oleh Tom Finaldin
Bandung, Putera Sang Surya
Pemilu disebut-sebut orang sebagai pesta demokrasi. Duh, bagaimana ini orang-orang bisa percaya bahwa itu sebuah pesta?
Sepanjang yang saya ketahui, yang namanya pesta itu suasananya meriah penuh kesenangan, baik Sang Pemilik Hajat maupun yang diundang. Semuanya gembira riang. Kalau kita tidak diundang pada sebuah pesta yang diadakan kenalan kita, kita agak sedikit sedih dan rada-rada tersinggung. Ketika orang-orang senang-senang, kita sendirian merasa disisihkan. Pokoknya, dalam pesta semua bersuka cita.
Lha ini, Pemilu katanya pesta, tetapi banyak orang deg-degan, terutama mereka yang jadi calon penguasa. Uang sudah keluar banyak, harapan sudah di ujung ubun-ubun, pasti nggak tenang, pusing entah berapa keliling. Yang diundang, rakyat pun bingung, milih ini salah milih itu salah, ah … siapa tahu milih yang ono aja ah daripada nggak milih, siapa tahu ada untungnya. Mereka yang serius bener-bener hanya yang punya keterkaitan langsung dengan partai atau calonnya. Di mana gembiranya? Bahkan, salah-salah, berujung di rumah sakit jiwa.
Katanya sih, demokrasi pengennya menjadikan rakyat berkuasa. Memang rakyat berkuasa pada hari itu, bisa menentukan siapa menduduki apa, tetapi hanya hari itu rakyat berkuasa, itulah satu-satunya hari rakyat berkuasa meskipun tidak berkuasa penuh karena ada money politics. Hari-hari lainnya, sudah tidak ada lagi kekuasaannya. Inilah ketololan politik demokrasi yang menipu rakyat untuk berkuasa, tetapi hanya satu hari. Mestinya, rakyat itu berkuasa setiap hari. Bingung kan? Bagaimana caranya rakyat berkuasa setiap hari? Pasti bingung atuh karena di dalam pikirannya hanya ada demokrasi, tirani, atau Negara Islam. Padahal, ilmu Allah swt itu luas meliputi segala sesuatu.
Para calon yang kebelet ingin manggung itu sudah melakukan serangkaian aksi, entah halal atau haram. Semuanya berkoar-koar demi rakyat, demi kemajuan, demi bangsa. Mereka mengeluarkan uang banyak untuk membiayai partai, tim sukses, spanduk, poster, baligo, iklan di media massa, dan lain sebagainya. Jumlahnya pasti ratusan triliun.
Pada paruh 2008 lalu ada pengamat di televisi yang menyatakan bahwa sampai pada tahun itu dana yang sudah dihabiskan untuk berbagai Pemilihan Kadal (Pemilihan Kepala Daerah Langsung) mencapai lebih dari 900 triliun. Jumlahnya itu pasti bertambah pada tahun 2010 ini. Itu baru yang bisa diukur. Belum lagi yang tidak bisa diukur berupa pengeluaran dari para Caleg dan Caleks (calon eksekutif). Pasti jumlahnya berlipat-lipat daripada 900 triliun itu.
Para pengingin berkuasa itu telah habis-habisan mengeluarkan uang. Sungguh dengan perilaku itu, tipis kepercayaan kita bahwa mereka bisa mengabdi kepada rakyatnya dengan tulus.
Saya kasih tahu, kalau mencintai rakyat itu mestinya uang yang dimiliki itu digunakan untuk meringankan dan membantu rakyat benar-benar, misalnya, membangun irigasi, membebaskan tanah, membuka lapangan kerja, mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, menyantuni fakir miskin tanpa harus teriak-teriak ingin mendapatkan kekuasaan. Berbuat baik saja semaksimal mungkin untuk rakyat. Hal ini akan menunjukkan betapa luhurnya jiwa kita. Orang-orang yang bertipe ini tanpa harus mejeng di baligo atau spanduk pasti akan menjadi tujuan rakyat, tempat orang-orang menuju. Rakyat akan menjadikan dia ayah yang baik dan disegani, kata-katanya bagaikan mutiara karena meluncur dari hati emas yang murni tulus, perintahnya akan diikuti tanpa harus dengan kekerasan.
Dengan mengeluarkan uang banyak-banyak untuk menggelar serangkaian aksi kampanye justru memunculkan kecurigaan yang tinggi. Kita patut curiga apa yang mereka inginkan dari kekuasaan yang didapatkan? Sampai-sampai mereka ada yang mengorbankan dirinya untuk siap bertahan dari depresi akibat dari kekalahan. Ada dugaan bahwa mereka habis-habisan seperti itu karena telah melihat berbagai keuntungan materi duniawi yang lebih besar daripada yang telah dikeluarkan. Kalau bukan untuk keuntungan itu, untuk apa lagi atuh? Karena cinta rakyat? Wah, bukan begitu caranya untuk mencintai rakyat, Coy.
