Saturday 12 June 2010

Penyebab Malapetaka di Indonesia

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Semakin hari semakin sulit rasanya hidup di Negeri Zamrud Katulistiwa ini. Sudah 63 tahun kita merdeka, namun hidup rasanya tak pernah merdeka. Kesulitan dan kesusahan datang bertubi-tubi. Padahal, Allah swt telah menciptakan Indonesia sebagai tanah yang kaya raya dengan sumber daya alam. Jika penduduknya cerdas dan beriman, pasti dapat hidup penuh kemuliaan, baik di dunia maupun di akhirat.

Rasanya ingin merinci segala kekayaan alam yang ada di Indonesia. Kekayaan itu akan menjadikan rakyat negerinya hidup nyaman dan makmur. Akan tetapi, terlalu bosan untuk menuliskannya atau mengatakannya karena semuanya terasa semu, dingin, samar, dan palsu. Kita tak pernah benar-benar mampu memanfaatkan kemewahan sumber daya alam untuk kesejahteraan kita sendiri.

Setiap hari kita hanya menyaksikan dan merasakan penderitaan, kesengsaraan, kekacauan, pertengkaran, kebingungan, kriminalitas, abuse of power, dan sedikit keberhasilan beberapa gelintir orang yang dipertontonkan dengan keangkuhan. Ada memang secuil kebanggaan, yaitu kegagahan para pejuang dan kisah para pahlawan dari Sabang sampai Merauke. Akan tetapi, hal itu pun terasa hambar karena tak lagi dihargai, tak lagi diingat, tak lagi diteladani. Kisah itu bagaikan dongeng yang ingin diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Dongeng-dongeng itu sama sekali tak lebih menarik bagi anak-anak kita dibandingkan fabel sebagai pengantar tidur malam, itu pun kalau masih ada kebiasaan mendongeng sebelum tidur karena saat ini sudah terdesak oleh play station, sinetron, dan sejumlah permainan individualis impor lainnya.

Sebenarnya, sangat ingin saya menggambarkan kesedihan dan kemelaratan kita, namun terlalu letih juga untuk mengulang-ulangnya. Sudah banyak pihak yang membeberkan soal kemiskinan rakyat negeri ini. Tak perlu rasanya saya memaparkan rasa sakit yang setiap hari menemani pemilik sah negeri ini. Kalau saya bilang rasa sakit, itu bukan hanya sakit tubuh karena lapar, penyakit, siksaan, atau yang sifatnya fisik, melainkan pula sakit hati, cemas, bingung, dan nyaris hidup tanpa harapan.

Duhai, apa gerangan yang menimpa negeri ini? Negeri yang semestinya kaya raya?

Sesungguhnya, kita, penduduk negeri ini, akan lebih makmur daripada bangsa mana pun di dunia ini. Hal itu disebabkan tanah air kita memiliki sumber daya alam yang teramat cukup untuk dijadikan bekal hidup. Kita punya beras, air, minyak, kayu, batu bara, ikan, ternak, sayur mayur, rempah-rempah, biji-bijian, logam, emas, perak, permata, mutiara, bahan bangunan, dan lain sebagainya yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Pendek kata, Allah swt menganugerahkan segala kebutuhan kita untuk hidup di dunia ini. Bahkan, bukan hanya cukup, melainkan berlebih sehingga penduduk dunia pun dapat ikut menikmatinya. Sangat berbeda dengan negeri-negeri lain. Sebut saja negara kaya raya yang sering disebut negeri petro dollar, Arab Saudi, mereka cuma punya minyak yang melimpah dan mungkin hasil bumi lainnya yang jumlahnya pasti lebih sedikit dibandingkan Indonesia. Namun, mengapa mereka lebih mampu dibandingkan kita memanfaatkan sumber buminya?

Penjajahan
Orang bisa berkata bahwa kata penjajahan adalah kata klise, lipstik jika selalu dijadikan alasan untuk menjelaskan kemunduran bangsa ini. Akan tetapi, sesungguhnya memang itulah salah satu alasan terbesar yang menjadikan bangsa ini kacau balau di samping satu alasan lainnya, yaitu kerakusan duniawi.

Soal kerakusan akan kita bicarakan nanti. Sekarang, sebaiknya kita konsentrasi pada masalah penjajahan.

Indonesia adalah negeri yang subur makmur, kekayaan alamnya melimpah ruah. Dulu pada masa prapenjajahan, negeri ini dipimpin oleh para raja yang gagah berani dan mampu membuat rakyatnya menggali hasil bumi sehingga terciptalah perdagangan yang kuat. Perdagangan itu bukan hanya terjadi di antara negeri-negeri se-Nusantara, melainkan pula dengan negeri-negeri di Eropa. Sudah jelas jika pemimpin dan rakyatnya mampu melakukan perdagangan yang luar biasa hebat, pasti kehidupannya pun makmur.

Di samping makmur, rakyat negeri ini pun mampu meningkatkan kehidupan spiritualnya dengan bergaul dengan bangsa-bangsa lain. Dengan demikian, terjadi peningkatan yang mencolok dalam bidang religius. Hindu dan Budha diterima dengan baik oleh rakyat negeri ini sehingga banyak raja yang mengundang ahli-ahli agama dari India untuk mengajarkan rakyatnya tentang agama baru itu. Para penganjur agama itu pun mampu membaur dengan masyarakat sehingga tak ada goncangan-goncangan yang berarti. Demikian pula ketika Islam masuk melalui perdagangan, diterima dengan baik oleh keluarga kerajaan dan rakyat Indonesia. Kita bisa menyaksikan saat ini masih banyak masjid yang didirikan oleh para penyebar Islam yang datang dari luar Nusantara. Masjid itu dianggap masjid keramat, banyak berkahnya, sehingga sampai sekarang banyak dikunjungi umat Islam. Bahkan, Islam menjadi agama yang mayoritas di negeri ini. Islam hadir dengan damai dan logis.

