Sunday 13 June 2010

Terluka

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Ah …, seandainya masa-masa itu terulang, betapa menyenangkannya. Padang rumput ini begitu luas, hijau, dan nyaman, ditumbuhi rumput-rumput segar, ada yang pendek ada yang tinggi. Ada pula pohon-pohon rindang meneduhkan yang tumbuh sekelompok-sekelompok. Pada beberapa bagian terdapat sumber-sumber air jernih tempat melepaskan rasa dahaga.

Sejauh mata memandang lurus ke depan, padang ini dibatasi pohon-pohon yang tumbuh rapat dan lebat. Pohon-pohon itu menjadi awal kaki gunung. Di sebelah kanan ada sawah para petani yang diselingi kolam ikan. Rumah-rumah panggung mereka penuh keceriaan dengan wajah polos tanpa kerakusan. Di sebelah kiri ada kebun-kebun yang penuh buah ranum. Di antara kebun itu tampak kandang-kandang ternak dari bambu dan kayu.

Dari dalam gunung terdengar suara berbagai binatang. Ada yang buas ada yang jinak. Mereka kadang-kadang keluar dari hutan dan bermain-main sebentar di padang rumput. Akan tetapi, mereka tidak sampai ke perumahan manusia karena masih memiliki tempat hidup yang sangat luas, tak kekurangan lahan.

Aku sering terbang berkeliling sampai batas terjauh dengan sayap gagahku, lalu bertengger di pohon atau tebing dengan kaki kuatku. Bahkan, sampai ke padang-padang rumput lain yang berada di seberang lautan. Betapa senangnya hati ini hidup di tempat tenang tanpa saling mengganggu.

Jika aku lapar, mata tajamku mengarah pada kelinci atau burung-burung kecil. Binatang itu memang makanan kesukaanku.

Melamunkan tentang lapar dan makanan, aku jadi lapar beneran. Aku sejak pagi memang belum makan, padahal sudah sangat ingin makan.

Rasa laparku mendorong mata tajamku berkeliling mencari makanan dan membuat cakar di kakiku semakin gatal ingin mencengkeram. Namun, aku takut gagal karena bahu sayap kiriku terluka, darahnya masih mengucur, entah kapan keringnya. Setiap kugerakan, rasa sakit itu menyiksaku sampai bagian tubuhku yang lain terasa ngilu.

Tadi pagi aku memang cari kelinci untuk kumakan. Ketika aku sudah menemukan sasaran, sebagaimana biasa, terjadi kejar-kejaran. Melelahkan memang, tetapi itu adalah hal yang paling menyenangkan. Pada saat yang tepat, aku menukik. Tertangkaplah kelinci itu. Betapa girangnya hatiku. Akan tetapi, tiba-tiba ada suara kasar menggonggong bersahutan di belakangku. Ketika kutoleh, ternyata serombongan anjing bermata buas dengan gigi rakus berlari cepat ke arahku.

Tanpa sadar, seekor anjing telah menggigit pangkal sayap kiriku dari arah belakang.

Keaaak …!
Aku kesakitan.


Dari arah depan ada lagi seekor anjing yang hendak menggigit kaki kananku. Ketika moncongnya terbuka dan sepersekian detik lagi gigi runcingnya menembus kakiku, aku mendahuluinya mencengkeram sehingga moncongnya terkatup. Kucengkeram kuat-kuat. Aku takut moncong itu terbuka lagi. Pada saat yang sama gigi tajam yang melesak ke dalam daging sayap kiriku semakin membuatku kesakitan. Darahku mulai mengucur, tulangku terasa patah harus menahan kerasnya gigi anjing buas. Sementara itu, anjing-anjing lain berpesta pora dengan kelinci yang telah kutangkap dengan susah payah.