Kalau ada yang mirip-mirip gerakan sosial dan terkesan tulus, seperti, membagikan sembako, membelikan buku sekolah, menyantuni kaum dhuafa, itu juga kelihatan pamer dustanya. Kenapa baru dekat-dekat pemilihan melakukan banyak kebaikan itu? Mestinya dari kemaren-kemaren setiap ada kelebihan rezeki. Itu baru cinta rakyat, cinta bangsa. Kenyataannya kan tidak seperti itu.
Kalau memang itu yang ada dalam benak para calon penguasa itu, berarti rakyat telah ditipu dan terus dibujuk rayu untuk ditipu dengan harus mendatangi tempat pemungutan suara.
Kalau ternyata Pemilu selesai dan ada orang-orang yang beruntung terpilih, saya tidak yakin mereka dapat membawa konsep-konsep, aspirasi-aspirasi, pemikiran-pemikiran positif yang dimilikinya, itu pun kalau ada. Hal itu disebabkan dalam politik demokrasi terdapat tarik-menarik kepentingan yang teramat kuat, perdebatan yang tak perlu, dan pengambilan keputusan yang lamban hasil dari kesepakatan pihak-pihak yang berkepentingan. Rakyat hanyalah tetap menjadi pihak penderita yang tak lagi diajak bicara.
Pada saat itu para idealis akan merasakan betapa susahnya memajukan negeri; para patriot menemukan kesedihan yang memilukan; para pejuang merasakan kelelahan; setiap diri tergoda oleh materi dan kekuasaan yang rasanya gurih dan nikmat. Bahaya yang telah terjadi adalah banyaknya orang berhati tulus yang telah luntur ketulusannya karena sistem politik demokrasi.
Saya seorang wartawan bisa bertemu siapa saja dan melihat dari dekat orang per orang, partai per partai. Sungguh, setiap orang yang saya temui selalu memiliki idealisme yang luhur dan tulus, namun semua itu tertahan dan sulit terwujud karena sistem politik demokrasi menyusahkannya.
Dari seluruh pengamatan itu, saya melihat bahwa hari pelaksanaan Pemilu itu merupakan hari Pesta Ketertipuan Nasional. Artinya, rakyat telah tertipu, para elit pun tertipu. Jati diri kita seluruhnya telah tertipu.
Kita akan terus menipu diri jika terus menggunakan sistem politik demokrasi yang menipu itu.
Sepanjang yang saya ketahui, yang namanya pesta itu suasananya meriah penuh kesenangan, baik Sang Pemilik Hajat maupun yang diundang. Semuanya gembira riang. Kalau kita tidak diundang pada sebuah pesta yang diadakan kenalan kita, kita agak sedikit sedih dan rada-rada tersinggung. Ketika orang-orang senang-senang, kita sendirian merasa disisihkan. Pokoknya, dalam pesta semua bersuka cita.
Lha ini, Pemilu katanya pesta, tetapi banyak orang deg-degan, terutama mereka yang jadi calon penguasa. Uang sudah keluar banyak, harapan sudah di ujung ubun-ubun, pasti nggak tenang, pusing entah berapa keliling. Yang diundang, rakyat pun bingung, milih ini salah milih itu salah, ah … siapa tahu milih yang ono aja ah daripada nggak milih, siapa tahu ada untungnya. Mereka yang serius bener-bener hanya yang punya keterkaitan langsung dengan partai atau calonnya. Di mana gembiranya? Bahkan, salah-salah, berujung di rumah sakit jiwa.
Katanya sih, demokrasi pengennya menjadikan rakyat berkuasa. Memang rakyat berkuasa pada hari itu, bisa menentukan siapa menduduki apa, tetapi hanya hari itu rakyat berkuasa, itulah satu-satunya hari rakyat berkuasa meskipun tidak berkuasa penuh karena ada money politics. Hari-hari lainnya, sudah tidak ada lagi kekuasaannya. Inilah ketololan politik demokrasi yang menipu rakyat untuk berkuasa, tetapi hanya satu hari. Mestinya, rakyat itu berkuasa setiap hari. Bingung kan? Bagaimana caranya rakyat berkuasa setiap hari? Pasti bingung atuh karena di dalam pikirannya hanya ada demokrasi, tirani, atau Negara Islam. Padahal, ilmu Allah swt itu luas meliputi segala sesuatu.
Para calon yang kebelet ingin manggung itu sudah melakukan serangkaian aksi, entah halal atau haram. Semuanya berkoar-koar demi rakyat, demi kemajuan, demi bangsa. Mereka mengeluarkan uang banyak untuk membiayai partai, tim sukses, spanduk, poster, baligo, iklan di media massa, dan lain sebagainya. Jumlahnya pasti ratusan triliun.
