Friday, 12 August 2016

Menanti Testimoni Bandit Narkoba II

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Penelusuran terhadap benar-tidaknya testimoni Freddy Budiman yang telah dipublikasikan Haris Azhar harus mendapat dukungan penuh masyarakat. Dukungan itu dapat berupa apresiasi, dapat pula kritikan. Bukan hanya itu yang harus dituntaskan, melainkan pula kasus “pencemaran nama baik” yang diduga telah dilakukan Haris Azhar. Hal itu disebabkan masyarakat harus tahu kepastian hukum mengenai itu. Jangan sampai dibuat “mengambang” tanpa kejelasan. Kalau tidak dituntaskan dan dibiarkan mengambang, masyarakat akan terus bertanya-tanya dan kemungkinan akan terjadi penurunan kepercayaan yang sangat drastis kepada pemerintah dan aparat penegak hukum. Haris Azhar harus dikenai sanksi jika terbukti melakukan tindakan pencemaran nama baik. Sebaliknya, dia wajib dibebaskan dan dihormati dari segala dugaan maupun tuduhan pencemaran nama baik jika memang tidak terbukti melakukan hal itu.

            Saya pribadi sangat khawatir jika masalah ini tidak dituntaskan dengan baik dan memuaskan, akan muncul testimoni-testimoni bandit-bandit Narkoba dengan cara yang sama. Kita tidak boleh menutup kemungkinan bahwa setelah kasus ini tidak akan terjadi testimoni-testimoni bandit Narkoba berikutnya.

            Apakah kita yakin bahwa tidak akan terjadi testimoni bandit Narkoba berikutnya?

            Kalau yakin hal seperti ini tidak akan terjadi lagi, apa dasar keyakinan itu?

            Kalau ini terjadi lagi, siapa yang akan dibuat sibuk?

            Pasti pemerintah, polisi, dan pihak-pihak lain yang dituduh telah “kongkalikong” dengan bandit Narkoba yang akan sangat sibuk. Hal itu disebabkan aparat keamananlah yang harus membuktikan benar-tidaknya isi dari testimoni para bandit itu. Di samping itu, energi masyarakat pun akan terkuras banyak karena memperhatikan kasus-kasus itu.

            Kita telah menghukum mati beberapa orang. Orang-orang yang mati akibat hukuman itu tentunya bisa dijadikan dasar atau bahan testimoni yang bisa ditulis dan dipublikasikan di dunia maya.            Kita bisa-bisa tiba-tiba dikejutkan oleh testimoni lain dari penjahat Narkoba yang telah mati lainnya. Sangat mungkin tiba-tiba kita digegerkan ada seorang pengacara atau wartawan atau penulis atau aktivis atau siapa saja yang ingin ngetop dengan dalih cinta tanah air menulis testimoni penjahat Narkoba yang telah mati dengan pengakuan yang lebih mengejutkan.

            Bukankah para bandit itu juga manusia yang berkomunikasi dengan manusia lainnya?

            Bisa jadi mereka pernah berceritera entah benar entah tidak kepada seseorang atau banyak orang bahwa mereka telah “bekerja sama” dengan oknum aparat untuk memuluskan bisnisnya. Seseorang atau orang-orang yang telah mendengar pengakuannya pun sangat mungkin menulis di dunia maya tentang segala apa yang diakui penjahat yang telah mati itu meskipun belum tentu benar.

            Mereka itu bukan orang-orang bodoh. Mereka mungkin sekarang sedang mengendap-endap sambil memperhatikan apa yang terjadi dengan penelusuran testimoni Freddy Budiman dan dugaan “pencemaran nama baik” yang dilakukan Haris Azhar terhadap penegak hukum di Indonesia. Ketika mereka menganggap aman dan yakin tidak akan dijerat oleh proses hukum di Indonesia, mereka pun mungkin akan mulai melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan Haris Azhar.

            Saya sangat khawatir itu terjadi dan tidak ada seorang pun yang mampu menjamin bahwa apa yang saya khawatirkan tersebut tidak akan pernah terjadi. Tak ada yang tak mungkin dalam hal ini.

            Lebih susah lagi kalau yang menulis testimoni bandit yang telah mati itu berasal dari luar negeri dan ditulis di luar negeri oleh orang luar negeri yang berniat tidak akan ke Indonesia.

            Bukankah yang telah dihukum mati itu mayoritas orang luar negeri?

