Saturday 19 June 2010

Tak Perlu Berdemokrasi karena Kita Bukan Mereka

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Akhir abad 15 dan abad 16 dikenali sebagai awal zaman Renaissance. Tandanya adalah bermunculan pemikir-pemikir, seperti, Nicollo Machiaveli dari Itali, Jean Bodin dari Perancis, dan Thomas Hobes dari Inggris. Mereka mulai mempertanyakan masalah kedudukan penguasa, agama, dan rakyat. Pemikiran sekuler mulai berkembang pula. Filsafat humanisme tumbuh dengan mendudukkan manusia pada posisi sentral yang paling agung di seluruh alam semesta. Saat itu agama dipandang sebelah mata, kurang dipedulikan.

Sekitar abad 17 dan 18, pemikiran demokrasi muncul kembali dengan lebih kuat. Para pemikir abad ini menolak monarki absolut dan kekuasaan suci dari para penguasa. John Locke, Jean Jacques Rosseau, Charles Louis Montesquieu, John Stuar Mill, dan lain-lain adalah para tokoh pemikir abad tersebut yang dikenal sebagai abad Enlightement, ‘Pencerahan’. Thomas Jefferson di Amerika sangat menekankan kedaulatan rakyat.

Tema-tema pemikiran politik pada zaman Pencerahan berkisar pada masalah-masalah kebebasan, keadilan, hak-hak asasi manusia, pembatasan atas kekuasaan pemerintahan, hak untuk memberontak terhadap kesewenang-wenangan, dan lain sebagainya. Masa ini dapat dikatakan sebagai masa peletakan fondasi bagi demokrasi modern seperti yang kita kenal sekarang (Amien Rais: 1986).

Dunia boleh mengatakan abad-abad itu, 15 s.d. 18, sebagai abad kebangkitan, pencerahan, kemajuan, kebebasan berpikir, humanisme, atau apalah. Akan tetapi, kita tak perlu ikut-ikutan terlalu gembira atau bahkan membangga-banggakan abad itu yang dihiasi dengan seabrek teori-teori mereka. Hal itu disebabkan pada masa itu justru adalah masa kegelapan bagi rakyat di seluruh Nusantara ini, zaman awal kesedihan, dan zaman awal kemelaratan panjang. Justru pada 1602 datanglah orang-orang rakus yang penuh dusta itu ke tanah air Indonesia tercinta. Mereka mulai melancarkan berbagai program jahatnya untuk menguasai Indonesia. Seperti kata Pemimpin Besar Revolusi Soekarno, mereka hadir dengan membawa slogan-slogan ketertiban, keberadaban, dan kesopanan. Mereka ingin mengajari kita tentang bagaimana caranya hidup dalam keberadaban. Padahal, sebenarnya kita lebih beradab, lebih teratur, lebih sopan, dan lebih agung dibandingkan dengan mereka. Pantaskah kita berbangga dengan Renaissance dan Enlightement itu, sementara tanah air kita sedang dicengkeram oleh penjajah yang datang dengan ambisi menguasai?

Pasti ambisi itu berasal dari syetan atau dari nafsunya sendiri.

Pemikiran-pemikiran yang hadir pada zaman Renaissance dan zaman Enlightement itu merupakan dinamika atau jawaban atas ketimpangan yang terjadi di belahan dunia sana, bukan di Indonesia. Adanya pemikiran manusiawi, pembatasan kekuasaan, pemisahan antara negara dan agama, kebebasan, keadilan, HAM, penolakan terhadap kekuasaan suci, dan sebagainya itu akibat dari adanya tekanan-tekanan yang teramat hebat dari para penguasa negara dan pemimpin gereja yang biasanya mengklaim diri sebagai wakil Tuhan di muka Bumi. Selain itu, di tanah-tanah Barat itu terjadi perseteruan antara negara dengan gereja dalam mengatur masyarakat. Di Indonesia tidak terjadi seperti itu.

