Thursday, 24 March 2011

Masa Demokrasi Pancasila: Lain di Mulut Lain di Perbuatan

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya


Demokrasi Pancasila mengambil kutub yang berlawanan dengan Demokrasi Terpimpin. Pada masa Demokrasi Pancasila retorika politik yang dicanangkan adalah melaksanakan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekwen.

Pada masa ini penguasa menginginkan kondisi negara benar-benar dalam keadaan stabil sehingga dapat melaksanakan pembangunan dengan lebih lancar. Penguasa, Jenderal Soeharto, benar-benar menciptakan kondisi yang stabil sesuai dengan kehendaknya sendiri.

Pada awal kelahirannya Demokrasi Pancasila sudah menunjukkan sikap dan sifat yang jauh dari jiwa Pancasila, yaitu gotong royong. Pada masa ini negara sudah terbagi ke dalam dua kutub besar, yaitu Kutub Soekarno dan Kutub Soeharto.

Ketika hubungan Malaysia hendak dipulihkan kembali oleh Pemimpin Orde Baru, Soeharto, Soekarno merasa terancam kedudukannya. Oleh sebab itu, dalam keadaan terjepit, Soekarno menyadari bahwa masih ada satu kekuatan untuk menyelamatkannya, yaitu Pemilu. Upaya itu merupakan usaha terakhir mempertaruhkan popularitasnya dalam melawan Soeharto dan Angkatan Darat. Dalam pidato 17 Agustus 1966 yang berjudul Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah, Soekarno berkata lantang menantang:

“Berkali-kali sudah aku katakan bahwa kita harus menyelenggarakan pemilihan umum secepat mungkin karena pemilihan umum adalah satu-satunya cara mengetahui kehendak rakyat, mengetahui keinginan rakyat yang sebenarnya, mencari penjelasan tentang tuntutan-tuntutan yang dikemukakan atas nama rakyat dan untuk memperbaiki anggota-anggota lembaga-lembaga negara ....”

Untuk menyelenggarakan Pemilu, diperlukan RUU yang dapat menjadi payung hukumnya. Akan tetapi, kekuatan Orde baru menolaknya. Konferensi Kerja Kasi Djaja dan Delegasi Kami Konsulat Bandung menolaknya dengan alasan tidak sesuai dengan aspirasi Tritura dan Orde Baru.

Pemilu pun tertunda-tunda, sampai 10 Januari 1968 Pejabat Presiden Soeharto melaporkan bahwa Pemilu hanya dapat dilaksanakan selambat-lambatnya sampai 5 Juli 1971. Hal ini mencerminkan kepentingan-kepentingan partai politik dan angkatan bersenjata. Partai politik adalah yang paling bergairah dengan dilaksanakannya Pemilu karena melihat bahwa PKI telah musnah dan meninggalkan banyak kursi untuk diduduki, sedangkan militer sangat berhati-hati dengan Pemilu. Mereka tidak mau kehilangan atas kendali negara yang telah dipegangnya dan jika perlu akan dipertahankan dengan main keras. Angkatan Darat memang setuju dengan Pemilu, tetapi dengan syarat “kekuatan-kekuatan Pancasila” harus menang. Yang dimaksud dengan kekuatan-kekuatan Pancasila adalah pihak yang dekat dengan Soeharto dan tentara.

Untuk menjamin kepastian kemenangan tersebut, beberapa Parpol yang dianggap bisa menjadi penghalang bagi keinginan pemerintah dan tentara “digarap” secara negatif. Pertama-tama, Partai Nasional Indonesia (PNI) yang terkenal dekat dengan Bung Karno. Bulan April 1966 PNI didesak oleh pemerintah untuk mengadakan kongres partai. Surat-surat kuasa untuk memasuki ruang sidang diperiksa ketat oleh tentara. Hasil kongres adalah disingkirkannya para pemimpin yang masih setia kepada Bung Karno.

Sejak 1967 ada kampanye “pengordebaruan” oleh Pangdam VIII, Jasin, di Jawa Timur tempat PNI mendapat anggota terbanyak yang juga merupakan tempat terbanyak pendukung Soekarno. Kampanye “pengordebaruan” ini praktis melumpuhkan PNI. Banyak cabang-cabangnya ditutup, dilarang rapat-rapat terbuka, beberapa Ormas mahasiswanya dibekukan. Kampanye yang sama dilakukan di Sumatera Utara. Malahan, di sana dianjurkan secara sukarela untuk membekukan diri. Demikian pula di Aceh.

