Thursday, 24 March 2011

Demokrasi Dimulai Konflik pun Dimulai

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Pada awal kelahirannya saja di negeri ini demokrasi sudah menunjukkan tabiatnya yang keliru, jauh dari gotong royong dan menimbulkan konflik. Pada 16 Oktober 1945 dikeluarkan Maklumat X (baca: eks) oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta ketika Presiden RI Soekarno berada di luar kota. Maklumat tersebut memberikan kekuasaan legislatif kepada Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di samping membentuk Badan Pekerja untuk menjalankan tugas KNIP sehari-hari.

Selanjutnya, pada 3 November 1945 dikeluarkan pula Maklumat Wakil Presiden yang mengizinkan dibentuknya partai-partai. Oleh sebab itu, tumbuhlah banyak partai yang menandai Indonesia sebagai negara dengan sistem multipartai.

Pada 14 November 1945 Badan Pekerja KNIP mengusulkan pembentukan kabinet yang bertanggung jawab kepada KNIP. Mohammad Hatta, selaku wakil presiden, menyetujui usulan tersebut, kemudian memutuskan agar Sutan Sjahrir membentuk kabinet yang baru. Oleh sebab itulah, terbentuk kabinet parlementer pertama di bawah pimpinan Sutan Sjahrir sebagai Perdana Menteri (PM) dan menteri-menteri bertanggung jawab kepada KNIP sebagai subtitut MPR/DPR.

Akibat dari pembentukan kabinet yang baru itu, selama satu dua hari Indonesia memiliki dua kelompok menteri yang masing-masing mengaku sebagai pemerintah yang resmi (A. Suprijatna).

Ketika kekacauan sudah terjadi, Soekarno diminta menyelesaikannya. Artinya, pekerjaan Hatta dan Sjahrir yang menimbulkan konflik harus diselesaikan Soekarno. Karena mendahulukan keselamatan bangsa dan Republik Indonesia, Soekarno menyetujui kabinet yang telah dibentuk Sjahrir meskipun harus rela kehilangan kekuasaannya.

Hanya dalam waktu empat minggu, Sjahrir yang didukung penuh Hatta telah menurunkan Soekarno dari seorang presiden yang memiliki kekuasaan absolut menjadi presiden “pajangan” saja. Kemudian, selama empat tahun perang kemerdekaan, peranan terpenting, baik sebagai administrator maupun negosiator dikuasai sepenuhnya oleh Hatta dan Sjahrir.

Kejadian selanjutnya, dalam masa pemerintahan kabinet parlementer itu terus terjadi pertentangan di antara pemimpin bangsa, terutama antara Soekarno dan Sjahrir yang mendapat dukungan Hatta.

Indonesia telah merdeka, tetapi Belanda bersikeras untuk tetap bertahan. Oleh sebab itu, upaya mempertahankan kemerdekaan terus dilakukan dengan menggunakan jalur diplomasi di samping jalur perang fisik. Dalam jalur diplomasi, Belanda hendak memperlemah Indonesia dengan tawaran politiknya, yaitu:

Mendirikan persemakmuran Indonesia, yang terdiri dari daerah-daerah dengan bermacam-macam tingkat pemerintahan sendiri dan untuk menciptakan warga negara Indonesia bagi semua orang yang dilahirkan di sana. Masalah dalam negeri akan dihadapi dengan suatu parlemen yang dipilih secara demokratis dan orang-orang Indonesia akan merupakan mayoritas. Kementerian akan disesuaikan dengan parlemen, tetapi akan dikepalai oleh wakil kerajaan. Daerah-daerah yang bermacam-macam di Indonesia yang dihubungkan bersama-sama dalam suatu susunan federasi dan persemakmuran akan menjadi rekan (partner) dalam Kerajaan Belanda serta akan mendukung permohonan keanggotaan Indonesia dalam organisasi PBB.

Ir. Soekarno, selaku presiden, menolak hal tersebut, sementara Sutan Sjahrir, selaku perdana menteri, menerimanya. Mohammad Hatta mendukung Sutan Sjahrir. Bahkan, pada 17 Juni 1946, Sjahrir mengirimkan surat rahasia kepada van Mook, Gubernur Jenderal Belanda, yang menganjurkan bahwa ada penerimaan yang samar-samar tentang gagasan van Mook mengenai masa peralihan sebelum kemerdekaan penuh diberikan kepada Indonesia; ada pula nada yang lebih samar-samar lagi tentang kemungkinan Indonesia menyetujui federasi Indonesia-bekas Hindia Belanda dibagi menjadi berbagai negara merdeka dengan kemungkinan hanya Republik sebagai bagian paling penting. Sebagai kemungkinan dasar untuk kompromi, hal ini dibahas beberapa kali sebelumnya dan semua tokoh politik utama Republik mengetahui hal ini (http://id.wikipedia.org).

