oleh Tom Finaldin
Bandung, Putera Sang Surya
MUI adalah majelis yang dari dulu saya hormati, bahkan sampai kini. Akan tetapi, fatwa yang dikeluarkan baru-baru ini membuat bingung masyarakat dan lumayan menggelikan. Fatwa itu cenderung menyebabkan penilaian terhadap kredibilitas dan kapabilitas MUI menurun.
MUI adalah majelis yang dihuni oleh ahli-ahli dalam agama Islam. Artinya, lembaga ini hendaknya menjadi rujukan kaum muslimin di Indonesia yang rata-rata pengetahuan dan pemahaman Islam-nya jauh di bawah mereka yang berada dalam MUI. Oleh sebab itu, lembaga ini pun hendaknya harus lebih hati-hati dalam mengeluarkan fatwa karena akan membawa pengaruh yang cukup luas bagi perkembangan sosial dan spiritual rakyat negeri mayoritas muslim ini.
Masyarakat sempat dikejutkan oleh fatwa MUI yang mengharamkan Golput. Alasannya, dalam Islam diharuskan ada seorang pemimpin dan kaum muslimin wajib memiliki pemimpin. Tentunya, dengan berbagai alasan lainnya yang tampak masuk akal untuk orang kebanyakan.
Fatwa haram Golput ini sesungguhnya fatwa yang menggelikan dan cukup membuat tertawa hampir terpingkal-pingkal. Soalnya, dasar yang digunakan untuk keluarnya fatwa ini sangat terbatas. Artinya, berdasar hanya pada hal-hal yang dituntut oleh Islam tanpa berdasar pada wawasan pergaulan manusia dan fenomena-fenomena dalam hubungan internasional.
Betul sekali memiliki seorang pemimpin itu wajib. Namun, untuk mendapatkan pemimpin melalui proses demokrasi yang rendahan ini, tidaklah wajib, bahkan mestinya diharamkan untuk ikut bagian dalam proses demokrasi. Hal itu disebabkan demokrasi adalah sitem politik rendahan yang cenderung menghancurkan martabat manusia dan menjauhkan bangsa Indonesia dari jati diri yang sesungguhnya. Untuk hal ini, banyak artikel yang terdapat dalam http://tom-finaldin8.blogspot.com.
Demokrasi itu berasal dari perilaku orang-orang bingung di Athena zaman dahulu kala, yaitu 600 tahun sebelum masehi, sebuah waktu yang sangat kuno dan kadaluarsa. Mereka saat itu bingung dan mencari cara agar memiliki sistem pemerintahan yang mampu untuk mengelola berbagai suku yang ada. Lahirlah demokrasi kuno. Dari sanalah awalnya. Demokrasi saat ini pun meski dikatakan berkembang, dasarnya masih yang itu-itu juga.
Setelah Athena hancur dikalahkan oleh Sparta yang tidak menganut demokrasi dalam perang Peloponesia, demokrasi tenggelam ditinggalkan begitu saja. Selama dua ribu tiga ratus tahun, dunia tidak menggunakan demokrasi karena dianggap tidak efektif dan kampungan. Sejak saat itu, dunia mencatat berbagai kejayaan di atas muka Bumi ini. Kejayaan Eropa tak ada kaitannya dengan demokrasi, kemajuan keemasan India dan Cina sama sekali tidak di bawah pengaruh demokrasi. Kegilang-gemilangan Islam tak ada hubungannya dengan demokrasi. Demikian pula kemakmuran dan kejayaan negeri-negeri yang kini menjadi Negara Indonesia terjadi tidak pada zaman demokrasi, tetapi terjadi pada masa-masa kerajaan sebelum Si Bedebah VOC datang.
Justru pada zaman ini, zaman demokrasi dielu-elukan dan hampir disakralkan, terjadi penurunan derajat kemanusiaan. Pengetahuan tak lagi berkembang, kecuali untuk kepentingan bisnis dan kekuasaan. Rasa kemanusiaan turun drastis. Kejahatan, kemaksiatan, dan kerakusan merajalela.
