Friday, 26 August 2016

Rusaknya Prabu Siliwangi

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Keberadaan Prabu Siliwangi yang dikenal sebagai Raja Sunda yang paling agung dan memiliki keterkaitan dengan masyarakat di seluruh Pulau Jawa berasal dari folklore (ceritera lisan yang diwariskan turun-temurun). Bukan hanya masyarakat Sunda yang memiliki kisah-kisah lisan mengenai Prabu Siliwangi, melainkan pula masyarakat Jawa. Terdapat beberapa kisah mengenai dirinya yang diklaim berhubungan dengan Suku Jawa.

            Dari folklore itu, masyarakat umum, para penyair, keturunan raja-raja, dan para akademisi terbagi menjadi dua golongan. Kedua golongan itu adalah pertama, mereka yang menganggap bahwa Prabu Siliwangi adalah tokoh nyata yang benar-benar pernah hidup di dunia, sedangkan golongan kedua adalah mereka yang berpandangan bahwa Prabu Siliwangi merupakan tokoh sastra hasil ciptaan para penyair pada saat Sunda mengalami penderitaan panjang dan merindukan figur yang kuat dan adil serta perkasa yang mampu menghilangkan segala kesusahan yang ada.

            Sampai hari ini kedua golongan itu sama kuatnya dalam berpendapat. Hal itulah yang menurut saya telah membuat kerusakan terhadap tokoh Prabu Siliwangi sendiri. Siapa pun yang menelusuri eksistensi Prabu Siliwangi, selalu terbentur pada hal-hal yang membingungkan dan kusut. Keberadaan Prabu Siliwangi dan sejarah kebesaran Sunda selalu “macet” dan tak bisa bergerak lagi karena tertahan pada sosok Sri Baduga Maharaja. Siapa pun akan selalu menemukan kesemrawutan antara catatan sejarah dengan kisah-kisah pantun, apalagi para akademisi atau para ahi sejarah banyak yang menggunakan karya para penyair untuk dijadikan dasar penulisan sejarah. Tak heran jika sosok Prabu Siliwangi dan sejarah Sunda selalu kalang kabut karena berdasarkan tulisan-tulisan yang diklaim kuno. Tulisan-tulisan kuno yang berasal dari para penyair itu tentu saja ditulis para penyair dan tidak ada seorang pun yang mampu menjamin bahwa hal itu merupakan kebenaran. Tak ada naskah yang dijamin kebenarannya di dunia ini, kecuali Al Quran. Di samping itu, semua naskah atau teks di seluruh muka Bumi ini selalu rawan pemalsuan, selalu mudah diputarbalikkan, selalu gampang ditambah-tambahi dan dikurang-kurangi. Hanya ada satu naskah di dunia ini yang tidak bisa diubah-ubah, yaitu Al Quran.

            Kerusakan, kesemrawutan, dan kekacauan sosok Prabu Siliwangi dan sejarah Sunda kemungkinan besar disebabkan adanya banyak kepentingan politik, ekonomi, popularitas, dan otoritas keilmuan. Bukan hanya sejarah Sunda dan sosok Prabu Siliwangi sebenarnya yang sengaja dikacaukan, melainkan pula sejarah Nusantara ini. Hal itu disebabkan apabila sejarah kerajaan yang satu dikacaukan, akan mengakibatkan kekacauan pula terhadap sejarah kerajaan yang lainnya karena kerajaan-kerajaan itu saling berhubungan. Dengan dikacaukannya sejarah suatu kerajaan, menimbulkan konsekwensi bahwa harus ada yang diubah dalam hubungan-hubungan yang terjadi di antara kerajaan-kerajaan yang ada. Misalnya, suatu kerajaan diklaim lebih awal berdiri dibandingkan kerajaan yang lainnya dengan maksud agar keturunan kerajaan yang lebih belakang berdiri harus menghormati kerajaan yang lebih dulu berdiri. Dengan demikian, keturunan raja-raja yang lebih muda dapat menganggap wajar jika keturunan kerajaan yang lebih awal berdiri memiliki kekuasaan lebih di tanah Nusantara ini pada masa-masa selanjutnya. Hal itu semua merupakan permainan untuk mendapatkan kekuasaan politik dan ekonomi.