Kebijakan Sjahrir yang bertentangan dengan Soekarno ini mengakibatkan terjadinya penculikan terhadapnya. Sjahrir dicap sebagai pengkhianat yang menjual tanah airnya. Sjahrir diculik di Surakarta ketika berhenti dalam perjalanan politik menelusuri Jawa. Kemudian, ia dibawa ke Paras, kota dekat Solo, di rumah peristirahatan seorang Pangeran Solo dan ditahan di sana dengan pengawasan Komandan Batalyon setempat.

Peristiwa penting lainnya yaitu Perjanjian Linggarjati. Isi dari perjanjian tersebut adalah (1) Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura. Belanda harus meninggalkan wilayah de facto paling lambat 1 Januari 1949, (2) Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk Negara Indonesia Serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat yang salah satu bagiannya adalah Republik Indonesia, (3) Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.

Hasil dari perjanjian tersebut menimbulkan kekisruhan di antara kekuatan politik yang ada. Ada dua kubu yang bertarung pendapat sangat sengit, yakni antara sayap sosialis (diwakili melalui partai Pesindo) dengan pihak Nasionalis-Islam (diwakili lewat partai Masyumi dan PNI). Pihak sosialis ingin agar KNIP menyetujui naskah Linggarjati tersebut, sedangkan pihak Masyumi dan PNI cenderung ingin menolaknya. Ketika anggota KNIP yang anti-Linggarjati benar-benar diancam gerilyawan Pesindo, Sutomo (Bung Tomo) meminta kepada S.M. Kartosoewirjo untuk mencegah pasukannya agar tidak menembaki satuan-satuan Pesindo. S.M. Kartoseowirjo saat itu berada di kubu Masyumi.

Pada 27 Mei 1947 Belanda mengirimkan Nota Ultimatum, yang harus dijawab dalam 14 hari, isinya:
  1. Membentuk pemerintahan ad interim bersama;
  2. Mengeluarkan uang bersama dan mendirikan lembaga devisa bersama;
  3. Republik Indonesia harus mengirimkan beras untuk rakyat di daerah-daerah yang diduduki Belanda;
  4. Menyelenggarakan keamanan dan ketertiban bersama, termasuk daerah-daerah Republik yang memerlukan bantuan Belanda (gendarmerie bersama);
  5. Menyelenggarakan penilikan bersama atas impor dan ekspor

Perdana Menteri Sjahrir menyatakan kesediaan untuk mengakui kedaulatan Belanda selama masa peralihan, tetapi menolak gendarmerie bersama. Jawaban ini mendapatkan reaksi keras dari kalangan Parpol-parpol di Republik.

Ketika jawaban yang memuaskan tidak kunjung tiba, Belanda "mengembalikan ketertiban" dengan "tindakan kepolisian". Pada 20 Juli 1947 tengah malam (tepatnya 21 Juli 1947) mulailah pihak Belanda melancarkan “aksi polisionil” mereka yang pertama. Aksi ini dikenal dengan Agresi Militer I.

Melihat aksi Belanda tersebut, Sjahrir yang diangkat lagi menjadi PM setelah diculik, bingung dan putus asa. Oleh sebab itu, pada Juli 1947 dengan terpaksa mengundurkan diri dari jabatannya sebagai perdana menteri karena sebelumnya dia sangat menyetujui tuntutan Belanda dalam menyelesaikan konflik antara pemerintah RI dengan Belanda.

Kejadian lain yang menimbulkan konflik adalah Perjanjian Renville. Bahkan, lebih parah karena menurut hasil perjanjian, wilayah Republik Indonesia itu terbatas pada Yogyakarta dan delapan keresidenan di sekitarnya. Pada masa ini Amir Syarifudin menggantikan Sjahrir sebagai perdana menteri. Awalnya, Amir Syarifudin adalah Menteri Pertahanan.

Akibat dari disetujuinya Perjanjian Renville, seluruh anggota kabinet yang berasal dari PNI dan Masyumi meletakkan jabatannya. Kemudian, Amir sendiri meletakan jabatan PM pada 23 Januari 1948.

Hal ini menimbulkan akibat yang lebih buruk, yaitu terlegitimasinya S.M. Kartosoewiryo untuk mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) setelah sebelumnya menolak untuk menjadi Menteri Pertahanan pada Kabinet Amir Syarifudin.

