oleh Tom Finaldin
Bandung, Putera Sang Surya
Isu yang digunakan untuk menjatuhkan Soekarno di samping terlibat malam G-30-S, juga dianggap menyeleweng dari UUD 1945 dan tidak demokratis. Tak heran jika pada pasca-Soekarno, mengemuka isu melaksanakan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekwen di samping tentunya melaksanakan demokrasi. Demokrasi yang diusung pada masa ini adalah Demokrasi Pancasila.
Kita bersyukur komunis telah dilarang di negeri ini. Itu artinya salah satu alat Dajjal dan Iblis telah minimal diharamkan ada meskipun pasti tetap ada di bawah tanah. Komunis memang sudah kesurupan syetan. Awalnya sih, tidak begitu, sebagaimana yang diajarkan Soekarno untuk menyatukan kaum Islam dan komunis. Soekarno mengatakan bahwa perselisihan faham antara komunis dan Islam adalah karena kebodohan dan ketololan. Ia memaparkan bahwa komunis hanyalah reaksi dari aksi-aksi yang dijalankan kaum kapitalis, kaum kemodalan yang besar usaha. Para pemilik modal itu tak cukup puas dengan hasil yang didapatnya. Mereka pun merampas hak-hak yang seharusnya diberikan kepada kaum buruh, kaum pekerja. Perampasan itu mengakibatkan kaum proletar bangkit dan marah, lalu mengadakan perlawanan. Mereka menuduh bahwa para pengusaha itu menjadi kaya raya karena banyak hak buruh yang tidak diberikan. Perlawanan yang dikenal dengan ajaran komunisme ini menjadi besar, membengkak dengan sangat cepat dan kuat. Hal itu tentu saja membuat para pemilik modal cemas. Untuk mengantisipasinya, salah satu caranya adalah menggunakan pendeta-pendeta gereja yang korup untuk tak henti-hentinya menuding komunis itu anti-Tuhan, atheis. Gereja yang dipandang sebagai wakil Tuhan bidang spiritual di muka Bumi telah membuat komunis marah. Di situlah mulainya komunis melawan agama gereja dan anti kepada Tuhan. Tampaknya, mereka yang miskin itu tak mendapat pertolongan dari kaum gereja, malah mendapat tekanan yang kuat. Mereka pun menganggap agama adalah candu. Kebodohan orang komunis adalah menimpakan pula permusuhan itu kepada kaum Islam, padahal Islam berbeda jauh dengan pendeta-pendeta korup itu. Islam adalah agama yang mengajarkan harus membela kaum miskin, membela kaum yang lemah, saling tolong menolong, saling mengasihi, tidak boleh menumpuk-numpuk harta, dilarang memakan riba. Akan tetapi, kaum Islam pada saat yang sama berpikiran pula seperti yang disuarakan oleh gereja korup itu, yaitu komunis adalah anti-Tuhan tanpa melihat sebab-sebabnya terlebih dahulu. Pendeknya, sudah sempurnalah perselisihan faham. Selanjutnya, ia berharap Islam dan Marxis bisa berdamai dengan satu tujuan, memerangi kapitalisme, imperialisme, dan neokolonialisme.
Setelah PKI hancur meskipun dengan cara-cara biadab, komunis kehilangan keberaniannya. Artinya, kapitalis menang.
Mungkin di antara pembaca ada yang bertanya, kalau komunis itu syetan karena tidak mempercayai Tuhan, kapitalis adalah pihak yang benar?
Jawaban saya adalah kedua-duanya sama alat Dajjal dan Iblis untuk menyesatkan dan menghancurkan manusia dari jalan Allah swt.
Muncul lagi pertanyaan, bagaimana mungkin keduanya alat syetan? Masa iya syetan mengadu domba pengikutnya sendiri sehingga salah satunya hancur? Rugi dong syetan karena salah satu alatnya hancur di Indonesia?
Bagi Dajjal dan Iblis tak ada untungnya mau hancur salah satu atau kedua-duanya. Mereka berdua tidak sedang berbisnis. Mereka bertujuan untuk menjauhkan manusia dari jalan kebenaran. Mereka tidak senang jika manusia hidup rukun, damai, harmonis, serasi, dan penuh cinta kasih. Saling bunuh dan saling serang tanpa alasan yang jelas adalah tontonan mengasyikan bagi mereka.
Setelah runtuhnya kekuasaan Soekarno, tak heran jika lawan-lawan politik PKI bergembira ria, terutama kapitalis. Jangan pula heran jika Indonesia banyak dikucuri dana pinjaman oleh pihak asing kapitalis. Dewi Soekarno atau Naoko Nemoto, istri Soekarno dari Jepang, pernah menuturkan bahwa setelah suaminya itu jatuh, banyak dana luar negeri masuk kepada Soeharto. Amerika memberi Soeharto dan jenderal-jenderalnya uang. PM Sato dari Jepang mengucurkan 6 juta yen untuk Soeharto dan Sofyan Wanandi melalui Duta Besar Siso Saito.
Demi Allah yang menguasai jagat raya! Jika bantuan-bantuan asing yang diberikan kepada Soeharto dan lawan-lawan politik PKI adalah bayaran atas hasil kerja membantai orang-orang PKI dan menjatuhkan Soekarno, kita sama saja telah dipimpin oleh orang-orang yang tidak lebih mulia dibandingkan preman jalanan, orang sewaan, cuma tukang pukul dan pembunuh bayaran.
Demi Allah, mudah-mudahan bukan itu yang terjadi, melainkan upaya pemerintah Orde Baru untuk membangun bangsa Indonesia. Bantuan-bantuan itu bukanlah bayaran, melainkan dana yang benar-benar dipergunakan untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Mudah-mudahan. Kita memang berharap seperti itu.
