Thursday, 27 May 2010

Dijajah Bangsa Sendiri

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Terlebih dahulu saya mengucapkan terima kasih kepada yang telah memberi komentar atas tulisan saya yang berjudul Yakin pada Diri Sendiri. Sungguh saya merasakan dalam komentar itu ada semangat, kemarahan, dan keinginan. Tak perlu diragukan lagi jika tindakan dan perasaan kita yang muncul diakibatkan kondisi kehidupan negeri ini berdasarkan pada kebaikan, Allah swt akan beserta kita. Jangan ragu dan tetaplah pada jalan itu sampai Allah swt memberikan kejelasan atas semua yang terjadi.

Dalam komentar itu disebutkan bahwa Indonesia dijajah dalam tiga zaman, yaitu: Belanda, Jepang, dan bangsa sendiri. Untuk Belanda dan Jepang itu sudah pasti, sudah tertulis dalam tinta kengerian dan penderitaan sejarah kelam negeri ini. Akan tetapi, untuk komentar negeri ini saat ini sedang dijajah bangsa sendiri, saya senang jika berbagi pemahaman.

Dalam pandangan saya, tak ada satu nilai atau norma pun yang berasal dari dalam jiwa bangsa Indonesia yang mengajarkan untuk berbuat keburukan, termasuk melakukan kesewenang-wenangan. Apabila bangsa ini mau tunduk pada jiwanya sendiri, akan lebih menyenangkanlah kiranya tatapergaulan kita.

Mengapa sekarang ada kesan bahwa Indonesia sedang dijajah penguasanya sendiri? Persoalannya adalah banyak sekali penguasa dan elit kita yang masih terjajah cara berpikirnya. Mereka berpikir bahwa cara-cara hidup yang berasal dari luar adalah yang terbaik bagi negeri ini. Mereka dari awal sudah merasa sebagai bangsa terbelakang yang hina dan tidak berpengetahuan. Dengan demikian, kita harus selalu mencontoh cara-cara dan sistem berbangsa dari negeri orang yang jauhnya kebangetan. Itulah penyebabnya.

Demokrasi adalah cara-cara bernegara dari negara lain, bukan jati diri asli bangsa Indonesia. Karena negeri ini menganggap bahwa demokrasi adalah cara bernegara yang terbaik, para elit dan pemimpin-pemimpin kita ikut berpacu dalam demokrasi. Setelah menang, tentu saja dia harus memikirkan bagaimana mengucapkan “terima kasih” kepada pihak-pihak yang telah membantunya, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Ucapan terima kasih itu bukan seperti kita apabila diberi makanan oleh teman kita yang hanya cukup dengan bahasa thank’s, melainkan berupa proyek-proyek, uang kes, jabatan, legislasi yang menguntungkan, atau sumber-sumber daya alam yang dikuasainya.

Nah, pemberian terima kasih dan bagi-bagi pekerjaan di kalangan elilt itulah yang kita rasakan sebagai penjajahan oleh bangsa sendiri. Artinya, banyak penguasa yang pasti lebih mementingkan dulu kelompoknya dibandingkan rakyat keseluruhan.

Kita mesti ingat bahwa demokrasi modern itu lahirnya dibidani oleh para pengusaha, bussinesman, yang menginginkan perusahaannya lebih meluaskan lagi kewenangan dan teritorialnya. Artinya, demokrasi itu menjadi sandaran utama untuk berbisnis dengan menggunakan slogan-slogan demi rakyat, untuk rakyat, kesejahteraan rakyat, dan lain sebagainya yang bertopeng rakyat. Padahal, dalam kenyataannya, rakyat itu dinomorsekiankan.

Dalam beberapa kali pengalaman saya bertemu para pemimpin partai, baik lokal maupun nasional, mereka itu sesungguhnya memiliki keinginan yang luhur untuk membawa Indonesia ke arah yang lebih baik dan lebih menjanjikan. Tak ada keraguan bahwa sungguh mereka itu berkata jujur. Mata dan lidahnya menggambarkan keinginan untuk baik. Mereka itu ada yang sudah berkuasa dan ada yang masih berada di luar kekuasaan. Akan tetapi, sayang seribu sayang karena mereka menggunakan mekanisme demokrasi, yang terjadi adalah mereka semua terjebak dalam lingkaran yang rumit dan sulit untuk keluar. Akibatnya, cita-cita luhur dan mulia mereka tidak bisa terlaksana karena banyak terikat oleh ini itu, pihak ini pihak itu, dan upaya-upaya mempertahankan kekuasaan yang menyita energi tidak sedikit.

Yang ingin saya tegaskan di sini adalah sebenarnya kita memiliki pemimpin-pemimpin yang baik dan bercita-cita mulia, rata-rata mereka itu jujur saat belum mendapatkan posisi kekuasaannya. Akan tetapi, saat bermain dalam demokrasi dan apalagi ketika sudah mendapatkan kekuasaan, kejujuran dan kebaikan yang ada itu mulai luntur. Mereka toh harus menang dan mendapatkan banyak suara. Untuk menang kan harus banyak melakukan sesuatu, harus melakukan kerja-kerja politik yang lumayan berat. Dalam melaksanakan kerja-kerja politik itu, tak sedikit perilaku-perilaku yang menodai kejujuran dan kebenaran. Alhasil, negeri ini masih begini-begini juga.

Jadi, penjajahan yang dirasakan dilangsungkan oleh bangsa sendiri, pada hakikatnya adalah sebagian besar para elit kita masih terjajah cara berpikirnya dan menganggap bahwa cara-cara hidup yang diajarkan oleh nilai-nilai kebaikan bangsa sebagai produk terbelakang dan kuno. Begitulah yang terjadi.

Memang agak sulit untuk memahaminya, namun hal ini saya pahami berdasarkan pengamatan, pengetahuan, dan keyakinan yang ada pada diri saya.

No comments:

Post a Comment