oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Penelusuran terhadap benar-tidaknya
testimoni Freddy Budiman yang telah dipublikasikan Haris Azhar harus mendapat
dukungan penuh masyarakat. Dukungan itu dapat berupa apresiasi, dapat pula
kritikan. Bukan hanya itu yang harus dituntaskan, melainkan pula kasus
“pencemaran nama baik” yang diduga telah dilakukan Haris Azhar. Hal itu
disebabkan masyarakat harus tahu kepastian hukum mengenai itu. Jangan sampai
dibuat “mengambang” tanpa kejelasan. Kalau tidak dituntaskan dan dibiarkan
mengambang, masyarakat akan terus bertanya-tanya dan kemungkinan akan terjadi
penurunan kepercayaan yang sangat drastis kepada pemerintah dan aparat penegak
hukum. Haris Azhar harus dikenai sanksi jika terbukti melakukan tindakan
pencemaran nama baik. Sebaliknya, dia wajib dibebaskan dan dihormati dari
segala dugaan maupun tuduhan pencemaran nama baik jika memang tidak terbukti
melakukan hal itu.
Saya pribadi sangat khawatir jika masalah ini tidak
dituntaskan dengan baik dan memuaskan, akan muncul testimoni-testimoni
bandit-bandit Narkoba dengan cara yang sama. Kita tidak boleh menutup
kemungkinan bahwa setelah kasus ini tidak akan terjadi testimoni-testimoni
bandit Narkoba berikutnya.
Apakah kita yakin bahwa tidak akan terjadi testimoni
bandit Narkoba berikutnya?
Kalau yakin hal seperti ini tidak akan terjadi lagi, apa
dasar keyakinan itu?
Kalau ini terjadi lagi, siapa yang akan dibuat sibuk?
Pasti pemerintah, polisi, dan pihak-pihak lain yang
dituduh telah “kongkalikong” dengan bandit Narkoba yang akan sangat sibuk. Hal
itu disebabkan aparat keamananlah yang harus membuktikan benar-tidaknya isi
dari testimoni para bandit itu. Di samping itu, energi masyarakat pun akan
terkuras banyak karena memperhatikan kasus-kasus itu.
Kita telah menghukum mati beberapa orang. Orang-orang yang
mati akibat hukuman itu tentunya bisa dijadikan dasar atau bahan testimoni yang
bisa ditulis dan dipublikasikan di dunia maya. Kita
bisa-bisa tiba-tiba dikejutkan oleh testimoni lain dari penjahat Narkoba yang
telah mati lainnya. Sangat mungkin tiba-tiba kita digegerkan ada seorang
pengacara atau wartawan atau penulis atau aktivis atau siapa saja yang ingin ngetop dengan dalih cinta tanah air
menulis testimoni penjahat Narkoba yang telah mati dengan pengakuan yang lebih
mengejutkan.
Bukankah para bandit itu juga manusia yang berkomunikasi
dengan manusia lainnya?
Bisa jadi mereka pernah berceritera entah benar entah
tidak kepada seseorang atau banyak orang bahwa mereka telah “bekerja sama”
dengan oknum aparat untuk memuluskan bisnisnya. Seseorang atau orang-orang yang
telah mendengar pengakuannya pun sangat mungkin menulis di dunia maya tentang
segala apa yang diakui penjahat yang telah mati itu meskipun belum tentu benar.
Mereka itu bukan orang-orang bodoh. Mereka mungkin sekarang
sedang mengendap-endap sambil memperhatikan apa yang terjadi dengan penelusuran
testimoni Freddy Budiman dan dugaan “pencemaran nama baik” yang dilakukan Haris
Azhar terhadap penegak hukum di Indonesia. Ketika mereka menganggap aman dan
yakin tidak akan dijerat oleh proses hukum di Indonesia, mereka pun mungkin akan
mulai melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan Haris Azhar.
Saya sangat khawatir itu terjadi dan tidak ada seorang
pun yang mampu menjamin bahwa apa yang saya khawatirkan tersebut tidak akan
pernah terjadi. Tak ada yang tak mungkin dalam hal ini.
Lebih susah lagi kalau yang menulis testimoni bandit yang
telah mati itu berasal dari luar negeri dan ditulis di luar negeri oleh orang
luar negeri yang berniat tidak akan ke Indonesia.
Bukankah yang telah dihukum mati itu mayoritas orang luar
negeri?