            Ada beberapa penyebab yang membuat sejarah Prabu Siliwangi dan Pajajaran menjadi rumit dan semakin rumit, bahkan mengarah pada mitos dan khayalan sehingga kabur dari kenyataan yang sesungguhnya. Paling tidak, ada tulisan Saleh Danasasmita yang diterbitkan oleh HU Pikiran Rakyat, Bandung, tertanggal 13-4-1985, hlm. 6. Tulisannya ini membuat kita mengerti mengenai penyebab kekacauan sejarah sosok Prabu Siliwangi dan sejarah Sunda. Tulisannya berjudul Disebabkan oleh Tiga Buah Teori, Sejarah Jawa Barat Macet.

            Teori-teori yang membuat kemacetan sejarah ini adalah Teori Holle, Teori Hoesein Djajadiningrat, dan Teori Poerbatjaraka. Ketiga teori inilah yang disalahkan oleh Danasasmita karena telah membuat macet sejarah Jawa Barat.

            Teori Holle (1867) mengatakan bahwa Pakuan Pajajaran didirikan oleh Sri Baduga Maharaja. Teori Hoesein Djajadiningrat (1913) mengatakan bahwa tokoh Faletehan alias Tagaril dalam sumber Portugis identik dengan Syarif Hidayat yang oleh orang kebanyakan disebut Sunan Gunung Jati. Teori Poerbatjaraka (1912) mengatakan bahwa Sri Baduga Maharaja gugur di Bubat (Majapahit) tahun 1357.

            Ketiga teori itu telah membuat kerusakan dalam hal titimangsa berdirinya kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara, perjalanan atau perkembangan kerajaan, serta mengacaukan silsilah para keturunan raja.

            Hal yang lebih parah adalah para akademisi selanjutnya atau para ahli sejarah generasi selanjutnya semacam “diwajibkan” untuk selalu menyandarkan penelitiannya pada teori tersebut. Apabila terjadi perbedaan atau menemukan data yang berlainan dengan ketiga teori tadi, segera dituduh sebagai Een Pseudo Padjadjaransche Kroniek (Tambo Pajajaran yang palsu). Sering pula penelitian yang berbeda segera ditertawakan para ahli sehingga “membekukan” perbedaan itu. Hasil-hasil penelitian yang berlainan dengan ketiga teori tadi harus segera “dianggap tidak ada” dan harus disebut verward (kusut).

            Pemaksaan untuk selalu menganggap benar Holle, Poerbatjaraka, dan Hoesein Djajadiningrat mengakibatkan “pemerkosaan” terhadap ilmu pengetahuan dan menghancurkan banyak data sejarah. Hal itu disebabkan segala data yang bertentangan dengan ketiga orang tadi segera harus “dibuang”, “diberangus”, “dipensiunkan”, dan “dilecehkan”. Perilaku semacam itu sungguh merupakan pengkhianatan terhadap kemanusiaan, meruntuhkan wibawa ilmu pengetahuan, dan merendahkan martabat para ilmuwan.

            Ilmu pengetahuan itu harus bersifat terbuka dan bersedia setiap saat untuk diuji kebenarannya. Jika suatu penelitian dapat tahan uji, ilmu pengetahuan itu harus dianggap benar sepanjang belum ada yang membuktikan kebalikannya. Jika suatu pengetahuan dapat dikalahkan oleh pengetahuan yang baru, pengetahuan yang lama harus digugurkan dan harus menggunakan pengetahuan yang lebih baru dan lebih benar. Itulah yang dimaksud Nabi Muhammad saw bahwa hari ini harus lebih baik dibandingkan hari kemarin dan masa depan harus lebih baik dibandingkan hari ini.  Kita harus selalu terbuka dengan data baru dan hasil penelitian terbaru yang terbukti mengalahkan penelitian lama.

            Apabila suatu penelitian tidak bersedia diuji dan tidak boleh dianggap salah, itu bukanlah pengetahuan, melainkan doktrin, dogma yang tidak boleh dipertanyakan kebenarannya. Orang tidak boleh bertanya dan menguji hal-hal itu. Oleh sebab itu, hasil-hasil penelitian Holle, Poerbatjaraka, dan Hoesein Djajadingrat harus dianggap bukan ilmu pengetahuan karena tidak bersedia diuji. Hasil penelitian mereka hanyalah melahirkan doktrin dan dogma yang harus selalu dianggap benar. Saya menyarankan bagi para pendukung mereka untuk segera mengumumkan bahwa penelitian ketiga orang itu adalah “kitab suci sejarah” yang tidak boleh diganggu gugat. Sungguh sangat rendah sekali perilaku seperti itu.