Kenyataan seperti itu menunjukkan bahwa demokrasi sama sekali bukan sesuatu yang perlu diteruskan, melainkan harus ditinggalkan dan dilenyapkan. Oleh sebab itu, sungguh menggelikan jika MUI mengeluarkan fatwa haram bagi Golput.
Golput adalah suatu sikap politik yang cerdas karena tidak menemukan figur yang pantas untuk dijadikan pemimpin. Hal ini ada dalam artikel-artikel saya.
Dari pemaparan di atas, bisa kita lihat bahwa demokrasi itu berasal dari ajaran dan perilaku orang-orang bingung Athena, bukan dari para Rasul dan Nabi. Kemudian, demokrasi itu sendiri telah menjauhkan manusia dari berbagai kebaikan nuraninya. Oleh sebab itu, sungguh menggelikan jika MUI yang Islam itu mewajibkan umat Islam untuk ikut dalam proses demokrasi yang berasal dari orang bingung Athena (bukan muslim) dan sudah terbukti tidak efektif.
Soal wajib memiliki pemimpin itu benar. Namun, saya lebih percaya pada teori primus inter pares, ‘orang terbaik di kelompoknya’. Saya yakin pemimpin ini pasti akan ada tanpa harus ada demokrasi. Jika kita berjalan dua, tiga, lima, atau sepuluh orang di dalam hutan, orang terbaik di kelompok itu pasti ada dan otomatis akan menjadi pemimpin kelompok itu tanpa harus ada pemilihan. Orang terbaik itu akan menjadi tujuan orang-orang di sekitarnya. Dialah seseorang yang menjadi tempat orang lain menuju.
Demikian pula dengan Negeri Indonesia yang kita cintai ini. Pasti ada orang terbaik dalam negeri ini yang bisa memimpin dengan adil, bijak, dan penuh cinta. Akan tetapi, selama negeri ini masih percaya, mencintai, bahkan menganggap demokrasi adalah sistem terbaik bagi suatu pemerintahan, selama itu pula orang terbaik itu akan sulit muncul untuk memimpin. Pemimpin yang akan lahir dari demokrasi adalah orang-orang yang berkualitas rendah.
Bagaimana mungkin orang terbaik itu muncul jika harus berdemokrasi? Bukankah menjadi anggota legislatif, eksekutif, dan yudikatif dalam sistem demokrasi itu mahal? Perlu uang banyak, massa yang berjubel, dan jaringan usaha yang kuat? Orang terbaik itu tidak akan ikut dalam demokrasi karena tak akan mengeluarkan uang banyak, massa yang hebat, dan jaringan yang menggurita. Dia malu jika gambarnya harus dipertontonkan di spanduk-spanduk atau baligo. Dia orang pilihan yang akan muncul dalam saat yang tepat sesuai dengan rencana Allah swt.
MUI sebaiknya berdoa dan terus berharap kepada Allah swt agar saat orang terbaik itu muncul, tidak menjadi institusi yang pertama dan terdepan untuk menentangnya. Lebih baik lagi jika MUI terus mendorong masyarakat untuk berdoa agar Allah swt memberikan jalan keluar bagi berbagai kesulitan yang diderita bangsa ini.
Ada dugaan dan nada-nada sumbang di masyarakat. Mungkin fatwa itu lahir dari dorongan pihak-pihak yang diuntungkan oleh demokrasi dan sangat menikmati kekalutan kehidupan rakyat negeri ini. Ada juga yang mengira-ngira bahwa mungkin banyak di antara anggota MUI itu yang juga mencalonkan diri sebagai Caleg atau kepala daerah sehingga Golput adalah ancaman bagi kepentingannya. Entahlah, yang jelas saya sangat berharap bahwa fatwa itu tidak atas dasar kepentingan rendah dan kerdil, melainkan atas keinginan untuk menyelamatkan rakyat.
Soal fatwa itu salah atau kurang benar, itu soal lain. Yang jelas, niatnya harus untuk kebaikan. Kalaupun di hadapan Allah swt fatwa itu salah, toh MUI sudah memiliki sebuah pahala yang sangat besar, yaitu berpikir untuk umat dengan niat yang murni untuk mendapatkan keridhoan Allah swt. Kalau dorongannya duniawi, jelas MUI sendiri tahu akan dapat apa dari Allah swt.