Dalam sebuah wawancara, seorang pemimpin aktivis NII (2010) menuturkan:

“NII didirikan untuk melindungi Negara Indonesia karena setelah Perjanjian Renville, wilayah Republik Indonesia hanyalah Yogyakarta dan beberapa karesidenan di sekitarnya. Sementara itu, rakyat dan wilayah yang berada di luar RI sesuai Renville tidak ada yang melindungi dari penjajahan Belanda.”

Demikian pula penuturan Prof. Dr. Hj. Nina Lubis pada seminar buku Mengenal Gubernur Jawa Barat dari Masa ke Masa di Bandung (2010):

“S.M. Kartosoewirjo mendirikan NII tidak untuk melakukan perampokan dan kerusuhan dengan menggunakan gerombolan bersenjata. Dia melakukan itu untuk melindungi rakyat yang berada di luar wilayah RI sebagai akibat dari Perjanjian Renville. Rakyat di luar Yogyakarta tidak ada yang melindungi. Akan tetapi, pada masa selanjutnya memang NII pun melakukan perilaku-perilaku gerombolan seperti yang sudah diketahui masyarakat.”

Selepas itu, Soekarno menunjuk Hatta untuk memimpin suatu kabinet presidensil darurat (1948-1949). Seluruh pertanggungjawabannya dilaporkan kepada Soekarno sebagai presiden.

Hatta mengambil anggota kabinetnya berasal dari golongan tengah, terutama terdiri atas orang-orang PNI, Masyumi, dan tokoh-tokoh yang tidak berpartai. Amir dan kelompoknya dari sayap kiri menjadi pihak oposisi. Sikap oposisi yang diambil Amir membuat Sjahrir dan para pengikutnya mempertegas perpecahan dengan kelompok Amir. Sjahrir membentuk partai tersendiri, yaitu Partai Sosialis Indonesia (PSI) pada Februari 1948 dan sekaligus memberikan dukungannya kepada pemerintah Hatta.

Pada 23 Agustus hingga 2 November 1949 dilangsungkan Konferensi Meja Bundar (KMB) antara pemerintah Republik Indonesia dengan Belanda di Den Haag. Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan:

  1. Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat,
  2. Irian Barat akan diselesaikan setahun setelah pengakuan kedaulatan.

Pertemuan itu menyatakan ketegasan bahwa Indonesia berbentuk negara serikat. Bentuk negara itu mendapatkan tentangan keras dari rakyat. Oleh sebab itu, di berbagai daerah rakyat melakukan demonstrasi menuntut dikembalikannya negara ke bentuk kesatuan.

Melalui perjanjian antara tiga negara bagian, Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, dan Negara Sumatera Timur dihasilkan perjanjian pembentukan Negara Kesatuan pada 15 Agustus 1950.

Sejak saat itu Negara Indonesia diperintah dengan menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 yang menganut sistem kabinet parlementer. Dewan Konstituante diserahi tugas membuat undang-undang dasar yang baru sesuai amanat UUDS 1950. Akan tetapi, sampai dengan 1959 lembaga ini tidak dapat menyelesaikan tugasnya karena banyaknya perdebatan dan kepentingan kelompok di dalamnya.

Pada masa ini terjadi banyak pergantian kabinet diakibatkan situasi politik yang tidak stabil. Tercatat ada tujuh kabinet pada masa ini.
  1. 1950-1951 - Kabinet Natsir
  2. 1951-1952 - Kabinet Sukiman-Suwirjo
  3. 1952-1953 - Kabinet Wilopo
  4. 1953-1955 - Kabinet Ali Sastroamidjojo I
  5. 1955-1956 - Kabinet Burhanuddin Harahap
  6. 1956-1957 - Kabinet Ali Sastroamidjojo II
  7. 1957-1959 - Kabinet Djuanda
Jika diperhatikan, pergantian kabinet tersebut menunjukkan ketidakstabilan politik yang tinggi. Waktu kerja kabinet pendek-pendek dan tidak teratur. Salah satu penyebab terbesar dari jatuh-bangunnya kabinet tersebut diakibatkan oleh proses demokrasi dalam hal tarik ulur persoalan Pemilu. Mereka yang belum berkuasa ingin segera berkuasa, sedangkan yang sedang berkuasa khawatir copot kekuasaannya.

Daniel Dhakidae (1986) mengilustrasikan bahwa pemilihan umum menjadi isu politik yang penting dalam percaturan politik pada masa-masa itu. Dalam masa-masa setelah penyerahan kedaulatan oleh Belanda, hampir setiap kabinet yang berkuasa menjanjikan atau merencanakan Pemilu sebagai program kerjanya.