            Kita bisa tiba-tiba dikagetkan oleh pengakuan keluarga, teman, atau siapa saja yang pernah mengobrol dengan penjahat Narkoba yang telah mati. Mereka pun menulis tentang kisah hidup kenalannya itu dengan segala suap-menyuap yang terjadi bersama aparat keamanan di Indonesia. Bahkan, mereka yang berasal dari luar negeri bisa lebih tegas dengan menyebutkan nama secara satu per satu para oknum pejabat atau oknum penegak hukum di Indonesia yang telah menerima suap. Padahal, tentunya kisah-kisah mereka itu belum tentu benar. Mereka berani karena berada di luar wilayah hukum Indonesia yang pastinya mempersulit kerja aparat penegak hukum untuk membuktikannya.

            Semakin parah lagi jika kisah-kisah itu semakin “digoreng” dan di-blow up oleh media asing dan aktivis asing yang antiindonesia dan antihukuman mati. Ceritera-ceritera yang kemungkinan bualan yang ditambah-tambahi itu bisa sangat mempengaruhi publik Indonesia. Kita tahu bahwa bangsa ini masih banyak yang “penyakitan”. Penyakit yang diderita itu adalah menganggap bahwa “apa pun yang datang dari luar negeri selalu bagus dan selalu benar”. Jadi, mereka akan dengan cepat menganggap benar kisah-kisah itu karena berasal dari “luar negeri”. Apalagi jika dari AS, Inggris, atau Eropa lainnya, akan banyak publik yang membenarkan tanpa periksa. Lihat saja saat ini, tulisan Haris Azhar saja yang tidak menyertakan bukti dan hanya senilai dengan “surat pembaca” itu seolah-olah langsung dianggap sebagai kebenaran oleh sebagian orang. Oleh sebab itu, tak heran sebagian orang langsung berada di belakang mendukung Haris Azhar dan menyudutkan polisi, TNI, BNN, dan bea cukai, padahal belum tentu benar.

            Kalau itu benar-benar terjadi, Indonesia bisa menjadi “bulan-bulanan” media dan aktivis asing yang merugikan pemerintah, aparat pemerintah, dan seluruh rakyat Indonesia. Hal itu disebabkan bahwa apa yang ditulis dan dituduhkan pada Indonesia sama sekali belum bisa dibuktikan kebenarannya, tetapi opini akan sudah terlanjur berkembang secara cepat yang membuat sulit segalanya.

            Kekhawatiran saya itu besar kemungkinan terjadi benar-benar secara nyata jika penyelesaian penelusuran testimoni Freddy Budiman dan dugaan “pencemaran nama baik” yang dilakukan Haris Azhar tidak diselesaikan dengan tuntas serta terang benderang. Bukan berarti Haris Azhar “wajib” masuk penjara, melainkan ada kejelasan dan kepastian hukum. Dengan demikian, yang salah harus dihukum, yang benar harus dibebaskan, direhabilitasi nama baiknya, dan dihormati.

            Begitu kan seharusnya?


Kesesatan Pikiran

Karena di Indonesia ini masih banyak yang “penyakitan” dengan menganggap bahwa “luar negeri selalu bagus”, mereka mencoba membanding-bandingkan secara sok tahu bahwa penanganan Narkoba di luar negeri selalu lebih baik dan lebih bagus.

            Mereka selalu membandingkan, “Di luar negeri itu penanganannya lebih bagus dengan cara … bla … bla … bla … (yang sebetulnya dia karang sendiri). Berbeda dengan di Indonesia yang masih … bla … bla … bla … (semua kejelekan dia utarakan).”

            Mereka selalu bilang “luar negeri” sambil tidak jelas luar negeri itu negara yang mana. Kalaupun mereka menyebutkan negara, selalu tidak dengan cara yang adil. Misalnya, Indonesia dibandingkan dengan Filipina. Perbandingan itu sangat salah karena Indonesia itu memiliki luas yang berbeda jauh dengan Filipina, kondisi alam yang juga berbeda, jumlah penduduk yang berbeda, masalah yang berbeda, dan banyak hal yang berbeda. Hal itu sebagaimana dengan orang-orang yang membandingkan KPK di Indonesia dengan KPK di Hongkong. Menurut mereka Hongkong lebih berhasil. Ya, wajar atuh lebih berhasil karena Hongkong itu wilayah yang sangat kecil. Indonesia itu ibarat meja makan yang luas dan besar, sedangkan Hongkong hanya seluas ujung meja bernama Indonesia. Itu perbandingan yang tidak adil dan menyesatkan. Begitu juga yang dikeluhkan beberapa pejabat Kabupaten Bandung yang harus “mencontoh” sebuah kota di Sulawesi soal keberhasilan e-KTP. Kota di Sulawesi itu berhasil secara sempurna melaksanakan program e-KTP dalam waktu teramat singkat, sedangkan Kabupaten Bandung masih banyak kendala. Ya, wajar kalau kota di  Sulawesi itu sangat berhasil karena penduduknya hanya 76.000 jiwa, sedangkan Kabupaten Bandung memiliki penduduk lebih dari dua juta jiwa. Suatu perbandingan yang sangat salah. Oleh sebab itu, kalau mau membandingkan, harus benar perbandingannya seperti pertandingan tinju yang selalu seimbang kelasnya dalam pertandingan. Tidak mungkin dalam tinju dipertandingkan antara kelas berat dengan kelas bulu ketek.