Adanya aktivitas ekonomi dan peningkatan religi yang tinggi sudah tentu mencerminkan tingginya tingkat kehidupan saat itu. Seandainya tak ada penjajahan, pasti rakyat negeri ini tenang-tenang saja dan hidup makmur. Kalaupun ada perubahan sesuai dengan perkembangan zaman, pasti perubahan itu bersifat alamiah, natural. Berbeda dengan penjajahan yang membawa perubahan drastis dengan berbagai tindakan licik, penindasan, curang, tipu muslihat, maling, adu domba, dan seabrek kejahatan kemanusiaan lainnya. Penjajahan yang terjadi di Indonesia memang mengerikan sampai-sampai mengubah kondisi alam, kondisi kejiwaan, dan sistem pergaulan masyarakat yang sudah mapan.

Sudah tak dapat disangkal lagi bahwa penjajahan membuat rakyat Indonesia yang dulunya pemilik sah tanah airnya menjadi manusia-manusia kelas rendahan yang hidup penuh dengan kehinaan. Kata orang-orang Belanda, rakyat Indonesia adalah rakyat yang mampu “hidup sebenggol sehari”. Itulah kalimat hinaan mereka. Padahal, mereka sendiri yang membuat rakyat menjadi seperti itu.

Di bawah ini saya ketengahkan tulisan Presiden Pertama Republik Indonesia Soekarno (1964) tentang penjajahan, baik di Indonesia maupun di luar Indonesia. Kutipan ini dibatasi dengan nomor karena bukan berasal dari satu buah karya tulis, melainkan dari berbagai judul tulisan Beliau.


(1) Penyebab kolonisasi bukanlah keinginan pada kemasyhuran, bukan keinginan melihat dunia asing, bukan keinginan merdeka, dan bukan pula oleh karena negeri rakyat yang menjalankan kolonisasi itu terlampau sesak oleh banyaknya penduduk--sebagaimana yang telah diajarkan Gustav Klemm. Akan tetapi, asalnya kolonisasi ialah teristimewa soal rezeki.

"Yang pertama-tama menyebabkan kolonisasi ialah hampir selamanya kekurangan bekal hidup dalam tanah airnya sendiri," begitulah Dietrich Schafer berkata.

Kekurangan rezeki itulah yang menjadi sebab rakyat-rakyat Eropa mencari rezeki di negeri lain! Itu pula yang menjadi sebab rakyat-rakyat itu menjajah negeri-negeri tempat mereka bisa mendapatkan rezeki.

Begitulah bertahun-tahun, berwindu-windu, rakyat-rakyat Eropa mempertuankan negeri-negeri Asia. Berwindu-windu rezeki-rezeki Asia masuk ke negerinya. Teristimewa Eropa Barat-lah yang bukan main tambah kekayaannya.

Begitulah tragisnya riwayat-riwayat negeri jajahan.


(2) Soal jajahan adalah soal rugi atau untung. Soal ini bukanlah soal kesopanan atau soal kewajiban. Soal ini adalah soal mencari hidup, soal business.

Tak kecil kerugian ekonomi Inggeris bilamana Mesir atau India dapat memerdekakan diri. Tak sedikitlah kerugian rezeki Perancis dan Amerika bilamana Indocina dan Philipina bisa menjadi bebas.

Tak ternilailah kerugian yang diderita negeri Belanda bilamana bendera Indonesia bisa berkibar-kibar di tanah air kita, sebagaimana yang dikatakan Jhr. Dr. Sandberg, "Indie verloren, rampspoed geboren."

Tak terhinggalah bencana yang menimpa Benua Eropa bilamana Benua Asia bisa menurunkan beban imperialisme asing pada pundaknya. Hal ini cukuplah dibuktikan oleh pujangga-pujangga, diplomat-diplomat, serta juru-juru pengarang Eropa dan Asia dengan secukup-cukupnya angka dan seteliti-telitinya hitungan. Negeri jajahan yang untuk negeri pertuanan yang kecil adalah mahabesar dan mahatinggi kepentingannya. Oleh karena itu, harus dan mesti dipegang teguh-teguh, diikat erat-erat olehnya, jangan sampai terlepas. Oleh sebab itu, soal jajahan pada hakikatnya bukanlah soal hak. Ia soal kekuasaan. Ia soal macht.


(3) Masyarakat Belanda bukanlah suatu masyarakat yang mempunyai syarat-syarat untuk hidup suburnya modern industrialisme. Masyarakat Belanda adalah suatu masyarakat yang melarat basisgrondstoffen, suatu masyarakat yang tiada tambang-tambang besi, suatu masyarakat yang kurang arang batu, suatu masyarakat yang terlalu bloedarm untuk menjadi suatu masyarakat yang libeeral-industrialistisch. Kota-kota, seperti, Leeds, Birmingham, Manchester, tidaklah ada di negeri Belanda itu. Ya, kota-kota semacam itu tidak akan bisa ada di negeri Belanda.


(4) Aduhai, betapa tingginya tingkat perusahaan pribumi di zaman sebelum imperialisme asing merajalela! Marilah saya di bawah ini mengulangi lagi beberapa citaat yang tempo hari saya kemukakan di dalam saya punya pledooi.