Kita bisa tiba-tiba dikagetkan oleh pengakuan keluarga,
teman, atau siapa saja yang pernah mengobrol dengan penjahat Narkoba yang telah
mati. Mereka pun menulis tentang kisah hidup kenalannya itu dengan segala
suap-menyuap yang terjadi bersama aparat keamanan di Indonesia. Bahkan, mereka
yang berasal dari luar negeri bisa lebih tegas dengan menyebutkan nama secara
satu per satu para oknum pejabat atau oknum penegak hukum di Indonesia yang
telah menerima suap. Padahal, tentunya kisah-kisah mereka itu belum tentu
benar. Mereka berani karena berada di luar wilayah hukum Indonesia yang
pastinya mempersulit kerja aparat penegak hukum untuk membuktikannya.
Semakin parah lagi jika kisah-kisah itu semakin
“digoreng” dan di-blow up oleh media
asing dan aktivis asing yang antiindonesia dan antihukuman mati.
Ceritera-ceritera yang kemungkinan bualan yang ditambah-tambahi itu bisa sangat
mempengaruhi publik Indonesia. Kita tahu bahwa bangsa ini masih banyak yang
“penyakitan”. Penyakit yang diderita itu adalah menganggap bahwa “apa pun yang
datang dari luar negeri selalu bagus dan selalu benar”. Jadi, mereka akan
dengan cepat menganggap benar kisah-kisah itu karena berasal dari “luar negeri”.
Apalagi jika dari AS, Inggris, atau Eropa lainnya, akan banyak publik yang
membenarkan tanpa periksa. Lihat saja saat ini, tulisan Haris Azhar saja yang tidak
menyertakan bukti dan hanya senilai dengan “surat pembaca” itu seolah-olah langsung
dianggap sebagai kebenaran oleh sebagian orang. Oleh sebab itu, tak heran sebagian
orang langsung berada di belakang mendukung Haris Azhar dan menyudutkan polisi,
TNI, BNN, dan bea cukai, padahal belum tentu benar.
Kalau itu benar-benar terjadi, Indonesia bisa menjadi
“bulan-bulanan” media dan aktivis asing yang merugikan pemerintah, aparat
pemerintah, dan seluruh rakyat Indonesia. Hal itu disebabkan bahwa apa yang
ditulis dan dituduhkan pada Indonesia sama sekali belum bisa dibuktikan
kebenarannya, tetapi opini akan sudah terlanjur berkembang secara cepat yang
membuat sulit segalanya.
Kekhawatiran saya itu besar kemungkinan terjadi
benar-benar secara nyata jika penyelesaian penelusuran testimoni Freddy Budiman
dan dugaan “pencemaran nama baik” yang dilakukan Haris Azhar tidak diselesaikan
dengan tuntas serta terang benderang. Bukan berarti Haris Azhar “wajib” masuk
penjara, melainkan ada kejelasan dan kepastian hukum. Dengan demikian, yang
salah harus dihukum, yang benar harus dibebaskan, direhabilitasi nama baiknya,
dan dihormati.
Begitu kan seharusnya?
Kesesatan
Pikiran
Karena di Indonesia ini
masih banyak yang “penyakitan” dengan menganggap bahwa “luar negeri selalu
bagus”, mereka mencoba membanding-bandingkan secara sok tahu bahwa penanganan
Narkoba di luar negeri selalu lebih baik dan lebih bagus.
Mereka selalu membandingkan, “Di luar negeri itu
penanganannya lebih bagus dengan cara … bla … bla … bla … (yang sebetulnya dia
karang sendiri). Berbeda dengan di Indonesia yang masih … bla … bla … bla …
(semua kejelekan dia utarakan).”
Mereka selalu bilang “luar negeri” sambil tidak jelas
luar negeri itu negara yang mana. Kalaupun mereka menyebutkan negara, selalu
tidak dengan cara yang adil. Misalnya, Indonesia dibandingkan dengan Filipina.
Perbandingan itu sangat salah karena Indonesia itu memiliki luas yang berbeda
jauh dengan Filipina, kondisi alam yang juga berbeda, jumlah penduduk yang
berbeda, masalah yang berbeda, dan banyak hal yang berbeda. Hal itu sebagaimana
dengan orang-orang yang membandingkan KPK di Indonesia dengan KPK di Hongkong.
Menurut mereka Hongkong lebih berhasil. Ya, wajar atuh lebih berhasil karena
Hongkong itu wilayah yang sangat kecil. Indonesia itu ibarat meja makan yang
luas dan besar, sedangkan Hongkong hanya seluas ujung meja bernama Indonesia.
