oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Keberadaan Prabu Siliwangi
yang dikenal sebagai Raja Sunda yang paling agung dan memiliki keterkaitan
dengan masyarakat di seluruh Pulau Jawa berasal dari folklore (ceritera lisan yang diwariskan turun-temurun). Bukan
hanya masyarakat Sunda yang memiliki kisah-kisah lisan mengenai Prabu
Siliwangi, melainkan pula masyarakat Jawa. Terdapat beberapa kisah mengenai
dirinya yang diklaim berhubungan dengan Suku Jawa.
Dari folklore itu, masyarakat umum, para penyair,
keturunan raja-raja, dan para akademisi terbagi menjadi dua golongan. Kedua
golongan itu adalah pertama, mereka
yang menganggap bahwa Prabu Siliwangi adalah tokoh nyata yang benar-benar
pernah hidup di dunia, sedangkan golongan kedua
adalah mereka yang berpandangan bahwa Prabu Siliwangi merupakan tokoh
sastra hasil ciptaan para penyair pada saat Sunda mengalami penderitaan panjang
dan merindukan figur yang kuat dan adil serta perkasa yang mampu menghilangkan
segala kesusahan yang ada.
Sampai hari ini kedua golongan itu sama kuatnya dalam
berpendapat. Hal itulah yang menurut saya telah membuat kerusakan terhadap tokoh
Prabu Siliwangi sendiri. Siapa pun yang menelusuri eksistensi Prabu Siliwangi,
selalu terbentur pada hal-hal yang membingungkan dan kusut. Keberadaan Prabu
Siliwangi dan sejarah kebesaran Sunda selalu “macet” dan tak bisa bergerak lagi
karena tertahan pada sosok Sri Baduga Maharaja. Siapa pun akan selalu menemukan
kesemrawutan antara catatan sejarah dengan kisah-kisah pantun, apalagi para
akademisi atau para ahi sejarah banyak yang menggunakan karya para penyair untuk
dijadikan dasar penulisan sejarah. Tak heran jika sosok Prabu Siliwangi dan
sejarah Sunda selalu kalang kabut karena berdasarkan tulisan-tulisan yang
diklaim kuno. Tulisan-tulisan kuno yang berasal dari para penyair itu tentu
saja ditulis para penyair dan tidak ada seorang pun yang mampu menjamin bahwa
hal itu merupakan kebenaran. Tak ada naskah yang dijamin kebenarannya di dunia
ini, kecuali Al Quran. Di samping
itu, semua naskah atau teks di seluruh muka Bumi ini selalu rawan pemalsuan,
selalu mudah diputarbalikkan, selalu gampang ditambah-tambahi dan
dikurang-kurangi. Hanya ada satu naskah di dunia ini yang tidak bisa
diubah-ubah, yaitu Al Quran.
Kerusakan, kesemrawutan, dan kekacauan sosok Prabu
Siliwangi dan sejarah Sunda kemungkinan besar disebabkan adanya banyak
kepentingan politik, ekonomi, popularitas, dan otoritas keilmuan. Bukan hanya
sejarah Sunda dan sosok Prabu Siliwangi sebenarnya yang sengaja dikacaukan,
melainkan pula sejarah Nusantara ini. Hal itu disebabkan apabila sejarah
kerajaan yang satu dikacaukan, akan mengakibatkan kekacauan pula terhadap
sejarah kerajaan yang lainnya karena kerajaan-kerajaan itu saling berhubungan.
Dengan dikacaukannya sejarah suatu kerajaan, menimbulkan konsekwensi bahwa
harus ada yang diubah dalam hubungan-hubungan yang terjadi di antara
kerajaan-kerajaan yang ada. Misalnya, suatu kerajaan diklaim lebih awal berdiri
dibandingkan kerajaan yang lainnya dengan maksud agar keturunan kerajaan yang lebih
belakang berdiri harus menghormati kerajaan yang lebih dulu berdiri. Dengan
demikian, keturunan raja-raja yang lebih muda dapat menganggap wajar jika keturunan
kerajaan yang lebih awal berdiri memiliki kekuasaan lebih di tanah Nusantara
ini pada masa-masa selanjutnya. Hal itu semua merupakan permainan untuk
mendapatkan kekuasaan politik dan ekonomi.