Marilah kita mendengarkan Th. St. Raffles yang menulis begitu sukarnya menceriterakan "luasnya" perdagangan di Tanah Jawa pada saat orang Belanda mulai di tepi Lautan-lautan Timur, begitu menyedihkan hatilah menceriterakan bagaimana perdagangan itu "dihalang-halangi", dirobah, dan "dikecil-kecilkan" oleh perbuatan bangsa asing itu, yakni dengan kekuasaan monopoli yang sudah bobrok, dengan ketamakan dan keserakahan pada duit ....
Marilah kita mendengarkan Prof. Veth yang menceriterakan bahwa bangsa kita ketika masih dalam abad keenam belas, misalnya, pada zaman Majapahit, adalah terkenal sebagai "kaum saudagar" yang besar usaha, "kaum pelajar" yang gagah, "kaum perantau" yang berani. Bangsa kita itu tentunya terkena perubahan yang besar sekali menjadi kaum tani yang diam dan jinak seperti sekarang ini! Diam dan jinak karena obat tidur ketaklukan pada bangsa asing yang sama sekali itu sudah bekerja!

Marilah kita mendengarkan Prof. van Gelderen yang berkata, "Dengan adanya pusaka yang luas, maka tak bisalah disangkal lagi bahwa pada zaman dulu sudah ada permulaan perdagangan yang giat dari perhubungan niaga dengan tanah seberang .... Oleh adanya contingenten dan leverancien, kemudian oleh adanya stelsel cultuur paksaan, maka kaum produsen pribumi didesaklah dari pasar dunia dan dihalang-halangi suburnya suatu kelas majikan dan kelas saudagar bangsa sendiri."

Begitulah, perusahaan-perusahaan asing zaman sekarang ini sudahlah memadamkan sama sekali pertukangan-pertukangan di rumah. Perdagangan ekspor pribumi menjadi binasa sama sekali dan perusahaan-perusahaan yang hanya membikin barang-barang untuk daerah sendiri saja menjadi hilang tersapu oleh gelombang barang-barang bikinan massaproductie.

Marilah kita mendengarkan ceritera Du Bus, "Pada zaman dahulu tanah Jawa mengambil kain-kain yang berkualitas agak bagus dari pesisir, tetapi kain-kain untuk keperluan sehari-hari ia bisa bikin sendiri, cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh tanah Jawa, malahan juga cukup untuk sebagian keperluan tanah Hindia. Berkapal-kapallah barang-barang itu meninggalkan tanah Jawa, menyebar kian-kemari ke seluruh nusa-nusa di sekelilingnya."

Disambung dengan perkataan Schmalhausen yang membubuhi komentar, "Sedang Du Bus di antara sebab-sebabnya keadaan jelek ini menyebutkan pula musnahnya perusahaan-perusahaan ekspor, maka kita di dalam zaman sekarang ini, jugalah boleh mengatakan lagi bahwa banyak perusahaan-perusahaan pribumi menjadi megap-megap atau binasa sama sekali!"


(5) "Bilamana pergaulan hidup pribumi bertambah sehat sehingga harga sewa tanah juga lantas naik ke atas, maka perusahaan kaum modal Eropa itu menjadi kurang untung," begitulah Prof. van Gelderen berkata.

Ucapan itu kami tambahi dengan ucapan Meyer Ranneft, "Jumlah harta yang digali oleh modal dan perusahaan itu menjadi lebih besar kalau tingkat masyarakat pribumi lebih melarat."

Kami tambahi lagi dengan pendapatnya Prof. Boeke yang tertulis mereka yang punya modal itu hanyalah mengharap dari Hindia tanah yang subur dan kaum buruh yang murah! Rakyat penduduk bagi mereka tak lebih dari suatu alat atau suatu kesusahan yang tak dapat dihindarkan. Buat mereka, yang paling perlu hanyalah banyaknya kaum buruh dan harga tanah. Kalau kaum buruh banyak jumlahnya sehingga harga dan upah menjadi rendah, merekalah yang untung.


(6) Siapakah orang Indonesia yang tidak hidup semangatnya kalau mendengarkan riwayat tentang kebesaran Melayu dan Sriwijaya, kebesaran Mataram, kebesaran Sindok, Erlangga, Kediri, Singhasari, Majapahit, Padjadjaran,--kebesaran Bintaro, kebesaran Banten, kebesaran zaman Sultan Agung? Siapakah orang Indonesia yang hatinya tidak memukul-mukul dan berdebar-debar kalau mendengarkan riwayat bahwa benderanya pada zaman bahari dijumpai dan dihormati orang sampai ke Madagaskar, Iran, dan Tiongkok?


(7) Professor Veth berkata bahwa sebenarnya Indonesia tidak pernah merdeka. Dari zaman purbakala sampai sekarang, dari zaman ribuan tahun sampai sekarang (1933: Peny.),--dari zaman Hindu sampai sekarang--menurut professor itu, Indonesia senantiasa menjadi negeri jajahan. Mula-mula jajahan Hindu, kemudian jajahan Belanda.

Di dalam salah satu bukunya, ia mencantumkan syairnya seorang penyair,

Di pantainya tanah Jawa rakyat berdesak-desakan
Datang selalu tuan-tuannya setiap masa
Mereka beruntun-runtun sebagai runtunan awan
Tapi anak pribumi ta' pernah kuasa

Soekarno pernah berilustrasi,

O, Marhaen Indonesia, yang dulu celaka dalam zaman feodalisme kerajaan dan keningratan bangsa sendiri, yang kini celaka dalam zaman modern kapitalisme dan imperialisme, berjuanglah habis-habisan mendatangkan nasib yang sejati-jatinya, merdeka!