            Tindakan-tindakan membuang data, menertawakan hasil berbeda, mempensiunkan naskah-naskah kuno, memberangus data berbeda, dan melecehkan pendapat yang berbeda merupakan tindakan yang menghambat perkembangan manusia dan kemanusiaan. Alasan aneh yang digunakan mereka untuk menghalangi pendapat lain adalah dalam rangka “menjaga stabilitas kesejarahan yang ada”. Dengan alasan aneh itu, matilah ilmu pengetahuan karena harus selalu setuju pada sesuatu hal yang dianggap stabil, padahal yang stabil itu belum tentu benar.

            Akibat selanjutnya adalah sejarah sosok Prabu Siliwangi dan Sunda selalu dalam keadaan semrawut. Banyak pihak yang memiliki pendapat lain dengan ketiga teori yang “harus selalu dianggap benar” itu. Pihak-pihak itu tetap menyuarakan pendapatnya sendiri dan mendapat tempat pula di kalangan masyarakat secara umum. Bahkan, mereka lebih percaya pada naskah-naskah kuno yang masih dipegang masyarakat sampai hari ini. Untuk memperkuat pendapatnya masing-masing, setiap pihak yang berbeda menggunakan syair dan pantun-pantun yang diklaim sebagai kebenaran, tetapi ternyata isinya saling bertolak belakang, berbeda, dan terkadang berlebihan.

            Itulah buruknya jika memaksakan kehendak bahwa hasil suatu penelitian dianggap sebagai kebenaran yang tidak boleh diganggu gugat. Bahaya itu akan menjadi lebih besar jika tujuan politik dan ekonomi dari penelitian itu berhasil mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat. Suatu kelompok masyarakat akan merasa lebih berhak dan lebih tinggi dibandingkan kelompok lainnya dan itu akan menimbulkan keresahan serta ketimpangan dalam masyarakat.

            Pada akhir tulisannya Saleh Danasasmita (1985) mengingatkan kita semua.

            “Rasanya masyarakat Jawa Barat tak perlu mengeluh kalau sejarah daerahnya sulit disusun dan dikembangkan karena sumber-sumber yang ada dan sedikit jumlahnya itu hampir semuanya mengandung bahan yang bertentangan dengan teori-teori Holle, Hoesein Djajadiningrat, dan Poerbatjaraka. Dalam keadaan seperti ini (masih mengikatkan diri pada teori-teori tadi) janganlah berharap kita mampu menyusun Sejarah Jawa Barat periode klasik. Lebih-lebih jangan diharapkan lagi akan berhasil memecahkan identitas Siliwangi.”

             Bagi saya, sosok Prabu Siliwangi tidaklah rusak. Orang-orang sok tahu dan berlebihanlah yang membuat rusak Prabu Siliwangi dengan berbagai mitos dan dongeng yang saling bertolak belakang.

            Apabila kita ingin lebih mengenal dan memahami Prabu Siliwangi dengan nyata, aktifkan kembali sisa-sisa data dan naskah yang sempat, “dibuang, diberangus, ditertawakan, dibekukan, dan dilecehkan” itu. Susun lagi dari awal dengan jujur tanpa ada kepentingan politik dan ekonomi. Jangan ada lagi sikap menganggap sebuah penelitian merupakan kebenaran mutlak yang tidak boleh diuji atau dipertanyakan kebenarannya. Semua harus terbuka dan bersedia berkembang untuk mendapatkan kebenaran yang lebih baik dan lebih nyata.


            Begitulah yang diharapkan Allah swt. Siapa pun yang ingin mengenal Allah swt, maka dia harus mengenal dirinya sendiri. Sejarah adalah bagian dari diri kita. Dengan sejarah yang jujur dan terbuka, kita akan mengenal diri kita sendiri dan memahami apa yang Allah swt rencanakan untuk kita serta mengetahui apa yang Allah swt inginkan dari kita. Kita ini diciptakan berbangsa-bangsa dan Allah swt merencanakan sesuatu terhadap setiap bangsa itu agar mampu berperan lebih tepat dalam menjalani seluruh putaran roda kehidupan di muka Bumi ini.

No comments:

Post a Comment