Pada paruh 2008 lalu ada pengamat di televisi yang menyatakan bahwa sampai pada tahun itu dana yang sudah dihabiskan untuk berbagai Pemilihan Kadal (Pemilihan Kepala Daerah Langsung) mencapai lebih dari 900 triliun. Jumlahnya itu pasti bertambah pada tahun 2010 ini. Itu baru yang bisa diukur. Belum lagi yang tidak bisa diukur berupa pengeluaran dari para Caleg dan Caleks (calon eksekutif). Pasti jumlahnya berlipat-lipat daripada 900 triliun itu.
Para pengingin berkuasa itu telah habis-habisan mengeluarkan uang. Sungguh dengan perilaku itu, tipis kepercayaan kita bahwa mereka bisa mengabdi kepada rakyatnya dengan tulus.
Saya kasih tahu, kalau mencintai rakyat itu mestinya uang yang dimiliki itu digunakan untuk meringankan dan membantu rakyat benar-benar, misalnya, membangun irigasi, membebaskan tanah, membuka lapangan kerja, mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, menyantuni fakir miskin tanpa harus teriak-teriak ingin mendapatkan kekuasaan. Berbuat baik saja semaksimal mungkin untuk rakyat. Hal ini akan menunjukkan betapa luhurnya jiwa kita. Orang-orang yang bertipe ini tanpa harus mejeng di baligo atau spanduk pasti akan menjadi tujuan rakyat, tempat orang-orang menuju. Rakyat akan menjadikan dia ayah yang baik dan disegani, kata-katanya bagaikan mutiara karena meluncur dari hati emas yang murni tulus, perintahnya akan diikuti tanpa harus dengan kekerasan.
Dengan mengeluarkan uang banyak-banyak untuk menggelar serangkaian aksi kampanye justru memunculkan kecurigaan yang tinggi. Kita patut curiga apa yang mereka inginkan dari kekuasaan yang didapatkan? Sampai-sampai mereka ada yang mengorbankan dirinya untuk siap bertahan dari depresi akibat dari kekalahan. Ada dugaan bahwa mereka habis-habisan seperti itu karena telah melihat berbagai keuntungan materi duniawi yang lebih besar daripada yang telah dikeluarkan. Kalau bukan untuk keuntungan itu, untuk apa lagi atuh? Karena cinta rakyat? Wah, bukan begitu caranya untuk mencintai rakyat, Coy.
Kalau ada yang mirip-mirip gerakan sosial dan terkesan tulus, seperti, membagikan sembako, membelikan buku sekolah, menyantuni kaum dhuafa, itu juga kelihatan pamer dustanya. Kenapa baru dekat-dekat pemilihan melakukan banyak kebaikan itu? Mestinya dari kemaren-kemaren setiap ada kelebihan rezeki. Itu baru cinta rakyat, cinta bangsa. Kenyataannya kan tidak seperti itu.
Kalau memang itu yang ada dalam benak para calon penguasa itu, berarti rakyat telah ditipu dan terus dibujuk rayu untuk ditipu dengan harus mendatangi tempat pemungutan suara.
Kalau ternyata Pemilu selesai dan ada orang-orang yang beruntung terpilih, saya tidak yakin mereka dapat membawa konsep-konsep, aspirasi-aspirasi, pemikiran-pemikiran positif yang dimilikinya, itu pun kalau ada. Hal itu disebabkan dalam politik demokrasi terdapat tarik-menarik kepentingan yang teramat kuat, perdebatan yang tak perlu, dan pengambilan keputusan yang lamban hasil dari kesepakatan pihak-pihak yang berkepentingan. Rakyat hanyalah tetap menjadi pihak penderita yang tak lagi diajak bicara.
Pada saat itu para idealis akan merasakan betapa susahnya memajukan negeri; para patriot menemukan kesedihan yang memilukan; para pejuang merasakan kelelahan; setiap diri tergoda oleh materi dan kekuasaan yang rasanya gurih dan nikmat. Bahaya yang telah terjadi adalah banyaknya orang berhati tulus yang telah luntur ketulusannya karena sistem politik demokrasi.
Saya seorang wartawan bisa bertemu siapa saja dan melihat dari dekat orang per orang, partai per partai. Sungguh, setiap orang yang saya temui selalu memiliki idealisme yang luhur dan tulus, namun semua itu tertahan dan sulit terwujud karena sistem politik demokrasi menyusahkannya.
Dari seluruh pengamatan itu, saya melihat bahwa hari pelaksanaan Pemilu itu merupakan hari Pesta Ketertipuan Nasional. Artinya, rakyat telah tertipu, para elit pun tertipu. Jati diri kita seluruhnya telah tertipu.
Kita akan terus menipu diri jika terus menggunakan sistem politik demokrasi yang menipu itu.
No comments:
Post a Comment