Partai lain yang mendapat incaran untuk digarap adalah partai-partai Islam. Para bekas anggota Partai Masjumi yang dibubarkan oleh Soekarno ingin menghidupkan kembali partai tersebut. Pada mulanya tidak mendapat izin, tetapi akhirnya diizinkan dengan syarat gembong-gembong lama tidak boleh menduduki pemimpin partai. Akhirnya, Masjumi boleh membuat partai dengan nama baru, yaitu Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Mohamad Roem terpilih sebagai ketua. Akan tetapi, karena desakan pemerintah, ketua terpilih mengundurkan diri, kemudian diganti oleh seseorang yang mendapat tempat di kalangan pemerintah dan tentara.

Bukan hanya itu yang dilakukan untuk menjamin kemenangan pemerintah dan tentara. Sebagai tangan sipil bagi tentara dalam lingkaran politik, digunakanlah organ lama yang pernah digunakan untuk mengimbangi PKI, yaitu Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Jenderal Soeharto memberikan instruksi kepada seluruh angkatan bersenjata untuk memberikan fasilitas seluas-luasnya kepada Golkar di tingkat pusat dan daerah. Golkar dianggap saudara kandung angkatan bersenjata.

Langkah selanjutnya adalah menjadikan Golkar sebagai pemenang Pemilu. Pegawai negeri yang dulunya basis PNI dipaksa untuk loyal kepada pemerintah melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 12 Tahun 1969 yang berupaya memurnikan Golkar di DT I dan DT II. Aturan itu ditentang keras oleh Wakil Ketua MPRS Subchan Z.E. sebagai tindakan melawan hukum dari pemegang kekuasaan. Protes-protes lain bermunculan berupa walk out Parpol-parpol DT I dan DT II di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Namun demikian, Mendagri jalan terus dengan mengeluarkan formulir edaran agar pegawai negeri tidak menjadi anggota partai atau Ormas dan mengatakan siapa saja yang tidak patuh untuk keluar dari pegawai negeri. Pegawai negeri harus menjadi Korps Karyawan Pemerintahan Dalam Negeri (Kokarmendagri).

Di samping itu, untuk mengimbangi Islam, pemerintah menghidupkan kembali GUPPI. Dengan GUPPI dan Kokarmendagri, militer mengintimidasi desa-desa yang dulunya pendukung PKI yang merupakan orang-orang paling lemah. Pemerintah telah menjadi buldozer untuk meratakan jalan menuju kemenangan Golkar dalam Pemilu.

Perilaku pemerintah dan tentara tersebut telah membuat Parpol menjadi terancam hidupnya. Mereka yang dulunya bergairah dengan Pemilu menjadi gentar.

Hadisubeno dari PNI dengan keras melanggar larangan pemerintah menyebarkan ajaran Bung Karno dengan kata-kata kasar, “Sepuluh Soeharto, sepuluh Nasution, dan segerobak penuh jenderal, tidak dapat menyamai satu Soekarno!”

Tidak lama kemudian, pemimpin PNI itu menemui ajalnya.

Kalangan mahasiswa pun merasa tertekan dengan kampanye yang dilancarkan pemerintah. Oleh sebab itu, mereka mengorganisasikan diri, kemudian pada 28 Mei 1971 mencetuskan Golongan Putih (Golput). Gerakan protes sindiran ini menjangkit ke mana-mana, di antaranya, Bandung, Bogor, Surabaya, dan Yogyakarta (Daniel Dhakidae : 1986).

Menurut seorang pengamat politik (2008), dalam Metro TV, mengatakan,
“Para mahasiswa itu, kami, mengusung Golput karena menganggap sudah tidak perlu lagi ada Pemilu. Buat apa Pemilu? Sudah saja langsung pemenangnya adalah Golkar.”

Pada 1973 atas saran pemerintah, partai-partai melakukan fusi. Dengan demikian, kontestan untuk Pemilu 1977 tinggal dua Parpol, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) ditambah satu Golkar.

Penyederhanaan Parpol ini awalnya merupakan upaya pemerintah untuk dapat mengontro Parpol, sebagaimana yang dikatakan Soeprapto (2004), "Pada masa Orde Baru Golkar menjadi mesin politik guna mencapai stabilitas yang diinginkan, sementara dua partai lainnya, PPP dan PDI hanya menjadi boneka agar tercipta image sebagai negara demokrasi.”