Karena para penggemar demokrasi di Indonesia selalu merujuk ke Amerika dalam setiap kata-kata atau tulisannya, ada baiknya kita lihat dulu secara singkat sejarah awal munculnya negara dedengkot demokrasi itu.

Amerika dikenal orang ditemukan oleh Christopher Columbus di samping oleh bangsa Noor (Norwegia), Viking (Erk Merah). Jauh sebelum Columbus datang, sebetulnya tanah itu sudah didatangi dan didiami oleh orang-orang dari Asia, di antaranya, Suku Maya, Aztech, dan Inca. Suku Maya dikenal sampai kini merupakan suku yang cerdas dan beradab.

Sebetulnya sih, maksud pelayaran Columbus adalah menuju negeri India. Akan tetapi, terdampar di tanah tersebut. Ketika memasuki daerah itu, Columbus memang menyangka sudah sampai di India, lalu menemukan orang-orang dari Asia itu. Karena menyangka sudah di India, Columbus menyebut orang-orang itu dengan sebutan Indians, ‘orang-orang India’. Padahal, bukan. Sampai saat ini, kesalahan penyebutan itu menjadi benar, suku-suku itu disebut orang-orang Indian.

Untuk menguasai tanah itu, Columbus menggunakan senjata dan kekerasan. Penjajahan pun terjadi. Tak heran jika pada masa-masa lalu, di tanah Amerika sering terjadi pertempuran antara orang-orang kulit putih dengan orang Indian. Suku-suku pribumi merasa heran mengapa mereka harus terusir dari kampung halamannya, padahal sejak dulu mereka dapat hidup dengan wajar dan normal mengikuti perkembangan spiritual dan kemampuan teknologi sendiri. Kehadiran orang-orang asing membuat hidup mereka tidak merasa nyaman.

Columbus berbeda dengan Marcopolo. Marcopolo datang ke Cina tidak dengan senjata. Ia tidak menjajah. Ia melihat betapa tertib dan bersihnya Cina. Bahkan, ketika pulang ke Venesia, ia tak mau buka mulut soal Cina. Marcopolo khawatir jika banyak orang tahu tentang Cina, akan banyak yang datang ke tanah itu, kemudian mengakibatkan berbagai keberantakan.

Babak selanjutnya, setelah kedatangan Columbus, rute pelayaran dari Eropa ke Amerika menjadi lebih dikenal. Orang-orang Eropa yang memimpikan kemewahan dan tertekan, baik oleh pemerintahnya sendiri maupun oleh gerejanya, berlarian ke Amerika. Para imigran itu dikenal sebagai “pelarian agama”.

Kita harus ingat mereka berlari karena tekanan dari penguasa agama, gereja, bukan agama mayoritas rakyat Indonesia, Islam. Kita tak perlu lari ke Amerika atau memimpikan kemewahan di sana. Di sini tak ada yang lari karena ditekan ustadz, guru ngaji, ulama, DKM, MUI, wali, sunan, dan sebagainya. Itu tidak terjadi di negeri ini. Malah, kalau ada ahli agama di sini yang sewenang-wenang, bisa dimasukan ke penjara.

Negeri ini kaya raya, kita semua bisa hidup mewah jika mau mengatur dan mengolahnya dengan cerdas. Oleh sebab itu, kita pun jangan ngikut-ngikut omongan orang Eropa yang mengatakan bahwa Amerika adalah The Dream Land, ‘Tanah Impian’. Wajar jika mereka begitu karena di Eropa penuh dengan tekanan, kezaliman, dan kediktatoran, sedangkan di Amerika penuh dengan kebebasan. Kita dianugerahi oleh Allah swt dengan tanah yang kaya raya dan penduduk yang santun-santun menjadi babak belur tak karu-karuan karena mengikuti pemikiran para pelarian agama itu.

Orang-orang yang kemudian merupakan para pendiri awal bangsa Amerika benar-benar merasakan kebebasan yang luar biasa. Mereka senang dengan kondisi tersebut. Senandung kebebasan merupakan tradisi dan konvensi yang pertama bagi bangsa Amerika.

