oleh Tom Finaldin
Bandung, Putera Sang Surya
Negeri ini, Indonesia yang kita cintai, kedatangan tamu. Namanya Obama. Kehadirannya menyedot perhatian berbagai pihak, baik media massa maupun rakyat biasa.
Sudah menjadi kebiasaan kita, kalau ketemu sama orang Barat, sepertinya ingin selalu melihat, memperhatikan, perasaannya senang. Entah kenapa. Dulu saja ketika dijajah Belanda, banyak orang yang senang hanya sekedar untuk menyentuh kulit atau bersalaman dengan mereka. Secara tak sadar, perilaku tersebut sudah merendahkan diri sendiri. Sebaiknya, biasa saja atuh.
Saat Obama datang, 9-10 November 2010, banyak orang yang lumayan heboh. Kedatangan Obama itu seperti didatangi idola superhero. Padahal, dia datang itu dalam rangka menjalankan politik luar negerinya. Dalam hubungan internasional, setiap aktivitas internasional sudah seharusnya merupakan aktivitas untuk memenuhi kepentingan dalam negeri masing-masing. Artinya, dia datang itu untuk kepentingan negaranya sendiri, bukan untuk kepentingan Indonesia.
Obama itu bukan Pancasilais, tak peduli dengan Sumpah Pemuda, tak ada kepentingan dengan Bhineka Tunggal Ika, tak mau tahu dengan Preambul UUD 1945, apalagi NKRI. Dia datang ke Indonesia itu karena negerinya melihat ada keuntungan besar yang didapatnya dari Indonesia.
Memang benar dia pernah di Indonesia, tetapi kehadirannya itu tidak dalam rangka untuk mencintai Indonesia dan tidak untuk membesarkan Indonesia. Dia tetap kapitalis yang mencintai AS, negerinya. Dia datang sebagai wakil negaranya agar mendapatkan keuntungan maksimal dari Indonesia.
Ia memang pintar melihat sifat dan watak masyarakat Indonesia yang masih banyak mengagung-agungkan Barat. Oleh sebab itu, dalam pidatonya di kampus UI ia menggunakan kemampuannya untuk menarik simpati rakyat Indonesia seolah-olah dirinya ingin memajukan Indonesia. Hal itu memang terbukti berhasil saat itu. Ia mendapatkan banyak tepukan meriah dari audiens. J. Kristiadi yang dari CSIS itu pun memujinya bahwa Obama itu cerdas. Ia datang untuk kepentingan diri dan negaranya, tetapi mendapatkan tepukan dari orang Indonesia yang negerinya sedang diincar berbagai potensinya untuk dinikmati AS.
J. Kristiadi sangat benar. Meskipun demikian, saya memiliki pendapat yang terbalik, tetapi sama. Bagi saya, bukanlah Obama yang pintar dalam berorasi atau menarik simpati, tetapi rakyat kitanya sendiri yang bodoh menganggap Obama itu layaknya orang yang akan membangkitkan Indonesia dari keterpurukan. Hal itu disebabkan rakyat kita masih harus banyak belajar mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan hubungan internasional.
Saya sangat setuju dengan pendapat Anis Baswedan bahwa kita jangan terlalu romantis terhadap Obama hanya karena dia kecilnya pernah tinggal di Indonesia. Semestinya, kita, rakyat memberikan dorongan penuh kepada pemerintah agar kehadiran Obama itu dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kepentingan kita, kemakmuran rakyat Indonesia. Hal itu disebabkan memang sudah wajib hukumnya bagi pemerintah untuk memanfaatkan setiap hubungan internasional bagi kepentingan dalam negeri kita sendiri.
Dalam berinteraksi dengan Obama atau dengan negeri mana pun jangan pernah ada pikiran takut Obama atau orang asing rugi berhubungan dengan kita. Untung atau rugi, itu urusan dia bukan urusan kita. Kewajiban kita adalah bagaimana kita mendapatkan untung sebesar-besarnya karena mereka pun sebenarnya berupaya ingin untung sebesar-besarnya. Jangan khawatir orang asing rugi karena mereka pun sama sekali tidak khawatir kita rugi. Jika kita rugi, itu akan jadi beban kita. Selama ini juga kan begitu. Ketika kita susah, mereka bukannya ikhlas menolong, malahan memberikan pinjaman uang dengan bunga yang sangat berat. Kita-kita juga yang merasakan beratnya kesusahan.
Jika kita ternyata berhasil mendapatkan berbagai keuntungan, jangan anggap Obama baik, tetapi yang harus dipuji adalah pemerintah kita sendiri yang telah optimal bekerja keras untuk rakyatnya.
Demokrasi
Sebelum kedatangannya ke Indonesia, Obama sangat memuji demokrasi di Indonesia. Ia benar-benar mengaguminya. Kalau dihitung, sudah lebih dari seratus kata demokrasi yang keluar dari mulutnya, baik sebelum, sedang, maupun pada akhir kunjungannya ke Indonesia. Ia tampak ingin sekali Indonesia tetap menggunakan sisem politik demokrasi. Ia bahkan sedikit menantang Indonesia untuk mampu menyelesaikan masalah-masalah demokrasi di Asean, khususnya di Myanmar. Ia memberikan nilai A plus untuk demokrasi di Indonesia.
Sesungguhnya, ia mengulang-ulang kata demokrasi dengan segala pujiannya itu karena AS merasa untung dengan demokrasi yang dijalankan di Indonesia. Banyak sekutunya yang mengeruk keuntungan besar dari Indonesia yang telah berdemokrasi ini. Para kapitalis itu sudah memiliki banyak kunci yang tepat untuk mendapatkan kenikmatan tiada tara dari negeri kita. Sementara itu, kita dibuai oleh kata-kata palsu dan pujian demokrasi. Saat kita disibukkan dengan demokrasi dengan segala kepusingannya, mereka anteng-anteng melahap berbagai hidangan yang ada di Bumi Pertiwi ini.
Sungguh pelaksanaan demokrasi di Indonesia itu sangat menguntungkan pihak kapitalis. Orang-orang Pancasilais sendiri dilanda kelaparan, huru-hara, fitnah, bencana, pembunuhan, korupsi, kolusi, kemiskinan, kebodohan, dan berbagai ketimpangan sosial lainnya.
Jadi, jangan tertipu dengan pujian telah melaksanakan demokrasi. Obama, AS, dan sekutu kapitalisnya tidak akan segan-segan memberikan medali emas 100 karat kepada Indonesia, bahkan memberikan gelar setinggi langit sebagai negara termajemuk yang paling berhasil dalam berdemokrasi dan mengumumkan kepada seluruh makhluk di Bumi ini bahwa Indonesia adalah negeri paling toleran di seluruh jagat raya dengan sistem demokrasinya. Mereka akan menyanjung Indonesia setinggi langit, bahkan kalau masih ada langit, pujian mereka akan sampai kesana dengan catatan Indonesia tetap berdemokrasi. Sementara itu, Indonesia dalam kenyataannya dengan menggunakan sistem politik demokrasi justru terus meluncur jatuh ke jurang kehancuran.
Jangan tertipu dengan pujian itu. Justru kita harus membumihanguskan demokrasi di negeri ini karena sistem politik itu telah membuat negeri ini carut marut tidak karu-karuan di berbagai bidang. Demokrasi itu jahat, sesat, kampungan, bodoh, serta melanggar kesucian dan kemuliaan manusia.
Jangan tertipu Saudaraku!
No comments:
Post a Comment