Pada masa Orde baru memang ekonomi menjadi perhatian yang penting. Dana-dana bantuan itu dipergunakan untuk membangun berbagai bidang. Kita bisa menyaksikan pada awal 90-an muncul orang-orang kaya baru yang telah ikut menikmati bantuan-bantuan itu. Oleh sebab itu, ketika masa reformasi dimulai dengan penuh kesulitan ekonomi, banyak orang yang menginginkan kembali ke zaman Orde Baru. Padahal, saat itu tak ubahnya kita nasabah yang pinjam uang ke bank. Uang pinjaman itu digunakan untuk membeli kendaraan mewah, baju bagus, pesiar, beli ini-beli itu sehingga tampak seperti orang makmur, padahal uang itu harus dikembalikan karena cuma hutang. Hutang pinjaman itu diperoleh dengan menggadaikan aset-aset yang ada, yaitu sumber daya alam dan rakyatnya sekaligus. Ketika hutang tak mampu kita kembalikan, negara-negara yang memberi pinjaman itu dengan gampang menekuk leher kita, mau dari belakang atau dari depan.
Dalam hal politik, sebagaimana retorika politik yang telah disuarakan untuk melawan Soekarno adalah melaksanakan demokrasi, Orde Baru pun mulai merancangnya. Untuk menyelenggarakan pesta demokrasi, sejak awal sudah terjadi teror. Tentara ingin pemenang Pemilu adalah pihak yang pro-Soeharto dan dekat dengan tentara. Untuk mewujudkan keinginan itu, digaraplah PNI dan Masjumi agar menjadi partai yang lemah. Hasilnya, memang kedua partai itu rusak.
Orang-orang yang masih setia kepada Bung Karno diintimidasi, pegawai negeri digiring untuk memilih Golkar. Sisa-sisa PKI pun sudah tentu dipaksa memilih Golkar. Golkar pun menang berturut-turut.
Untuk mempermudah pengawasan Parpol, dilakukan fusi dari sekian banyak partai menjadi dua partai dan satu Golkar. Ini agak mirip dengan negeri kapitalis Amerika yang hanya mengizinkan dua partai, Republik dan Demokrat.
Golkar yang menang berturut-turut mengantarkan pula Soeharto menjadi presiden berturut-turut. Penggiringan, pemaksaan suara, dan pengangkatan anggota di lembaga konstitutif merupakan strategi jitu di alam Demokrasi Pancasila.
Pemilu yang tidak fair play ini menambah kepongahan dan kerakusan penguasa, baik dalam mempertahankan kedudukan maupun dalam menambah harta benda.
Tentara yang biasanya berada bersama rakyat terbius pula nikmatnya Demokrasi Pancasila. Dwifungsi ABRI yang berkembang menjadi kekaryaan menjadikan ABRI hadir di semua sektor kehidupan berbangsa bernegara. Mereka tidak lagi seperti dulu berjuang bersama rakyat, tetapi petantang-petenteng di depan rakyat. Bahkan, rakyat banyak yang takut, tidak lagi merasa aman.
ABRI sepertinya harus selalu menjadi menteri, legislatif, gubernur, walikota, bupati, camat, bahkan sampai RT. Bukan hanya itu, jika ada perselisihan antara ABRI dan rakyat, pasti ABRI yang harus menang meskipun salah. Yang lebih aneh adalah ketika itu dengan gampangnya ABRI menuduh seseorang atau suatu pihak dengan cap PKI. Segala-gala PKI, padahal bukankah PKI sudah sejak dulu dibubarkan? Keterlaluan ada seorang anggota Paskibraka yang masih SMP kesiangan dituding PKI. Tukang becak, PKL, sopir truk yang protes pun mendapat cap yang sama, PKI.
Golkar Sang Penguasa tunggal semakin angkuh seolah-olah tak terjamah hukum. Mereka memang menganggap semua bisa diselesaikan secara politis meskipun sedang terlibat kasus hukum.
PDI yang telah memilih Megawati menjadi ketua umum diacak-acak dan diberantemkan dengan Suryadi. Kantornya diserang hingga menimbulkan korban jiwa. Belum lagi pembunuhan, penculikan, penganiayaan para aktivis yang kontrapemerintah menghiasi kehidupan sehari-hari. Itu semua dijalankan dalam kerangka Demokrasi Pancasila.
Rakyat hanya menjadi penonton dan objek menderita dari kekuasaan. Ketidakadilan ekonomi dan politik membuat hidup rakyat menjadi susah.
Jika diuraikan di sini betapa mencekamnya kehidupan saat itu, pasti membutuhkan ribuan lembar kertas. Untuk kasus kerusuhan 12 – 13 Mei 1998 saja yang mengandung berbagai peristiwa, misalnya, pembunuhan dan pemerkosaan, sudah bisa jadi sebuah judul buku tersendiri.
Pinjaman Asing
Sudah menjadi rahasia umum bila negeri-negeri kapitalis memberikan bantuan, pasti ada maunya. Pasti ada imbalan yang harus diberikan negara peminjam. Imbalan tersebut tentu saja bunga yang harus dibayar ditambah pesanan-pesanan lain, baik dalam bidang politik, ekonomi, militer, maupun yang lainnya. Bagi mereka, dikenal istilah no free lunch, ‘tak ada makan siang gratis’. Semuanya harus dihitung untung rugi dan mereka pasti ingin untung. Tekanan terhadap negara lain itu akan semakin kuat apabila negera peminjam itu benar-benar sangat terdesak. Hal itu dimanfaatkan oleh negara-negara kaya untuk mencengkeram negara lemah tersebut.
