oleh Tom Finaldin
Bandung, Putera Sang Surya
Taraweh Keliling, Subuh Keliling, tebar pesona, sebar sodaqoh, dan serangkaian aktivitas sosial positif lainnya yang inginnya disebut bernilai rohaniah digelar partai-partai dan elit-elit politik, baik yang sedang manggung maupun yang sudah sangat ingin manggung. Mereka tak ubahnya orang-orang baik yang ingin mengangkat derajat bangsa ini dari kemelaratan. Namun, di balik itu semua ada segumpal keinginan yang sulit disembunyikan, yaitu berharap simpati masyarakat untuk mendukungnya menduduki jabatan-jabatan politis yang lama diincarnya.
Dengan kata-kata manis yang rada-rada bernada keilahian, meluncur bak racun ke telinga masyarakat yang sudah sangat berharap bantuan ikhlas dari para dermawan dan negarawan. Para politikus itu menggunakan Ramadhan sebagai sarana yang tepat untuk mengumbar dusta dan janji-janji palsu.
Kita patut bertanya, mengapa mereka hadir dengan seabrek kemanisan itu semua pada saat-saat mendekati masa-masa pemilihan? Kalau toh memang ingin berbuat baik ikhlas lillaahi taala, mestinya dari dulu dan sudah menjadi bagaian hidup dari keseharian mereka. Di samping itu, tak perlu berharap dukungan masyarakat untuk memilihnya.
Sulit rasanya bagi kita untuk menilai mereka itu benar-benar berhati putih. Bahkan, ada kecurigaan dari mana dana-dana yang disebarkan itu berasal. Bisa-bisa dari para sponsornya yang nantinya ingin dibantu untuk menguasai sektor-sektor ekonomi dan pembangunan di negeri ini atau dari pinjam sana-pinjam sini yang disebutnya sebagai cost politics. Jika ini yang terjadi, mereka telah mencederai Ramadhan yang sebenarnya diciptakan Allah swt sebagai bulan penuh ampunan dan penuh berkah.
Brengseknya, banyak pula ahli agama yang terjun dalam politik sama-sama dengan tanpa malu-malunya menggunakan Ramadhan ini sebagai bulan emas untuk menebar pesona dengan harapan mendapatkan kursi panas yang menghasilkana uang syubhat dan cenderung haram. Dengan demikian, tak terlalu salah ada pemeo yang mengatakan bahwa preman dan kiai jika sudah terjun dalam politik sama gilanya.
Bagi para politisi, perilaku tersebut bukanlah suatu dosa atau kekeliruan karena selalu mengharapkan waktu dan suasana yang tepat untuk menggelar kampanye tersembunyi. Jika tak percaya, tanyakan langsung kepada mereka yang inginnya disebut terhormat itu.
Inilah buah dari demokrasi. Demokrasi memang selalu menuntut dusta dan janji-janji palsu agar mendapat perhatian rakyat untuk memilihnya. Jika tak berdusta dan tak berjanji palsu, kata-kata sederhana dan polos tampaknya tak akan menarik minat masyarakat.
Mana yang akan Saudara pilih jika ada dua orang politisi yang mengampanyekan program seperti berikut? Politisi A berjanji akan menurunkan harga sembako dalam waktu satu bulan sejak dia menduduki jabatan yang dinginkannya, sedangkan Politisi B mengajak rakyat untuk hidup sederhana dan mengencangkan ikat pinggang mengurangi kebiasaan makan sehari-hari sambil memperbanyak kesadaran untuk bersabar menghadapi hidup di samping tak ada kepastian untuk menurunkan harga bahan-bahan sembako.
Pilih A atau B?
Dengan kata-kata manis yang rada-rada bernada keilahian, meluncur bak racun ke telinga masyarakat yang sudah sangat berharap bantuan ikhlas dari para dermawan dan negarawan. Para politikus itu menggunakan Ramadhan sebagai sarana yang tepat untuk mengumbar dusta dan janji-janji palsu.
Kita patut bertanya, mengapa mereka hadir dengan seabrek kemanisan itu semua pada saat-saat mendekati masa-masa pemilihan? Kalau toh memang ingin berbuat baik ikhlas lillaahi taala, mestinya dari dulu dan sudah menjadi bagaian hidup dari keseharian mereka. Di samping itu, tak perlu berharap dukungan masyarakat untuk memilihnya.
Sulit rasanya bagi kita untuk menilai mereka itu benar-benar berhati putih. Bahkan, ada kecurigaan dari mana dana-dana yang disebarkan itu berasal. Bisa-bisa dari para sponsornya yang nantinya ingin dibantu untuk menguasai sektor-sektor ekonomi dan pembangunan di negeri ini atau dari pinjam sana-pinjam sini yang disebutnya sebagai cost politics. Jika ini yang terjadi, mereka telah mencederai Ramadhan yang sebenarnya diciptakan Allah swt sebagai bulan penuh ampunan dan penuh berkah.
Brengseknya, banyak pula ahli agama yang terjun dalam politik sama-sama dengan tanpa malu-malunya menggunakan Ramadhan ini sebagai bulan emas untuk menebar pesona dengan harapan mendapatkan kursi panas yang menghasilkana uang syubhat dan cenderung haram. Dengan demikian, tak terlalu salah ada pemeo yang mengatakan bahwa preman dan kiai jika sudah terjun dalam politik sama gilanya.
Bagi para politisi, perilaku tersebut bukanlah suatu dosa atau kekeliruan karena selalu mengharapkan waktu dan suasana yang tepat untuk menggelar kampanye tersembunyi. Jika tak percaya, tanyakan langsung kepada mereka yang inginnya disebut terhormat itu.
Inilah buah dari demokrasi. Demokrasi memang selalu menuntut dusta dan janji-janji palsu agar mendapat perhatian rakyat untuk memilihnya. Jika tak berdusta dan tak berjanji palsu, kata-kata sederhana dan polos tampaknya tak akan menarik minat masyarakat.
Mana yang akan Saudara pilih jika ada dua orang politisi yang mengampanyekan program seperti berikut? Politisi A berjanji akan menurunkan harga sembako dalam waktu satu bulan sejak dia menduduki jabatan yang dinginkannya, sedangkan Politisi B mengajak rakyat untuk hidup sederhana dan mengencangkan ikat pinggang mengurangi kebiasaan makan sehari-hari sambil memperbanyak kesadaran untuk bersabar menghadapi hidup di samping tak ada kepastian untuk menurunkan harga bahan-bahan sembako.
Pilih A atau B?
No comments:
Post a Comment