oleh Tom Finaldin
Bandung, Putera Sang Surya
Beberapa waktu lalu, Hillary Clinton, Menlu AS, mengunjungi Indonesia dalam rangka safarinya ke negeri-negeri Asia. Dalam kunjungan itu, Hillary banyak memuji Indonesia yang katanya telah melaksanakan demokrasi dengan baik dan merupakan negeri yang tepat untuk melaksanakan investasi, tentunya dengan sejumlah pujian lainnya.
Sebelum kehadirannya ke Indonesia, banyak pihak di dalam negeri yang sudah senyum-senyum sumringah. Apalagi ketika sudah datang, semakin banyak yang gembira dan berusaha mengikuti perjalanannya. Sebelumnya, sudah banyak yang berharap bahwa Barack Obama dan kabinetnya akan bageur, ‘bersikap baik’, kepada Indonesia dan menjadi jalan keluar dari kesulitan yang diderita negeri ini.
Sungguh, orang-orang yang punya harapan banyak kepada Obama dan Hillary adalah orang-orang kerdil dan bermental inlander, berjiwa kaum terjajah.
Saya jadi ingat. Dulu Belanda datang ke Indonesia dengan bermuka manis dan baik-baik. Katanya, mereka ingin mengajarkan keamanan, keberadaban, dan ketertiban, beschaving dan orde en rust. Orang kita percaya saja mulut mereka, bahkan gembira dengan melupakan bahwa sebenarnya ketika orang-orang Eropa masih tinggal di pinggir-pinggir sungai, di gua-gua, dan berantem rebutan sepetak tanah, rakyat Indonesia sudah hidup lebih tertib, damai, serta mengenal namanya tenggang rasa dan gotong royong. Kejadian selanjutnya, Belanda menjajah dan memeras rakyat sekaligus sumber daya alam Indonesia karena mereka miskin bahan dasar untuk kebutuhan hidup negerinya.
Jepang pun demikian. Mereka datang dengan kalimat-kalimat 3A, yaitu: Jepang Pelindung Asia, Jepang Cahaya Asia, Jepang Pemimpin Asia. Maklum, saat itu memang Jepang sedang berada dalam kepopulerannya karena merupakan negeri Asia pertama yang telah berhasil mengalahkan Rusia yang Eropa itu. Rakyat pun gembira karena merasa mendapat penolong yang telah membebaskan negeri dari penjajahan Belanda. Kejadian selanjutnya, kabarnya, Jepang menjajah Indonesia dengan lebih kasar dan beringas. Kita pun terus tertindas.
Kini, kita kedatangan Hillary Clinton dengan senyum dan sejumlah pujiannya. Sudahlah, tak perlu terulang lagi sejarah yang mengerikan itu. Kita mesti waspada dan tidak perlu gembira dengan kehadiran dia. Dia toh bukan warga Indonesia.
Begini Saudara, dia itu Menlu yang jelas memiliki misi untuk kepentingan negerinya, bukan untuk kepentingan Indonesia. Dalam teorinya pun, yang namanya kunjungan atau aktivitas politik luar negeri adalah dimaksudkan untuk menjalankan misi demi kepentingan nasional negara yang mengutusnya. Artinya, kita nggak perlu tertipu atau berharap banyak dari orang lain. Bahkan, mesti curiga karena mereka itu berupaya mendapatkan sesuatu yang bermanfaat bagi negerinya dari potensi yang dimiliki negeri ini, tak peduli dengan kondisi rakyat kita. Secara teori, memang harus begitu.
Kita ini kalau ingin maju dan berhasil, harus menggunakan darah, keringat, dan tenaga sendiri. Kita harus punya cita-cita dan cara-cara sendiri sesuai dengan keyakinan dan nilai-nilai yang melekat dalam diri kita. Bloon namanya kalau kita menggantungkan nasib pada negeri orang. Jatuh-bangunnya negeri ini, mati-hidupnya Indonesia, dan jaya-runtuhnya Nusantara, sama sekali bukan oleh orang lain, melainkan oleh diri sendiri.