Indonesia yang telah membuat lega dada para kapitalis dengan hancurnya PKI, tentu saja diberi berbagai kemudahan untuk mendapatkan pinjaman. Hal itu sangat terasa pada masa awal-awal Orde Baru. Pembangunan di segala sektor digiatkan. Akan tetapi, para kapitalis pun tidak mau begitu saja. Mereka tentunya meminta jaminan agar kepentingannya di Indonesia bisa terus terjaga dan mendapatkan untung. Di samping itu, mereka pun bukan tak mungkin meminta bagian untuk menguasai beberapa hal dalam bidang ekonomi, misalnya, sumber daya alam, industri, atau pasar bagi barang produksinya. Oleh sebab itu, tak heran jika banyak sekali sumber-sumber daya alam yang dikuasai pihak asing dan untungnya pun sebagian besar dinikmati mereka, bukan rakyat Indonesia. Rakyat cukup diberi sumbangan sekadarnya.
Di samping banyak sumber produksi yang dikuasai pihak asing, Indonesia pun dirugikan oleh adanya perilaku korupsi, kolusi, dan nepotisme yang terjadi di kalangan penyelenggara negara. Keuntungan, dana, serta hasil-hasil yang semestinya menetes ke rakyat kecil, ternyata mandek di tingkat elite dan segelintir pengusaha. Terjadinya konglomerasi adalah bukti bahwa negeri ini sudah mulai terbiasa dengan cara-cara hidup yang kapitalistis. Modal-modal dikuasi oleh sekelompok kecil manusia. Adapun rakyat cukup hanya menonton dan rebutan sisa uang yang tak seberapa.
Semakin lama semakin dalam merasuk budaya KKN ini sehingga hampir bisa dibilang tak ada satu tempat pun yang bersih dari KKN. Akibatnya, kesenjangan ekonomi sangat tampak. Sementara itu, para negeri kapitalis mendiamkan saja karena toh mereka tak rugi apa pun dengan perilaku KKN di Indonesia. Mereka bahkan bisa ikut memanfaatkan situasi itu untuk kepentingannya sendiri. Hutang Indonesia yang semakin menumpuk menggunung menjadi alat pula bagi mereka untuk memaksakan keinginannya kepada Indonesia.
Hutang luar negeri yang sangat besar dan perilaku KKN para elit membuat negeri ini jadi sangat lemah di berbagai bidang. Kita semua hampir lupa diri.
Akhir Hayat Orde Baru
Demokrasi Pancasila lebih mengerikan dibandingkan dengan Demokrasi Terpimpin. Orang bisa tiba-tiba hilang, mati, gila karena berbeda pendapat dengan pemerintah. Orang baik-baik bisa jadi tampak jahat karena disebut jahat oleh pemerintah. Orang jahat bisa jadi berjasa karena disebut pahlawan oleh pemerintah.
Orang bisa bilang bahwa zaman Orde Baru sebenarnya tak ada demokrasi atau demokrasi semu. Sesungguhnya, justru terjadi demokrasi, yaitu demokrasi seperti itu. Toh, wajar partai pemenang Pemilu mempertahankan diri untuk menang terus. Yang namanya demokrasi itu mempersilakan partai untuk menggunakan seluruh kemampuannya agar bisa menang sesuai aturan yang ditetapkan. Saat itu partai yang berkuasa adalah partai yang memiliki banyak akses untuk membuat aturan dan mempunyai kekuatan berlebih untuk menjadi pemenang. Sudah barang tentu partai itu akan membuat aturan yang memudahkan dirinya untuk menang. Partai apa pun akan selalu menggunakan kekuatannya, dari yang terbesar sampai yang terkecil agar bisa menang. Soal aksi tipu-tipu, janji palsu, money politics, publikasi diri besar-besaran, penggiringan massa, kerja sama, serta tawar menawar kepentingan dengan pemilik uang dan pejabat, itu adalah hal yang biasa terjadi dalam alam demokrasi. Hal itu merupakan suatu modal juga untuk mempengaruhi massa pemilih. Bukankah semuanya ingin menang? Semuanya ingin berkuasa? Di mana moral? Moral dan etika ada dalam mulutnya para Jurkam, dalam aturan-aturan tertulis, dalam catatan sejarah, di media-media massa yang sudah pasti banyak dilanggar.
Kejatuhan Soeharto sesungguhnya berawal dari banyaknya ketimpangan di masyarakat. Masyarakat merasa diperlakukan tidak adil, serba takut, serba terkekang. Seandainya Soeharto mampu menjamin keadilan ekonomi, politik, hukum, keamanan, kebebasan berpendapat, beribadat, budaya, pendidikan, kesempatan untuk mengembangkan diri sesuai potensinya masing-masing, dan lain sebagainya, saya yakin haqul yaqin, masyarakat tidak peduli mau sampai kapan dia berkuasa. Masyarakat akan merasa diayomi, dilindungi, dihargai, dan didorong untuk berkembang. Rakyat memiliki “ayah” yang dibanggakan dan dicintai. Rakyat akan merasa kehilangan jika dia tiada.
Kenyataannya, tidak seperti itu. Terjadi banyak penyelewengan.