Itu perbandingan yang tidak adil dan menyesatkan. Begitu juga yang dikeluhkan
beberapa pejabat Kabupaten Bandung yang harus “mencontoh” sebuah kota di
Sulawesi soal keberhasilan e-KTP. Kota di Sulawesi itu berhasil secara sempurna
melaksanakan program e-KTP dalam waktu teramat singkat, sedangkan Kabupaten
Bandung masih banyak kendala. Ya, wajar kalau kota di Sulawesi itu sangat berhasil karena
penduduknya hanya 76.000 jiwa, sedangkan Kabupaten Bandung memiliki penduduk
lebih dari dua juta jiwa. Suatu perbandingan yang sangat salah. Oleh sebab itu,
kalau mau membandingkan, harus benar perbandingannya seperti pertandingan tinju
yang selalu seimbang kelasnya dalam pertandingan. Tidak mungkin dalam tinju
dipertandingkan antara kelas berat dengan kelas bulu ketek.
Luar negeri yang lebih bagus dari Indonesia itu luar
negeri yang mana yang sebanding kondisinya?
Amerika Serikat dan Eropa saja soal Narkoba ini merupakan
masalah akut yang sulit diperangi. Lihat saja film-film yang berasal dari AS
dan Eropa, sebagian dari seluruh film yang beredar selalu menceriterakan
tentang kejahatan Narkoba dengan segala suap-menyuap, polisi-polisi kotornya,
hakim-hakim jahatnya, para pengacara begundalnya, serta para akuntan yang kerap
lolos dari maut karena cuma menghitung uang dan tidak pernah berpihak.
Film-film itu selalu berawal dari kenyataan hidup yang terjadi di lingkungan Si
Pembuat Film. Bahkan, di AS persoalan Narkoba ini sudah memicu tindakan
kekisruhan lainnya yang menimbulkan banyak huru-hara dan kegoncangan politik.
Hal itu disebabkan maraknya peredaran dan penyalahgunaan Narkoba berikut sangat
banyaknya korban Narkoba di AS dituduhkan pada keberadaan warga kulit hitam dan
imigran Meksiko. Oleh sebab itu, terjadi tindakan-tindakan rasis yang tidak
perlu serta tindakan Cekal dari negara-negara tertentu kepada para tokoh AS
yang telah membuat tuduhan bermuatan rasis.
Di Indonesia tidak separah itu sebenarnya. Kalaupun
Presiden Jokowi menyatakan darurat
Narkoba, itu kemungkinan merupakan keinginan dan niat yang sangat kuat untuk
memberantas Narkoba agar Indonesia bisa lebih sehat dan kuat. Pernyataan
darurat Narkoba itu tampaknya bukan sebagai hasil studi banding dengan
penelitian mendalam terhadap jumlah korban Narkoba di luar negeri sehingga
kesimpulannya adalah Indonesia lebih
parah dibandingkan negara lain, melainkan hasil dari perenungan dan
pemikiran sangat matang seorang presiden terhadap diri sendiri bahwa bagi
ukuran Indonesia, kematian 50 jiwa per hari itu sudah merupakan kerusakan yang
sangat besar. Presiden Jokowi tidak membandingkannya dengan negara lain,
pokoknya bagi Indonesia dalam pandangan seorang Indonesia kematian 50 jiwa per
hari itu adalah darurat Narkoba.
Mungkin begitu pemikiran Pak Jokowi. Saya mah
mengira-ngira saja yang bisa benar dan bisa pula salah. Kalau pengen tahu jelasnya,
tanya saja langsung sama Presiden. Sebagai orang Indonesia, saya setuju dengan pemikiran matang seperti itu.
Lihat saja film-film produksi Indonesia dari zaman ke
zaman sangat sedikit yang berceritera tentang kejahatan Narkoba, begitu juga
dengan Sinetron-sinetron yang setiap hari tayang itu. Artinya, kehidupan
kejahatan Narkoba di Indonesia tidak begitu membuat para pembuat film atau
Sinetron tertarik karena bukan merupakan daya tarik yang kuat bagi publik
Indonesia. Di samping itu, masalah Narkoba di Indonesia tidak memicu
permasalahan Sara dan tidak pernah menyalahkan etnis apa pun kecuali para
pelaku, pengedar, penyalahguna, serta oknum-oknum korup. Artinya, kejahatan
Narkoba di Indonesia tidak “parah-parah” amat dibandingkan di luar negeri yang
telah membuat daya tarik kuat bagi para insan film untuk membuat filmnya dan
telah mampu menyedot perhatian publik karena itu adalah gambaran kehidupan
mereka.
