oleh Tom Finaldin
Bandung, Putera Sang Surya
Saya diingatkan oleh adik saya yang masih mahasiswa IAIN, “Aa, jangan suka nyalahin syetan. Syetan itu memang tugasnya begitu. Yang salah itu manusianya.”
Kata-kata itu bermaksud mengingatkan saya yang selalu menyalahkan syetan karena telah menggoda bangsa Indonesia untuk melaksanakan politik demokrasi. Saya pikir benar juga adik saya itu. Syetan itu memang akan terus seperti itu. Yang mesti berubah adalah kita, manusia.
Sudah pada tahu kan semua bahwa syetan itu setiap saat berniat mengacaukan kehidupan manusia agar tergelincir dari jalan yang benar? Artinya, tidak perlu dibahas dalam tulisan ini. Kalau mau tahu lebih jelas bagaimana syetan menggunakan demokrasi untuk menyesatkan manusia Indonesia, ada pada tulisan lain di situs ini.
Setelah Pemilu 9 April 2009, kita banyak disuguhi beraneka berita yang benar-benar menyedihkan. Saya tertarik pada kisah seorang Caleg gagal yang mengambil semua miliknya yang telah diberikan kepada orang banyak.
Sang Caleg itu orang baik sejak dulu. Sebelum menjadi Caleg, ia sudah merelakan tanahnya untuk digunakan oleh masyarakat, baik untuk pemukiman nonpermanen, maupun untuk pertanian. Banyak sudah masyarakat yang memanfaatkan kebaikan dia. Tanah yang ia pinjamkan itu sudah lebih dari sepuluh tahun dinikmati orang banyak.
Dari segi spiritual, malaikat pencatat kebaikan dan malaikat lain-lainnya senang melihat perilaku kebaikan orang itu. Setiap saat, setiap tanahnya bermanfaat bagi orang lain, membuat catatan pahalanya menjadi banyak. Selama puluhan tahun, catatan pahalanya saya yakin sudah menggunung.
Karena demokrasi sangat dianjurkan di negeri ini dalam arti negeri ini sudah terkena wabah penyakit demokrasi, ia pun ikut-ikutan jadi Caleg karena tidak tahu bahwa demokrasi itu menyesatkan dan merupakan alat efektif bagi syetan.
Ia merasa yakin bahwa orang-orang yang telah menikmati tanahnya itu akan memilihnya. Akan tetapi, sayang berjuta-juta sayang. Rakyat yang tak tahu terima kasih itu tidak memilihnya.
Akibatnya, Sang Caleg tersinggung dan marah. Ia mengusir orang-orang tak tahu balas budi itu. Entah ke mana orang-orang itu pergi. Ia lalu menggunakan tanahnya itu untuk kepentingannya sendiri karena memang miliknya.
Ya Allah, Ya Robbi, sayang benar dia. Catatan pahala yang telah menggunung lebih dari sepuluh tahun itu hangus tak berarti. Ia telah menghancurkan niat baiknya. Ia terjatuh dalam pamrih yang sangat menyedihkan. Ternyata, Saudara-saudara sekalian, hatinya sudah sangat jauh dari pahala. Ia telah berubah banyak. Kebaikan itu ternoda dan hancur di sisi Allah swt.
Begitulah syetan menghancurkan amal kebaikan manusia. Catatan pahala yang panjang itu musnah terbakar, hangus tak bermanfaat.
Syetan pun terbahak-bahak dan berpesta pora. Demokrasi memang alat terefektif abad ini yang mampu menjerumuskan manusia dalam jurang kesengsaraan.
Entah ada peristiwa apa lagi yang mirip dengan yang satu ini.
Demokrasi … oh … Demokrasi…, kauakan melumatkan siapa pun yang percaya kepadamu.
Begitulah Coy, tragisnya hidup kita.
Kata-kata itu bermaksud mengingatkan saya yang selalu menyalahkan syetan karena telah menggoda bangsa Indonesia untuk melaksanakan politik demokrasi. Saya pikir benar juga adik saya itu. Syetan itu memang akan terus seperti itu. Yang mesti berubah adalah kita, manusia.
Sudah pada tahu kan semua bahwa syetan itu setiap saat berniat mengacaukan kehidupan manusia agar tergelincir dari jalan yang benar? Artinya, tidak perlu dibahas dalam tulisan ini. Kalau mau tahu lebih jelas bagaimana syetan menggunakan demokrasi untuk menyesatkan manusia Indonesia, ada pada tulisan lain di situs ini.
Setelah Pemilu 9 April 2009, kita banyak disuguhi beraneka berita yang benar-benar menyedihkan. Saya tertarik pada kisah seorang Caleg gagal yang mengambil semua miliknya yang telah diberikan kepada orang banyak.
Sang Caleg itu orang baik sejak dulu. Sebelum menjadi Caleg, ia sudah merelakan tanahnya untuk digunakan oleh masyarakat, baik untuk pemukiman nonpermanen, maupun untuk pertanian. Banyak sudah masyarakat yang memanfaatkan kebaikan dia. Tanah yang ia pinjamkan itu sudah lebih dari sepuluh tahun dinikmati orang banyak.
Dari segi spiritual, malaikat pencatat kebaikan dan malaikat lain-lainnya senang melihat perilaku kebaikan orang itu. Setiap saat, setiap tanahnya bermanfaat bagi orang lain, membuat catatan pahalanya menjadi banyak. Selama puluhan tahun, catatan pahalanya saya yakin sudah menggunung.
Karena demokrasi sangat dianjurkan di negeri ini dalam arti negeri ini sudah terkena wabah penyakit demokrasi, ia pun ikut-ikutan jadi Caleg karena tidak tahu bahwa demokrasi itu menyesatkan dan merupakan alat efektif bagi syetan.
Ia merasa yakin bahwa orang-orang yang telah menikmati tanahnya itu akan memilihnya. Akan tetapi, sayang berjuta-juta sayang. Rakyat yang tak tahu terima kasih itu tidak memilihnya.
Akibatnya, Sang Caleg tersinggung dan marah. Ia mengusir orang-orang tak tahu balas budi itu. Entah ke mana orang-orang itu pergi. Ia lalu menggunakan tanahnya itu untuk kepentingannya sendiri karena memang miliknya.
Ya Allah, Ya Robbi, sayang benar dia. Catatan pahala yang telah menggunung lebih dari sepuluh tahun itu hangus tak berarti. Ia telah menghancurkan niat baiknya. Ia terjatuh dalam pamrih yang sangat menyedihkan. Ternyata, Saudara-saudara sekalian, hatinya sudah sangat jauh dari pahala. Ia telah berubah banyak. Kebaikan itu ternoda dan hancur di sisi Allah swt.
Begitulah syetan menghancurkan amal kebaikan manusia. Catatan pahala yang panjang itu musnah terbakar, hangus tak bermanfaat.
Syetan pun terbahak-bahak dan berpesta pora. Demokrasi memang alat terefektif abad ini yang mampu menjerumuskan manusia dalam jurang kesengsaraan.
Entah ada peristiwa apa lagi yang mirip dengan yang satu ini.
Demokrasi … oh … Demokrasi…, kauakan melumatkan siapa pun yang percaya kepadamu.
Begitulah Coy, tragisnya hidup kita.
No comments:
Post a Comment