oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Indonesia memang hanya
mengakui satu identitas kewarganegaraan. Indonesia memang mengharamkan adanya dwikewarnegaraan,
kecuali untuk anak-anak. Sampai hari ini pun harus seperti itu. Kita memang
harus tegas mengenai hal ini. Setiap orang boleh memilih untuk menjadi warga
Negara Indonesia atau menjadi warga negara asing. Tidak boleh ada dua
kewarganegaraan. Terlalu banyak risiko dan bahaya yang harus ditanggung oleh
Indonesia jika memberlakukan dwikewarganegaraan. Hal itu disebabkan banyak hal,
seperti, keamanan, nasionalisme, ekonomi, lapangan kerja, dan lain sebagainya.
Jangan dihubung-hubungkan dengan rasa “cinta tanah air”. Soal cinta itu tidak
berhubungan dengan administrasi kewarganegaraan. Kalau para diaspora itu ingin
dua kewarganegaraan atas dasar cinta, sama sekali tidak berdasar. Kalau cinta mah, ya cinta saja, tidak usah
punya dua kewarganegaraan. Cinta itu bisa diwujudkan dalam hal apa saja dan
dengan cara apa saja tanpa harus punya dua paspor berbeda negara. Meskipun
sudah menjadi warga negara asing, kalau masih cinta, ya tinggal diwujudkan saja
cinta itu dalam banyak hal.
Kita untuk saat ini dan entah sampai kapan memang tidak
perlu memberlakukan dwikewarganegaraan. Akan tetapi, saat ini ada situasi yang
membuat kita “sebaiknya” memberlakukan “dwikewarganegaraan sesaat”, yaitu dua identitas
kewarganegaraan dalam waktu yang sangat singkat dan ditentukan oleh pemerintah
secara resmi dan legal. Hal ini dapat digunakan untuk memecahkan masalah kuota
haji yang sangat terbatas.
Indonesia adalah negara berpenduduk mayoritas muslim
terbesar di dunia yang memiliki animo yang sangat tinggi untuk melaksanakan
ibadat haji. Animo yang sangat tinggi ini bisa dilihat dari banyaknya antrian waiting list untuk berhaji. Ada orang
yang harus menunggu sampai sepuluh tahun, bahkan mungkin dua puluh tahun lagi
untuk bisa pergi haji. Malahan, bisa jadi orangnya sudah mati dan dikubur, antrian hajinya masih panjang belum kebagian.
Daftar tunggu berhaji yang sangat panjang dan lama itu disebabkan adanya
pembatasan kuota dari pemerintah Arab Saudi.
Salah satu cara untuk mengantisipasi hal ini, pemerintah
Indonesia dalam hal ini Kemenlu dan Kemenag dapat bekerja sama dengan negara-negara
lain untuk sama-sama memberlakukan dwikewarganegaraan sesaat. Artinya, seseorang
boleh memiliki dua identitas kewarganegaraan hanya untuk urusan berhaji.
Setelah urusan perhajian selesai, identitasnya dikembalikan lagi menjadi satu
kewarganegaraan, yaitu warga Negara Indonesia. Indonesia bisa bekerja sama
dengan seluruh negara di dunia yang kuota hajinya masih belum terpenuhi atau
masih di bawah kuota haji yang ditetapkan Arab Saudi. Tidak harus dengan negara
muslim saja bisa bekerja sama, dengan negara asli Katolik Vatikan pun bisa
dibangun kerja sama seperti itu.
Memang biaya haji akan lebih mahal bagi yang melakukan
haji dengan paspor negara lain.
Akan tetapi, jika mereka mau, kenapa tidak?
Daripada dilakukan secara ilegal dan tidak
bertanggungjawab seperti yang terjadi beberapa tahun ini, sebaiknya dibuat
legal saja. Itu kan hanya masalah teknis dan administrasi yang bisa dibicarakan
dan disepakati secara G to G.
Apa masalahnya?
Justru kalau dilarang-larang, tindakan ilegal akan terus
terjadi. Ini ibarat teori pascal yang
jika sesuatu ditekan lebih kuat, akan terjadi perlawanan dengan kekuatan yang
sama. Padahal, hal seperti ini bisa diakali dan disalurkan dengan
program-program yang legal sehingga berbagai hal bisa terjamin, baik kesehatan,
keamanan, maupun yang lainnya. Meskipun demikian, jelas harus dibuat dulu payung
hukumnya agar ada landasan yang jelas dan bisa dilaksanakan secara tepat dan
berhasil guna.
Keuntungan
Dwikewarganegaraan Sesaat
Keuntungan dari
dwikewarganegaraan sesaat untuk haji ini sangat banyak. Pertama, calon jemaah haji Indonesia yang mampu secara ekonomi
dapat segera berangkat haji tanpa harus mengantri terlalu lama. Kedua, mereka bisa lebih mengenalkan
Indonesia ke luar negeri sebagai promosi wisata Indonesia. Misalnya, seminggu
atau sepuluh hari sebelum berangkat ke Mekah harus berada di negara antara yang
sesaat itu sehingga bisa berkomunikasi dengan masyarakat lokal setempat. Ketiga, bagi negara antara sementara itu
pun jemaah calon haji Indonesia bisa meningkatkan keuntungan karena mereka
pasti berbelanja di negara itu. Artinya, ada keuntungan pula yang diberikan
kita kepada negara luar negeri. Dengan demikian, banyak sekali keuntungannya
sebetulnya jika kerjasama dwikewarganegaraan sesaat ini bisa terlaksana. Belum lagi
dari segi syiar Islam. Para calon haji Indonesia di samping bisa menjadi agen
promosi Indonesia, juga dapat memanfaatkan waktunya yang sebentar itu untuk
menyiarkan Islam.
Kalau dibilang risikonya tidak ada, sangat tidak mungkin.
Akan tetapi, risikonya sangatlah kecil jika memberlakukan dwikewarganegaraan
sesaat khusus untuk keperluan haji.
Jangan ada yang bilang haram atau subhat untuk soal ini.
Ini hanya masalah teknis kecil.
No comments:
Post a Comment