Gunakan seluruh kekuatan yang ada, baik lahir maupun batin, baik materiil maupun spiritual, kerahkan semua sarana yang ada untuk membuat kita hidup sebagaimana yang kita inginkan. Jangan percaya orang lain, kita hidup bergantung kekuatan kita sendiri, bukan bergantung pada orang lain, apalagi pada kapitalis atau komunis.
Sebelum kehadirannya ke Indonesia, banyak pihak di dalam negeri yang sudah senyum-senyum sumringah. Apalagi ketika sudah datang, semakin banyak yang gembira dan berusaha mengikuti perjalanannya. Sebelumnya, sudah banyak yang berharap bahwa Barack Obama dan kabinetnya akan bageur, ‘bersikap baik’, kepada Indonesia dan menjadi jalan keluar dari kesulitan yang diderita negeri ini.
Sungguh, orang-orang yang punya harapan banyak kepada Obama dan Hillary adalah orang-orang kerdil dan bermental inlander, berjiwa kaum terjajah.
Saya jadi ingat. Dulu Belanda datang ke Indonesia dengan bermuka manis dan baik-baik. Katanya, mereka ingin mengajarkan keamanan, keberadaban, dan ketertiban, beschaving dan orde en rust. Orang kita percaya saja mulut mereka, bahkan gembira dengan melupakan bahwa sebenarnya ketika orang-orang Eropa masih tinggal di pinggir-pinggir sungai, di gua-gua, dan berantem rebutan sepetak tanah, rakyat Indonesia sudah hidup lebih tertib, damai, serta mengenal namanya tenggang rasa dan gotong royong. Kejadian selanjutnya, Belanda menjajah dan memeras rakyat sekaligus sumber daya alam Indonesia karena mereka miskin bahan dasar untuk kebutuhan hidup negerinya.
Jepang pun demikian. Mereka datang dengan kalimat-kalimat 3A, yaitu: Jepang Pelindung Asia, Jepang Cahaya Asia, Jepang Pemimpin Asia. Maklum, saat itu memang Jepang sedang berada dalam kepopulerannya karena merupakan negeri Asia pertama yang telah berhasil mengalahkan Rusia yang Eropa itu. Rakyat pun gembira karena merasa mendapat penolong yang telah membebaskan negeri dari penjajahan Belanda. Kejadian selanjutnya, kabarnya, Jepang menjajah Indonesia dengan lebih kasar dan beringas. Kita pun terus tertindas.
Kini, kita kedatangan Hillary Clinton dengan senyum dan sejumlah pujiannya. Sudahlah, tak perlu terulang lagi sejarah yang mengerikan itu. Kita mesti waspada dan tidak perlu gembira dengan kehadiran dia. Dia toh bukan warga Indonesia.
Begini Saudara, dia itu Menlu yang jelas memiliki misi untuk kepentingan negerinya, bukan untuk kepentingan Indonesia. Dalam teorinya pun, yang namanya kunjungan atau aktivitas politik luar negeri adalah dimaksudkan untuk menjalankan misi demi kepentingan nasional negara yang mengutusnya. Artinya, kita nggak perlu tertipu atau berharap banyak dari orang lain. Bahkan, mesti curiga karena mereka itu berupaya mendapatkan sesuatu yang bermanfaat bagi negerinya dari potensi yang dimiliki negeri ini, tak peduli dengan kondisi rakyat kita. Secara teori, memang harus begitu.
Kita ini kalau ingin maju dan berhasil, harus menggunakan darah, keringat, dan tenaga sendiri. Kita harus punya cita-cita dan cara-cara sendiri sesuai dengan keyakinan dan nilai-nilai yang melekat dalam diri kita. Bloon namanya kalau kita menggantungkan nasib pada negeri orang. Jatuh-bangunnya negeri ini, mati-hidupnya Indonesia, dan jaya-runtuhnya Nusantara, sama sekali bukan oleh orang lain, melainkan oleh diri sendiri.
Gunakan seluruh kekuatan yang ada, baik lahir maupun batin, baik materiil maupun spiritual, kerahkan semua sarana yang ada untuk membuat kita hidup sebagaimana yang kita inginkan. Jangan percaya orang lain, kita hidup bergantung kekuatan kita sendiri, bukan bergantung pada orang lain, apalagi pada kapitalis atau komunis.
No comments:
Post a Comment