Memang penyelewengan yang terjadi tidak mencolok di mata rakyat, hanya warga negara yang kritis yang benar-benar sadar terhadap penyelewengan Orde Baru. Pemerintah Orde Baru memanfaatkan Pancasila untuk meminggirkan orang-orang yang dianggap tidak loyal kepada kekuasaan. Setiap kali ada kelompok ‘radikal’—demikian pemerintah Orde Baru menyebut kelompok yang vokal terhadap pemerintah—selalu dicap pembelot, anti pembangunan, dan anti Pancasila. Tidak konsekwennya Orde Baru melaksanakan nilai-nilai Pancasila terlihat begitu nyata. Misalnya, sila Keadilan Sosial diganti dengan kapitalisme, sila Kerakyatan diganti dengan otoritarianisme, sila Persatuan diganti dengan militerisme, sila Kemanusiaan diganti dengan kekerasan politik. Hanya sila Ketuhanan yang tak tersentuh substansinya karena ada rekayasa khotbah yang bersifat prosedural.
Digantikannya sila Keadilan Sosial oleh kapitalisme yang jelas melanggar Pasal 33 UUD ’45 tampak dalam banyak hal. Umpamanya saja, pembangunan nasional at all cost, pembentukan kroni di sekitar presiden, maraknya konglomerasi, suburnya tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), pemberian hak pengusahaan hutan (HPH) kepada para konglomerat, kontrak-kontrak karya di bidang pertambangan dengan perusahaan asing yang penuh persekongkolan, pemberian hak monopoli kepada kroni-kroni presiden berkuasa (pengapalan minyak dan gas, perniagaan cengkeh, minuman keras, berbagai tender), serta keluarnya berbagai Keppres untuk memperkaya keluarga presiden.
Tergantikannya sila Kerakyatan oleh otoritarianisme pun tampak jelas. Contohnya, diberlakukakannya monoloyalitas bagi pegawai negeri sipil (PNS), lumpuhnya peran MPR/DPR, intervensi eksekutif yang kelewat batas pada institusi pengadilan, tuduhan PKI, tuduhan anti-Pancasila, stigma ekstrem kanan dan ekstrem kiri, dan berbagai tuduhan pembentukan Negara Islam.
Hal yang sama terjadi pula dengan sila Persatuan yang digantikan militerisme. Pada saat Orde baru berkuasa, kekuasaan unsur militer terhadap sipil begitu terlihat sangat dominan. Militer menguasai semua lembaga dalam masyarakat, mulai pemerintahan, bisnis, hingga politik. Misalnya, pembentukan dinas-dinas intelijen untuk memata-matai rakyat, pembentukan Bakorstranas dan Bakorstranasda, pengaruh militer yang amat dominan dalam banyak kegiatan yang bersifat bisnis sampai olah raga, dan berbagai tindakan represif. Sila Kemanusiaan digantikan oleh kekerasan politik berupa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di berbagai tempat, seperti, Aceh, Tanjung Priok, Lampung, Timor Timur, kasus Semanggi I dan II, kasus Trisakti, pembredelan media massa, izin pementasan, izin ceramah, izin penerbitan koran, serta berbagai sensor yang dilakukan pemerintah
Ndilalahnya, lebih dari itu, pemerintah Orde Baru selalu menafsirkan Pancasila secara subjektif semisal pengeramatan ‘keampuhan Pancasila’ atau ‘Pancasila Sakti’ mengesankan bahwa Pancasila adalah kekuatan yang mampu berdiri sendiri terlepas dari para pendukungnya, yaitu rakyat dan bangsa Indonesia. Tafsir tunggal terlihat dengan dilaksanakannya Pancasila (P-4). Tanpa melihat fakta sosial, pemerintah Orde Baru telah memaksakan azas tunggal atas partai dan organisasi massa (R. Soeprapto: 2004).
Berbagai bentuk penyelewengan itu diakibatkan di samping Soeharto memang diduga keras sebagai seorang pembohong dan penyelundup serta tamak harta dan kekuasaan, juga karena demokrasi. Negeri ini harus secara reguler melaksanakan Pemilu. Ia dan konco-konconya tetap ingin menang. Untuk menang, jelas butuh biaya banyak dan simpul-simpul massa yang sangat kuat. Sudah merupakan hal yang wajar jika seseorang atau partai ingin menang harus mempersiapkan banyak hal. Apa pun akan dilakukannya, yang penting harus menang. Di samping itu, untuk mengukuhkan kemenangannya, harus pula punya tangan-tangan yang mampu mempengaruhi massa, baik legal maupun tidak.
Soeharto tak ingin kalah meskipun sejak dulu sudah menggarap partai-partai saingannya, baik secara halal maupun tidak. Partai boleh sedikit. Kontrol ketat dijalankan. Tuduhan PKI, subversif, dan ekstrem diobral. Akan tetapi, semua tak juga menenangkan dirinya. Ia ingin selalu merasa aman dalam memenangkan Pemilu di alam Demokrasi Pancasila.
Berbagai ketidakadilan yang diakibatkan perilaku Orde Baru membuat rakyat marah dan muak. Rakyat yang tadinya diam saja bergerak bersama elemen bangsa yang lain. Akibatnya, Soeharto jatuh.
Bagaimana dengan kapitalis? Dengan jatuhnya Soeharto, mereka pasti rugi. Bukankah Soeharto dekat dengan kapitalis? Bukankah negeri-negeri itu sempat diuntungkan karena ikut menikmati pula kekayaan alam Indonesia?
Negeri-negeri itu mungkin tak lagi berminat untuk membela Soeharto. Ia toh sudah sepuh dan banyak sekali lawan politiknya. Lawan-lawannya ini semakin hari semakin kuat. Ada dugaan bahwa negeri-negeri itu pun ikut serta dalam penggulingan Soeharto. Mereka lebih suka mencari penggantinya yang lebih muda dan tentunya bisa diatur. Dalam awal masa reformasi koran-koran menyebutkan banyak pihak yang dibiayai oleh Amerika untuk menjatuhkan Soeharto. Pihak-pihak yang dituding itu ada yang protes keras karena tidak merasa, tetapi ada pula yang tenang diam saja. Kita boleh menyimpulkannya sendiri.