Selingan

Profesor Veth salah, Soekarno benar. Profesor itu lupa bahwa bangsa Indonesia sesungguhnya sempat mengalami kemegahannya pada zaman dulu ketika diperintah para rajanya. Raja-raja Hindu itu tidak menjajah, tetapi berdiri dan mendirikan kerajaan, lalu berupaya mengoptimalkan sumber daya manusia dan sumber daya alam. Soekarno benar, meskipun kerajaan-kerajaan di Indonesia sangat megah, rakyatnya masih miskin dan tertindas.
Karena di atas ada syair, bolehlah saya ikut bersyair.

O, rakyat miskin Indonesia
Malang benar nasibmu
Ketika rajamu berhiaskan mutiara, kau rakyat melarat
Saat Si Kaki Putih menginjak tanahmu, kau tambah celaka
Setelah Merah Putih berkibar, kau dirundung bingung
Kini, di zaman ini, kau terkapar hampir menggelepar

Takdir?
Itu jelas takdir
Nasib?
Itu sudah pasti

Kalau begitu, ... berarti ....

Jangan!
Jangan kaukatakan Tuhan tak adil
Tuhan Mahabijaksana
Dia Mahaadil
Sang Pengasih sejatinya menyayangi kita setiap hari
Lantas?

Duduklah, renungkan

Lalu?

Tariklah garis dari sejarahmu
Ambil serpihan-serpihan penting tanda jayamu
Sambungkan, rangkaikan sampai menjadi sebuah gambar
Di gambar itulah lukisan kejayaanmu

Berlarilah keluar
Berilah kabar gembira pada dunia
Katakan, Ini Gambarku!
Tekadkan, Aku Rela Mati untuk Mewujudkannya!


(8) Bahwasanya, memang sudah "makan" sekali injeksian imperialisme itu. Kita kini sangat gampang dilipat-lipat, plooibaar en gedwee.

"Buntutnya tekanan yang berabad-abad", seperti kata Schmalhausen.

Kita kini sudah 100% menjadi rakyat kambing. Kita kini kaum putus asa, kita kaum zonder kepribadian, kita kaum penakut, kita kaum pengecut. Kita kaum beruh budak, kita banyak yang jadi penjual bangsa. Kita hilang sama sekali kelaki-lakian kita, kita hilang sama sekali rasa kemanusiaan kita. Oleh karena itu, jika terus menerus begitu, kita akan binasa sama sekali tersapu dari muka Bumi serta pantas binasa di dalam lumpur perhinaan dan neraka kegelapan.


(9) Jawarhal Nehru, pemimpin Hindustan yang kenamaan, pernah berkata, "Kebesaran negeri dan rakyat kita sudah begitu dalam terbenam oleh kabut kepurbakalaan. Kebesaran imperialisme begitu sering kita lihat sehari-hari sehingga kita lupa bahwa kita bisa besar dan mengira bahwa hanya kaum imperialisme yang bisa pandai."

Perkataan Jawarhal Nehru yang menggambarkan kerusakan batin rakyat Hindustan bolehlah juga dipakai untuk rakyat Indonesia sekarang ini. Kita lupa bahwa kita bisa menjadi besar, kita lupa bahwa kemunduran kita ialah karena kita terlalu lama sekali kena pengaruh imperialisme, kita lupa bahwa kemunduran kita itu bukan suatu kemunduran yang memang karena natuur, tetapi suatu kemunduran karena imperialisme, suatu kemunduran bikinan, suatu kemunduran "cekokan", suatu kemunduran injeksian berabad-abad. Kita pun mengira bahwa hanya kaum imperialisme yang bisa pandai, mereka saja yang bisa berilmu, bisa membikin jalan, bisa membikin kapal, bisa membikin listrik, bisa membikin kereta api, auto, bioskop, kapal udara, dan radio. Tak pernah satu kejap mata kita bertanya di dalam batin, apakah kita kini juga tidak bisa mengadakan semua hal itu, umpamanya kita tidak tiga ratus tahun di-"sahabati" imperialisme?

Ya, kita harus percaya bahwa kita sekarang ini boleh merdeka dan berdiri sendiri....


(10) Kerusakan batin ternyata di mana-mana. Stelsel imperialisme yang butuh kaum buruh itu sudah memutarkan semangat kita menjadi semangat perburuhan sama sekali, semangat perburuhan yang hanya senang jikalau bisa menghamba. Rakyat Indonesia yang sediakala terkenal sebagai rakyat yang gagah berani, yang tak gampang-gampang suka tunduk, yang perahu-perahunya melintasi lautan dan samudera sampai ke India, Tiongkok, Madagaskar, dan Persia, kini menjadilah rakyat yang terkenal sebagai het zachste volk der aarde, 'rakyat yang paling lemah budi di seluruh muka Bumi'. Rakyat Indonesia itu kini menjadi rakyat yang hilang kepercayaan pada diri sendiri, hilang kepribadiannya, hilang kegagahannya, hilang ketabahannya sama sekali. "Semangat harimau" yang menurut Professor Veth adalah semangat rakyat Indonesia di zaman sedia kala, sudah menjadi semangat kambing yang lunak dan pengecut. Bahkan, itu belum bencana batin yang paling besar! Bencana batin yang paling besar ialah bahwa rakyat Indonesia percaya bahwa ia memang adalah "rakyat kambing" yang selamanya harus dipimpin dan dituntun.

Sebagaimana tiap-tiap stelsel imperialisme di mana-mana, maka stelsel yang ada di Indonesia pun selamanya menggembar-gemborkan ke dalam telinga kita bahwa maksudnya bukanlah mencari rezeki, tetapi ialah "maksud suci", mendidik kita dari kebodohan ke arah kemajuan dan kecerdasan. Sebagaimana tiap-tiap stelsel imperialisme, tak jemu-jemu meneriakkan ia punya mission sacre. Di atas panji-panji imperialisme selamanya tertulis semboyan-semboyan dan anasir-anasir beschaving dan orde en rust, 'kesopanan' dan 'keamanan umum'.