Ada beberapa penyebab yang membuat sejarah Prabu
Siliwangi dan Pajajaran menjadi rumit dan semakin rumit, bahkan mengarah pada
mitos dan khayalan sehingga kabur dari kenyataan yang sesungguhnya. Paling
tidak, ada tulisan Saleh Danasasmita yang
diterbitkan oleh HU Pikiran Rakyat, Bandung,
tertanggal 13-4-1985, hlm. 6. Tulisannya ini membuat kita mengerti mengenai
penyebab kekacauan sejarah sosok Prabu Siliwangi dan sejarah Sunda. Tulisannya
berjudul Disebabkan oleh Tiga Buah Teori,
Sejarah Jawa Barat Macet.
Teori-teori yang
membuat kemacetan sejarah ini adalah Teori
Holle, Teori Hoesein Djajadiningrat, dan Teori Poerbatjaraka. Ketiga teori inilah yang disalahkan oleh
Danasasmita karena telah membuat macet sejarah Jawa Barat.
Teori Holle (1867) mengatakan bahwa Pakuan Pajajaran
didirikan oleh Sri Baduga Maharaja. Teori Hoesein Djajadiningrat (1913)
mengatakan bahwa tokoh Faletehan alias
Tagaril dalam sumber Portugis identik
dengan Syarif Hidayat yang oleh orang kebanyakan disebut Sunan Gunung Jati. Teori Poerbatjaraka (1912) mengatakan bahwa Sri
Baduga Maharaja gugur di Bubat (Majapahit) tahun 1357.
Ketiga teori itu telah membuat kerusakan dalam hal titimangsa
berdirinya kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara, perjalanan atau
perkembangan kerajaan, serta mengacaukan silsilah para keturunan raja.
Hal yang lebih parah adalah para akademisi selanjutnya
atau para ahli sejarah generasi selanjutnya semacam “diwajibkan” untuk selalu
menyandarkan penelitiannya pada teori tersebut. Apabila terjadi perbedaan atau
menemukan data yang berlainan dengan ketiga teori tadi, segera dituduh sebagai Een Pseudo Padjadjaransche Kroniek (Tambo
Pajajaran yang palsu). Sering pula penelitian yang berbeda segera ditertawakan
para ahli sehingga “membekukan” perbedaan itu. Hasil-hasil penelitian yang
berlainan dengan ketiga teori tadi harus segera “dianggap tidak ada” dan harus
disebut verward (kusut).
Pemaksaan untuk selalu menganggap benar Holle,
Poerbatjaraka, dan Hoesein Djajadiningrat mengakibatkan “pemerkosaan” terhadap
ilmu pengetahuan dan menghancurkan banyak data sejarah. Hal itu disebabkan
segala data yang bertentangan dengan ketiga orang tadi segera harus “dibuang”, “diberangus”,
“dipensiunkan”, dan “dilecehkan”. Perilaku semacam itu sungguh merupakan
pengkhianatan terhadap kemanusiaan, meruntuhkan wibawa ilmu pengetahuan, dan
merendahkan martabat para ilmuwan.
Ilmu pengetahuan itu harus bersifat terbuka dan bersedia
setiap saat untuk diuji kebenarannya. Jika suatu penelitian dapat tahan uji, ilmu
pengetahuan itu harus dianggap benar sepanjang belum ada yang membuktikan
kebalikannya. Jika suatu pengetahuan dapat dikalahkan oleh pengetahuan yang
baru, pengetahuan yang lama harus digugurkan dan harus menggunakan pengetahuan
yang lebih baru dan lebih benar. Itulah yang dimaksud Nabi Muhammad saw bahwa hari ini harus lebih baik dibandingkan hari
kemarin dan masa depan harus lebih baik dibandingkan hari ini. Kita harus selalu terbuka dengan data baru dan
hasil penelitian terbaru yang terbukti mengalahkan penelitian lama.
Apabila suatu penelitian tidak bersedia diuji dan tidak
boleh dianggap salah, itu bukanlah pengetahuan, melainkan doktrin, dogma yang tidak boleh dipertanyakan kebenarannya. Orang
tidak boleh bertanya dan menguji hal-hal itu. Oleh sebab itu, hasil-hasil
penelitian Holle, Poerbatjaraka, dan Hoesein Djajadingrat harus dianggap bukan
ilmu pengetahuan karena tidak bersedia diuji. Hasil penelitian mereka hanyalah
melahirkan doktrin dan dogma yang harus selalu dianggap benar. Saya menyarankan
bagi para pendukung mereka untuk segera mengumumkan bahwa penelitian ketiga
orang itu adalah “kitab suci sejarah” yang tidak boleh diganggu gugat. Sungguh
sangat rendah sekali perilaku seperti itu.