            Luar negeri yang lebih bagus dari Indonesia itu luar negeri yang mana yang sebanding kondisinya?

            Amerika Serikat dan Eropa saja soal Narkoba ini merupakan masalah akut yang sulit diperangi. Lihat saja film-film yang berasal dari AS dan Eropa, sebagian dari seluruh film yang beredar selalu menceriterakan tentang kejahatan Narkoba dengan segala suap-menyuap, polisi-polisi kotornya, hakim-hakim jahatnya, para pengacara begundalnya, serta para akuntan yang kerap lolos dari maut karena cuma menghitung uang dan tidak pernah berpihak. Film-film itu selalu berawal dari kenyataan hidup yang terjadi di lingkungan Si Pembuat Film. Bahkan, di AS persoalan Narkoba ini sudah memicu tindakan kekisruhan lainnya yang menimbulkan banyak huru-hara dan kegoncangan politik. Hal itu disebabkan maraknya peredaran dan penyalahgunaan Narkoba berikut sangat banyaknya korban Narkoba di AS dituduhkan pada keberadaan warga kulit hitam dan imigran Meksiko. Oleh sebab itu, terjadi tindakan-tindakan rasis yang tidak perlu serta tindakan Cekal dari negara-negara tertentu kepada para tokoh AS yang telah membuat tuduhan bermuatan rasis.

            Di Indonesia tidak separah itu sebenarnya. Kalaupun Presiden Jokowi menyatakan darurat Narkoba, itu kemungkinan merupakan keinginan dan niat yang sangat kuat untuk memberantas Narkoba agar Indonesia bisa lebih sehat dan kuat. Pernyataan darurat Narkoba itu tampaknya bukan sebagai hasil studi banding dengan penelitian mendalam terhadap jumlah korban Narkoba di luar negeri sehingga kesimpulannya adalah Indonesia lebih parah dibandingkan negara lain, melainkan hasil dari perenungan dan pemikiran sangat matang seorang presiden terhadap diri sendiri bahwa bagi ukuran Indonesia, kematian 50 jiwa per hari itu sudah merupakan kerusakan yang sangat besar. Presiden Jokowi tidak membandingkannya dengan negara lain, pokoknya bagi Indonesia dalam pandangan seorang Indonesia kematian 50 jiwa per hari itu adalah darurat Narkoba.

            Mungkin begitu pemikiran Pak Jokowi. Saya mah mengira-ngira saja yang bisa benar dan bisa pula salah. Kalau pengen tahu jelasnya, tanya saja langsung sama Presiden. Sebagai orang Indonesia, saya setuju dengan pemikiran matang seperti itu.

            Lihat saja film-film produksi Indonesia dari zaman ke zaman sangat sedikit yang berceritera tentang kejahatan Narkoba, begitu juga dengan Sinetron-sinetron yang setiap hari tayang itu. Artinya, kehidupan kejahatan Narkoba di Indonesia tidak begitu membuat para pembuat film atau Sinetron tertarik karena bukan merupakan daya tarik yang kuat bagi publik Indonesia. Di samping itu, masalah Narkoba di Indonesia tidak memicu permasalahan Sara dan tidak pernah menyalahkan etnis apa pun kecuali para pelaku, pengedar, penyalahguna, serta oknum-oknum korup. Artinya, kejahatan Narkoba di Indonesia tidak “parah-parah” amat dibandingkan di luar negeri yang telah membuat daya tarik kuat bagi para insan film untuk membuat filmnya dan telah mampu menyedot perhatian publik karena itu adalah gambaran kehidupan mereka.