Kabinet Hatta berencana menyelenggarakan Pemilu sehingga suatu Dewan Konstituante hasil pemilihan akan menentukan apakah negara akan berbentuk kesatuan atau federal. Akan tetapi, batal karena rakyat sudah sangat kuat menginginkan negara kesatuan. Kabinet Natsir menyusulnya dengan mengajukan suatu rencana undang-undang pemilihan atas dasar pemilihan tidak langsung. Namun, kabinet tersebut jatuh sebelum rencana undang-undang dibicarakan dalam parlemen. Kabinet Sukiman yang menggantikannya menyepakati agar rencana undang-undang yang diajukan Kabinet Natsir diterima. Akan tetapi, pada 1 Agustus 1951 rencana undang-undang tersebut ditolak parlemen karena parlemen menghendaki suatu Pemilu langsung. Sampai jatuhnya pada Februari 1952, Kabinet Sukiman tidak lagi mengajukan rencana undang-undang Pemilu.

Ketika Kabinet Wilopo menduduki kursi pemerintahan, tampaknya bakal ada tanda-tanda bahwa tekanan pada pentingnya Pemilu diberikan lagi. Pada Juli 1952 kabinet mengajukan RUU untuk pendaftaran para pemilih. Namun, fraksi-fraksi dalam parlemen tidak mendiskusikannya sampai September 1952. Hasil diskusi bulan itu menolak RUU tersebut.

Kita lihat bahwa harapan dan penggarapan persiapan Pemilu selalu tidak pernah sejalan, selalu mendapat rintangan. Setelah suatu kabinet berkuasa, Pemilu selalu ditunda-tunda tak menentu. Oleh karena itu, hampir bisa diduga bahwa pihak oposisi dalam parlemen selalu memegang isu Pemilu sebagai senjata melawan pemerintah dengan mengatakan bahwa pemerintah sebenarnya sengaja menunda-nunda dilaksanakannya Pemilu.

Sikap parlemen yang tidak menentu dan tidak begitu setuju dengan Pemilu, menurut Herbert Feith dalam Daniel Dhakidae (1986), ada empat alasan yang bisa dikemukakan:

Pertama, banyak anggota parlemen mendapat kursi karena keadaan dan situasi yang belum normal setelah revolusi. Mereka sadar Pemilu akan mencopot kursinya. Kelompok ini bukan saja terdiri atas golongan independen dan anggota partai kecil, melainkan pula dalam kalangan anggota partai besar yang merasa kurang mendapat restu dari pemimpin partainya. Kedua, kekhawatiran bahwa Pemilu akan menggeser negara ke dalam kekuasaan partai-partai Islam. Ketakutan ini terutama menghinggapi Partai Nasional Indonesia (PNI). Pemilu yang terlalu awal bakal menguntungkan Masyumi. Ketiga, sistem Pemilu yang konsisten dengan UUDS 1950 akan menghasilkan perwakilan yang lemah bagi daerah-daerah luar Jawa. Keempat, kekhawatiran tumbuhnya partai politik terlalu besar.

Akhirnya, Pemilu lebih merupakan isu politik dibandingkan suatu program politik. Oleh sebab itu, tidak heran bila dikatakan bahwa Pemilu merupakan ping pong antara kabinet dan parlemen. Setiap RUU Pemilu ditolak parlemen. Sebaliknya, kabinet khawatir adanya Pemilu. Tidak ada pihak yang berani melaksanakan pemilihan. Ketakutan ini melanda sejumlah besar Parpol, termasuk sejumlah partai yang memerintah.

Pada Oktober 1952 terjadi perdebatan-perdebatan sengit yang terjadi di parlemen, terutama terkait masalah Angkatan Perang. Di antara mereka terjadi tuduh-menuduh bahwa ada partai atau golongan tertentu yang hendak menguasai Angkatan Perang dan Kementerian Pertahanan. Bahkan, ada tudingan akan terjadinya kudeta oleh militer (Ginandjar Kartasasmita : 1981).

Perilaku DPR itu sangat mengecewakan rakyat. Oleh sebab itu, pada 17 Oktober 1952 terjadi demonstrasi besar-besaran di Jakarta. Sekitar 5.000 orang menuntut pembubaran parlemen, pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat Sementara, dan diselenggarakannya Pemilu. Mereka membawa bendera merah putih dan spanduk-spanduk yang bernada antikabinet dan anti-Dewan Perwakilan Rakyat Sementara yang bertuliskan Anggota DPR bukan wakil rakyat-DPR sudah menjadi Dewan Penipu Rakyat sebab yang dibicarakan adalah kebanyakan kepentingan kawan-kawan dan kelompoknya sendiri, sedangkan rakyat makin lama makin menderita dan yang senang hanya mereka yang menduduki kursi-kursi DPR dan kementerian yang empuk-empuk, jumlahnya makin lama makin membesar (Daniel Dhakidae : 1986).