Saking senangnya, ada penulis yang mengatakan, “Di tanah ini manusia terlepas dari ikatannya yang terakhir.”

Pada abad 17 Amerika Utara diperebutkan oleh Belanda, Inggris, Perancis.

Inggris yang dikenal menjajah Amerika mengalami kehabisan dana karena perang dengan Perancis. Oleh sebab itu, hasil-hasil pertanian rakyat Amerika harus dijual paksa pada Inggris. Di samping itu, Inggris pun menerapkan pajak yang tinggi kepada warga Amerika.

Memasuki abad 18 Amerika mengadopsi pemikiran demokrasi, kemudian melakukan revolusi. Kesewenang-wenangan yang dideritanya, dilawan. Sebab khusus penyebab revolusi ini adalah berlabuhnya kapal Inggris di Boston untuk mengirim teh pada Amerika, tetapi Amerika yang harus membayar pajaknya. Amerika tidak mau memenuhinya. Salah seorang pahlawannya adalah George Washington. Slogan revolusinya adalah Tak Ada Pajak Tanpa Perwakilan.

Setelah melalui proses perlawanan, Amerika pun menang dan memproklamasikan kemerdekaannya pada 4 Juli 1776 yang dipelopori Thomas Jeferson dengan isu HAM.

Setelah terbebas dari negara-negara Eropa yang telah menzalimi, mendiktatori, dan mengekang kebebasannya, untuk menopang ekonominya, Amerika menggunakan kapitalisme dan liberalisasi perdagangan. Mereka tidak terlalu menjadikan politik sesuatu yang sangat penting. Mereka lebih berorientasi pada kehidupan ekonomi dan materi. Agama pun bukan menjadi sesuatu yang teramat istimewa.

Pada abad 19 bangsa Amerika mendapati dirinya dalam kedamaian dan kemakmuran. Sementara itu, negara-negara Eropa hidup dalam konflik dan peperangan. Kenyataan tersebut mendasari falsafah politik isolasi dalam arti tidak ikut campur urusan negara-negara Eropa. Negara-negara Eropa adalah negara diktator dan Amerika adalah negara demokratis.

Isolasi merupakan politik yang menjamin semuanya itu. Dengan politik ini, Amerika terfokus pada politik dalam negeri dengan mengembangkan kekayaan dan menjaga kebebasannya (Muhammad Musa: 2003).

Abad 19 disebut sebagai abad Ideologi Kebebasan. Pada masa ini Amerika menjadi negara yang matang. Dengan pengalamannya tersebut, mereka menganggap bahwa cara hidup mereka itu adalah yang paling hebat. Dengan demikian, mereka menganggap seisi dunia ini harus sesuai dengan cara pandang mereka. Kapitalisme, perdagangan bebas, demokrasi, dan perlawanan terhadap imperialisme adalah isu yang digunakan dalam hubungan internasional.

Pada saat Amerika menemukan kemakmuran, Indonesia sedang menemukan kemelaratan. Saat itu, semua mata memandang Amerika dengan segala sesuatunya yang dianggap hebat. Selintas memang menggiurkan, cara-cara hidup mereka patut ditiru kalau ingin makmur.

Kita harus ingat bahwa bangsa kita bukanlah berawal dari orang-orang pelarian agama yang merasa tertekan oleh penguasa agamanya. Di Amerika pelarian yang banyak juga dari Inggris itu bertarung dengan penduduk asli berebut wilayah. Adapun nenek moyang kita, datang, berkembang, dan bergaul dengan cara-cara yang lembut dan halus, tak ada kekerasan dalam hal perkembangan keagamaan, baik Hindu, Budha, maupun Islam.

Negeri ini begitu terkenal kemakmuran dan keterbukaannya ke seluruh penjuru dunia ketika di bawah kepemimpinan para rajanya. Kalau tidak terkenal, mana mungkin ada orang asing yang datang ke sini.