(11) Kaum nasionalis harus dikejar. Kaum Pan-Islam juga harus diburu!
Kita ingat ini semuanya. Kita mengakui hak yang demikian itu dan kita hanya tersenyum. Kita di sini hanya menetapkan feitnya saja. Kita ingat bagaimana sesudah pemberontakan, kaum sana meneriaki setinggi langit pergerakan Pan-Islam sebelum dan sesudah kongres di Pekalongan. Mereka memukul kentongan di atas pergerakan nasional Indonesia semenjak PNI timbul. Bagaimana sesudah pemberontakan, mereka menunjukkan tabiatnya yang serendah-rendahnya dengan mengotorkan nama prive saudara kita, dr. Soetomo. Mereka membencanai saudara kita, dr. Tjipto Mangunkusumo .... Kita mengerti bahwa ini sudah semestinya. Kita hanya tersenyum dan kita mengambil pelajaran. Pelajaran bahwa sikap kaum itu terhadap kita bukanlah bergantung dari beginsel kita, bukanlah bergantung dari azas kita, bukanlah bergantung dari bahaya "isme" kita, tetapi bergantung dari besarnya bahaya yang mengancam kepentingannya oleh sikap dan gerak kita adanya!


(12) "Orde" yang diadakan oleh bangsa Inggeris di Mesir atau di India, "orde" yang diadakan oleh bangsa Perancis di Indocina, "orde" yang diadakan oleh bangsa Amerika di Philipina--umumnya "orde" yang diadakan oleh bangsa kulit putih di dalam negeri-negeri Asia yang diduduki dan diambil rezekinya--tampaklah dalam rupanya yang palsu. "Orde" yang didesakkan dalam negeri-negeri Asia itu pada hakikatnya ialah "orde" yang dimaksudkan oleh Galboud, yaitu "orde" yang tak bersendi pada persetujuan antara pihak yang memerintah dan pihak yang diperintah; "orde" yang dipaksakan terjadi dengan aturan-aturan yang keras; "orde" paksaan, "orde" perbudakan.


(13) Mexico menjadi kalut sesudah "pimpinan" Eropa diberhentikan. Baik. Akan tetapi, lupakah bahwa Mexico sebelum orang Eropa datang di situ, sebelum orang Spanyol menginjaknya, adalah suatu negeri yang teratur, suatu negeri yang aman, suatu negeri yang besar dan kuat? Lupakah bahwa kekalutan dan kekacauan Mexico terjadi ialah sesudah orang Eropa datang di situ, sesudah negeri itu menjadi tempat pencaharian rezeki bangsa kulit putih? Lupakah terhadap amannya, teraturnya, besarnya negeri Mexico di bawah pimpinan Raja Montezuma tatkala batas-batasnya terletak dari Texas sampai Panama, dari tepi Pantai Teluk Mexico sampai tepi Pantai Lautan Pasifik? Kalut dan kacaunya negeri itu terjadi sesudah orang Eropa menjatuhkan jangkar perahunya di Vera Cruz dalam tahun 1519. Kalutnya negeri itu akibat dari zaman kekejaman Hernando Cortez yang melumur-lumuri ia punya marilah kita mengikut silang (kruis) sebab dalam tanda itulah kita akan menang dengan darahnya rakyat Mexico--sampai pada zaman kekejaman yang akhir-akhir. Mexico sama sekali tidak mengenal ketenteraman dan keteraturan di bawah "pimpinan Eropa". Mexico senantiasa kusut-samut.

Sesungguhnya, tipislah kebenaran kata ketenteraman dan kata kesejahteraan yang "pimpinan" Eropa itu didatangkan di Mexico bilamana kita ingat bahwa tak henti-hentinya perlawanan penduduk Mexico terhadap pihak yang "memimpinnya" itu dan bilamana kita misalnya ingat saat penduduk Mexico menangkap dan menghukum mati Kaisar Maximilian, kaisar bangsa Eropa yang "memimpin" dan memerintah negeri Mexico dengan cara Eropa. Tipis pula kepercayaan kita terhadap keunggulan superioritetnya pimpinan Eropa dalam umumnya karena Eropa sendiri tiada habis-habisnya menjadi medan revolusi agama, revolusi nasional, revolusi proletar, dan revolusi lain-lain--tiada habis-habisnya menjadi medan kekalutan, kekacauan, dan peperangan negeri seperti yang kita alami dalam tahun 1914-1918 tatkala Eropa seolah-olah suatu heksenketel dan hampir-hampir kiamat oleh mengamuknya api peperangan.


(14) "Made in Great Britain". Itulah yang terutama sekali menjadi nyanyian John Bull sambil berjalan-jalan di kanan-kiri Sungai Indus dan Gangga. "Made in Great Britain" menjadi anasir yang ia tuliskan di atas panji-panji yang ia tanamkan di seluruh Hindustan. "Made in Great Britain" menjadi dasar "usaha kemanusiaan" mendatangkan beschaving dan orde en rust di kota-kota dan desa-desa di sebelah selatan Gunung Himalaya.


Keterangan
Lagi-lagi kita bisa melihat bagaimana Inggris memanipulasi kenyataan dan membohongi publik bahwa kehadiran mereka di India adalah untuk mengajarkan kehidupan yang beradab. Sesungguhnya, mereka tak lain dan tak bukan hanyalah membutuhkan orang-orang yang akan membeli barang dagangannya.