MUI adalah majelis yang dihuni oleh ahli-ahli dalam agama Islam. Artinya, lembaga ini hendaknya menjadi rujukan kaum muslimin di Indonesia yang rata-rata pengetahuan dan pemahaman Islam-nya jauh di bawah mereka yang berada dalam MUI. Oleh sebab itu, lembaga ini pun hendaknya harus lebih hati-hati dalam mengeluarkan fatwa karena akan membawa pengaruh yang cukup luas bagi perkembangan sosial dan spiritual rakyat negeri mayoritas muslim ini.
Masyarakat sempat dikejutkan oleh fatwa MUI yang mengharamkan Golput. Alasannya, dalam Islam diharuskan ada seorang pemimpin dan kaum muslimin wajib memiliki pemimpin. Tentunya, dengan berbagai alasan lainnya yang tampak masuk akal untuk orang kebanyakan.
Fatwa haram Golput ini sesungguhnya fatwa yang menggelikan dan cukup membuat tertawa hampir terpingkal-pingkal. Soalnya, dasar yang digunakan untuk keluarnya fatwa ini sangat terbatas. Artinya, berdasar hanya pada hal-hal yang dituntut oleh Islam tanpa berdasar pada wawasan pergaulan manusia dan fenomena-fenomena dalam hubungan internasional.
Betul sekali memiliki seorang pemimpin itu wajib. Namun, untuk mendapatkan pemimpin melalui proses demokrasi yang rendahan ini, tidaklah wajib, bahkan mestinya diharamkan untuk ikut bagian dalam proses demokrasi. Hal itu disebabkan demokrasi adalah sitem politik rendahan yang cenderung menghancurkan martabat manusia dan menjauhkan bangsa Indonesia dari jati diri yang sesungguhnya. Untuk hal ini, banyak artikel yang terdapat dalam http://tom-finaldin8.blogspot.com.
Demokrasi itu berasal dari perilaku orang-orang bingung di Athena zaman dahulu kala, yaitu 600 tahun sebelum masehi, sebuah waktu yang sangat kuno dan kadaluarsa. Mereka saat itu bingung dan mencari cara agar memiliki sistem pemerintahan yang mampu untuk mengelola berbagai suku yang ada. Lahirlah demokrasi kuno. Dari sanalah awalnya. Demokrasi saat ini pun meski dikatakan berkembang, dasarnya masih yang itu-itu juga.
Setelah Athena hancur dikalahkan oleh Sparta yang tidak menganut demokrasi dalam perang Peloponesia, demokrasi tenggelam ditinggalkan begitu saja. Selama dua ribu tiga ratus tahun, dunia tidak menggunakan demokrasi karena dianggap tidak efektif dan kampungan. Sejak saat itu, dunia mencatat berbagai kejayaan di atas muka Bumi ini. Kejayaan Eropa tak ada kaitannya dengan demokrasi, kemajuan keemasan India dan Cina sama sekali tidak di bawah pengaruh demokrasi. Kegilang-gemilangan Islam tak ada hubungannya dengan demokrasi. Demikian pula kemakmuran dan kejayaan negeri-negeri yang kini menjadi Negara Indonesia terjadi tidak pada zaman demokrasi, tetapi terjadi pada masa-masa kerajaan sebelum Si Bedebah VOC datang.
Justru pada zaman ini, zaman demokrasi dielu-elukan dan hampir disakralkan, terjadi penurunan derajat kemanusiaan. Pengetahuan tak lagi berkembang, kecuali untuk kepentingan bisnis dan kekuasaan. Rasa kemanusiaan turun drastis. Kejahatan, kemaksiatan, dan kerakusan merajalela.
Kenyataan seperti itu menunjukkan bahwa demokrasi sama sekali bukan sesuatu yang perlu diteruskan, melainkan harus ditinggalkan dan dilenyapkan. Oleh sebab itu, sungguh menggelikan jika MUI mengeluarkan fatwa haram bagi Golput.
