Friday 28 May 2010

Demokrasi Ubah Indonesia Jadi Republik Sinetron

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Akhir-akhir ini kita menyaksikan banyak artis, baik itu artis lakon maupun penyanyi yang menjadi politisi. Banyak pihak yang memprihatinkan situasi dan kondisi tersebut. Dulu saja ketika negeri ini dipenuhi oleh para politisi yang punya perhatian khusus terhadap bangsa sudah amburadul, apalagi jika dipimpin oleh para artis yang jelas punya core bisnis di bidang entertainment, bukan dalam bidang penyelenggaraan negara.

Para artis dan pendukungnya berkilah bahwa mereka pun memiliki perhatian terhadap politik dan mempunyai kepedulian terhadap masalah yang diderita bangsa. Alasan itu tampaknya tidak terlalu penting untuk didiskusikan maupun diperdebatkan, bahkan tidak memerlukan tanggapan. Dalam dunia demokrasi tidak terlalu penting apakah seseorang itu cerdas, punya semangat juang, beriman, atau cinta kepada rakyat. Demokrasi hanyalah memerlukan dukungan rakyat pemilih. Para artis memiliki kesempatan emas untuk mendulang suara karena kepopulerannya di mata masyarakat. Dia pasti populer karena nama dan wajahnya sering tampil di media massa, baik cetak maupun elektronik. Rakyat akan cenderung memilihnya meskipun sebenarnya ia terkenal bukan dalam bidang politik maupun kenegaraan, melainkan dalam bidang yang jauh dari kekuasaan.

Soal rakyat cenderung memilih artis, sudah dibuktikan dalam kehidupan politik kita. Sebut saja Dede Yusuf, Komar, Sys NS, Rano Karno, Adjie Masaid, belakangan Syaiful Jamil, Primus Yustisio, Julia Peres, dan sederet nama lainnya ikut serta dalam memanfaatkan kepopuleran dirinya untuk ikut nimbrung di lembaga-lembaga politik.

Apabila pada masa depan semakin banyak artis yang menduduki jabatan-jabatan politis, tak terlalu salah apabila profesi artis akan menjadi salah satu batu loncatan untuk menjadi pemimpin di Indonesia. Sudah sangat wajar jika entar-entar Bang Haji Rhoma Irama ikut mencalonkan diri menjadi presiden. Dia toh memiliki umat yang banyak, penggemar yang membludak, dan organisasi dangdut yang paling kuat di Indonesia ini. Jadilah kita Republik Sinetron Indonesia (RSI).

Parahnya, para politisi sungguhan, baik yang busuk maupun yang terhormat ikut pula terjebak dalam kondisi ini. Mereka tak bisa mengelak karena partainya harus besar. Untuk harus besar, jelas mesti mendapat dukungan rakyat banyak karena itulah yang dituntut dalam demokrasi.
Semua tak punya solusi untuk masalah ini. Pada satu pihak khawatir dengan kemampuan para politisi layar kaca, di pihak lain demokrasi menuntut jumlah pemilih terbanyak. Artinya, hal ini menunjukkan bahwa peran serta para artis tak bisa dihindari dalam dunia demokrasi. Partai yang tidak mau menggunakan alat efektif berupa artis untuk mendulang suara akan menjadi partai gurem tak bermakna meskipun diisi oleh orang-orang cerdas, beriman, dan penuh daya juang.

Hal ini menunjukkan dengan jelas bahwa sistem politik demokrasi adalah sistem yang rendah dan kampungan. Sistem ini telah membuat bingung rakyat, politisi, dan seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara. Sistem demokrasi hanyalah sistem politik gugurubugan yang menjatuhkan moral dan kepribadian bangsa Indonesia.

Tulisan ini sungguh bukan untuk mendiskreditkan para artis karena bisa saja mereka lebih baik daripada para politisi busuk yang selama ini menjadi duri bagi Negara Indonesia. Akan tetapi, kesan yang didapat saat ini adalah adanya pemanfaatan situasi oleh para artis dan elit politik untuk mencapai kekuasaan dengan cara rendah dan tidak bertanggung jawab. Situasi ini terjadi karena kita menggunakan sistem politik rendahan, yaitu demokrasi.

No comments:

Post a Comment