Kekacauan itu membuat Kabinet Wilopo tersudut. Oleh sebab itu, hanya empat hari setelah peristiwa itu, 21 Oktober 1952, kabinet mengambil keputusan resmi untuk mempercepat pemilihan bagi Dewan Konstituante dan DPR. Kemudian, menyerahkan RUU-nya kepada parlemen.

Kabinet Wilopo telah menyusun RUU Pemilu, mengesahkannya, kemudian harus meletakkan jabatan. Penggantinya adalah Kabinet Ali I atau Ali-Wongso. Pada masa ini sempat berlangsung kampanye Pemilu, namun tidak sampai pada pelaksanaan Pemilu. Kabinet ini harus jatuh karena ada mosi tidak percaya dari beberapa anggota parlemen terkait pergantian pimpinan AD yang dikenal dengan “Peristiwa 27 Juni 1955”.

Kabinet berikutnya adalah Kabinet Burhanuddin Harahap. Kabinet ini adalah koalisi dengan Masyumi sebagai intinya, sedangkan PNI berada pada pihak oposisi. Dalam masa inilah dilangsungkan Pemilu yang pertama, yaitu pada 29 September 1955.

Pemilu tersebut menghasilkan empat besar, yaitu: PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Hasil tersebut menjadi awal bagi terkuburnya Kabinet Burhanuddin karena PNI sebagai oposisi keluar sebagai pemenang dan NU akan bersama PNI untuk membentuk kabinet yang baru. Dengan demikian, jelas Kabinet Burhanuddin yang berintikan Masyumi kalah besar.

Hasil Pemilu itu pun menyebabkan polarisasi yang cukup tajam antara parta-partai agama dan nonagama. Di Jawa, kecuali Jakarta Raya, gabungan kekuatan partai nonagama lebih kuat daripada gabungan kekuatan partai agama (Islam). Adapun di luar Jawa gabungan kekuatan agama (Islam) jauh lebih kuat dibandingkan dengan kekuatan partai nonagama.

Kestabilan politik yang diharapkan setelah Pemilu, tidak juga diperoleh. Parlemen yang baru pun tidak meningkatkan rasa puas. Demikian pula kabinet tidak dapat bertahan lama dan harus diganti dengan Kabinet Ali II (Daniel Dhakidae : 1986).

Ternyata, Kabinet Ali II tidak berumur panjang juga, tidak lebih dari satu tahun karena DPR hasil Pemilu terpecah-pecah dalam sekian banyak partai. Oleh sebab itu, setiap kabinet menjadi bergantung kepada dukungan partai yang turut serta dalam koalisi (Ginandjar Kartasasmita : 1981).

Kasus lain yang mengagetkan adalah mundurnya Wakil Presiden Mohammad Hatta dari jabatannya pada 1 Desember 1956. Dalam masa revolusi kemerdekaan, mitos Dwitunggal begitu menyihir seluruh perjuangan. Keduanya, Soekarno-Hatta, mampu bergotong royong mencurahkan energi yang dimiliki untuk memimpin bangsa mencapai kemerdekaannya. Akan tetapi, ketika dimulai sistem politik demokrasi, sikap gotong royong itu mulai pudar berganti dengan kecurigaan dan perpecahan. Mitos Dwitunggal sudah sangat samar.

Dimulainya praktik Demokrasi Awal Kemerdekaan sebagaimana yang ditulis A. Suprijatna dalam Bung Karno Milik Rakyat Semua adalah pada 16 Oktober 1945 ketika dikeluarkan Maklumat Wakil Presiden X (baca: eks) yang memberikan kekuasaan legislatif kepada KNIP. Juga dibentuk Badan Pekerja untuk menjalankan tugas KNIP sehari-hari. Saat itu Soekarno sedang berada di luar Kota Jakarta. Artinya, kekuasaan ada di tangan Hatta.

Kemudian, pada 3 November 1945 dikeluarkan Maklumat Wapres yang memberikan izin untuk mendirikan partai-partai politik. Maklumat itu makin menjauhkan negara dari sistem pemerintahan yang diinginkan Soekarno.

Pada pertengahan November 1945 Hatta menyetujui pembentukan kabinet yang bertanggung jawab terhadap KNIP. Hatta kemudian menunjuk Sjahrir untuk membentuk kabinet. Akan tetapi, kabinet lama menolak hal itu. Akibatnya, negara dalam satu dua hari memiliki dua kabinet yang masing-masing mengaku sebagai pemerintahan yang sah.