Caranya? Begitulah penjajah. Mereka memaksa dengan kekerasan merintangi, menghambat, memadamkan, dan membunuh industri-industri milik orang-orang India. Oleh sebab itu, India kehilangan kekuatannya dan tunduk kepada kaum yang berteriak-teriak mengajarkan cara pergaulan yang lebih manusiawi itu.


(15) Herankah kita bahwa seorang komunis, C. Santin, yang toh biasa melihat angka-angka yang kejam, menyebutkan bahwa imperialisme di Indonesia itu suatu imperialisme yang terrible, yakni suatu imperialisme yang mendirikan bulu roma?


Penjelasan
Penjajahan Belanda terhadap rakyat Indonesia adalah penjajahan yang benar-benar sangat mengerikan. Hal itu disebabkan negeri Belanda butuh makanan, pakaian, bahan-bahan mentah, biaya militer, upah buruh yang sangat rendah, dan sebagainya. Belanda mengangkuti apa saja yang dibutuhkan negerinya dari Indonesia. Di samping itu, mereka pun mempekerjakan rakyat Indonesia dengan seenaknya.

Semakin lama, bukan saja negeri Belanda yang berpesta dari kekayaan negeri subur makmur Indonesia ini, melainkan pula Inggris, Amerika, Perancis, Belgia, Jepang, Jerman, serta Swiss. Pendek kata, imperialisme internasional sempat bermain cinta dan berdansa-dansi di atas keringat dan air mata rakyat Indonesia.

Berbeda dengan penjajahan Inggris di India. Inggris tidak sejahat Belanda karena awalnya juga hanya mengharapkan pasar bagi barang produksinya. Oleh sebab itu, mereka tidak "membombardir" seluruh rakyat India. Mereka butuh orang-orang yang memiliki daya beli di kalangan rakyat India. Mereka membiarkan hidup kelas-kelas tertentu di dalam rakyat India yang mampu membeli barang produksi Inggris.


(16) Siapakah yang bisa membantah bahwa masyarakat Indonesia ialah suatu masyarakat yang segala-galanya merk kecil, yakni suatu masyarakat yang kromoistis dan marhaenistis?
Bahwasanya benarlah konklusinya Dr. Huender tatkala menutup ia punya economisch overzicht yang terkenal, "Tidak adalah di sini suatu middestand-Indonesia yang menjadi tulang punggung masyarakat. Kaum tani-besar atau kapitalis yang hanya satu dua itu, tidaklah menjadi satu hubungan ekonomi dengan rakyat murba lainnya."


Demikianlah Pemimpin Besar Revolusi kita menguraikan pandangan-pandangannya tentang penjajahan. Dari penuturannya, kita bisa sangat memahami bahwa penjajahan itu amatlah merusakkan kehidupan rakyat jajahan. Sudah sangat banyak kisah yang memaparkan kejinya penjajahan. Tanyalah pada kakek atau buyut kita yang masih hidup. Mereka merasakan benar pedihnya hidup dikuasai bangsa asing. Tentunya, para sepuh yang dalam dirinya punya semangat mandiri dan jiwa nasionalisme, bukan para kolot yang kurang pemahaman sehingga mengatakan bahwa Belanda menjajah dengan baik, yaitu mengajarkan bagaimana agar kita hidup beradab. Mereka itu hanya para orang tua yang dulunya ikut merasa enak dan nikmat berkolaborasi dengan penjajah dan tertawa senang di atas penderitaan sesama bangsa sendiri.

Kerakusan Duniawi
Sifat rakus inilah yang juga menjadi sumber malapetaka di negeri ini. Penjajah datang jelas dengan kerakusan yang membara. Mereka tak mampu hidup berkecukupan dengan sumber daya alam yang dimilikinya, pun tidak merasa kenyang memenuhi kebutuhannya dengan cara berdagang baik-baik atas dasar suka sama suka. Mereka ingin menguasai sumber-sumber daya alam dan sumber-sumber kekuasaan. Akan tetapi, kerakusan mereka tak akan pernah bisa menembus ke dalam wilayah Nusantara jika bangsa ini cukup kuat mental untuk menentang sifat rakus tersebut.

Dalam kenyataannya, para penjajah itu berupaya keras menguasai tanah air Indonesia. Namun, mereka sadar bangsa ini tak suka gampang ditundukkan. Artinya, jika mereka menyerang langsung, bisa-bisa kalah dan pasti akan kalah. Cara yang mereka gunakan adalah devide et impera, adu domba. Mereka mulai kasak-kusuk di dalam keluarga istana para raja. Para bangsawan yang lemah mental dibujuk dirayu untuk mau bekerja sama dengan imbalan berupa pembagian kekuasaan, harta benda, dan sejumlah materi lainnya. Para keluarga raja yang lemah mental dan pengetahuan itu digunakan untuk memerangi atau menjatuhkan para bangsawan yang punya mental kuat, harga diri yang tinggi, pengetahuan yang mapan, dan kecintaan kepada rakyat yang tulus. Tak cukup hanya kasak-kusuk, para penjajah pun memberikan banyak bantuan kepada para bangsawan yang sudah menjadi kaki tangannya.

Penyakit lemah mental dan kurang pengetahuan itu membuat sifat rakus para bangsawan itu tumbuh. Mereka dengan suka cita menjadi kaki tangan penjajah, baik sadar ataupun tidak. Hal itu terus terjadi sampai akhirnya wibawa kerajaan-kerajaan di Nusantara lumpuh dan hancur. Perang besar terakhir dalam zaman kerajaan yang sangat terkenal adalah perang Pangeran Diponegoro bersama para petani untuk memperbaiki nasib rakyat yang sudah sangat megap-megap. Perang itu berakhir dengan kekalahan Pangeran Diponegoro. Selepas masa itu, hampir bisa disebut tak ada perlawanan yang berarti terhadap kolonial Belanda. Dengan demikian, bertahtalah Belanda di muka Bumi Pertiwi ini.

