Friday, 2 April 2010

Demokrasi Tak Menyumbangkan Apa pun bagi Manusia kecuali Kehancuran

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Saat ini gegap gempita demokrasi begitu membahana di seantero dunia. Manusia begitu mencintai dan menganggapnya jalan keluar dari berbagai kesulitan. Sungguh hal itu merupakan kegembiraan yang berasal dari tipuan-tipuan syetan. Manusia tertipu karena melihat dengan sekadarnya sistem politik demokrasi yang tampaknya menghasilkan keberhasilan luar biasa.

Di balik itu semua, jati diri demokrasi menunjukkan keasliannya, yaitu membuat hidup manusia jadi tidak terarah dan hanya menyibukkan manusia dengan hal-hal rendah semisal materi dan kekuasaan. Syetan benar-benar beruntung.

Sebenarnya, teramat mudah memahami judul di atas. Jika mau membandingkan antara zaman sebelum demokrasi dan zaman demokrasi saat ini, kita akan mendapatkan bahwa pada zaman demokrasi ini manusia hampir tak berkembang dari berbagai segi, kecuali perlombaan dalam mengejar hal-hal yang bersifat duniawi yang semuanya cenderung menghalalkan segala cara, yang penting menang dan mendapatkan apa yang diinginkan.

Justru pada zaman tak ada demokrasi, manusia berkembang dengan hebatnya. Berbagai penemuan dan pengetahuan berkembang dengan mengagumkan. Kita bisa lihat dan harus diakui bahwa listrik yang kita gunakan sekarang ini ditemukan bukan pada zaman demokrasi. Arsitektur, kimia, kedokteran, biologi, matematika, astronomi, sosiologi, seni, sastra, filsafat, spiritual, dan berbagai pengetahuan lain tumbuh dengan sangat baik dan memesonakan. Ilmu-ilmu pengetahuan itu sangat bermanfaat bagi kehidupan seluruh umat manusia di muka Bumi ini. Kepesatan ilmu pengetahuan itu seiring pula dengan bertaburannya bintang-bintang ilmu, misalnya, Ibnu Sina, Hasan Al Baitan, Ibnu Tufail, Thomas Alva Edison, Graham Bell, Mozart, dan sederet bintang lain, baik dari timur maupun barat, baik muslim maupun nonmuslim. Mereka dan karyanya itu lahir tidak pada zaman demokrasi.

Kalau mau lebih jujur lagi, lihat di dalam negeri Indonesia ini. Kapan Candi Borobudur dibangun? Pasti didirikan ketika rakyat negeri ini tak mengenal demokrasi. Candi itu dan berbagai candi lainnya adalah suatu pertunjukkan kehebatan teknologi yang luar biasa sampai-sampai ahli-ahli bangunan modern dari berbagai belahan muka Bumi ini tak mampu menjelaskannya secara ilmiah. Demikian pula dengan Masjid Demak yang memiliki tiang penyangga dari bilahan-bilahan kayu telah berdiri kokoh yang menunjukkan sebuah perhitungan arsitek yang matang. Pada zaman ini pasti tak ada seorang arsitek pun yang akan menyarankan membuat tiang penyangga serupa itu. Mereka tak berani melakukannya karena khawatir terhadap risikonya.

Pada zaman ini, zaman demokrasi, ilmu apa yang telah lahir? Siapa yang menjadi bintangnya?

Ada sih kemajuan ya … lumayan kecil-kecil, misalnya, kloning, tapi sehebat apa kloning itu memberikan manfaat bagi manusia? Ada juga yang lain, lumayan lah. Akan tetapi, berbagai penemuan itu selalu saja beriringan dengan kepentingan-kepentingan materi, semuanya ditujukan tidak untuk kepentingan ilmu pengetahuan itu sendiri.

Yang jelas pada zaman demokrasi ini terjadi penurunan kemanusiaan dengan sangat drastis dan kehancuran budi pekerti secara bertahap dalam tempo yang cepat. Perlombaan mengejar kemewahan menjadi hal biasa sambil tidak mempedulikan penderitaan orang lain. Bahkan, orang yang tidak menderita dibuat menderita. Diseranglah mereka secara fisik maupun nonfisik agr dapat dicuri harta dan sumber daya alamnya. Kalau perlu, nyawa mereka pun dibeli juga.

Mungkin kalau dulu banyak orang berprestasi dan bermanfaat bagi manusia karena energi yang dimiliki mereka tidak tersedot memikirkan politik. Tidak terlalu banyak orang yang hidup dalam hiruk pikuk politik. Dengan demikian, setiap orang energinya terkonsentrasi terhadap keahlian yang dimilikinya masing-masing sehingga terus menggali dan mencipta sampai peranan hidupnya di dunia ini berakhir dengan meninggalkan karya-karya penting.

Berbeda dengan pada zaman demokrasi, semua orang bisa dibilang dipusingkan dengan urusan politik. Setiap ada celah sedikit untuk berpolitik dan mendapatkan kekuasaan, orang-orang segera berebut. Mereka berlelah-lelah mengejar dengan meninggalkan hal-hal lain yang sebenarnya bisa dilakukan dengan lebih baik. Misalnya, dokter akan lebih baik jika terus berkarya dalam kedokterannya sampai benar-benar bermanfaat bagi manusia, bukan hanya sekedar cari uang terus jadi distributor obat yang dijual kepada pasiennya. Karena zaman demokrasi ini selalu dipusingkan dengan politik, banyak juga dokter yang ikut ramai cari kursi kekuasaan, bahkan dokter gigi hewan pun ikut-ikutan. Maaf para dokter yang baik. Itu hanya sekedar contoh yang memprihatinkan. Demikian pula dengan profesi-profesi lain, akan lebih baik terus berkarir dan berkarya dalam keahliannya masing-masing sehingga benar-benar mumpuni dan mampu lebih memberikan lagi manfaat bagi orang lain. Biarkanlah mereka yang benar-benar berpolitik adalah orang-orang yang memahami politik dan memiliki tanggung jawab serta kejujuran politik. Tak perlu semua profesi ikut-ikutan politik, lalu pindah profesi jadi politikus. Artis juga ikut latah cari kekuasaan dengan menggunakan pesonanya.

Artinya, pada zaman demokrasi ini pengetahuan yang hebat-hebat itu sulit terjadi karena orang sangat disibukkan oleh politik. Profesi yang paling menguntungkan dalam dunia demokrasi adalah menjadi penguasa atau pengusaha, kalau bisa, dua-duanya sekaligus. Kalaupun ada kelihatan pengetahuan yang sedang berkembang, jalannya sangat lambat dan cenderung tak sampai tujuan.

Sekedar saran, coba hitung sendiri sambil merenung, berapa banyak ilmu dan manusia berprestasi pada zaman tak ada demokrasi dan pada saat demokrasi diagungkan. Lalu, bandingkan.

Masihkah kita percaya dengan demokrasi?


No comments:

Post a Comment