Golput adalah suatu sikap politik yang cerdas karena tidak menemukan figur yang pantas untuk dijadikan pemimpin. Hal ini ada dalam artikel-artikel saya.
Dari pemaparan di atas, bisa kita lihat bahwa demokrasi itu berasal dari ajaran dan perilaku orang-orang bingung Athena, bukan dari para Rasul dan Nabi. Kemudian, demokrasi itu sendiri telah menjauhkan manusia dari berbagai kebaikan nuraninya. Oleh sebab itu, sungguh menggelikan jika MUI yang Islam itu mewajibkan umat Islam untuk ikut dalam proses demokrasi yang berasal dari orang bingung Athena (bukan muslim) dan sudah terbukti tidak efektif.
Soal wajib memiliki pemimpin itu benar. Namun, saya lebih percaya pada teori primus inter pares, ‘orang terbaik di kelompoknya’. Saya yakin pemimpin ini pasti akan ada tanpa harus ada demokrasi. Jika kita berjalan dua, tiga, lima, atau sepuluh orang di dalam hutan, orang terbaik di kelompok itu pasti ada dan otomatis akan menjadi pemimpin kelompok itu tanpa harus ada pemilihan. Orang terbaik itu akan menjadi tujuan orang-orang di sekitarnya. Dialah seseorang yang menjadi tempat orang lain menuju.
Demikian pula dengan Negeri Indonesia yang kita cintai ini. Pasti ada orang terbaik dalam negeri ini yang bisa memimpin dengan adil, bijak, dan penuh cinta. Akan tetapi, selama negeri ini masih percaya, mencintai, bahkan menganggap demokrasi adalah sistem terbaik bagi suatu pemerintahan, selama itu pula orang terbaik itu akan sulit muncul untuk memimpin. Pemimpin yang akan lahir dari demokrasi adalah orang-orang yang berkualitas rendah.
Bagaimana mungkin orang terbaik itu muncul jika harus berdemokrasi? Bukankah menjadi anggota legislatif, eksekutif, dan yudikatif dalam sistem demokrasi itu mahal? Perlu uang banyak, massa yang berjubel, dan jaringan usaha yang kuat? Orang terbaik itu tidak akan ikut dalam demokrasi karena tak akan mengeluarkan uang banyak, massa yang hebat, dan jaringan yang menggurita. Dia malu jika gambarnya harus dipertontonkan di spanduk-spanduk atau baligo. Dia orang pilihan yang akan muncul dalam saat yang tepat sesuai dengan rencana Allah swt.
MUI sebaiknya berdoa dan terus berharap kepada Allah swt agar saat orang terbaik itu muncul, tidak menjadi institusi yang pertama dan terdepan untuk menentangnya. Lebih baik lagi jika MUI terus mendorong masyarakat untuk berdoa agar Allah swt memberikan jalan keluar bagi berbagai kesulitan yang diderita bangsa ini.
Ada dugaan dan nada-nada sumbang di masyarakat. Mungkin fatwa itu lahir dari dorongan pihak-pihak yang diuntungkan oleh demokrasi dan sangat menikmati kekalutan kehidupan rakyat negeri ini. Ada juga yang mengira-ngira bahwa mungkin banyak di antara anggota MUI itu yang juga mencalonkan diri sebagai Caleg atau kepala daerah sehingga Golput adalah ancaman bagi kepentingannya. Entahlah, yang jelas saya sangat berharap bahwa fatwa itu tidak atas dasar kepentingan rendah dan kerdil, melainkan atas keinginan untuk menyelamatkan rakyat.
Soal fatwa itu salah atau kurang benar, itu soal lain. Yang jelas, niatnya harus untuk kebaikan. Kalaupun di hadapan Allah swt fatwa itu salah, toh MUI sudah memiliki sebuah pahala yang sangat besar, yaitu berpikir untuk umat dengan niat yang murni untuk mendapatkan keridhoan Allah swt. Kalau dorongannya duniawi, jelas MUI sendiri tahu akan dapat apa dari Allah swt.
No comments:
Post a Comment