Ketika kekacauan sudah terjadi, Soekarno diminta menyelesaikannya. Artinya, pekerjaan Hatta dan Sjahrir yang menimbulkan konflik harus diselesaikan Soekarno. Karena mendahulukan keselamatan bangsa dan Republik Indonesia, Soekarno menyetujui kabinet yang telah dibentuk Sjahrir meskipun harus rela kehilangan kekuasaannya.

Hanya dalam waktu empat minggu, Sjahrir yang didukung penuh Hatta telah menurunkan Soekarno dari seorang presiden yang memiliki kekuasaan absolut menjadi presiden “pajangan” saja.
Selama empat tahun perang kemerdekaan, peranan terpenting, baik sebagai administrator maupun negosiator dikuasai sepenuhnya oleh Hatta dan Sjahrir. Ujungnya adalah setelah mewakili RI dalam KMB, Hatta berkuasa sepenuhnya sebagai Perdana Menteri RIS, namun rakyat tidak menyukainya dan lebih memilih negara kesatuan.

Sejak kejatuhan RIS, peranan Hatta benar-benar surut, sedangkan Soekarno bertambah besar. Hatta seolah-olah merasa kalah oleh Soekarno, sebagaimana yang dia katakan sendiri dalam risalahnya, Demokrasi Kita (A. Suprijatna):

“Bagi saya yang sudah lama bertengkar dengan Soekarno tentang bentuk dan susunan pemerintahan yang efisien, ada baiknya diberikan fair chance kepada Presiden Soekarno untuk mengalami sendiri, apakah sistemnya itu akan menjadi suatu sukses atau suatu kegagalan.”

Pernyataan Hatta tersebut mengingatkan kita bahwa dirinya dan Sjahrir sudah memperjuangkan gagasan-gagasannya, namun terbentur RIS yang tidak laku di kalangan rakyat. Kemudian, ia memberikan ruang yang lebih bebas kepada Soekarno dan gagasan-gagasannya. Dengan demikian, Soekarno tak ada lagi yang merecokinya.

Setelah Kabinet Ali II jatuh, Presiden Soekarno menunjuk Soewirjo menjadi formatur. Dua kali Soewirjo berusaha, tetapi gagal. Akhirnya, Soekarno menunjuk dirinya sendiri menjadi formatur.
Soekarno membentuk Kabinet Darurat Ekstraparlementer dengan Djuanda sebagai perdana menteri. Kabinet Djuanda ini diberi nama Kabinet Karya dan di dalamnya duduk dua orang anggota Angkatan Bersenjata.

Konstituante mulai bersidang pada 10 November 1956 mengenai UUD 1945 dalam keadaan negara diliputi awan gelap yang ditimbulkan oleh pergolakan-pergolakan di daerah. Seperti juga DPR hasil Pemilu 1955, anggota-anggota konstituante terdiri atas wakil-wakil dari puluhan partai. Partai-partai tersebut terpecah-pecah ke dalam berbagai ideologi yang sukar dipertemukan sehingga setelah lebih dari dua tahun bersidang, dewan ini belum juga dapat menghasilkan UUD. Bahkan, gagal.

Bukan hanya itu sebenarnya konstituante gagal dalam menghasilkan sesuatu yang bermanfaat untuk rakyat. Dalam hal lain pun sering sekali gagal karena banyaknya perdebatan. Pada masa yang dikenal sebagai demokrasi liberal tersebut, perangai politik lama malahan bertambah merusak. Perdebatan di parlemen memang hebat-hebat, tetapi karena asyik berdebat, jarang sekali menghasilkan sesuatu yang diharapkan masyarakat banyak. Pertikaian yang berlarut-larut menyebabkan seringnya kabinet atau pemerintahan berganti sehingga kebijaksanaan sering pula berubah-ubah. Sistem banyak partai yang diperkirakan akan lenyap dengan Pemilu 1955, ternyata tidak bisa dihindari. Pemilu itu telah membuka pintu yang lebar bagi pertentangan ideologi yang tajam sehingga memperdalam rasa saling curiga yang tambah mempersulit mencari konsensus (Alfian : 1986).

Kegagalan konstituante untuk menetapkan UUD serta perdebatan-perdebatan di dalamnya menyebabkan situasi politik di dalam negeri yang telah bergolak karena adanya pemberontakan-pemberontakan di daerah dan gangguan-gangguan keamanan menjadi semakin gawat.