Kita bersyukur komunis telah dilarang di negeri ini. Itu artinya salah satu alat Dajjal dan Iblis telah minimal diharamkan ada meskipun pasti tetap ada di bawah tanah. Komunis memang sudah kesurupan syetan. Awalnya sih, tidak begitu, sebagaimana yang diajarkan Soekarno untuk menyatukan kaum Islam dan komunis. Soekarno mengatakan bahwa perselisihan faham antara komunis dan Islam adalah karena kebodohan dan ketololan. Ia memaparkan bahwa komunis hanyalah reaksi dari aksi-aksi yang dijalankan kaum kapitalis, kaum kemodalan yang besar usaha. Para pemilik modal itu tak cukup puas dengan hasil yang didapatnya. Mereka pun merampas hak-hak yang seharusnya diberikan kepada kaum buruh, kaum pekerja. Perampasan itu mengakibatkan kaum proletar bangkit dan marah, lalu mengadakan perlawanan. Mereka menuduh bahwa para pengusaha itu menjadi kaya raya karena banyak hak buruh yang tidak diberikan. Perlawanan yang dikenal dengan ajaran komunisme ini menjadi besar, membengkak dengan sangat cepat dan kuat. Hal itu tentu saja membuat para pemilik modal cemas. Untuk mengantisipasinya, salah satu caranya adalah menggunakan pendeta-pendeta gereja yang korup untuk tak henti-hentinya menuding komunis itu anti-Tuhan, atheis. Gereja yang dipandang sebagai wakil Tuhan bidang spiritual di muka Bumi telah membuat komunis marah. Di situlah mulainya komunis melawan agama gereja dan anti kepada Tuhan. Tampaknya, mereka yang miskin itu tak mendapat pertolongan dari kaum gereja, malah mendapat tekanan yang kuat. Mereka pun menganggap agama adalah candu. Kebodohan orang komunis adalah menimpakan pula permusuhan itu kepada kaum Islam, padahal Islam berbeda jauh dengan pendeta-pendeta korup itu. Islam adalah agama yang mengajarkan harus membela kaum miskin, membela kaum yang lemah, saling tolong menolong, saling mengasihi, tidak boleh menumpuk-numpuk harta, dilarang memakan riba. Akan tetapi, kaum Islam pada saat yang sama berpikiran pula seperti yang disuarakan oleh gereja korup itu, yaitu komunis adalah anti-Tuhan tanpa melihat sebab-sebabnya terlebih dahulu. Pendeknya, sudah sempurnalah perselisihan faham. Selanjutnya, ia berharap Islam dan Marxis bisa berdamai dengan satu tujuan, memerangi kapitalisme, imperialisme, dan neokolonialisme.
Setelah PKI hancur meskipun dengan cara-cara biadab, komunis kehilangan keberaniannya. Artinya, kapitalis menang.
Mungkin di antara pembaca ada yang bertanya, kalau komunis itu syetan karena tidak mempercayai Tuhan, kapitalis adalah pihak yang benar?
Jawaban saya adalah kedua-duanya sama alat Dajjal dan Iblis untuk menyesatkan dan menghancurkan manusia dari jalan Allah swt.
Muncul lagi pertanyaan, bagaimana mungkin keduanya alat syetan? Masa iya syetan mengadu domba pengikutnya sendiri sehingga salah satunya hancur? Rugi dong syetan karena salah satu alatnya hancur di Indonesia?
Bagi Dajjal dan Iblis tak ada untungnya mau hancur salah satu atau kedua-duanya. Mereka berdua tidak sedang berbisnis. Mereka bertujuan untuk menjauhkan manusia dari jalan kebenaran. Mereka tidak senang jika manusia hidup rukun, damai, harmonis, serasi, dan penuh cinta kasih. Saling bunuh dan saling serang tanpa alasan yang jelas adalah tontonan mengasyikan bagi mereka.
Setelah runtuhnya kekuasaan Soekarno, tak heran jika lawan-lawan politik PKI bergembira ria, terutama kapitalis. Jangan pula heran jika Indonesia banyak dikucuri dana pinjaman oleh pihak asing kapitalis. Dewi Soekarno atau Naoko Nemoto, istri Soekarno dari Jepang, pernah menuturkan bahwa setelah suaminya itu jatuh, banyak dana luar negeri masuk kepada Soeharto. Amerika memberi Soeharto dan jenderal-jenderalnya uang. PM Sato dari Jepang mengucurkan 6 juta yen untuk Soeharto dan Sofyan Wanandi melalui Duta Besar Siso Saito.
Demi Allah yang menguasai jagat raya! Jika bantuan-bantuan asing yang diberikan kepada Soeharto dan lawan-lawan politik PKI adalah bayaran atas hasil kerja membantai orang-orang PKI dan menjatuhkan Soekarno, kita sama saja telah dipimpin oleh orang-orang yang tidak lebih mulia dibandingkan preman jalanan, orang sewaan, cuma tukang pukul dan pembunuh bayaran.
Demi Allah, mudah-mudahan bukan itu yang terjadi, melainkan upaya pemerintah Orde Baru untuk membangun bangsa Indonesia. Bantuan-bantuan itu bukanlah bayaran, melainkan dana yang benar-benar dipergunakan untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Mudah-mudahan. Kita memang berharap seperti itu.