Kita sebagai warga bangsa Indonesia harus sejalan, jangan
karena di luar negeri lebih parah dibandingkan di Indonesia, pemberantasan
Narkoba menjadi “melempem” atau tenang-tenang saja. Pandangan, pikiran, dan
tenaga kita harus sejalan dengan pernyataan Jokowi bahwa Indonesia berada dalam kondisi darurat Narkoba. Kalau di luar
negeri lebih parah, biarin saja, itu urusan mereka. Urusan kita adalah
menyelamatkan diri, keluarga, saudara, teman, tetangga, serta semua yang kita
kenal dan tidak kita kenal dari bahaya Narkoba. Urusan luar negeri mah urusan
orang lain, bukan urusan kita.
Kalau orang yang berpenyakit pikiran bisa bilang seperti
ini, “Parah, di Indonesia korban Narkoba sudah 50 orang per hari. Di luar
negeri tidak parah seperti itu.”
Kalau dia ditanya, “Memang di luar negeri berapa orang
per hari yang mati gara-gara Narkoba?”
Dia pasti nggak bisa jawab. Saya sering menemukan orang-orang
jenis ini yang kerap mengatakan wah di
Amerika mah nggak seperti itu. Padahal, dia sendiri tidak tahu pasti yang
terjadi di Amerika. Kata-kata itu keluar disebabkan penyakit pikiran yang
selalu menganggap “Barat lebih bagus”.
Tim
Independen
Masih banyak orang yang
menganggap keberadaan tim independen adalah langkah maju dan modern. Oleh sebab
itu, mereka selalu menyerukan bahwa kita harus percaya sepenuhnya pada lembaga
kepolisian dan TNI, tetapi pada saat yang sama mengharapkan kehadiran tim independen
di bawah kendali langsung Presiden.
Seruan atau pernyataan seperti itu sesungguhnya teramat
aneh.
Kalau percaya penuh kepada polisi dan TNI, kenapa harus
membutuhkan tim independen?
Tim independen dihadirkan itu karena ketidakpercayaan
pada polisi dan TNI. Kalau percaya penuh pada Polri dan TNI, tim independen
sama sekali tidak dibutuhkan.
Kecil-kecilannya saya waktu membuat kandang ayam di
belakang rumah di atas kolam ikan awalnya yakin saya bisa membuatnya sendiri.
Saya pun membuatnya sendiri. Akan tetapi, setelah jadi, ternyata jelek banget.
Oleh sebab itu, saya menyadari bahwa saya memiliki kelemahan. Saya pun meminta
bantuan dua orang tukang kayu. Kedua tukang kayu itu bukan tim independen,
melainkan tenaga ahli pembantu. Mandornya tetap saya. Akan tetapi, ternyata
keberadaan saya di sana menjadi gangguan sehingga mengakibatkan pekerjaan
tambah rumit dan banyak masalah. Oleh sebab itu, saya mundur dari sana dan
menyerahkan pekerjaan itu pada para tukang kayu. Nah, para tukang kayu itu pun menjadi
tim independen.
Ketika saya membutuhkan bantuan tukang kayu itu
disebabkan saya memiliki kelemahan dan kekurangmampuan. Itu harus diakui.
Ketika saya menjadi gangguan atas pekerjaan yang sedang berlangsung, tandanya
saya sama sekali tidak memiliki kemampuan yang jelas. Itu juga harus diakui
karena kalau tidak diakui, lalu saya memaksakan diri, hasilnya akan buruk
seperti yang sudah-sudah. Oleh sebab itu, saya terpaksa menyerahkan seluruh
pekerjaan kepada yang lebih ahli. Para ahli itulah yang disebut tim independen,
terbebas dari perintah saya dan kendali saya. Mereka berpikir dan bekerja
sendiri sesuai pesanan.
Begitulah yang namanya tim independen. Tim itu harus
terbebas dari institusi apa pun dalam bekerja dan hanya bertanggung jawab
kepada orang yang membentuknya sendiri.
Apabila saya memiliki kemampuan yang memadai dan waktu
yang juga cukup, saya tidak akan membutuhkan tukang kayu sebagai pembantu ahli.
Di samping itu, saya tidak akan menyerahkan pekerjaan itu kepada orang lain.
Untuk apa saya menyerahkan pekerjaan jika saya mampu
mengerjakannya sendiri?
Tak perlu tim independen jika mampu menyelesaikan masalah
sendiri. Kalau memiliki kemampuan, tetapi terbatas, perlu dibantu oleh tim
ahli. Jika sama sekali tidak memiliki kemampuan atau hanya mampu dengan hasil
yang buruk, tim independen sangat diperlukan.
No comments:
Post a Comment