Setelah konstituante gagal menetapkan UUD 1945 menjadi UUD RI, Presiden Soekarno menetapkan berlakunya kembali UUD 1945 dengan suatu dekrit pada 5 Juli 1959. Dekrit tersebut mendapat dukungan penuh dari masyarakat. KSAD mengeluarkan perintah harian yang ditujukan kepada seluruh anggota TNI untuk melaksanakan dan mengamankan dekrit tersebut. Mahkamah Agung kemudian juga membenarkan Dekrit Presiden tersebut. DPR hasil Pemilu dalam sidangnya pada 22 Juli 1959 secara aklamasi menyatakan kesediaannya untuk bekerja terus berdasarkan UUD 1945.

Dengan adanya dekrit, berakhirlah episode Demokrasi Awal Kemerdekaan.

Dari paparan sejarah tadi, jelas Demokrasi Awal Kemerdekaan sejak mula sekali sudah menjauhkan para elit politik dari sikap gotong royong. Sesuai dengan perjalanan bangsa, sikap menjauhi gotong royong tersebut bukan hanya berada pada tingkat elit, melainkan pula merembet ke masyarakat luas yang ditandai dengan pengelompokan masyarakat ke dalam berbagai partai politik yang memiliki perbedaan ideologi sangat tajam serta menimbulkan pemberontakan-pemberontakan di daerah.

Suasana politik pada masa itu benar-benar kacau karena setiap kelompok sudah mementingkan kelompoknya masing-masing bukan lagi rakyat secara keseluruhan. Berbeda dengan situasi pada masa memperjuangkan kemerdekaan, setiap kelompok berjuang untuk kepentingan bersama, yaitu merdeka.

Karena tidak berada dalam situasi gotong royong, situasi politik nasional berada jauh di luar intisari nilai Pancasila, sebagaimana yang disampaikan Founding Father Presiden ke-1 RI Ir. Soekarno pada 1 Juni 1945 dalam pidato filsafat negara bahwa rumusan dasar Negara Indonesia merdeka adalah:
1. Kebangsaan Indonesia-Nasionalisme
2. Perikemanusiaan-Internasionalisme
3. Mufakat atau Demokrasi
4. Kesejahteraan Sosial
5. Ketuhanan yang Berkebudayaan

Lima asas atau dasar tersebut atas petunjuk seorang temannya yang ahli bahasa—oleh Soekarno—diberi nama Pancasila. Konsep dasar yang diajukan Soekarno dapat diperas menjadi Tri Sila, yaitu:
1. Socio-Nationalisme, perasan sila 1 dan 2
2. Socio-Democratis, perasan sila 3 dan 4
3. Ketuhanan

Ketiga sila itu dapat diperas lagi menjadi satu sila yang disebut Eka Sila, yaitu gotong royong (Hasan, 2002 : 56-57 dalam Soeprapto : 2004).

Adapun gotong royong sendiri merupakan suatu istilah asli Indonesia yang berarti bekerja bersama-sama untuk mencapai suatu hasil yang didambakan. Bersama-sama dengan musyawarah, pantun, Pancasila, hukum adat, ketuhanan, dan kekeluargaan, gotong royong menjadi dasar filsafat Indonesia (http://id.wikipedia.org).

Gotong royong pun merupakan suatu kegiatan yang bersifat suka rela. Dengan demikian, segala sesuatu yang dikerjakan dapat lebih mudah dan cepat diselesaikan. Bukan itu saja, dengan adanya kesadaran setiap elemen atau lapisan masyarakat dalam menerapkan perilaku gotong royong, hubungan persaudaraan atau silaturahim akan semakin erat.

Berbeda dengan cara individualisme yang mementingkan diri sendiri. Cara individualisme akan memperlambat pekerjaan karena dapat menimbulkan keserakahan dan kesenjangan (http://pajriblog.blogspot.com).

Di samping itu, gotong royong adalah suatu budaya kerja. Budaya kerja menurut Gering Supriyadi dan Tri Guno dalam http://community.gunadarma.ac.id adalah suatu falsafah dengan didasari pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan, dan pendorong yang dibudayakan dalam suatu kelompok dan tecermin dalam sikap menjadi perilaku, cita-cita, pendapat, pandangan, serta tindakan yang terwujud sebagai kerja.

Budaya kerja memiliki tujuan untuk mengubah sikap dan juga perilaku SDM yang ada agar dapat meningkatkan produktivitas kerja untuk menghadapi berbagai tantangan pada masa yang akan datang.

Adapun tujuan dan manfaat dari gotong royong adalah meningkatkan kebersamaan, saling terbuka satu sama lain, meningkatkan jiwa kekeluargaan, meningkatkan rasa kekeluargaan, membangun komunikasi yang lebih baik, meningkatkan produktivitas kerja, serta tanggap terhadap dengan perkembangan dunia luar.