Dengan sisa tenagaku, aku patuk kuat-kuat beberapa kali hidung anjing yang menggigit sayapku itu dan berhasil. Ia melepaskan gigitannya. Pada saat yang tepat kulepaskan pula cengkeraman kukuku pada anjing satunya lagi. Aku langsung terbang dengan luka yang dalam. Sungguh, aku terluka luar dalam. Daging sayapku terluka, hatiku terluka.

Aku kemudian bertengger di sebuah pohon. Dari sana kusaksikan pesta pora para anjing dan pemiliknya. Mereka memang punya majikan manusia. Para majikan itu pun tertawa-tawa menyaksikan anjing-anjingnya berebutan makanan. Sementara itu, aku terluka dan lapar.

Saat ini tempat yang menyenangkan itu sudah sejak lama tak ada. Padang-padang rumput dipenuhi anjing. Rumah-rumah panggung sudah berganti dengan rumah-rumah tembok yang dihuni oleh orang-orang rakus yang gemar bertengkar. Sumber-sumber mata air sudah kotor. Hutan-hutan tak lagi rimbun dan lebat. Binatang-binatangnya sering saling mengganggu dengan manusia. Kebun-kebun tak lagi ranum karena udaranya telah kotor dengan asap-asap beracun. Tak ada lagi kaki gunung yang indah, tak ada lagi sawah dan kolam ikan, tak ada lagi kandang-kandang ternak. Padang rumputku pun meski masih ada, semakin sempit. Mereka memang jahat.

Rasa lapar tak tertahankan. Aku harus terus mencoba. Aku adalah pejuang. Tanah ini sejak dulu milikku. Tuhan menciptakannya untukku. Aku harus menguasainya lagi. Aku pun terbang lagi mencari makanan.

Saat terbang tiba-tiba kepalaku terasa berat, mungkin karena luka itu, mataku seakan digelayuti batu besar, sayapku mengepak satu-satu perlahan. Semakin lama semakin sulit kukepakan sampai akhirnya aku jatuh ke tanah kering. Bruk!

Sakit rasanya. Samar-samar kudengar gonggongan anjing, kurasakan getaran di tanah. Anjing-anjing itu beserta majikannya berlari ke arahku. Aku bergetar hebat. Mereka pasti akan menjadikan aku sebagai santapannya. Para majikannya akan tertawa senang menyaksikan aku dicabik-cabik peliharaannya. Sungguh, aku ingin menghindar, tetapi hanya bisa bernafas satu-satu dengan sorot mata yang semakin lemah tanpa bisa menggerakkan lagi sayap dan kakiku. Aku pasrah Tuhan…. Aku milik-Mu….

Lamat-lamat, dari arah berlawanan, kulihat ada yang berlari ke arahku. Aku rasa pernah melihatnya. Ia mengenakan baju kampret atau sering disebut baju koko, warnanya putih, celana panjangnya putih, sepatu kulitnya pun putih, manset di tangan dan kaus kakinya berwarna merah. Dalam keadaan teramat lemah, aku melihat matanya. Kulihat ada kekuatan, kehangatan, dan kesejukan di dalamnya. Aku mulai ingat, tetapi masih lupa. Sementara itu, anjing-anjing semakin dekat. Dengan segala kekuatan kepasrahan yang dianugerahkan Allah swt kepadaku, aku gerakan kaki agar berdiri. Dengan sempoyongan, aku kepakan sayapku. Aku lalu terbang lemah. Aku menuju pemuda itu sambil menjauhi anjing-anjing tamak yang dimiliki orang-orang serakah.

Pemuda itu berhenti berlari. Ia berdiri sambil merentangkan tangan kirinya. Segera saja aku tahu. Ia ingin aku bertengger di tangannya. Dengan payah, kakiku mencengkeram tangan kirinya. Ia meringis kesakitan. Memang, seharusnya ia menggunakan pelindung tangan dari kulit yang kuat untuk menahan tajam kukuku di tangannya. Namun, saat itu darurat, kurasakan ada darah di bawah kukuku. Ya, tangannya terluka cukup dalam oleh kukuku. Ia memang pemuda yang kuat. Dengan segera ia memelukku, lalu berbalik berlari sekencang mungkin karena anjing-anjing itu terus mengejar.