Pada masa Orde baru memang ekonomi menjadi perhatian yang penting. Dana-dana bantuan itu dipergunakan untuk membangun berbagai bidang. Kita bisa menyaksikan pada awal 90-an muncul orang-orang kaya baru yang telah ikut menikmati bantuan-bantuan itu. Oleh sebab itu, ketika masa reformasi dimulai dengan penuh kesulitan ekonomi, banyak orang yang menginginkan kembali ke zaman Orde Baru. Padahal, saat itu tak ubahnya kita nasabah yang pinjam uang ke bank. Uang pinjaman itu digunakan untuk membeli kendaraan mewah, baju bagus, pesiar, beli ini-beli itu sehingga tampak seperti orang makmur, padahal uang itu harus dikembalikan karena cuma hutang. Hutang pinjaman itu diperoleh dengan menggadaikan aset-aset yang ada, yaitu sumber daya alam dan rakyatnya sekaligus. Ketika hutang tak mampu kita kembalikan, negara-negara yang memberi pinjaman itu dengan gampang menekuk leher kita, mau dari belakang atau dari depan.
Dalam hal politik, sebagaimana retorika politik yang telah disuarakan untuk melawan Soekarno adalah melaksanakan demokrasi, Orde Baru pun mulai merancangnya. Untuk menyelenggarakan pesta demokrasi, sejak awal sudah terjadi teror. Tentara ingin pemenang Pemilu adalah pihak yang pro-Soeharto dan dekat dengan tentara. Untuk mewujudkan keinginan itu, digaraplah PNI dan Masjumi agar menjadi partai yang lemah. Hasilnya, memang kedua partai itu rusak.
Orang-orang yang masih setia kepada Bung Karno diintimidasi, pegawai negeri digiring untuk memilih Golkar. Sisa-sisa PKI pun sudah tentu dipaksa memilih Golkar. Golkar pun menang berturut-turut.
Untuk mempermudah pengawasan Parpol, dilakukan fusi dari sekian banyak partai menjadi dua partai dan satu Golkar. Ini agak mirip dengan negeri kapitalis Amerika yang hanya mengizinkan dua partai, Republik dan Demokrat.
Golkar yang menang berturut-turut mengantarkan pula Soeharto menjadi presiden berturut-turut. Penggiringan, pemaksaan suara, dan pengangkatan anggota di lembaga konstitutif merupakan strategi jitu di alam Demokrasi Pancasila.
Pemilu yang tidak fair play ini menambah kepongahan dan kerakusan penguasa, baik dalam mempertahankan kedudukan maupun dalam menambah harta benda.
Tentara yang biasanya berada bersama rakyat terbius pula nikmatnya Demokrasi Pancasila. Dwifungsi ABRI yang berkembang menjadi kekaryaan menjadikan ABRI hadir di semua sektor kehidupan berbangsa bernegara. Mereka tidak lagi seperti dulu berjuang bersama rakyat, tetapi petantang-petenteng di depan rakyat. Bahkan, rakyat banyak yang takut, tidak lagi merasa aman.
ABRI sepertinya harus selalu menjadi menteri, legislatif, gubernur, walikota, bupati, camat, bahkan sampai RT. Bukan hanya itu, jika ada perselisihan antara ABRI dan rakyat, pasti ABRI yang harus menang meskipun salah. Yang lebih aneh adalah ketika itu dengan gampangnya ABRI menuduh seseorang atau suatu pihak dengan cap PKI. Segala-gala PKI, padahal bukankah PKI sudah sejak dulu dibubarkan? Keterlaluan ada seorang anggota Paskibraka yang masih SMP kesiangan dituding PKI. Tukang becak, PKL, sopir truk yang protes pun mendapat cap yang sama, PKI.
Golkar Sang Penguasa tunggal semakin angkuh seolah-olah tak terjamah hukum. Mereka memang menganggap semua bisa diselesaikan secara politis meskipun sedang terlibat kasus hukum.
PDI yang telah memilih Megawati menjadi ketua umum diacak-acak dan diberantemkan dengan Suryadi. Kantornya diserang hingga menimbulkan korban jiwa. Belum lagi pembunuhan, penculikan, penganiayaan para aktivis yang kontrapemerintah menghiasi kehidupan sehari-hari. Itu semua dijalankan dalam kerangka Demokrasi Pancasila.
Rakyat hanya menjadi penonton dan objek menderita dari kekuasaan. Ketidakadilan ekonomi dan politik membuat hidup rakyat menjadi susah.
Jika diuraikan di sini betapa mencekamnya kehidupan saat itu, pasti membutuhkan ribuan lembar kertas. Untuk kasus kerusuhan 12 – 13 Mei 1998 saja yang mengandung berbagai peristiwa, misalnya, pembunuhan dan pemerkosaan, sudah bisa jadi sebuah judul buku tersendiri.
Pinjaman Asing
Sudah menjadi rahasia umum bila negeri-negeri kapitalis memberikan bantuan, pasti ada maunya. Pasti ada imbalan yang harus diberikan negara peminjam. Imbalan tersebut tentu saja bunga yang harus dibayar ditambah pesanan-pesanan lain, baik dalam bidang politik, ekonomi, militer, maupun yang lainnya. Bagi mereka, dikenal istilah no free lunch, ‘tak ada makan siang gratis’. Semuanya harus dihitung untung rugi dan mereka pasti ingin untung. Tekanan terhadap negara lain itu akan semakin kuat apabila negera peminjam itu benar-benar sangat terdesak. Hal itu dimanfaatkan oleh negara-negara kaya untuk mencengkeram negara lemah tersebut.