Penjajahan yang datang silih berganti di negeri ini menyadarkan para pemuda kita untuk melakukan perlawanan. Kita menang. Di bawah kepemimpinan Ir. Soekarno, Indonesia bisa bersatu hati memproklamasikan kemerdekaan bangsa pada 17 Agustus 1945.

Ketulusan, keberanian, dan pengorbanan para pejuang dan pendiri bangsa ini harus tercoreng karena kerakusan yang kemudian muncul mencolok. Perebutan kekuasaan, pengaruh, persaingan ekonomi begitu menggoncangkan negeri yang baru merdeka ini. Para elit politik sibuk mementingkan diri dan kelompoknya sendiri.

Dalam masa pemerintahan Ir. Soekarno yang disebut dengan Orde Lama penuh dengan goncangan-goncangan, baik ekonomi maupun politik. Jika kita mau menelaah, kegoncangan itu berasal dari kerakusan terhadap duniawi sehingga lupa terhadap cita-cita bangsa sendiri.

Pada zaman Orde Baru kerakusan mendapat tempat yang teramat istimewa. Orang-orang rakus menjadi pusat perhatian. Mereka disebut-sebut sebagai orang berhasil dalam hidupnya. Tak jarang di antara mereka ada yang diangkat menjadi pejabat negara. Dalam tubuh militer pun tak kalah hebat, kerakusan sudah melumpuhkan kekuatannya sendiri. Dulu di zaman Soekarno TNI merupakan tentara yang berwibawa, disegani, dan ditakuti dunia luar. Pada era Soeharto sudah menjadi tentara rombengan sampai masa reformasi.

Orde Baru sangat jelas mempertontonkan kerakusan terhadap materi dan kekuasaan dengan cara berlebihan. Terjadi konglomerasi dan para pejabat negara yang tak becus tetap dipertahankan menjadi pejabat. Rakyat terus menderita sampai akhirnya terjadi krisis ekonomi yang menjatuhkan bangunan kekuasaan Orde Baru.

Orde Baru diganti dengan Orde Reformasi. Kerakusan bertambah merajalela tak henti-hentinya. Memang, ada tampak perlawanan dari pihak-pihak yang masih sadar, tetapi perlawanan itu tidak terlalu kuat. Bahkan, pihak-pihak yang tadinya melawan kerakusan, pada kondisi tertentu jadi rakus juga. Akibatnya, sudah sangat jelas, rakyat terus menderita dan bangsa ini semakin tak punya wibawa. Kebanggaan terhadap diri sendiri sudah mulai luntur karena nyaris hidup tanpa harapan.

Pergantian pemimpin yang terjadi pada era reformasi ternyata tak banyak membuahkan hasil. Bahkan, semakin hari para penjajah asing mulai banyak berdatangan menguasai tanah ini meskipun tidak menggunakan lagi kekuatan fisik seperti dulu, tetapi melalui jalur-jalur politik yang dianggap sah di dunia internasional dan bisa diikuti oleh para pemimpin negara ini.

Kerakusan terhadap materi dan kekuasaan telah membutakan para elit kita sehingga tak ragu untuk menjual diri kepada orang lain. Kerakusan ini saat ini semakin meluas ke kalangan menengah dan bawah. Orang sudah lupa dengan kasih sayang, gotong royong, senasib sepenanggungan, cinta, setia kawan, keramahan, dan peduli sesama. Semua sudah dihitung dengan bisnis, untung rugi. Orang mau bergerak beraktivitas asal kaharti (Sunda: ada uangnya).
Akibat kerakusan yang dialami bangsa ini adalah semua orang bersaing berupaya mendapat untung sebesar-besarnya meskipun dengan jalan tak halal dan menghalangi orang lain untuk mendapatkan kesenangan. Orang-orang pintar yang punya kesempatan kasak-kusuk ingin menjadi pejabat karena rakus harta benda dan kekuasaan. Para pengusaha kasak-kusuk karena ingin banyak harta dan kekuasaan. Orang-orang kecil baku hantam rebutan sisa uang recehan. Yang kuat akan bertahan meskipun harus makan nasi aking. Yang tidak kuat lari ke sumur, ke pohon, jembatan, racun, kemudian bunuh diri.

Demikianlah sedikit kisah kerakusan yang menyumbangkan energi bagi kemerosotan bangsa ini. Sebenarnya, saya ingin mengulasnya lebih jauh, tetapi pada bagian lain akan lebih terungkap juga soal kerakusan ini.


Syetan

Raja Syetan, Iblis Laknatullah, telah bertekad di hadapan Allah swt untuk menyesatkan anak cucu Adam a.s.. Ia bersama anak cucunya akan berupaya keras menyesatkan manusia. Hal apa pun akan mereka lakukan untuk menyesatkan manusia. Mereka tak ingin manusia hidup dalam kebenaran, harmonis, serasi, penuh damai, cinta kasih, selaras, dan seimbang. Mereka selalu ingin manusia hidup dalam kesesatan.

Penuturan saya tentang syetan dalam paragraf di atas pasti tak akan mendapat bantahan siapa pun.

Syetan menggoda manusia untuk berzina, berjudi, mabuk-mabukkan, melakukan tindak kriminal, mencegah menyembah Allah swt, mencuri, merampok, membunuh tanpa hak, kasar terhadap orang tua, menipu, sombong, angkuh, berbohong, iri, dengki, bergunjing, dan menyebar fitnah. Setujukah Saudara Pembaca yang budiman dengan pendapat saya tersebut?

