Monday, 14 June 2010

Demokrasi Sejak Lahir Sudah Ditentang

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Demokrasi berasal dari kata demos kratia yang mengandung arti pemerintahan oleh rakyat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi Kedua yang disusun oleh Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, ada dua arti demokrasi. Pertama, demokrasi adalah bentuk atau sistem pemerintahan yang segenap rakyat turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya; pemerintahan rakyat. Kedua, gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara.

Demokrasi yang dibicarakan dalam blog ini adalah demokrasi dengan arti yang pertama, bukan yang kedua. Demokrasi yang inginnya menjadikan rakyat berkuasa, berdaulat sehingga diikutsertakan dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Adapun arti yang kedua saya kira tidak perlu terlalu ditekankan karena emang cuma demokrasi yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara? Kemudian, gagasan dan pandangan hidup di luar demokrasi semuanya mengabaikan hak-hak rakyat, begitukah? Dalam kenyataannya, demokrasi justru mengabaikan hak-hak rakyat karena penuh dengan unsur penipuan, bahkan menurunkan derajat kemanusiaan itu sendiri. Di samping itu, saya ingin menegaskan bahwa arti yang kedua itu bukan hanya milik demokrasi. Ada gagasan lain yang justru lebih mulia dibandingkan demokrasi.

Sejarah
Sekitar lima abad Sebelum Masehi atau lima ratus tahun sebelum Yesus lahir, orang-orang Yunani membentuk polis (negara kota). Mereka kebingungan, sistem politik apa yang dapat memenuhi kepentingan dan kesejahteraan bersama. Dimulailah praktik demokrasi langsung di negara kota yang kecil tersebut. Warga negara yang terdiri atas sepuluh suku Athena diikutsertakan dalam mempengaruhi dan mengawasi keputusan-keputusan politik. Meskipun demikian, hanya 10% dari seluruh penduduk Athena yang memiliki hak pilih. Mereka yang tidak memiliki hak pilih adalah para budak, wanita, penduduk asing, serta orang-orang yang tidak punya hak milik.

Untuk membuat dan mengontrol kebijakan-kebijakan politik, mereka membentuk Dewan Rakyat atau Sidang Umum (ecclesia). Dewan ini bersidang sepuluh kali setahun di samping sidang-sidang luar biasa. Mereka membentuk pula majelis yang lebih kecil. Majelis ini memiliki fungsi eksekutif dan bertanggung jawab kepada dewan. Majelis, komite khusus, atau dewan juri mengajukan rencana peraturan perundang-undangan dan hukum. Dewan Rakyat membahas berbagai kebijakan dan peraturan eksekutif, terutama yang menyangkut perang, diplomasi, perdagangan asing, dan politik keuangan serta mengesahkan perubahan-perubahan hukum. Dewan Rakyat tidak berfungsi membuat hukum.

Kebebasan politik dan kewarganegaraan sangat dijamin sepenuhnya. Kebebasan berpendapat mendapat tempat yang terbuka di dalam dewan atau majelis. Keputusan-keputusan diambil setelah mempertimbangkan semua pendapat yang masuk. Kritikan-kritikan dibiarkan bebas dalam masyarakat, termasuk kritik terhadap pemerintahan demokratik itu sendiri.

Dalam hal hukum, fungsi yudisial dilaksanakan oleh warga negara sendiri. Bisa melalui Dewan Rakyat yang kadang-kadang menyelenggarakan pengadilan atau lewat majelis peradilan. Majelis peradilan ini terdiri atas ratusan warganegara yang menjadi juri dan hakim. Majelis peradilan ini disebut helialia yang dipilih oleh sebuah panel yang terdiri atas ribuan orang. Yang tidak boleh dilupakan di Athena terdapat ekualitas hukum dan politik bagi semua warga negara.

Di Athena kuno, seorang pejabat tidak boleh terlalu lama menduduki jabatannya, biasanya tidak boleh lebih dari satu tahun. Jabatan-jabatan tertentu kadang-kadang ditentukan oleh Dewan Rakyat dengan menghitung acungan tangan para anggota setelah sebelumnya terjadi perdebatan-perdebatan terbuka dan langsung.

Untuk mengetahui keinginan warga terhadap masalah-masalah tertentu, Athena memberikan kebebasan yang luas untuk berargumen. Bila semua argumen telah dipaparkan, mekanisme voting baru dilaksanakan.