Indonesia yang telah membuat lega dada para kapitalis dengan hancurnya PKI, tentu saja diberi berbagai kemudahan untuk mendapatkan pinjaman. Hal itu sangat terasa pada masa awal-awal Orde Baru. Pembangunan di segala sektor digiatkan. Akan tetapi, para kapitalis pun tidak mau begitu saja. Mereka tentunya meminta jaminan agar kepentingannya di Indonesia bisa terus terjaga dan mendapatkan untung. Di samping itu, mereka pun bukan tak mungkin meminta bagian untuk menguasai beberapa hal dalam bidang ekonomi, misalnya, sumber daya alam, industri, atau pasar bagi barang produksinya. Oleh sebab itu, tak heran jika banyak sekali sumber-sumber daya alam yang dikuasai pihak asing dan untungnya pun sebagian besar dinikmati mereka, bukan rakyat Indonesia. Rakyat cukup diberi sumbangan sekadarnya.
Di samping banyak sumber produksi yang dikuasai pihak asing, Indonesia pun dirugikan oleh adanya perilaku korupsi, kolusi, dan nepotisme yang terjadi di kalangan penyelenggara negara. Keuntungan, dana, serta hasil-hasil yang semestinya menetes ke rakyat kecil, ternyata mandek di tingkat elite dan segelintir pengusaha. Terjadinya konglomerasi adalah bukti bahwa negeri ini sudah mulai terbiasa dengan cara-cara hidup yang kapitalistis. Modal-modal dikuasi oleh sekelompok kecil manusia. Adapun rakyat cukup hanya menonton dan rebutan sisa uang yang tak seberapa.
Semakin lama semakin dalam merasuk budaya KKN ini sehingga hampir bisa dibilang tak ada satu tempat pun yang bersih dari KKN. Akibatnya, kesenjangan ekonomi sangat tampak. Sementara itu, para negeri kapitalis mendiamkan saja karena toh mereka tak rugi apa pun dengan perilaku KKN di Indonesia. Mereka bahkan bisa ikut memanfaatkan situasi itu untuk kepentingannya sendiri. Hutang Indonesia yang semakin menumpuk menggunung menjadi alat pula bagi mereka untuk memaksakan keinginannya kepada Indonesia.
Hutang luar negeri yang sangat besar dan perilaku KKN para elit membuat negeri ini jadi sangat lemah di berbagai bidang. Kita semua hampir lupa diri.
Akhir Hayat Orde Baru
Demokrasi Pancasila lebih mengerikan dibandingkan dengan Demokrasi Terpimpin. Orang bisa tiba-tiba hilang, mati, gila karena berbeda pendapat dengan pemerintah. Orang baik-baik bisa jadi tampak jahat karena disebut jahat oleh pemerintah. Orang jahat bisa jadi berjasa karena disebut pahlawan oleh pemerintah.
Orang bisa bilang bahwa zaman Orde Baru sebenarnya tak ada demokrasi atau demokrasi semu. Sesungguhnya, justru terjadi demokrasi, yaitu demokrasi seperti itu. Toh, wajar partai pemenang Pemilu mempertahankan diri untuk menang terus. Yang namanya demokrasi itu mempersilakan partai untuk menggunakan seluruh kemampuannya agar bisa menang sesuai aturan yang ditetapkan. Saat itu partai yang berkuasa adalah partai yang memiliki banyak akses untuk membuat aturan dan mempunyai kekuatan berlebih untuk menjadi pemenang. Sudah barang tentu partai itu akan membuat aturan yang memudahkan dirinya untuk menang. Partai apa pun akan selalu menggunakan kekuatannya, dari yang terbesar sampai yang terkecil agar bisa menang. Soal aksi tipu-tipu, janji palsu, money politics, publikasi diri besar-besaran, penggiringan massa, kerja sama, serta tawar menawar kepentingan dengan pemilik uang dan pejabat, itu adalah hal yang biasa terjadi dalam alam demokrasi. Hal itu merupakan suatu modal juga untuk mempengaruhi massa pemilih. Bukankah semuanya ingin menang? Semuanya ingin berkuasa? Di mana moral? Moral dan etika ada dalam mulutnya para Jurkam, dalam aturan-aturan tertulis, dalam catatan sejarah, di media-media massa yang sudah pasti banyak dilanggar.
Kejatuhan Soeharto sesungguhnya berawal dari banyaknya ketimpangan di masyarakat. Masyarakat merasa diperlakukan tidak adil, serba takut, serba terkekang. Seandainya Soeharto mampu menjamin keadilan ekonomi, politik, hukum, keamanan, kebebasan berpendapat, beribadat, budaya, pendidikan, kesempatan untuk mengembangkan diri sesuai potensinya masing-masing, dan lain sebagainya, saya yakin haqul yaqin, masyarakat tidak peduli mau sampai kapan dia berkuasa. Masyarakat akan merasa diayomi, dilindungi, dihargai, dan didorong untuk berkembang. Rakyat memiliki “ayah” yang dibanggakan dan dicintai. Rakyat akan merasa kehilangan jika dia tiada.
Kenyataannya, tidak seperti itu. Terjadi banyak penyelewengan.
Memang penyelewengan yang terjadi tidak mencolok di mata rakyat, hanya warga negara yang kritis yang benar-benar sadar terhadap penyelewengan Orde Baru. Pemerintah Orde Baru memanfaatkan Pancasila untuk meminggirkan orang-orang yang dianggap tidak loyal kepada kekuasaan. Setiap kali ada kelompok ‘radikal’—demikian pemerintah Orde Baru menyebut kelompok yang vokal terhadap pemerintah—selalu dicap pembelot, anti pembangunan, dan anti Pancasila. Tidak konsekwennya Orde Baru melaksanakan nilai-nilai Pancasila terlihat begitu nyata. Misalnya, sila Keadilan Sosial diganti dengan kapitalisme, sila Kerakyatan diganti dengan otoritarianisme, sila Persatuan diganti dengan militerisme, sila Kemanusiaan diganti dengan kekerasan politik. Hanya sila Ketuhanan yang tak tersentuh substansinya karena ada rekayasa khotbah yang bersifat prosedural.