Syetan akan menggoda manusia untuk melakukan korupsi, kolusi, nepotisme, menyalahgunakan kekuasaan, melakukan kecurangan, money laundry, ingkar janji, menindas kaum lemah, dan menyebarkan kisah-kisah palsu. Setujukah Saudara Pembaca yang budiman dengan pendapat saya tersebut?

Syetan akan menggoda manusia agar tersesat dari jalan kebenaran dengan cara membisikkan isme-isme ke dalam pemikiran-pemikiran tentang ilmu-ilmu sosial. Syetan mendorong manusia untuk memegang teguh komunisme, sosialisme, fasisme, naziisme, dan kapitalisme. Syetan akan membisikkan ke dalam dada para pemimpin untuk menggunakan isme-isme, sistem politik, sistem hukum, dan cara-cara bernegara yang berujung pada kehancuran manusia. Syetan akan menyemangati para elit politik untuk menggunakan partai sebagai tunggangan mencapai kerakusannya. Syetan akan hadir dalam diskusi-diskusi politik agar manusia tetap berebut kursi dan kue pembangunan. Syetan akan selalu ikut campur dalam penyusunan perundang-undangan atau peraturan lainnya. Syetan tidak akan lelah untuk membuat suatu negara benar-benar porak-poranda. Setujukah Saudara Pembaca yang budiman dengan pendapat saya tersebut?

Alinea terakhir di atas mulai mengerutkan dahi para pembaca. Saya yakin itu karena selama ini kita hanya diajarkan bahwa syetan menggoda manusia untuk hal-hal yang sifatnya individual atau kelompok kecil dengan tingkat kerusakan terbatas. Kita sepertinya melewatkan pemahaman bahwa syetan bisa masuk di setiap lini kehidupan, termasuk dalam sistem politik berbangsa dan bernegara. Mengapa kita seolah-olah memandang bahwa wilayah isme atau politik seperti wilayah yang tak terjangkau syetan? Apakah syetan tidak akan pernah memasuki dunia perguruan tinggi yang diisi para akademisi dan ilmuwan yang kemudian melahirkan berbagai ilmu pengetahuan?

Saudara-saudara sekalian, jangan memandang syetan sebagai pihak yang bodoh dan tak berpengetahuan yang cuma bisa menggoda untuk mabuk-mabukan, melacur, hidup boros, dan perilaku lain yang tampaknya itu hanya akan menghasilkan dosa ecek-ecek. Usia hidup mereka lebih lama dibandingkan manusia. Itu artinya mereka bisa lebih memahami banyak hal dibandingkan manusia. Mereka makhluk hidup yang diberi hak oleh Allah swt untuk menyesatkan manusia. Agar tujuannya tercapai, pasti Iblis bersama para syetan itu akan mempersiapkan diri dengan segala ilmu dan kekuatannya untuk menghancurkan hidup manusia.

Indonesia dihuni oleh 250 juta manusia. Jelas itu merupakan proyek besar syetan. Pernahkah kita berpikir bahwa syetan tak ingin negeri ini makmur, aman, sentosa, damai, religius, dan penuh dengan kebahagiaan? Untuk mencegah manusia-manusia Indonesia berada dalam kebahagiaan, sudah tentu syetan akan menyesatkan pikiran-pikiran para pemimpin beserta rakyatnya sekaligus.

Sekali lagi, jangan anggap enteng syetan. Dia tahu benar cara hidup yang sesuai tuntunan Allah swt. Bagaimana tidak tahu? Bukankah Iblis pernah bertemu langsung dengan Allah swt saat penciptaan Adam a.s.? Oleh sebab itu, disesatkanlah pikiran manusia Indonesia agar tidak sampai pada tuntunan Illahi.

Ada sebuah kisah tentang syetan yang cukup menarik. Ketika mata uang pertama diciptakan manusia, Iblis benar-benar bergembira. Ia memeluk uang itu, menciuminya dengan sepenuh hati.

Ia dengan sukacita menyayanginya bagai buah hatinya sambil berkata, “Duhai cintaku, dengan dirimulah aku akan menyesatkan manusia.”

Syetan rupanya lumayan berhasil. Karena uang, orang bisa berkelahi, saling bunuh, bertengkar, rebutan kekuasaan, jatuh cinta, memfitnah, berkhianat, bahkan bunuh diri. Uang menjadi alat syetan untuk membuat manusia tidak harmonis.

Tidakkah kita berpikir ketika berkembang isme-isme yang menjadi pegangan hidup manusia, syetan bersukacita, terharu sambil mencucurkan air mata bahagia karena telah bertambah lagi alat-alat yang akan digunakannya untuk menyesatkan manusia?

Kita boleh berpikir keras untuk itu.

Tulisan ini pun dimaksudkan untuk memberikan peringatan bahwa demokrasi merupakan sistem politik yang digunakan syetan untuk menyesatkan hidup manusia. Saya menyebut demokrasi itu anjingnya syetan sebagaimana anjing yang ada dalam kehidupan manusia yang sering dijadikan alat untuk berburu atau keamanan di samping untuk kegunaan lainnya.

Dengan Si Anjing Demokrasi itulah syetan menyerang negeri kita, Indonesia tercinta. Karena terpesona oleh demokrasi di Barat yang telah menghasilkan kemajuan ekonomi, kita ikut-ikutan latah tanpa melihat lebih jauh proses demokrasi tersebut.

Pada tulisan-tulisan lain di situs ini, http://tom-finaldin8.blogspot.com dengan nama blog Putera Sang Surya, saya mengajak pembaca untuk lebih jernih berpikir dan berasa bahwa sebenarnya, kita tidak butuh-butuh amat dengan yang namanya demokrasi.

No comments:

Post a Comment