Sistem politik Demokrasi Awal Kemerdekaan pun ternyata tidak efektif dalam menyelesaikan konflik-konflik politik yang terjadi, bahkan menimbulkan konflik baru. Sistem politik demokrasi di Indonesia dapat dipandang efektif jika berhasil menyelesaikan konflik tanpa menimbulkan konflik baru. Konflik-konflik dianggap selesai atau teratasi jika sudah tercipta stabilitas politik nasional sebagaimana yang diharapkan oleh UUD 1945 dan Pancasila tanpa adanya kekisruhan politik yang meruncing dan menggoncangkan negara sebagaimana laporan pertangungjawaban Presiden ke-2 RI Soeharto pada 12 Maret 1973:

Stabilitas itu berarti keadilan politik di tanah air ini haruslah berkembang tumbuh dan sesuai dengan landasan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dengan sewajarnya, tanpa adanya pergolakan-pergolakan politik yang menimbulkan kegoncangan-kegoncangan dalam masyarakat apabila dengan bentrokan-bentrokan atau ketegangan-ketegangan yang meruncing, yang tidak memungkinkan diadakannya usaha-usaha pembangunan dan kegiatan-kegiatan konstruktif lainnya yang berlanjut dalam jangka waktu yang relatif cukup panjang.

Keefektifan (effectiveness) sendiri dalam Sukarno (2010) berasal dari kata efektif yang berarti terjadi suatu efek atau akibat yang dikehendaki dari suatu perbuatan. Ensiklopedia umum (1977 : 296) menyebutkan bahwa yang dimaksud keefektifan adalah menunjukkan taraf tercapainya suatu tujuan. Dalam ensiklopedia administrasi dijelaskan:

Keefektifan adalah suatu keadaan yang mengandung pengertian mengenai terjadinya sesuatu efek atau akibat yang dikehendaki. Jika seseorang melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud tertentu yang dikehendaki orang tersebut, dikatakan efektif apabila menimbulkan akibat sesuai maksud yang dikehendakinya.

Dengan demikian, Demokrasi Awal Kemerdekaan sangat tidak efektif mewujudkan stabilitas politik nasional sebagai syarat mencapai tujuan pembangunan nasional sebagaimana yang tercantum dalam alinea keempat Preambul UUD 1945, yaitu:

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraaan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dipandang dari segi hubungan internasional, Demokrasi Awal Kemerdekaan sama sekali tidak menguntungkan bagi kepentingan dalam negeri Indonesia. Dengan diberlakukannya demokrasi, Belanda memiliki ruang untuk kembali mendapatkan keuntungan dari Indonesia secara curang. Hal itu dilakukannya dengan mengadakan berbagai perundingan dengan pihak Indonesia yang dikuasai oleh Hatta dan Sjahrir. Hal tersebut bisa dilihat dari upaya Belanda dalam mengotak-kotakan wilayah Indonesia sebagai isi dari perjanjian, termasuk di dalamnya hasil KMB yang telah membuat Indonesia menjadi negara serikat. Padahal, pada 18 Agustus 1945 telah disepakati dalam UUD 1945 Bab I Pasal 1 Ayat 1 bahwa Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik.

Hal tersebut sangat bertentangan dengan teori politik luar negeri yang disampaikan Muhammad Musa (2003 : 24), yaitu bahwa politik luar negeri merupakan:

Desain kepentingan pada tiap-tiap negara yang melakukan penyelarasan, bertolak dari pandangan hidup (way life) dan pandangan strategis-nya (strategic views) atau dalam rangka merealisasikan berbagai manfaat untuk umat secara keseluruhan ataupun untuk salah satu kelompok umat, serta mendesain kepentingan tersebut untuk mencapai target-target yang achiavable dengan membuat hubungan kausalitas antara apa yang ada dan apa yang hendak direalisir.

Artinya, upaya apapun yang dilakukan pemerintah dalam hubungan internasional haruslah untuk mendapatkan keuntungan bagi kepentingan dalam negeri, bukan untuk menghambat kepentingan nasional, apalagi menguntungkan pihak asing.

Demokrasi dari awal sejarahnya sudah menunjukkan sifatnya yang jauh dari kebaikan. Mestinya kita belajar dari sejarah dan tidak perlu jatuh ke dalam jurang yang sama. Kalau sudah belajar dan tahu bahwa demokrasi itu adalah sistem yang rusak dan merusakkan, tetapi masih juga percaya, berarti otak manusianya yang sudah rusak dan suatu saat akan juga merusakkan orang lain.

No comments:

Post a Comment