Akan tetapi, dalam perkembangannya pemerintah sendiri sempat terkejut karena PPP mendapatkan perhatian yang luar biasa dari masyarakat. Dengan demikian, pada masa itu terjadi duel antara PPP dan Golkar. Sementara itu, PDI hanya menjadi underdog. PPP menjadi sangat kuat karena memiliki identitas yang jelas sebagai partai Islam sehingga mendapat perhatian yang luar biasa dari masyarakat. Identitas PPP yang berhasil tumbuh dan identifikasi massa pemilih Islam yang berhasil ditanam serta merta menimbulkan kekhawatiran pada diri penguasa sehingga Kaskopkamtib Soedomo meminta PPP untuk tidak lagi berkampanye dengan soal yang berhubungan dengan masalah keagamaan.

Golkar pun melawan dengan spanduk-spanduk yang berisi Tidak benar bahwa orang yang masuk Golkar adalah kafir. Usaha Golkar itu adalah untuk mementahkan proses identifikasi massa Islam dengan PPP.

Dengan demikian, kampanye Pemilu 1977 merupakan pertarungan dua kekuatan utama, yaitu Golkar dan PPP. Keduanya membuat manuver-manuver tersendiri. Kalau perlu, saling menuduh bahwa pihak lain curang, menyalahi hukum. Dari pihak pemerintah dan Golkar datang tuduhan bahwa PPP memalsukan surat suara, ada komando jihad, adanya bantuan senjata asing (Libya). Dari pihak PPP menuduh Golkar rekanan dengan tentara dan pemerintah, anggota PPP ditembak mati di Situbondo, Jawa Timur, ketika akan menghadiri kampanye PPP, terjadinya pemukulan, intimidasi, penahanan, dan lain sebagainya. Dibandingkan 1971, Pemilu 1977 cukup bukti bahwa lebih banyak diwarnai oleh kekerasan (Daniel Dhakidae : 1986).

Upaya pemerintah dan tentara tersebut terus berlangsung dari Pemilu ke Pemilu sampai 1997. Keberhasilan mereka telah mengukuhkan Soeharto untuk menjadi presiden terus-menerus. Strateginya adalah dengan menunjuk para anggota MPR khusus untuk daerah dan utusan golongan, yaitu para gubernur, para panglima Kodam, para rektor, para menteri, para istri dan anak menteri untuk duduk di lembaga konstitutif ini (yang sudah tentu dekat dengan Soeharto) sehingga setiap Pemilu Soeharto diangkat menjadi presiden dengan kebulatan tekad (Inu Kencana Syafiie, Azhari : 2005).

Pada 1995 Soeharto menyadari bahwa Megawati Soekarnoputeri, Ketua Umum DPP PDI, tidak akan menolerir bila Golkar melakukan tindakan kecurangan dalam Pemilu 1997.

Oleh sebab itu, kedudukan Megawati mulai didongkel, sebagaimana yang dituturkan Soetjipto, Sekjen DPP PDI-P, “Semuanya itu diciptakan oleh penguasa, pemerintahnya sendiri, Pak Harto, dan militer. Sampai waktu itu utusan Kongres Luar Biasa (KLB) ditawari uang oleh Soeharto untuk meninggalkan KLB. Tapi, teman-teman tetap gigih, loyal, dan berdedikasi tinggi.”

Pemerintah membuat pengurus PDI tandingan dengan menggelar kongres di Medan. Dalam muktamar tersebut, terpilih Suryadi sebagai ketua umum PDI. Pemerintah pun menyetujuinya.

Untuk menjamin kemenangannya, pemerintah tidak hanya bekerja sama dengan tentara dan Golkar, tetapi menambah kekuatan baru, yaitu kelompok preman. Kantor DPP PDI yang terletak di Jl. Diponegoro, Jakarta, diserbu pemerintah dengan menggunakan kekuatan aparat dan preman yang diberi baju merah PDI bergambar Suryadi pada 27 Juli 1996 agar terkesan bahwa yang terjadi adalah bentrok antar-PDI. Sebagian penyerbu lagi diarahkan untuk membuat kerusuhan di tengah kota (Inu Kencana Syafiie, Azhari : 2005).

Perilaku pemerintah, Golkar, tentara, plus preman yang membungkam aspirasi politik dan bermain politik seperti itu membuat mahasiswa, akademisi, dan rakyat marah. Oleh sebab itu, melalui gerakan reformasi besar-besaran yang menimbulkan banyak korban jiwa, pemerintah dijatuhkan. Demokrasi Pancasila pun harus berhenti yang dimulai dengan pengunduran Presiden ke-2 RI Soeharto pada 1998.