Tindakan-tindakan membuang data, menertawakan hasil
berbeda, mempensiunkan naskah-naskah kuno, memberangus data berbeda, dan
melecehkan pendapat yang berbeda merupakan tindakan yang menghambat
perkembangan manusia dan kemanusiaan. Alasan aneh yang digunakan mereka untuk
menghalangi pendapat lain adalah dalam rangka “menjaga stabilitas kesejarahan
yang ada”. Dengan alasan aneh itu, matilah ilmu pengetahuan karena harus selalu
setuju pada sesuatu hal yang dianggap stabil, padahal yang stabil itu belum
tentu benar.
Akibat selanjutnya adalah sejarah sosok Prabu Siliwangi
dan Sunda selalu dalam keadaan semrawut. Banyak pihak yang memiliki pendapat
lain dengan ketiga teori yang “harus selalu dianggap benar” itu. Pihak-pihak
itu tetap menyuarakan pendapatnya sendiri dan mendapat tempat pula di kalangan
masyarakat secara umum. Bahkan, mereka lebih percaya pada naskah-naskah kuno
yang masih dipegang masyarakat sampai hari ini. Untuk memperkuat pendapatnya
masing-masing, setiap pihak yang berbeda menggunakan syair dan pantun-pantun
yang diklaim sebagai kebenaran, tetapi ternyata isinya saling bertolak
belakang, berbeda, dan terkadang berlebihan.
Itulah buruknya jika memaksakan kehendak bahwa hasil
suatu penelitian dianggap sebagai kebenaran yang tidak boleh diganggu gugat.
Bahaya itu akan menjadi lebih besar jika tujuan politik dan ekonomi dari
penelitian itu berhasil mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat. Suatu
kelompok masyarakat akan merasa lebih berhak dan lebih tinggi dibandingkan
kelompok lainnya dan itu akan menimbulkan keresahan serta ketimpangan dalam
masyarakat.
Pada akhir tulisannya Saleh Danasasmita (1985)
mengingatkan kita semua.
“Rasanya masyarakat
Jawa Barat tak perlu mengeluh kalau sejarah daerahnya sulit disusun dan
dikembangkan karena sumber-sumber yang ada dan sedikit jumlahnya itu hampir
semuanya mengandung bahan yang bertentangan dengan teori-teori Holle, Hoesein
Djajadiningrat, dan Poerbatjaraka. Dalam keadaan seperti ini (masih mengikatkan
diri pada teori-teori tadi) janganlah berharap kita mampu menyusun Sejarah Jawa
Barat periode klasik. Lebih-lebih jangan diharapkan lagi akan berhasil
memecahkan identitas Siliwangi.”
Bagi saya, sosok
Prabu Siliwangi tidaklah rusak. Orang-orang sok tahu dan berlebihanlah yang
membuat rusak Prabu Siliwangi dengan berbagai mitos dan dongeng yang saling
bertolak belakang.
Apabila kita ingin lebih mengenal dan memahami Prabu
Siliwangi dengan nyata, aktifkan kembali sisa-sisa data dan naskah yang sempat,
“dibuang, diberangus, ditertawakan, dibekukan, dan dilecehkan” itu. Susun lagi
dari awal dengan jujur tanpa ada kepentingan politik dan ekonomi. Jangan ada
lagi sikap menganggap sebuah penelitian merupakan kebenaran mutlak yang tidak
boleh diuji atau dipertanyakan kebenarannya. Semua harus terbuka dan bersedia
berkembang untuk mendapatkan kebenaran yang lebih baik dan lebih nyata.
Begitulah yang diharapkan Allah swt. Siapa pun yang ingin mengenal Allah swt, maka dia harus mengenal
dirinya sendiri. Sejarah adalah bagian dari diri kita. Dengan sejarah yang
jujur dan terbuka, kita akan mengenal diri kita sendiri dan memahami apa yang
Allah swt rencanakan untuk kita serta mengetahui apa yang Allah swt inginkan
dari kita. Kita ini diciptakan berbangsa-bangsa dan Allah swt merencanakan
sesuatu terhadap setiap bangsa itu agar mampu berperan lebih tepat dalam
menjalani seluruh putaran roda kehidupan di muka Bumi ini.
No comments:
Post a Comment