam tubuh pendidikan, termasuk dalam memberikan hukuman di lingkungan sekolah agar siswa tetap dapat bersekolah dan tidak dipecat sebagai siswa di sekolahnya karena telah melakukan hal-hal yang kurang ajar.


No comments:

Post a Comment