Dari runtunan peristiwa dalam masa Demokrasi Pancasila, kita bisa menyaksikan bahwa negeri ini sudah jauh dari nilai intisari Pancasila, yaitu gotong royong. Pembekuan Ormas dan partai, penggiringan dan pemaksaan pemilih, intimidasi, termasuk fusi Parpol dengan alasan demi stabilitas sangatlah tidak tepat untuk mewujudkan situasi harmonis dan gotong royong bernilai Pancasila. Selintas memang bisa dipahami bahwa upaya-upaya tersebut bertujuan agar masyarakat tidak terfokus dan terombang-ambing oleh hiruk pikuk politik, tetapi lebih konsentrasi terhadap pembangunan ekonomi berdasarkan Pancasila atau gotong royong. Akan tetapi, gotong royong itu sendiri tidak bisa dibangun dengan berbagai upaya penekanan atau intimidasi. Gotong royong itu harus atas dasar sukarela sebagaimana yang ditulis dalam pajriblog.blogspot.com bahwa gotong royong merupakan suatu kegiatan yang bersifat suka rela. Dengan demikian, segala sesuatu yang dikerjakan dapat lebih mudah dan cepat diselesaikan. Bukan itu saja, dengan adanya kesadaran setiap elemen atau lapisan masyarakat dalam menerapkan perilaku gotong royong, hubungan persaudaraan atau silaturahim akan semakin erat.

Karena tidak adanya rasa suka rela di antara kekuatan politik yang ada, terjadi ketidakpuasan, kemarahan terpendam, kecemburuan, serta tidak berkembangtumbuhnya keadilan politik yang sewajarnya sesuai dengan UUD 1945 dan Pancasila yang akhirnya menimbulkan goncangan-goncangan politik yang menghalangi bangsa ini untuk mencapai tujuan nasionalnya. Itu artinya, apa yang terjadi dalam Demokrasi Pancasila sangat bertentangan dengan pemahaman tentang stabilitas politik yang diungkapkan oleh pemimpin Demokrasi Pancasila itu sendiri, Soeharto (1973), yaitu:

Stabilitas itu berarti keadilan politik di tanah air ini haruslah berkembang tumbuh dan sesuai dengan landasan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dengan sewajarnya, tanpa adanya pergolakan-pergolakan politik yang menimbulkan kegoncangan-kegoncangan dalam masyarakat apabila dengan bentrokan-bentrokan atau ketegangan-ketegangan yang meruncing, yang tidak memungkinkan diadakannya usaha-usaha pembangunan dan kegiatan-kegiatan konstruktif lainnya yang berlanjut dalam jangka waktu yang relatif cukup panjang.

Itulah yang saya maksudkan lain di mulut lain di perbuatan.

Hal tersebut pun menunjukkan bahwa pemerintah dalam sistem politik Demokrasi Pancasila tidak mampu secara efektif menyelesaikan konflik-konflik yang ada. Bahkan, upaya-upaya penyelesaian konflik tersebut menimbulkan konflik baru. Hal tersebut bertentangan dengan pengertian efektivitas dalam ensiklopedia administrasi:

Keefektifan adalah suatu keadaan yang mengandung pengertian mengenai terjadinya sesuatu efek atau akibat yang dikehendaki. Jika seseorang melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud tertentu yang dikehendaki orang tersebut, dikatakan efektif apabila menimbulkan akibat sesuai maksud yang dikehendakinya.

Hal itu bisa dilihat bahwa Demokrasi Pancasila berniat meredam konflik-konflik yang berasal dari zaman Demokrasi Terpimpin, tetapi cara-cara yang dilakukannya justru menimbulkan konflik baru. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Demokrasi Pancasila tidak efektif dalam mewujudkan stabilitas politik nasional sebagai syarat mencapai tujuan pembangunan nasional.

Dari sisi hubungan internasional, Indonesia berada dalam posisi rugi karena dipandang sebagai negara yang melakukan berbagai pelanggaran hak asasi manusia, terutama dalam hal kebebasan berpendapat, berkumpul, dan menyalurkan aspirasi politik. Padahal, UUD 1945 telah melindungi setiap warga negara untuk berkumpul, berserikat, dan menyatakan pendapat.

No comments:

Post a Comment