Setelah merdeka, tak ada sedikit pun niat untuk menjajah atau memeras negara-negara lain. Berbeda jauh dengan Amerika. Setelah merdeka, meskipun mereka meneriakan slogan perlawanan terhadap imperialisme, pada kenyataannya mereka menjajah bangsa lain.

Soekarno pernah mengatakan, “Soal jajahan adalah soal rugi atau untung. Soal ini bukanlah soal kesopanan atau soal kewajiban. Soal ini adalah soal mencari hidup, soal business. Tak kecil kerugian ekonomi Inggeris bilamana Mesir atau India dapat memerdekakan diri. Tak sedikitlah kerugian rezeki Perancis dan Amerika bilamana Indocina dan Philipina bisa menjadi bebas.”

Bahkan, Soekarno menjelaskan pula bahwa bukan hanya Belanda yang menguras harta kekayaan Indonesia, melainkan pula Amerika ikut menikmati keuntungan dari derita rakyat Indonesia.

Ya, kemakmuran yang didapat mereka itu berasal pula dari tanah jajahannya dan dari Indonesia.

Sebelum penjajahan, kita sudah memiliki nilai-nilai luhur, budaya yang tinggi, dan moralitas yang terjaga. Nilai-nilai dan norma-norma yang luhur tersebut mendapat pengaruh lagi dari Hindu, Budha, dan Islam. Semuanya berkembang melengkapi yang sudah ada. Seandainya tak ada penjajahan, Indonesia tak akan secarut-marut ini.

Bangsa Amerika tidak terlalu mementingkan politik atau kepemimpinan dan agama, tetapi mengedepankan kehidupan ekonomi, materialis. Bagi bangsa Indonesia, politik, kepemimpinan, dan agama adalah teramat penting. Urusan itu diyakini membawa akibat yang berkesinambungan dari dunia sampai ke akhirat.

Kalaulah di dunia sebelah sana ada propaganda bahwa raja-raja itu terkenal jahat, kejam, dan bengis ditambah dengan kelaliman para penguasa agama sehingga harus menghindari kekuasaan monarki dan kekuasaan suci, kita harus ingat di Indonesia tidak ada kejadian itu. Kalaupun ada kejahatan seperti itu, hal tersebut terjadi setelah dipengaruhi oleh VOC dan pemerintah Belanda. Meskipun demikian, masih sangat banyak anggota keluarga kerajaan yang tidak terpengaruh untuk menjadi jahat, bahkan berjuang bersama rakyat mengusir pengaruh-pengaruh jahat itu. Sebut saja Pangeran Diponegoro, Bagusrangin, Dipatiukur, Untung Surapati, Sentot Alibasyah, dan ribuan lainnya, mereka adalah keluarga istana yang tidak setuju pemerintahan kolonial. Mereka memiliki kecintaan kepada rakyat dan tanah airnya. Tidak seperti keluarga kerajaan di dunia sebelah sana itu yang dianggap telah menyakiti rakyatnya. Demikian pula dengan para pemimpin agama kita. Mereka justru mengobarkan jihad untuk memerangi kejahatan dan tentunya mengasihi umatnya. Itu artinya, kita bukan mereka dan tidak perlu berpandangan seperti mereka. Kita cukup tahu sebatas pengetahuan, jangan menjadikan mereka sebagai standar bagi kehidupan kita.

Kita tidak perlu menggunakan sistem politik yang digunakan oleh mereka, yaitu demokrasi. Kita memiliki sejarah, watak, budaya, dan nilai-nilai kita sendiri. Allah swt telah melekatkan itu dalam diri kita sejak dalam kandungan. Yang wajib kita lakukan adalah menggali kekuatan diri kita sendiri, kemudian menerjemahkannya menjadi sebuah tatanan pergaulan berbangsa dan bernegara. Kita tidak perlu mengadopsi pikiran-pikiran bangsa lain jika memang tidak perlu-perlu amat. Kita bukanlah mereka titik.

No comments:

Post a Comment