Sungguh, aku tak tahu dibawa ke mana. Aku sudah sangat lemah. Hanya mata dan telingaku yang masih sadar.

Ia terus berlari dari kejaran anjing. Namun, anjing memang diciptakan lebih cepat daripada manusia. Anjing-anjing itu semakin dekat dan terus mendekat. Kepalaku ada di dada pemuda itu, kudengar detak jantungnya kencang sekali, nafasnya mulai ngos-ngosan, dan larinya mulai melemah.

Aku lihat ternyata ia menuju sebuah reruntuhan bangunan tembok yang dulunya adalah salah satu sumber air di padang rumput. Ia berusaha ke arah sana dengan segala upayanya.

Tiba-tiba ia berhenti, entah kenapa. Lalu, berbalik menantang anjing-anjing dan para pemiliknya. Anjing-anjing itu pasti tak takut, apalagi pemiliknya yang tahu bahwa kami hanya berdua. Aku tak tahu apa yang akan dilakukan anak ini. Ia berdiri tegar.

Ketika anjing para perampok itu sudah sangat dekat, dari reruntuhan muncul banyak pemuda yang sebaya dengannya dengan pakaian yang sama.

“Anjing lu! Syetan luh, bego…!” teriak mereka sambil melempari anjing-anjing sekaligus pemiliknya dengan batu-batu.

Segera aku ingat. Sekitar tiga puluh tahunan lalu ada banyak anak kecil yang bermain layang-layang di padang rumput ini. Aku senang melihat mereka bercengkerama dan bergembira. Kini mereka sudah tumbuh besar dan berani. Tak kusangka mereka yang kini menolongku.

Kaing! Kaing! Kaing…! Banyak anjing yang terkena lemparan batu kesakitan. Beberapa di antaranya lari ke belakang. Yang terus mendekat terpaksa harus mati ditendang dan diinjak-diinjak kawan-kawan pemuda ini. Yang paling mengerikan ada yang kepalanya remuk dihajar balok kayu.

“Aduh! Brengsek! Sial…! Goblok…!” teriak orang-orang yang terkena lemparan batu.

Para majikan itu marah dan takut, tetapi karena kerakusannya, mereka menelepon dengan Hp-nya meminta bantuan orang-orang serakah lainnya. Tak berapa lama kemudian, dari arah yang masih jauh terdengar gonggongan anjing yang teramat banyak dan merusakkan gendang telinga. Suara mereka bergemuruh dengan niat membunuh.

Menyadari hal itu, pemuda itu bersama teman-temannya berlari menghindar, mundur menuju tempat yang lebih aman. Mereka pun menuju bangunan tua itu yang lumayan kotor, tetapi sangat bagus untuk pertahanan sehingga para perusuh itu tak berani mendekat lagi.

Para pencoleng itu lebih memilih kembali ke tanah-tanah kami yang telah dikuasainya dan membiarkan kami menghuni gedung tua yang kotor dan dipenuhi dengan barang-barang bekas.

Di dalam gedung tua itu terdapat banyak gadis cantik yang menunggu dengan harap-harap cemas. Mereka ada yang berkerudung ada yang tidak. Warna pakaiannya sama dengan para laki-lakinya. Aku yakin pasti mereka adalah sekelompok pejuang yang ingin mengembalikan kejayaan negeri ini. Terima kasih Tuhan, Engkau selalu mengirimkan para pemuda berhati bersih untuk membersihkan negeri ini dari segala kejahatan.

Pemuda itu merebahkanku pada sebuah meja sambil meminta kepada teman-temannya untuk menjaga dan merawatku. Telapak tangan kanannya membersihkan darah di sayap kiriku. Hangat rasanya.

“Garudaku terluka…,” lirihnya.

No comments:

Post a Comment