Sistem pemerintahan demokratik yang baheula itu saat itu pun mendapat kritikan yang sangat keras dari dua orang penumbuh filsafat Barat, yaitu Plato dan Aristotle. Berdasarkan pengamatan terhadap praktik demokrasi di Athena, keduanya menganggap bahwa demokrasi adalah suatu bentuk sistem politik yang “berbahaya” dan tidak praktis. Plato mendambakan suatu aristokrasi yang dipimpin oleh seorang raja-filosof. Menurutnya, seorang raja sekaligus filosof mempunyai berbagai kelebihan, keutamaan, dan pandangan jauh ke depan. Adapun Aristotle yakin bahwa suatu pemerintahan berdasarkan pilihan orang banyak dapat mudah dipengaruhi oleh para demagog dan akhirnya merosot menjadi kediktatoran. Bahkan, menurutnya demokrasi mudah meluncur ke arah tirani. Kedua filsuf ini mencoba menghindari demokrasi (M. Amien Rais: 1986).

Demikianlah sejarah singkat munculnya sistem pemerintahan demokrasi. Demokrasi kolot tersebut merupakan benih-benih demokrasi modern yang telah jauh berkembang saat ini.

Sistem demokrasi Athena hancur babak belur setelah dikalahkan Sparta dalam Perang Peloponnesia yang berlangsung selama 27 tahun (431-404 SM). Negara demokrasi dijungkalkan negara otoriter. Semenjak itu, sistem pemerintahan di dunia, kurang lebih selama dua puluh tiga abad, demokrasi tidak menjadi pilihan untuk diterapkan di mana-mana, tenggelam, dianggap tidak efektif dan tidak efisien. Bahkan, India dan Cina mencapai puncak peradabannya tanpa mengikutsertakan demokrasi. Demikian pula saat kejayaan Islam dan kebangkitan Eropa sama sekali tak berhubungan dengan demokrasi.

Para pemikir terkemuka Romawi, seperti, Cicero dan Seneca tidak pernah merekomendasikan demokrasi karena demokrasi di mata mereka merupakan suatu sistem yang inferior (rendahan: Pen.) dan tidak praktis (Amien Rais: 1986).

Baru pada abad 17 dan 18 bermunculan dan berkembang pemikiran-pemikiran sosial, politik, ekonomi, dan filsafat di Eropa yang mulai lagi meletakkan fondasi demokrasi yang sudah tidak laku selama dua ribu tiga ratus tahun. Pemikiran-pemikiran itu mendorong perubahan-perubahan besar di Inggris, Perancis, dan Amerika. Monarki absolut di Inggris diserang dengan gencar sehingga terbentuk House of Lords dan House of Commons. Pada perkembangan berikutnya Inggris menjadi negara yang demokratik monarki. Amerika menegaskan demokrasinya dalam deklarasi kemerdekaan 1776. Cita-cita demokrasi itu dirumuskan dalam konstitusi 1787. Demikian pula Perancis dengan revolusinya telah menyebarkan semboyan liberte, egalite, fraternite (kebebasan, persamaan, persaudaraan; semboyan ini adalah tipuan syetan, pada tulisan lain akan lebih jelas) ke berbagai penjuru dunia sehingga banyak bangsa mencari alternatif demokratik bagi sistem politik lama.

Demikian, kisah singkat sistem politik demokrasi yang sejak kelahirannya pun mendapat tentangan. Filsuf barat yang terkemuka saja sudah menganggapnya rendahan dan berbahaya. Dunia pun telah membuktikan hal tersebut. Kenyataan itu seharusnya menjadi pelajaran bagi bangsa Indonesia agar tidak ikut latah berdemokrasi. Kita memiliki sistem politik yang unggul dan terhormat, menjadikan seluruh komponen kehidupan ini seimbang dan harmonis. Sistem itu harus digali dari dalam nilai-nilai sendiri yang telah dilekatkan Allah swt sejak dalam kandungan. Bodohlah kita jika menujukan mata kita kepada bangsa-bangsa lain yang jelas memiliki sejarah dan watak jauh berbeda dengan kita.

Kembalilah kepada kesucian dan keluhuran diri, maka Allah swt akan datang memberikan petunjuk dan pertolongan.

No comments:

Post a Comment