            Kita sebagai warga bangsa Indonesia harus sejalan, jangan karena di luar negeri lebih parah dibandingkan di Indonesia, pemberantasan Narkoba menjadi “melempem” atau tenang-tenang saja. Pandangan, pikiran, dan tenaga kita harus sejalan dengan pernyataan Jokowi bahwa Indonesia berada dalam kondisi darurat Narkoba. Kalau di luar negeri lebih parah, biarin saja, itu urusan mereka. Urusan kita adalah menyelamatkan diri, keluarga, saudara, teman, tetangga, serta semua yang kita kenal dan tidak kita kenal dari bahaya Narkoba. Urusan luar negeri mah urusan orang lain, bukan urusan kita.

            Kalau orang yang berpenyakit pikiran bisa bilang seperti ini, “Parah, di Indonesia korban Narkoba sudah 50 orang per hari. Di luar negeri tidak parah seperti itu.”

            Kalau dia ditanya, “Memang di luar negeri berapa orang per hari yang mati gara-gara Narkoba?”

            Dia pasti nggak bisa jawab. Saya sering menemukan orang-orang jenis ini yang kerap mengatakan wah di Amerika mah nggak seperti itu. Padahal, dia sendiri tidak tahu pasti yang terjadi di Amerika. Kata-kata itu keluar disebabkan penyakit pikiran yang selalu menganggap “Barat lebih bagus”.


Tim Independen

Masih banyak orang yang menganggap keberadaan tim independen adalah langkah maju dan modern. Oleh sebab itu, mereka selalu menyerukan bahwa kita harus percaya sepenuhnya pada lembaga kepolisian dan TNI, tetapi pada saat yang sama mengharapkan kehadiran tim independen di bawah kendali langsung Presiden.

            Seruan atau pernyataan seperti itu sesungguhnya teramat aneh.

            Kalau percaya penuh kepada polisi dan TNI, kenapa harus membutuhkan tim independen?

            Tim independen dihadirkan itu karena ketidakpercayaan pada polisi dan TNI. Kalau percaya penuh pada Polri dan TNI, tim independen sama sekali tidak dibutuhkan.

            Kecil-kecilannya saya waktu membuat kandang ayam di belakang rumah di atas kolam ikan awalnya yakin saya bisa membuatnya sendiri. Saya pun membuatnya sendiri. Akan tetapi, setelah jadi, ternyata jelek banget. Oleh sebab itu, saya menyadari bahwa saya memiliki kelemahan. Saya pun meminta bantuan dua orang tukang kayu. Kedua tukang kayu itu bukan tim independen, melainkan tenaga ahli pembantu. Mandornya tetap saya. Akan tetapi, ternyata keberadaan saya di sana menjadi gangguan sehingga mengakibatkan pekerjaan tambah rumit dan banyak masalah. Oleh sebab itu, saya mundur dari sana dan menyerahkan pekerjaan itu pada para tukang kayu. Nah, para tukang kayu itu pun menjadi tim independen.

            Ketika saya membutuhkan bantuan tukang kayu itu disebabkan saya memiliki kelemahan dan kekurangmampuan. Itu harus diakui. Ketika saya menjadi gangguan atas pekerjaan yang sedang berlangsung, tandanya saya sama sekali tidak memiliki kemampuan yang jelas. Itu juga harus diakui karena kalau tidak diakui, lalu saya memaksakan diri, hasilnya akan buruk seperti yang sudah-sudah. Oleh sebab itu, saya terpaksa menyerahkan seluruh pekerjaan kepada yang lebih ahli. Para ahli itulah yang disebut tim independen, terbebas dari perintah saya dan kendali saya. Mereka berpikir dan bekerja sendiri sesuai pesanan.

            Begitulah yang namanya tim independen. Tim itu harus terbebas dari institusi apa pun dalam bekerja dan hanya bertanggung jawab kepada orang yang membentuknya sendiri.

            Apabila saya memiliki kemampuan yang memadai dan waktu yang juga cukup, saya tidak akan membutuhkan tukang kayu sebagai pembantu ahli. Di samping itu, saya tidak akan menyerahkan pekerjaan itu kepada orang lain.

            Untuk apa saya menyerahkan pekerjaan jika saya mampu mengerjakannya sendiri?


            Tak perlu tim independen jika mampu menyelesaikan masalah sendiri. Kalau memiliki kemampuan, tetapi terbatas, perlu dibantu oleh tim ahli. Jika sama sekali tidak memiliki kemampuan atau hanya mampu dengan hasil yang buruk, tim independen sangat diperlukan.

No comments:

Post a Comment