Digantikannya sila Keadilan Sosial oleh kapitalisme yang jelas melanggar Pasal 33 UUD ’45 tampak dalam banyak hal. Umpamanya saja, pembangunan nasional at all cost, pembentukan kroni di sekitar presiden, maraknya konglomerasi, suburnya tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), pemberian hak pengusahaan hutan (HPH) kepada para konglomerat, kontrak-kontrak karya di bidang pertambangan dengan perusahaan asing yang penuh persekongkolan, pemberian hak monopoli kepada kroni-kroni presiden berkuasa (pengapalan minyak dan gas, perniagaan cengkeh, minuman keras, berbagai tender), serta keluarnya berbagai Keppres untuk memperkaya keluarga presiden.
Tergantikannya sila Kerakyatan oleh otoritarianisme pun tampak jelas. Contohnya, diberlakukakannya monoloyalitas bagi pegawai negeri sipil (PNS), lumpuhnya peran MPR/DPR, intervensi eksekutif yang kelewat batas pada institusi pengadilan, tuduhan PKI, tuduhan anti-Pancasila, stigma ekstrem kanan dan ekstrem kiri, dan berbagai tuduhan pembentukan Negara Islam.
Hal yang sama terjadi pula dengan sila Persatuan yang digantikan militerisme. Pada saat Orde baru berkuasa, kekuasaan unsur militer terhadap sipil begitu terlihat sangat dominan. Militer menguasai semua lembaga dalam masyarakat, mulai pemerintahan, bisnis, hingga politik. Misalnya, pembentukan dinas-dinas intelijen untuk memata-matai rakyat, pembentukan Bakorstranas dan Bakorstranasda, pengaruh militer yang amat dominan dalam banyak kegiatan yang bersifat bisnis sampai olah raga, dan berbagai tindakan represif. Sila Kemanusiaan digantikan oleh kekerasan politik berupa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di berbagai tempat, seperti, Aceh, Tanjung Priok, Lampung, Timor Timur, kasus Semanggi I dan II, kasus Trisakti, pembredelan media massa, izin pementasan, izin ceramah, izin penerbitan koran, serta berbagai sensor yang dilakukan pemerintah
Ndilalahnya, lebih dari itu, pemerintah Orde Baru selalu menafsirkan Pancasila secara subjektif semisal pengeramatan ‘keampuhan Pancasila’ atau ‘Pancasila Sakti’ mengesankan bahwa Pancasila adalah kekuatan yang mampu berdiri sendiri terlepas dari para pendukungnya, yaitu rakyat dan bangsa Indonesia. Tafsir tunggal terlihat dengan dilaksanakannya Pancasila (P-4). Tanpa melihat fakta sosial, pemerintah Orde Baru telah memaksakan azas tunggal atas partai dan organisasi massa (R. Soeprapto: 2004).
Berbagai bentuk penyelewengan itu diakibatkan di samping Soeharto memang diduga keras sebagai seorang pembohong dan penyelundup serta tamak harta dan kekuasaan, juga karena demokrasi. Negeri ini harus secara reguler melaksanakan Pemilu. Ia dan konco-konconya tetap ingin menang. Untuk menang, jelas butuh biaya banyak dan simpul-simpul massa yang sangat kuat. Sudah merupakan hal yang wajar jika seseorang atau partai ingin menang harus mempersiapkan banyak hal. Apa pun akan dilakukannya, yang penting harus menang. Di samping itu, untuk mengukuhkan kemenangannya, harus pula punya tangan-tangan yang mampu mempengaruhi massa, baik legal maupun tidak.
Soeharto tak ingin kalah meskipun sejak dulu sudah menggarap partai-partai saingannya, baik secara halal maupun tidak. Partai boleh sedikit. Kontrol ketat dijalankan. Tuduhan PKI, subversif, dan ekstrem diobral. Akan tetapi, semua tak juga menenangkan dirinya. Ia ingin selalu merasa aman dalam memenangkan Pemilu di alam Demokrasi Pancasila.
Berbagai ketidakadilan yang diakibatkan perilaku Orde Baru membuat rakyat marah dan muak. Rakyat yang tadinya diam saja bergerak bersama elemen bangsa yang lain. Akibatnya, Soeharto jatuh.
Bagaimana dengan kapitalis? Dengan jatuhnya Soeharto, mereka pasti rugi. Bukankah Soeharto dekat dengan kapitalis? Bukankah negeri-negeri itu sempat diuntungkan karena ikut menikmati pula kekayaan alam Indonesia?
Negeri-negeri itu mungkin tak lagi berminat untuk membela Soeharto. Ia toh sudah sepuh dan banyak sekali lawan politiknya. Lawan-lawannya ini semakin hari semakin kuat. Ada dugaan bahwa negeri-negeri itu pun ikut serta dalam penggulingan Soeharto. Mereka lebih suka mencari penggantinya yang lebih muda dan tentunya bisa diatur. Dalam awal masa reformasi koran-koran menyebutkan banyak pihak yang dibiayai oleh Amerika untuk menjatuhkan Soeharto. Pihak-pihak yang dituding itu ada yang protes keras karena tidak merasa, tetapi ada pula yang tenang diam saja. Kita boleh menyimpulkannya sendiri.
No comments:
Post a Comment